Kwan Im

Guan Shi Yin Pu Sa 觀世音普薩
Revisi sejak 7 Februari 2024 11.49 oleh Faredoka (bicara | kontrib)

Kwan Im (Hanzi: 觀音; Pinyin: Guān Yīn) adalah nama lain dari Bodhisattva Avalokiteśvara yang merupakan Bodhisattva Welas Asih (Hanzi: 大慈大悲;Pinyin: Da Ci Da Bei) sebagaimana diakui oleh Buddhisme aliran Mahāyāna. Kwan Im adalah lafal bahasa Hokkian yang dipergunakan mayoritas komunitas Tionghoa di Indonesia. Meskipun seringkali dipanggil sebagai "Dewi Kwan Im", Bodhisattva Avalokiteśvara bukan merupakan seorang dewi dalam kosmologi Buddhisme Mahāyāna. Nama lengkap dari Kwan Im adalah Kwan She Im Phosat (Hanzi: 觀世音菩薩, pinyin: Guan Shi Yin Pu Sa) yang merupakan terjemahan dari nama aslinya dalam bahasa Sanskerta, yaitu Avalokiteśvara.

Kwan Im
Patung Kwan Im di Putuoshan
SanskertaAvalokiteśvara
अवलोकितेश्वर
BirmaLokanat
Tionghoa觀世音
JepangKanzeon, Kannon
Korea관음 (Gwan-eum), 관세음 보살님 (Gwan-se-eum Bo-sal-nim)
Thaiกวนอิม
TibetChenrezig
VietnamQuan Âm
Quan Thế Âm
Informasi
Dimuliakan olehMahayana, Vajrayana

Dalam bahasa Jepang, Kwan Im disebut Kannon' (観音) atau secara resmi Kanzeon (観世音). Dalam bahasa Korea disebut Gwan-eum atau Gwanse-eum, dan dalam bahasa Vietnam Quán Âm atau Quan Thế Âm Bồ Tát.

Avalokitesvara asalnya digambarkan berwujud laki-laki di India, begitu pula pada masa menjelang dan selama Dinasti Tang (tahun 618-907). Namun, pada awal Dinasti Song (960-1279), berkisar pada abad ke 11, beberapa pengikut melihatnya sebagai sosok wanita yang kemudian digambarkan dalam para seniman. Perwujudan Kwan Im sebagai sosok wanita lebih jelas pada masa Dinasti Yuan (1206-1368). Sejak masa Dinasti Ming, atau berkisar pada abad ke 15, Kwan Im secara menyeluruh dikenal sebagai wanita.[1]

Pandangan Aliran Theravāda

Aliran Theravāda merupakan aliran konservatif yang memegang teguh kitab suci Tipiṭaka versi Kanon Pāli. Oleh karena tidak ditemukan teks yang menyebutkan eksistensi Bodhisattva Avalokiteśvara, para pengikut Theravāda menyampaikan reaksi yang beragam. Beberapa pengikut Theravāda menyatakan bahwa keberadaan Bodhisattva Avalokiteśvara tidak dapat dipastikan secara kanonis, sedangkan beberapa lainnya sepenuhnya menolak keberadaan Bodhisattva Avalokiteśvara. Perbedaan pandangan ini didasari atas perbedaan pemaknaan kata Bodhisattva bagi kedua aliran.

Sejarah

Kwan Im pertama kali diperkenalkan ke Tiongkok pada abad pertama SM, bersamaan dengan masuknya agama Buddha. Pada abad ke-7, Kwan Im mulai dikenal di Korea dan Jepang karena pengaruh Dinasti Tang. Pada masa yang sama, Tibet juga mulai mengenal Kwan Im dan menyebutnya dengan nama Chenrezig. Dalai Lama sering dianggap sebagai reinkarnasi dari Kwan Im di dunia.

Istiilah Avalokitesvara diterjemahkan oleh Kumarajiva menjadi Guanshiyin.[2] Kemudian disingkat menjadi Guanyin karena kata shi 世 sama dengan kata shi 世 dari nama Li Shimin 李世民 (598-649 CE) atau kaisar Tang Taizong 唐太宗. Persamaan ini tabu bagi kaisar.

Pengertian Avalokitesvara Bodhisattva dalam bahasa Sanskerta adalah:

  • "Avalokita" (Kwan/Guan/Kwan Si/Guan Shi) yang bermakna "melihat ke bawah" atau "mendengarkan ke bawah" (“bawah” di sini bermakna dunia, yang merupakan suatu alam (Sanskerta:lokita)).
  • Kata "Isvara" (Im/Yin), berarti suara (suara jeritan mahluk atas penderitaan yang mereka alami).

Kwan Im sebagai seorang Bodhisattva yang melambangkan kewelasasihan dan penyayang. Di negara Jepang, Kwan Im Pho Sat terkenal dengan nama Dewi Kanon. Dalam perwujudannya sebagai pria, Kwan Im disebut Kwan Sie Im Pho Sat. Dalam Sutra Suddharma Pundarika Sutra (Biauw Hoat Lien Hoa Keng) disebutkan ada 33 (tiga puluh) penjelmaan Kwan Im Pho Sat. Sedangkan dalam Maha Karuna Dharani (Tay Pi Ciu / Ta Pei Cou/Ta Pei Shen Cou) ada 84 (delapan puluh empat) perwujudan Kwan Im Pho Sat sebagai simbol dari Bodhisattva yang mempunyai kekuasaan besar.

Altar utama di Kuil Pho Jee Sie (Pho To San) di persembahkan kepada Kwan Im Pho Sat dengan perwujudan sebagai “Buddha Wairocana”, dan di sisi kiri atau kanan berjajar 16 (enam belas) perwujudan lainnya. Perwujudan Kwan Im di altar utama Kim Tek Ie*), salah satu Klenteng tertua di Indonesia adalah King Cee Koan Im (Koan Im Membawa Sutra Memberi Pelajaran Buddha Dharma Kepada Umat Manusia). Di samping itu, terdapat pula wujud Kwan Im Pho Sat dalam Chien Chiu Kwan Im/Jeng Jiu Kwan Im/Qian Shou Guan Yin (Kwan Im Seribu Lengan/Tangan) sebagai perwujudan Kwan Im yang selalu bersedia mengabulkan permohonan perlindungan yang tulus dari umatnya. Julukan Kwan Im secara lengkap adalah:

"Tay Cu Tay Pi, Kiu Kho Kiu Lan, Kong Tay Ling Kam, Kwan Im Sie Im Pho Sat".

Sejarah klasik

 
Kano Motonobu (白衣観音図), Kannon berjubah putih, Bodhisattva Welas Asih, abad ke 16 (Jepang). Lukisan tinta, cat dan emas pada sutra yang tergantung
 
Patung Kannon di Daienin
Gunung Koya

Ketika agama Buddha memasuki Tiongkok (Masa Dinasti Han), pada mulanya Avalokitesvara Bodhisattva bersosok pria. Seiring dengan berjalannya waktu. Menjelang Dinasti Tang, profil Avalokitesvara Bodhisattva berubah dan ditampilkan dalam sosok wanita. Ada beberapa teori mengenai perubahan ini.

Pertama, pengaruh budaya maternalistik Tiongkok purba.

Kedua, pengaruh figur Wu Zetian 武則天 (624-705), kaisar wanita yang beragama Buddha.

Ketiga, tekanan budaya paternalistik sehingga kaum perempuan memerlukan satu figur dewi perempuan yang bisa melindungi dan mengayomi mereka.

Rakyat jelata Tiongkok atau yang mayoritas memeluk kepercayaan rakyat sering disebut dengan niang-niang 娘娘 atau ma 嫲 (zaman sekarang ini digunakan kata ma 媽).[3]

Taoisme kemudian menyebut Guanyin adalah Cihang Dashi 慈航大士 atau Cihang Zhenren 慈航真人. Salah satu sumber tentang ini adalah Lidai Shenxian Tongjian 历代神仙通鉴 (Catatan saksama dewa-dewi dalam sejarah) atau yang dikenal dengan nama lain Sanjiao Tongyuanlu 三教同原录 (Catatan tiga ajaran/agama bersumber yang sama). Buku itu ditulis oleh Xu Dao 徐道 dan Cheng Yuqi 程毓奇 pada akhir Dinasti Ming (1368-1644) dan awal Dinasti Qing (1644-1912).

Dari sini jelas bahwa tokoh Avalokitesvara Bodhisattva berasal dari India dan figur perempuan Guanyin Pusa adalah figur yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat Tiongkok saat itu. Avalokitesvara Bodhisattva memiliki tempat suci di gunung Potalaka, Tibet, sedangkan Kwan Im Pho Sat memiliki tempat suci di Pulau Putuo Shan di Kepulauan Zhou Shan, Tiongkok.

Legenda Kwan Im

 
Kwan Im Pu Sa bersama dengan Shancai dilukiskan dalam lukisan tradisional China

Terdapat beberapa legenda lainnya terkait tentang asal usul Dewi Kwan Im. Dalam kitab Hong Sin Yan Gi/Hong Sin Phang / Fengshenbang 封神榜 atau disebut juga Fengshen Yanyi 封神演義 (Roman penganugerahan dewa) [1] Diarsipkan 2015-12-22 di Wayback Machine. disebutkan bahwa sebelum ia dikenal dengan sebagai Dewi Kwan Im, ia dikenal dengan nama Chu Hang/Cihang. Ia merupakan salah satu dari 12 murid Yuanshi Tianzun 元始天尊. Buku tersebut ditulis oleh Xu Zhonglin 許仲琳 (1560-1630) pada masa dinasti Ming.

Miao Shan

Kisah Putri Miao Shan sebagai Guanyin menarik minat masyarakat. Xiangshan Baojuan 香山寶卷[4] (Gulungan Mustika Gunung Harum) menceritakan Guanyin Pusa bermanifestasi menjadi Putri Miao Shan 妙善, putri ke tiga dari Raja Miao Zhuang 妙莊. Cerita Xiangshan Baojuan berasal dari vihara Xiangshan si 香山寺 di Ruzhou 汝州. Vihara itu adalah tempat pemujaan Guanyin dan biksu kepala vihara bernama Huaizou 懷晝 memberikan tulisan kisah Putri Miao Shan pada pejabat kota Ruzhou, Jiang Ziqi. 蔣之奇 (1031-1104) pada masa Dinasti Song Utara (960-1127). Dari situlah legenda Guanyin sebagi putri Miaoshan meluas dan isinya serupa. Jika melihat isi kisah Putri Miao Shan, terasa nuansa kepercayaan yang amat kental dan juga unsur Buddhisme, Taoisme dan Ruisme (Konfusianisme).

Isi cerita Miao Shan menjadi Kwan Im yang umum adalah sebagai berikut: Dewi Kwan Im dilahirkan pada masa Dinasti Zhou Timur (770-256 SM) pada periode "peperangan antar negara" 戰國 (403-221 BCE). Menurut legenda Putri Miao Shan, anak dari Raja Miao Zhuang 妙莊/Biao Cong/Biao Cuang Penguasa Negeri Xing Lin (Hin Lim), kira-kira pada akhir Dinasti Zhou pada abad III SM.

Disebutkan bahwa Raja Miao Zhuang sangat mendambakan seorang anak lelaki, tetapi yang dimilikinya hanyalah tiga orang puteri. Puteri tertua bernama Miao Shu (Biao Yuan), yang kedua bernama Miao Yin (Biao In) dan yang bungsu bernama Miao Shan (Biao Shan).

Setelah ketiga puteri tersebut menginjak dewasa, Raja mencarikan jodoh bagi mereka. Puteri pertama memilih jodoh seorang pejabat sipil, yang kedua memilih seorang jendral perang sedangkan Puteri Miao Shan tidak berniat untuk menikah. Ia malah meninggalkan istana dan memilih menjadi Biksuni di Klenteng Bai Que Si (Tay Hiang Shan).

Kematian dan di alam baka

Berbagai cara diusahakan oleh Raja Miao Zhuang agar putrinya mau kembali dan menikah. Namun, Putri Miao Shan tetap bersiteguh dalam pendiriannya. Pada suatu ketika, Raja Miao Zhuang habis kesabarannya dan memerintahkan para prajurit untuk menangkap dan menghukum mati sang putri.

Setelah kematianNya, arwah Putri Miao Shan mengelilingi neraka. Melihat penderitaan makhluk-makhluk yang ada di neraka, Putri Miao Shan berdoa dengan tulus agar mereka berbahagia. Secara ajaib, doa yang diucapkan dengan penuh welas asih, tulus dan suci mengubah suasana neraka menjadi seperti surga.

Penguasa akhirat, Yanluo Wang, menjadi bingung sekali. Akhirnya arwah Putri Miao Shan diperintahkan untuk kembali ke badan kasarNya. Begitu bangkit dari kematianNya, Buddha Amitabha muncul di hadapan Putri Miao Shan dan memberikan Buah Persik Dewa. Akibat makan buah tersebut, sang putri tidak lagi mengalami rasa lapar, masa tua dan kematian. Buddha Amitabha lalu menganjurkan Puteri Miao Shan agar berlatih kesempurnaan di Gunung Pu Tuo, dan Putri Miao Shan-pun pergi ke gunung Pu Tuo dengan diantar seekor harimau jelmaan dari Dewa Bumi.

Menyelamatkan raja

Sembilan tahun berlalu, suatu ketika Raja Miao Zhuang menderita sakit parah. Berbagai tabib termasyur dan obat telah dicoba, tapi semuanya gagal. Putri Miao Shan yang mendengar kabar tersebut, lalu menyamar menjadi seorang pendeta tua dan datang menjenguk. Namun terlambat, sang Raja telah wafat.

Dengan kesaktianNya, Puteri Miao Shan melihat bahwa arwah ayahNya dibawa ke neraka, dan mengalami siksaan yang hebat. Karena rasa bhaktiNya yang tinggi, Puteri Miao Shan pergi ke neraka untuk menolong. Pada saat akan menolong ayahNya untuk melewati gerbang dunia akherat, Puteri Miao Shan dan ayahNya diserbu setan-setan kelaparan. Agar mereka dapat melewati setan-setan kelaparan itu, Puteri Miao Shan memotong tangan untuk dijadikan santapan setan-setan kelaparan.

Setelah hidup kembali, Raja Miao Zhuang menyadari bahwa bhakti ketiga putrinya sangat luar biasa. Akhirnya sang Raja menjadi sadar dan mengundurkan diri dari pemerintahan serta bersama-sama dengan keluarganya pergi ke gunung Xiang Shan untuk bertobat dan mengikuti jalan Buddha. Rakyat yang mendengar bhakti Puteri Miao Shan hingga rela mengorbankan tanganNya menjadi sangat terharu. Berbondong-bondong mereka membuat tangan palsu untuk Puteri Miao Shan.

Buddha Amitabha yang melihat ketulusan rakyat, merangkum semua tangan palsu tersebut dan mengubahnya menjadi suatu bentuk kesaktian serta memberikannya kepada Puteri Miao Shan. Lalu Ji Lay Hud memberiNya gelar Qian Shou Qian Yan Jiu Ku Jiu Nan Wu Shang Shi Guan Shi Yin Phu Sa, yang artinya Bodhisatva Kwan Im Penolong Kesukaran Yang Bertangan Dan Bermata Seribu Yang Tiada Bandingnya.

Tangan seribu

Dalam kisah lain disebutkan bahwa pada saat Kwan Im Phu Sa diganggu oleh ribuan setan, iblis dan siluman, Kwan Im menggunakan kesaktianNya untuk melawan mereka. Ia berubah wujud menjadi Kwan Im Bertangan dan Bermata Seribu, dimana masing-masing tangan memegang senjata Dewa yang berbeda jenis.

Kisah Kwan Im Lengan Seribu ini juga memiliki versi yang berbeda, di antaranya adalah pada saat Puteri Miao Shan sedang bermeditasi dan merenungkan penderitaan umat manusia, tiba-tiba kepalanya pecah berkeping-keping. Buddha O Mi To Hud (Amitabha) yang mengetahui hal itu segera menolong dan memberikan "Seribu Tangan dan Seribu Mata", sehingga Kwan Im dapat mengawasi dan memberikan pertolongan lebih banyak kepada manusia.

Dalam legenda Puteri Miao Shan, disebutkan bahwa kakak-kakak Miao Shan bertobat dan mencapai kesempurnaan, lalu mereka diangkat sebagai Pho Sat oleh Giok Hong Siang Te. Puteri Miao Shu diangkat sebagai Bun Cu Pho Sat (Wen Shu Phu Sa) dan Puteri Miao Yin sebagai Po Hian Pho Sat (Pu Xian Phu Sa).

Pelantikan

 
Patung Guan Yin di Klenteng Sanggar Agung, Surabaya.

Disebutkan juga bahwa pada saat pelantikan Puteri Miao Shan menjadi Pho Sat, Puteri Miao Shan diberi 2 (dua) orang pembantu, yakni Long Ni dan Shan Cai. Konon, Long Ni diberi gelar Giok Li (Yu Ni) atau "Gadis Kumala" dan Shan Cai bergelar Kim Tong (Jin Tong) atau "Jejaka Emas" mulanya, Long Ni adalah cucu dari Raja Naga (Liong Ong), yang diberi tugas untuk menyerahkan mutiara ajaib kepada Kwan Im, sebagai rasa terima kasih dari Liong Ong karena telah menolong puterinya. Namun ternyata Long Ni justru ingin menjadi murid Kwan Im dan mengabdi kepadaNya.

Khusus untuk Shan Cai ada 2 (dua) versi legenda. Versi pertama berdasarkan legenda Puteri Miao Shan yang menceritakan bahwa Shan Cai adalah pemuda yatim piatu yang ingin belajar ajaran Buddha. Ia ditemukan oleh To Te Kong dan diserahkan kepada Kwan Im untuk dididik. Versi lain dalam cerita Se Yu Ki (Xi You Ji) menyebutkan bahwa Shan Cai adalah putera siluman kerbau Gu Mo Ong (Niu Mo Wang) dengan Lo Sat Li (Luo Sa Ni). Nama asliNya adalah Ang Hay Jie (Hong Hai Erl) atau si Anak Merah. Karena kenakalan dan kesaktian Ang Hay Jie, Sang Kera Sakti Sun Go Kong / Sun Wu Kong meminta bantuan kepada Kwan Im Pho Sat untuk mengatasiNya.

Akhirnya Ang Hay Jie berhasil ditaklukkan oleh Kwan Im Pho sat dan diangkat menjadi muridNya dengan panggilan Shan Cai. Dalam hal ini, banyak orang yang salah mengerti dan menganggap bahwa salah 1 (satu) pengawal Kwan Im Po Sat adalah Lie Lo Cia (Li Ne Zha), yang penampilanNya memang mirip dengan Ang Hay Jie. Secara khusus terdapat perbedaan di antara keduaNya, Lie Lo Cia menggunakan senjata roda api di kakiNya, sedangkan Ang Hay Jie menggunakan semburan api dari mulutnya. Lie Lo Cia adalah anak dari Lie King dan Ang Hay Jie adalah anak dari Gu Mo Ong.

Perwujudan Kwan Im

Dalam sejumlah kitab Budhisme Tiongkok klasik, disebutkan ada 33 (tiga puluh tiga) rupa perwujudan Kwan Im Pho Sat, antara lain:

  1. Kwan Im Berdiri Menyeberangi Samudera;
  2. Kwan Im Menyebrangi Samudera sambil Berdiri di atas Naga;
  3. Kwan Im Duduk Bersila Bertangan Seribu;
  4. Kwan Im Berbaju dan Berjubah Putih Bersih sambil Berdiri;
  5. Kwan Im Berdiri Membawa Anak;
  6. Kwan Im Berdiri di atas Batu Karang/Gelombang Samudera;
  7. Kwan Im Duduk Bersila Membawa Botol Suci & Dahan Yang Liu;
  8. Kwan Im Duduk Bersila dengan Seekor Burung Kakaktua.

Selain perwujudan Kwan Im yang beraneka bentuk dan posisi, nama atau julukan Kwan Im (Avalokitesvara) juga bermacam-macam, ada Sahasrabhuja Avalokitesvara (Qian Shou Guan Yin), Cundi Avalokitesvara, dan lain-lain. Walaupun memiliki berbagai macam rupa, pada umumnya Kwan Im ditampilkan sebagai sosok seorang wanita cantik yang keibuan, dengan wajah penuh keanggunan .Selain itu, Kwan Im Pho Sat sering juga ditampilkan berdampingan dengan Wen Shu Phu Sa dan Phu Xian Phu Sa, atau ditampilkan bertiga dengan: Mahastamaprapta Bodhisattva (Da Shi Zhi Phu Sa) – Amitabha Buddha – Avalokitesvara (Kwan Yin Phu Sa).

20 Ajaran Welas Asih Bodhisattva Avalokitesvara

  1. Jika orang lain membuatmu susah, anggaplah itu tumpukan rejeki.
  2. Mulai hari ini belajarlah menyenangkan hati orang lain.
  3. Jika kamu merasa pahit dalam hidupmu dengan suatu tujuan, itulah bahagia.
  4. Lari dan berlarilah untuk mengejar hari esok.
  5. Setiap hari kamu sudah harus merasa puas dengan apa yang kamu miliki saat ini.
  6. Setiap kali ada orang memberimu satu kebaikan, kamu harus mengembalikannya sepuluh kali lipat.
  7. Nilailah kebaikan orang lain kepadamu, tetapi hapuskanlah jasa yang pernah kamu berikan pada orang lain.
  8. Dalam keadaan benar kamu difitnah, dipersalahkan dan dihukum, maka kamu akan mendapatkan pahala.
  9. Dalam keadaan salah kamu dipuji dan dibenarkan, itu merupakan hukuman.
  10. Orang yang benar kita bela tetapi yang salah kita beri nasihat.
  11. Jika perbuatan kamu benar, kamu difitnah dan dipersalahkan, tetapi kamu menerimanya, maka akan datang kepadamu rezeki yang berlimpah-ruah.
  12. Jangan selalu melihat/mengecam kesalahan orang lain, tetapi selalu melihat diri sendiri itulah kebenaran.
  13. Orang yang baik diajak bergaul, tetapi yang jahat dikasihani.
  14. Kalau wajahmu senyum hatimu senang, pasti kamu akan aku terima.
  15. Dua orang saling mengakui kesalahan masing-masing, maka dua orang itu akan bersahabat sepanjang masa.
  16. Saling salah menyalahkan, maka akan mengakibatkan putus hubungan.
  17. Kalau kamu rela dan tulus menolong orang yang dalam keadaan susah, maka jangan sampai diketahui bahwa kamu sebagai penolongnya.
  18. Jangan membicarakan sedikitpun kejelekan orang lain dibelakangnya, sebab kamu akan dinilai jelek oleh si pendengar.
  19. Kalau kamu mengetahui seseorang berbuat salah, maka tegurlah langsung dengan kata-kata yang lemah lembut hingga orang itu insaf.
  20. Doamu akan diterima, apabila kamu bisa sabar dan menuruti jalanku.

Nama lain

Kwan Im di Asia Timur, dikenal dengan berbagai nama. Akan tetapi "Kwan Im" atau "Kwan Tse Im" masih merupakan panggilan sederhana yang diberikan untuknya. Berikut adalah beberapa panggilan atau sebutan yang diberikan berdasarkan negara tertentu:

  • Jepang; Kannon (観音), kadang-kadang dilafalkan sebagai (Kan'on). Nama formal yang digunakan adalah (Kanzeon - 観世音 - penulisan yang sama dengan Kwan Tse Im).
  • Korea; Gwan-eum (관음) atau Gwanse-eum (관세음).
  • Thailand; Kuan Eim (กวนอิม) atau Prah Mae Kuan Eim (พระแม่กวนอิม).
  • Vietnam; Quán Âm atau Quán Thế Âm.
  • Hong Kong (dan provinsi Guangdong); Kwun Yum atau Kun Yam / Kun Lam, pelafalan ini berdasarkan bahasa Kanton.

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Kuan-Yin: the Chinese transformation of Avalokiteśvara, ditulis oleh Chun-fang, Yu tahun 1938, Penerbit: Columbia University Press, ISBN 0-231-12028-1
  2. ^ Rujukan kosong (bantuan) 
  3. ^ http://web.budaya-tionghoa.net/index.php/item/13-dewa-dewi-pantheon-tiongkok Diarsipkan 2015-12-22 di Wayback Machine.Rujukan kosong (bantuan) 
  4. ^ Personal Salvation and Filial Piety: Two Precious Scroll Narratives of Guanyin and Her Acolytes by Wilt L. Idema, Hawaii University press.