Kediktatoran proletariat
Artikel ini merupakan bagian dari seri mengenai: |
Komunisme |
---|
Dalam pemikiran sosio-politik Marxis, kediktatoran proletariat merujuk pada negara sosialis di mana kaum proletar (kelas buruh) memegang kekuasaan politik. Istilah yang dicetuskan oleh Joseph Weydemeyer ini diadopsi oleh penggagas Marxisme, Karl Marx dan Friedrich Engels, pada abad ke-19. Penggunaan kata "diktator" menimbulkan kontroversi dan sebenarnya tidak memiliki kaitan apa pun dengan konsep Romawi Kuno, dictatura, yaitu negara yang dipimpin oleh kelompok kecil tanpa melibatkan proses demokrasi. Konsep kediktatoran dalam Marxisme adalah semua kelas sosial memegang kendali ekonomi dan politik di dalam sebuah sistem yang demokratis.
Mengikuti teori-teori yang dikemukakan oleh Marx dan Engels, kaum Marxis percaya bahwa negara sosialis seperti itu merupakan suatu langkah yang pasti terjadi dalam evolusi masyarakat. Mereka berpendapat bahwa keadaan tersebut merupakan fase transisi yang muncul dari "kediktatoran borjuis" (masyarakat kapitalis) di mana kelas orang-orang kaya memiliki alat-alat produksi dan memanfaatkan kelas buruh untuk memperoleh keuntungan pribadi. Dengan sendirinya, keadaan itu akan digantikan dengan sebentuk masyarakat yang seluruhnya tanpa kelas dan tanpa negara yang disebut komunisme murni.
Baik Marx maupun Engels berpendapat bahwa Komune Paris yang hanya bertahan selama tiga bulan merupakan contoh kediktatoran proletariat. Pada abad ke-20, pemerintahan bercirikan sosialisme revolusioner berkuasa di beberapa negara, seperti Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina, yang mengklaim telah berhasil mendirikan negara sosialis dengan kediktatoran proletariat.