Pelepasan (Buddhisme)

Revisi sejak 21 Desember 2024 06.59 oleh Faredoka (bicara | kontrib) (Pelepasan dan nafsu indrawi: -spasi berlebih)

Dalam Buddhisme, pelepasan keduniawian (Pali: nekkhamma; Sanskerta: नैष्क्राम्य, naiṣkrāmya), juga dikenal sebagai penolakan keduniawian (bedakan dari dosa), bermakna "meninggalkan keduniawian dan menjalani kehidupan suci" atau "kebebasan dari nafsu keinginan."[1]

Dalam Jalan Mulia Berunsur Delapan, nekkhamma adalah praktik pertama yang dikaitkan dengan "Niat Benar." Dalam daftar sepuluh paramita Theravāda, nekkhamma adalah praktik ketiga dari "kesempurnaan." Pelepasan ini melibatkan ketidakmelekatan/ketidakterikatan.

Theravāda

Pelepasan sebagai niat yang benar

Dalam Tripitaka Pali, dalam sebuah diskursus (sutta) yang berisi penjelasan Sang Buddha tentang hal-hal yang mendahului kencerahan-Nya, Sang Buddha membagi pikiran-pikirannya dalam dua kategori, yaitu pikiran-pikiran yang merusak kebijaksanaan, menyebabkan penderitaan dan menghalangi seseorang dari Nirwana di satu sisi, dan pikiran-pikiran yang mempunyai efek sebaliknya.[2] Dalam kategori pertama, ia memasukkan pikiran-pikiran yang dipenuhi dengan nafsu indrawi, niat jahat, dan hal-hal yang merugikan; dalam kategori kedua, ia memasukkan pikiran-pikiran yang dipenuhi dengan pelepasan keduniawian, tanpa niat jahat dan hal-hal yang tidak merugikan:

"Apa pun yang terus dikejar oleh seorang bhikkhu dengan pemikiran dan pertimbangannya, itu menjadi kecenderungan kesadarannya. Jika seorang bhikkhu terus mengejar pikiran yang dipenuhi dengan pelepasan keduniawian, meninggalkan pikiran yang dipenuhi dengan sensualitas, pikirannya dibengkokkan oleh pikiran yang dipenuhi dengan pelepasan keduniawian itu. Jika seorang bhikkhu terus mengejar pikiran yang dipenuhi dengan tanpa niat buruk, meninggalkan pikiran yang dipenuhi dengan niat buruk, pikirannya dibengkokkan oleh pikiran yang dipenuhi dengan tanpa niat buruk itu. Jika seorang bhikkhu terus mengejar pikiran yang dipenuhi dengan tidak membahayakan, meninggalkan pikiran yang dipenuhi dengan hal yang merugikan, pikirannya dibengkokkan oleh pikiran yang dipenuhi dengan hal yang tidak membahayakan itu."[3]

Ketiga jenis isi pikiran terakhir ini—pelepasan keduniawian, tanpa niat jahat, dan tidak menyakiti—mencakup definisi trio tradisional dari gagasan Jalan Mulia Berunsur Delapan tentang "Niat Benar" (Pali: sammā-saṅkappa).[4] Untuk masing-masing jenis isi pikiran sebelumnya—nafsu, niat buruk, dan hal yang merugikan—Sang Buddha menyatakan:

“Setiap kali pikiran yang dipenuhi dengan nafsu indrawi [atau niat buruk atau hal yang merugikan] muncul, Aku langsung meninggalkannya, menghancurkannya, menghilangkannya, dan menghapusnya dari keberadaan.”[5]

Pelepasan dan nafsu indrawi

Di bagian lain dari Tripitaka Pali,[6] Sang Buddha secara lebih rinci membandingkan pengejaran pikiran mengenai nafsu indrawi (kāma) dan pikiran mengenai pelepasan keduniawian (nekkhamma):[7]

"Ada kasus ketika pikiran seorang bhikkhu, ketika memperhatikan kenikmatan indra, tidak melonjak karena kenikmatan indra, tidak tumbuh percaya diri, teguh, atau terbebas dalam kenikmatan indra. Namun, ketika memperhatikan pelepasan keduniawian, pikirannya melonjak karena pelepasan keduniawian, tumbuh percaya diri, teguh, & terbebas dalam pelepasan keduniawian. Ketika pikirannya telah benar-benar pergi, telah berkembang dengan benar, telah bangkit dengan benar di atas, memperoleh pembebasan, dan menjadi terpisah dari kenikmatan indrawi, maka apa pun gejolak, siksaan, & demam yang muncul dalam ketergantungan pada sensualitas, ia terbebas darinya. Ia tidak mengalami perasaan itu. Ini dijelaskan sebagai pelarian dari kenikmatan indrawi."[8]

Pelepasan keduniawian sebagai praktik Bodhisatwa

Seperti yang ditunjukkan di atas, dalam diskursus Pali, Sang Buddha mengidentifikasi pelepasan keduniawian sebagai bagian dari jalan-Nya menuju Kecerahan. Dalam kitab Buddhavaṁsa, Jātaka, dan kitab-kitab komentar, pelepasan keduniawian dijelaskan sebagai praktik ketiga dari sepuluh "paramita" (pāramī).[9]

Manfaat pelepasan keduniawian

"Merenungkan dukkha inheren dalam nafsu-keinginan adalah salah satu cara untuk mengarahkan batin kepada pelepasan keduniawian. Cara lainnya adalah merenungkan secara langsung manfaat yang mengalir dari pelepasan keduniawian. Beralih dari nafsu-keinginan ke pelepasan keduniawian bukanlah, seperti yang mungkin dibayangkan, beralih dari kebahagiaan ke kesedihan, [bukan juga] dari kelimpahan ke kemelaratan. Melainkan beralih dari kesenangan yang kasar dan menjerat ke kebahagiaan dan kedamaian yang agung, dari kondisi perbudakan ke kondisi penguasaan diri. Nafsu-keinginan pada akhirnya melahirkan rasa takut dan kesedihan, tetapi pelepasan keduniawian memberikan keberanian dan kegembiraan. Ia mendorong pencapaian ketiga tahap dari tiga pelatihan: ia memurnikan perilaku, membantu konsentrasi, dan memelihara benih kebijaksanaan. Seluruh rangkaian praktik dari awal hingga akhir sebenarnya dapat dilihat sebagai proses pelepasan keduniawian yang terus berkembang yang berpuncak pada Nirwana sebagai tahap akhir dari pelepasan, 'pelepasan semua fondasi keberadaan' (sabb'upādhipaṭinissagga)."[10]

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Rhys Davids & Stede (1921-25), hlm. 377, entri untuk "Nekkhamma". Diarsipkan 2012-07-07 di Archive.is (diakses 2008-04-12). Rhys Davids & Stede berspekulasi bahwa istilah Sanskerta yang dikaitkan dengan nekkhamma adalah:
    • naikramya — "ketidakaktifan (inactivity), pemantangan/penahanan (abstinence), atau pengecualian dari tindakan dan konsekuensinya (exemption from acts and their consequences)" (Monier Williams, 1964, hlm. 570, entry for "Naish")
    • naikāmya — "penanganan nafsu-keinginan (suppression of desire), kontemplasi/perenungan yang mendalam (profound contemplation)" (ibid.).
  2. ^ Dvedhavitakka Sutta (MN 19) (Thanissaro, 1997).
  3. ^ Thanissaro (1997). Mereka yang akrab dengan kitab Dhammapada akan mengenali bahwa paragraf ini memiliki kemiripan dengan paragraf pembuka dari teks tersebut.
  4. ^ Thanissaro (1996).
  5. ^ Thanissaro (1997).
  6. ^ Misalnya saja, di Nissaraniya Sutta (AN 5.200) (Thanissaro, 2000).
  7. ^ Rhys Davids & Stede (1921-25), hlm. 377, entri untuk "Nekkhamma" (diakses 2 Juli 2007). Diarsipkan 7 Juli 2012 di Archive.is, menyarankan bahwa hubungan antara nafsu dan penolakan digarisbawahi oleh permainan kata dengan bunyi yang mirip (antara kāma dan nekkhamma) dalam Tripitaka Pali.
  8. ^ Thanissaro (2000).
  9. ^ Kitab Buddhavaṁsa, bab 2. Untuk informasi daring mengenai Buddhavaṁsa dan lainnya, lihat Bodhi (2005). Dalam contoh lain dalam kepustakaan Pali, Rhys Davids & Stede (1921-25), hlm. 454, entri untuk "Pāramī". Diarsipkan 2012-06-29 di Archive.is (diakses 2 Juli 2007). Menyitasi kitab Jātaka i.73 dan Dhammapada-aṭṭhakathā i.84. Bodhi (2005) juga mengutip dari Cariyāpiṭaka-aṭṭhakathā karya Ācariya Dhammapāla dan kitab subkomentar (ṭīkā) untuk Brahmajāla Sutta.
  10. ^ Bodhi (1999), bab. 3.

Daftar pustaka

Pranala luar