Gut (굿) adalah ritual upacara yang dilakukan oleh seorang mudang (dukun) untuk memohon berkat dan kesejahteraan manusia kepada dewa dalam Shamanisme Korea, kepercayaan asli masyarakat Korea.[1][2][3][4][5] Pada saat ini, gut dilaksanakan baik sebagai ritual dan pertunjukkan kesenian yang memadukan permainan musik, menyanyi dan menari.[1] Pada masa lalu, gut diselenggarakan sebagai upacara bersifat nasional untuk memohon keberkatan bagi bangsa dan negara, kemudian bentuk-bentuknya berkembang di masyarakat.[1] Setiap gut yang diselenggarakan berbeda-beda menurut wilayah serta karakter dan kemampuan mudang.[1]

Persiapan ritual gut.

Sejarah

Berbagai catatan sejarah menuliskan bahwa orang Korea telah melaksanakan gut semenjak zaman kuno.[6] Catatan Cina kuno dari Dinasti Tang menuliskan masyarakat Silla dan Baekje melakukan ritual-ritual untuk memuja dewa-dewa gunung.[6] Catatan Sejarah Tiga Kerajaan (Samguk Yusa) menuliskan bahwa Dangun, tokoh yang mendirikan kerajaan pertama bangsa Korea, menjelma menjadi dewa gunung saat ia meninggal.[6]

Masyarakat tradisional Korea mengenal banyak dewa dan akan mengadakan berbagai upacara sesuai tingkatan dan kekuatan yang dimiliki dewa-dewa tersebut.[6] Terdapat berbagai macam dewa yang dipuja, antara lain dewa kelahiran, dewa tanah, dewa pelindung, dewa dapur dan sebagainya.[6] Semua dewa ini biasanya disembah secara individu atau secara bersama-sama dalam keluarga, sedangkan upacara penyembahan dewa penjaga desa dan dewa gunung selalu dilakukan oleh satu desa dengan mengadakan ritual besar-besaran.[6]

Ritual gut mengalami pasang surut seiring dengan sejarah Shamanisme di Korea.[7][8] Pada masa Dinasti Joseon (1397-1910), Shamanisme ditekan oleh pemerintah dan dukun menempati status sosial yang paling rendah.[8] Pada masa penjajahan Jepang (1910-1945), praktik gut dilarang.[8] Baru pada tahun 1960-an, saat pemerintah Korea Selatan gencar melestarikan bentuk-bentuk kebudayaan daerah seperti tarian dan musik tradisional sebagai warisan budaya nasional, Shamanisme dan praktik gut mulai kembali berkembang.[8] Sejak saat itu, sebanyak 12 gut yang terdiri dari ritual tarian dan musik telah dijadikan Warisan Budaya Nonbendawi Korea Selatan.[8]

Penelitian pemerintah Korea Selatan pada tahun 1993 menunjukkan bahwa rakyat Korea, umumnya yang tinggal di pedesaan, melaksanakan 500 jenis gut.[6] Sebagian besar gut ini dilakukan untuk memuja dewa pelindung desa, yang di masing-masing wilayah memiliki nama-nama yang berbeda.[6] Jumlah dewa yang disembah berjumlah lebih dari 500 yang terdiri dari 114 dewa gunung (sansin), 109 dewa penjaga desa, 68 dewa pelindung (tangsansin), gabungan 23 dewa gunung dan sungai (sancheonjonsin), 23 dewa nenek moyang, 11 dewa pohon, 11 dewa tanah (tangsantojisin), dan 164 dewa-dewa lainnya.[6]

Prosesi

 
Upacara gut

Terdapat tiga faktor penting dalam prosesi gut, yakni arwah atau dewa yang menjadi objek kepercayaan, para peserta yang memohon, serta mudang sendiri yang menjadi penghubung antara keduanya.[1]

Prosesi gut dimulai dengan ritual memanggil arwah dan memberikan persembahan dan berdoa, proses trans (kerasukan) yang diikuti tarian dan nyanyian.[1] Upacara ini umumnya diselenggarakan secara besar-besaran.[3] Pertama-tama, tuan rumah akan membersihkan rumah, mengundang dan menjamu para tamu.[3] Ia akan menyiapkan makanan dan minuman dan menanyakan keinginan para tamunya.[3] Hubungan persahabatan dijalin saat mereka saling berbagi makanan dan minuman, sama-sama menari dan menyanyi sampai perayaan selesai.[3] Tamu akan diantar pulang setelah acara selesai.[3]

Ritual-ritual gut menunjukkan perilaku orang Korea yang sangat peduli pada sanak saudaranya bahkan yang sudah meninggal.[2] Dengan cara ini mereka bisa merasa bahagia dan melupakan kesedihannya.[2] Selain itu gut menggambarkan pola kepercayaan tradisional orang Korea bahwa dewa dianggap sebagai mahkluk yang absolut dan kematian bukanlah situasi akhir.[2] Bila jiwa orang yang sudah meninggal dianggap sudah pergi ke alam lain dengan cara ini, orang Korea bisa menghadapi hidup dengan tenang.[2]

Komposisi sebuah gut terdiri dari:

  • Bujeong. Ini merupakan adalah ritual pensucian.[3] Pertama-tama area untuk menyelenggarakan ritual dibersihkan lalu arwah-arwah dan dewa mulai dipanggil.[3] Tempat yang disucikan dianggap sakral.[3] Proses pensucian dilakukan dengan menggunakan api dan air.[3] Setelah itu mudang akan menyanyikan muga (lagu dukun) sambil memainkan genderang panjang.[3]
  • Cheongbae adalah melantunkan syair untuk mengundang dewa dan arwah memasuki tempat upacara.[3] Ritual cheongbae bisa dilakukan berbeda-beda.[3] Biasanya ritual ini dilaksanakan setiap awal upacara, namun bisa pula di bagian-bagian lain.[3] Isi syair mudang adalah deskripsi tentang dewa dan legendanya yang diikuti musik dan tarian.[3]
  • Gochuk dan sintak. Pada bagian ini, para tamu diundang untuk menyanyi dan menari serta mengucapkan permintaan.[3] Mudang akan mengalami kerasukan dan berkomunikasi dengan dunia gaib, dimana arwah atau dewa akan berbicara melalui dirinya.[3] Ini dinamakan gongsu junda atau gongsu naerinda.[3]
  • Osin atau menghibur dewa adalah ritual mengundang dewa dan proses berinteraksi dengannya.[3] Pada ritual ini para tamu ikut serta menari dan menyanyi.[3]
  • Songsin. Ritual ini mengantarkan dewa dan para pengikutnya pulang.[3] Ritual ini diakhiri dengan cara yang berbeda-beda di setiap wilayah.[3] Ada yang membakar dekorasi yang menjadi benda simbolis upacara.[3] Pada masyarakat pesisir, hal ini dilakukan dengan melarung bahan makanan ke laut.[3]

Pelaku gut

 
Lukisan Mudang pada zaman Dinasti Joseon.

Pelaku gut adalah dukun yang dapat dikategorikan menjadi dukun wanita (mudang) atau dukun pria (baksu).[8] Namun, pada umumnya mudang lebih banyak ditemui daripada baksu.[7]

Pada saat menghadapi masalah atau kesulitan, msayarakat tradisional Korea umumnya akan mencari pertolongan, dari sumber-sumber nyata dan dari dewa-dewa, bila diperlukan. Petunjuk yang diberikan oleh seorang dukun dianggap sebagai diagnosa dokter dan akan dilakukan penyembuhan untuk mengobati sakit yang diderita.

Mudang mendemonstrasikan gut untuk mendapatkan jawaban yang diinginkan oleh tuan rumah dengan perilaku di luar kesadaran, seperti berjalan di atas parang, membangunkan jiwa orang mati dan menjadi sarana penyampaian pesan kepada orang-orang.[2]

Mudang dapat dikategorikan menjadi 2 jenis.[1][2][9]

  • Gangsin Mudang adalah seseorang yang menjadi mudang melalui pengalaman gaib atau trans.[1][8] Mudang jenis ini berasal dari wilayah Semenanjung Korea bagian utara.[8]
  • Seseup Mudang adalah seseorang yang menjadi mudang karena status turunan keluarga.[1][8] Mudang jenis ini berasal dari Korea bagian selatan.[1][8]

Musik gut

Musik gut menampilkan pertunjukkan yang lebih dominan akan sisi hiburan dibanding ritual. Oleh karena itu, sebuah gut tampak seperti perayaan yang meriah dan ramai.[8] Musik ritual gut dapat dikategorikan menjadi 5 jenis variasi berdasarkan daerah asalnya di Semenanjung Korea, antara lain musik gut barat laut dan tengah dari Korea bagian utara, musik gut daerah timur, barat daya dan Jeju berasal dari Korea bagian selatan.[8]

Mudang menyanyikan lagu dan memainkan alat musik untuk mengiringi jalannya gut.[8] Nyanyian ini dinamakan Muga atau "Nyanyian Dukun".[8] Fungsi dari lagu adalah untuk mengundang, menghibur, memuji dan mengantar pulang dewa-dewa yang disembah.[8]

Setiap musik gut memiliki ciri khas dan keunikan masing-masing, karena setiap mudang memiliki cara-cara yang berbeda dalam menampilkannya.[8] Gangsin mudang yang bukan terlahir dari keluarga dukun, mendapatkan pengalaman pertunjukkan dari usahanya sendiri, sementara Seseup mudang dari Korea bagian selatan mendapatkan pelatihan dari keluarganya dan lebih sering memainkan alat-alat musik sebagai pengiring.[8] Ia pun disebut juga sebagai seorang pemain musik disamping sebagai dukun.[8] Oleh karena itu, gut Korea bagian selatan lebih kaya akan pertunjukkan musik.[8]

Dewa-dewa yang disembah

 
Sansin, dewa gunung.

Terdapat banyak dewa yang disembah pada altar, yang dikategorikan menjadi dua, yakni dewa vegetarian (so) dan karnivora (yuk).[4] Ketiga jenis dewa vegetarian adalah tiga Buddha, chilseong (tujuh bintang biduk), yongwang (raja naga 4 lautan).[4] Jenis dewa yang vegetarian maupun karnivora adalah sanshin (arwah gunung).[4] Jenis dewa karnivora adalah paengma shinjang (jenderal dewa kuda putih), obang shinjang (jenderal dewa 5 penjuru), dan changgun (jenderal).[4]

Dewa vegetarian merupakan mahkluk surgawi (cheonsin) dan jiwa kosmik (chayon) yang sedikit melakukan kontak dengan manusia.[4] Chilseong dianggap sebagai dewa agung, sementara raja naga berhubungan dengan langit, bumi dan manusia.[4] Dewa karnivora diberi sajian minum minuman keras dan berhubungan dekat dengan manusia.[4] Jenderal dewa merupakan mahkluk surgawi namun jenderal berasal dari manusia.[4]

Variasi gut

Gut yang umum dilaksanakan oleh masyarakat Korea antara lain:

  • Maeul-gut adalah upacara gut yang diselenggarakan di suatu komunitas desa pada peristiwa-peristiwa tertentu, misalnya pada saat tahun baru Imlek, datangnya musim tanam dan panen.[1] Maeul-gut dimaksudkan untuk memohon panen yang baik dan mendoakan keselamatan warga desa.[1] Selain itu upacara ini juga menjadi festival desa dan ajang pemersatu desa dimana warga bisa melepas lelah setelah melakukan kegiatan sehari-hari.[1]
  • Mudang-gut adalah upacara gut yang diadakan untuk menghubungkan dunia dewa dan manusia untuk meminta berkat dari dewa kepada manusia yang masih hidup maupun yang sudah meninggal.[1]

Beberapa jenis gut lain yang umum dilakukan antara lain Yongwang-gut, Ogu-gut, dan Ssitgim-gut.[1] Yongwang-gut adalah gut yang dilakukan oleh masyarakat pesisir yang banyak berprofesi sebagai nelayan untuk meminta keselamatan dan hasil tangkapan yang melimpah kepada raja naga yang menguasai lautan.[1] Sedangkan Ogu-gut dan Ssitgimgut adalah gut yang mendoakan arwah orang yang sudah meninggal agar hidup abadi di surga dan membersihkan segala sakit hati dan kesedihan yang dialami semasa hidup.[1] Ssitgimgut merupakan gut yang biasa dijumpai di Semenanjung Korea bagian selatan.[1]

Ritual-ritual gut daerah

 
Sebuah diorama di Museum Rakyat dan Alam Jeju yang menampilkan seorang dukun yang mengadakan upacara Jejudo yeongdeung-gut atau Jeju chilmeoridang-gut.

Ritual tradisional tidak tergantung pada kalender Masehi, namun diadakan berdasarkan peristiwa-peristiwa tertentu dalam kalender lunar.[6]

Nama Tujuan Daerah
Hamgyeong-do Manmukgut Diadakan 3 hari setelah kematian untuk membuka jalan ke alam baka. Hamgyeong-do
Pyeongan-do Darigut Diadakan untuk mempermudah arwah orang yang sudah meninggal pergi ke alam baka. Prosedurnya menyerupai prosedur agama Buddha. Pyeongan-do
Hwanghae-do Naerimgut Upacara inisiasi untuk menjadi mudang. Hwanghae-do
Hwanghae-do Jinogwigut Gut ini bertujuan untuk membukakan jalan ke surga bagi orang yang sudah meninggal dan melindunginya dari gangguan arwah-arwah jahat. Hwanghae-do
Ongjin Baeyeonsingut Upacara persembahan para nelayan kepada raja naga laut agar diberi tangkapan ikan melimpah dan kedamaian sepanjang tahun. Hwanghae-do
Yangju Sonorigut Ini adalah ritual pemujaan hewan ternak yang diadakan untuk meminta kelimpahan panen, keberhasilan dan kemakmuran masyarakat desa. Ini adalah salah satu gut yang paling unik dan menarik di Korea. Yangju, Gyeonggi
Seoul Danggut Ritual ini diadakan untuk meminta kedamaian dan kelimpahan panen. Gunung Jeongbal, Dapsimni-dong, Sinnae-dong, Gunung Bonghwa, Seoul
Seoul Jinogwigut Ritual ini diadakan untuk membukakan jalan ke surga untuk orang yang sudah meninggal setelah 49 hari kematiannya. Ini didasarkan pada kepercayaan Taoisme, yaitu setiap orang punya 7 buah jiwa, dimana setiap jiwa tersebut akan naik ke surga tiap 7 hari. Seoul
Gyeonggi-do Dodanggut Ritual ini dilakukan untuk mengusir setan dan arwah jahat dari desa. Juga memohon kemakmuran dan mengadakan sembahyang di kuil-kuil. Daerah Dongmak, Jangmal di Bucheon, Gyeonggi
Gangneung Danogut Upacara gut berskala besar yang mengikutsertakan puluhan mudang. Mereka berdoa kepada dewa gunung meminta perlindungan desa daripada hewan buas, juga kelimpahan panen dan tangkapan ikan. Upacara ini dimeriahkan dengan drama tari topeng dan permainan tradisional. Gangneung, Gangwon-do
Eunsan Byeolsingut Ritual penghormatan bagi arwah nenek moyang di kuil-kuil. Selain itu juga untuk memberi penghormatan kepada jasa Jendral Boksin dan Biksu Dochim dalam meindungi kedaulatan kerajaan Baekje. Salah satu bagian upacara dilakukan di depan tiang-tiang totem (jangseung) keramat. Eunsan- i, Buyeo-gun, Chungcheong Selatan
Suyongpo Sumanggut Gut ini diadakan untuk orang yang tenggelam di laut dan mengantarkan mereka ke alam baka. Yeongil- gun, Gyeongsang
Gangsa-ri Beomgut Gut ini diadakan di desa nelayan untuk meminta kedamaian dan tangkapan hasil laut yang melimpah. Gangsa-ri, Yeongil-gun, Gyeongsang Utara
Geojedo Byeolsingut Gut yang diadakan di desa-desa nelayan untuk meminta hasil tangkapan berlimpah dan kedamaian dalam masyarakat. Geoje, Gyeongsang Selatan
Tongyeong Ogwisaenamgut Gut untuk menolong jiwa orang yang tenggelam di laut dan mengantarkan mereka ke alam baka. Tongyeong, Gyeongsang Selatan
Wido Ttibaegut Gut untuk memohon keberuntungan dan kemakmuran bagi para nelayan. Pulau Wido, Buan-gun, Jeolla Utara
Jindo Ssitgimgut Gut untuk membersihkan jiwa orang yang meninggal, diadakan di hari peringatan kematian. Pulau Jindo, Pulau Jangsando, Jeolla Selatan
Jejudo Singut Gut untuk membantu mudang agar naik ke posisi keshamanan yang lebih tinggi. Ini juga termasuk ritual inisiasi dan mudang mengadakannya sebanyak 3 kali dalam hidupnya. Jeju
Jejudo Yeongdeunggut Gut ini diadakan untuk di bulan ke-2 kalender lunar untuk memohon kepada Yeongdeungsin (dewi laut) agar diberkati keselamatan dan kelimpahan tangkapan hasil laut. Wilayah pesisir, juga di Jeju
Jejudo Muhongut Gut untuk membersihkan jiwa seseorang yang tenggelam di laut dan mengantarkannya ke alam baka. Jeju

Pranala luar

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r Korean Cultural Insights. Junggu, Seoul: Korea Tourism Organization. 2009. hlm. 130–131. 
  2. ^ a b c d e f g An Illustrated Guide to Korean Culture - 233 traditional key words. Seoul: Hakgojae Publishing Co. 2002. hlm. 316–318. ISBN 89-8546-98-1 Periksa nilai: length |isbn= (bantuan). 
  3. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x Kim, Soo-nam (2005). Gut, Korean Shamanic Ritual, Songs Calling Spirits. Paju-si, Gyeonggi: Youlhwadang. hlm. 15–17. ISBN 89-301-0178-x Periksa nilai: invalid character |isbn= (bantuan). 
  4. ^ a b c d e f g h i Howard, Keith (1998). Korean Shamanism, Revivals, Survivals, and Change. Seoul: Seoul Press. hlm. 21–78. ISBN 89-7225-094-5. 
  5. ^ (Inggris)Music of Shamans to Be Featured, koreatimes. Diakses pada 14 Mei 2010.
  6. ^ a b c d e f g h i j (Inggris)Im Dong-kwon (1994). "Vilage Rites: A Rich Communal Heritage" (PDF). Koreana. 8: 7–11. Diakses tanggal 15 Juni 2010. 
  7. ^ a b (Inggris)In the age of the Internet, Korean shamans regain popularity, New York Times. Diakses pada 16 Juni 2010.
  8. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s Religious Music : Shamanism (PDF). hlm. 159–170. Diakses tanggal 2010-06-16. 
  9. ^ Kim, Tae-kon (1998). Korean Shamanism—Muism. Jimoondang Publishing Company. hlm. 32–33. ISBN 89-88095-09-X.