Hak properti wanita
Hak properti wanita adalah hak hukum bagi wanita untuk mendapatkan, memiliki, menjual, dan mentransfer properti, mengumpulkan dan menyimpan sewa, memiliki pendapatan, membuat kontrak, serta membawa perangkat hukum,[1] yang berdasarkan hukum umum Inggris (English common law) selama periode moderen awal, hak properti bagi wanita tersebut tidak diberikan.[2]
Pada Victorian Era (masa pemerintahan Ratu Victoria) terdapat banyak kekurangan dalam pelaksanaan hak-hak bagi kaum wanita. Wanita dilihat (oleh pria) sebagai makhluk yang emosional dan tidak stabil karena sistem reproduksi mereka, sehingga tidak mampu membuat keputusan yang rasional. Apabila wanita menikah, beberapa di antara mereka diperlakukan sedikit lebih baik daripada budak.[3] Filsuf John Stuart Mill mendeskripsikan posisi hukum wanita menikah pada abad ke-19 sedikit lebih baik dibandingkan dengan budak dalam bukunya yang berjudul The Subjection of Women (penindasan terhadap wanita), terbit pada tahun 1869. Pengaruh hukum dan praktik yang berhubungan dengan pemilikan dan persebaran properti oleh dan untuk wanita di Kepulauan Britania juga sangat memihak pada kepentingan pria.[1] Hukum yang ada dibuat berdasarkan gagasan bahwa wanita dapat melakukan pernikahan dan suami mereka yang akan merawat dan bertanggung jawab atas diri mereka. Ketika seorang wanita melakukan pernikahan, kekayaan yang mereka miliki sebelum pernikahan akan diserahkan kepada suami mereka. Jika seorang wanita bekerja setelah ia menikah, maka pendapatan mereka juga akan menjadi milik suami mereka. Gagasan yang diterima dan dijalankan pada masa itu ialah bahwa wanita kelas atas dan menengah harus tetap bergantung pada pria: yang pertama sebagai anak dan kemudian sebagai istri. Dan setelah seorang wanita menikah akan sangat sulit bagi mereka untuk melakukan perceraian. Matrimonial Causes Act of 1857 (Undang-Undang Penyebab Pernikahan 1857) memberikan kepada pria, hak untuk menceraikan istri atas dasar perzinahan. Namun demikian, di lain pihak, wanita menikah tidak bisa mendapatkan perceraian/menceraikan suami mereka apabila suami mereka yang diketahui tidak setia/melakukan perselingkuhan. Selain itu, apabila sebuah perceraian terjadi maka anak-anak akan berada di bawah pengasuhan ayah mereka, dan ibu mereka dapat dihalangi untuk bertemu dengan mereka.[4] Hukum umum Inggris mengecualikan wanita dari kepemilikan properti atau memiliki identitas hukum pribadi yang terpisah dari suami atau ayah mereka. Berdasarkan hukum umum tersebut, pria dapat menyimpan, membeli, menjual, dan melakukan pertukaran atas properti mereka. Namun di lain pihak, wanita memilki keterbatasan tidak hanya dalam jenis properti yang dapat mereka miliki, tetapi juga waktu dimana mereka diizinkan untuk memiliki properti pribadi, serta cara mereka mengatur properti tersebut. Di luar aturan hukum yang ketat itu, meski demikian, wanita Inggris menemukan cara untuk mendapatkan hak properti.[2] Undang-undang properti wanita menikah 1870, 1882, dan 1893 merupakan perjalanan panjang menuju persamaan wanita di Inggris.[5]
Keberadaan hukum wanita
Di abad ke-19, para wanita Inggris diharapkan menikah dan memiliki anak. Namun terdapat fakta bahwa pada saat itu terdapat kekurangan dalam jumlah pria. Sensus yang dilakukan pada masa tersebut menunjukkan bahwa jumlah wanita jauh lebih banyak daripada jumlah pria. Ada tiga alasan utama yang dapat menjelaskan mengapa jumlah wanita melampaui jumlah pria, yakni: 1) tingkat kematian anak laki-laki yang jauh lebih tinggi daripada tingkat kematian anak perempuan, 2) sejumlah besar laki-laki bekerja di angkatan bersenjata/militer, dan 3) laki-laki lebih mungkin melakukan emigrasi dibandingkan dengan perempuan.[4] Di mata hukum sebelum tahun 1882, apabila seorang wanita menikah, pada dasarnya keberadaan mereka telah berakhir secara hukum. Di hari pernikahan mereka, mereka telah menjadi satu dengan suami mereka, dan setelah pernikahan tersebut, apapun yang mereka lakukan berada dalam kendali/arahan suami mereka, atau dengan kata lain, setelah pernikahan, wanita berada dalam pengawasan penuh suami mereka. Tidak hanya mempunyai kontrol atas barang-barang milik mereka, tetapi juga atas jasmani mereka. Penolakan istri dalam melakukan hubungan suami istri dapat dianggap sebagai pemberontakan terhadap pernikahan. Seorang suami diperkenankan memukul istri mereka, bahkan memaksa berhubungan intim tanpa sekeinginan istri mereka, tanpa takut mendapatkan tuntutan. Namun hal-hal tersebut tidak terus berlanjut hingga tahun 1891, ketika pengadilan tinggi yang memerintah, mengeluarkan larangan terhadap suami melakukan pemaksaan terhadap istri mereka untuk memenuhi salah satu hak dalam hukum pernikahan tersebut.[3] Hukum yang berlaku itu mendapat dukungan dari fakta bahwa di era tersebut pria dan wanita digolongkan ke dalam peran atau sektor yang berbeda. Sebagaimana pria memiliki kemampuan berargumen dan mengemukakan alasan, melakukan tindakan, agresi, serta mandiri, kaum pria meyakini bahwa diri mereka sepantasnya bekerja di sektor publik. Sedangkan wanita, di lain pihak, dibatasi pada sektor pribadi, dimana kualitas feminin mereka seperti emosi, kepasifan, kepatuhan, kebergantungan, dan ketidakberdayaan, lebih sesuai dengan sektor pribadi tersebut.[3]
Pernikahan mengambil identitas wanita
Wanita yang belum menikah serta janda diperbolehkan memiliki properti atau benda milik mereka sendiri. Namun segera setelah wanita menikah, properti dan uang yang mereka miliki ditransfer kepemilikannya kepada suami mereka. Anak juga termasuk dalam properti yang dimiliki oleh suami ketika perceraian terjadi. Sejak tahun 1839, jika terbukti istri tidak bersalah, ia diperbolehkan memelihara anak mereka yang berusia di bawah tujuh tahun. Pada tahun 1873, batasan usia anak yang dapat di bawah penjagaan ibu mereka kemudian ditingkatkan menjadi 16 tahun, meski demikian ayah tetap merupakan satu-satunya wali yang sah secara hukum.[3] Memiliki keturunan merupakan hal yang diharapkan untuk semua wanita. Meski dalam realitanya pada masa itu pernikahan cenderung merupakan institusi yang bertujuan untuk membatasi peran wanita di dalam masyarakat. Dalam teorinya, pernikahan adalah posisi yang sakral dan terhormat, “pencapaian dalam kehidupan seorang wanita.” Dengan berlangsungnya pernikahan, namun demikian, terdapat persyaratan dan pengharapan yang tidak adil antara suami dan istri.[3] Untuk dapat membesarkan anak-anak sebagaimana mestinya, sosok ibu diharapkan untuk tidak melakukan kesalahan atau perbuatan tercela, baik dalam pikiran maupun perbuatan, namun pengharapan yang sama tidak diterapkan pada sosok ayah.[3]
Tidak memiliki hak pemilikan
Setelah wanita menikah, kendali atas properti apapun yang ia miliki, termasuk penghasilan yang ia dapatkan menjadi milik suami mereka. Meskipun suami tidak dapat menjual properti tetap tanpa sepersetujuan istri, properti pribadi istri seperti uang hasil bekerja atau investasi, dan barang-barang pribadi seperti perhiasan, jatuh secara mutlak kepada pihak suami, dan istri tidak dapat membaginya tanpa seizin suami.[3]
Eksklusivitas pendidikan
Ketika Ratu Victoria naik tahta, pendidikan hanya dapat diakses oleh orang-orang kaya. Sementara anak laki-laki dapat pergi ke sekolah, seorang tenaga pengajar wanita didatangkan ke rumah untuk memberikan pelajaran kepada anak-anak perempuan, namun konten akademik yang diberikan kepada anak-anak perempuan itu sangat rendah. Untuk anak-anak yang berasal dari kalangan keluarga miskin, seringkali bentuk pendidikan resmi yang diperoleh hanya dari sekolah minggu. Sekolah minggu terbuka bagi semua anak, namun pada umumnya lebih sedikit jumlah anak perempuan yang berpendidikan dibandingkan anak laki-laki. Pada tahun 1851, sebagai contoh, tingkat literasi pada perempuan sebesar 55% dan pada laki-laki sebesar 70%.[3] Pada tahun 1870 diberlakukan sebuah hukum yang mewajibkan semua anak dalam rentang usia lima hingga sepuluh tahun untuk bersekolah. Meskipun bagi semua anak diajarkan membaca dan menulis, kurikulum untuk anak perempuan berkembang secara lebih fokus pada pelajaran seperti ilmu domestik, memasak, mencuci, dan menggunakan jarum/menjahit.[3]
Perjuangan wanita untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi dimulai pada abad ke-17. Namun demikian, hanya sejak pertengahan abad ke-19, perkembangan tersebut mulai terlihat membawa hasil. Sejak tahun 1840an, Queen’s College dan Bedford College di universitas London (London University) memberikan pendidikan tinggi bagi wanita. Sejak akhir tahun 1860an dan tahun 1870an, perguruan tinggi untuk wanita didirikan di Oxford (universitas Oxford) dan Cambridge (universitas Cambridge). Namun pada saat itu wanita tidak diizinkan belajar hingga mendapatkan gelar. Barulah pada tahun 1878 universitas London menjadi universitas pertama di Inggris yang memperbolehkan wanita mendapatkan gelar. Universitas Oxford dan Universitas Cambridge tertinggal di belakang Universitas London terkait hal tersebut. Girton adalah Cambridge College yang diperuntukkan bagi wanita pada tahun 1869, yang diikuti dengan Newnham College pada tahun 1872. Namun pada saat itu, Newnham College tidak diakui oleh pihak otoritas universitas. Pada tahun 1882 mahasiswa-mahasiswa wanita diizinkan mengikuti ujian, dan pada tahun 1920 di Oxford dan 1948 di Cambridge untuk pertama kalinya, akses mengikuti ujian untuk mendapatkan gelar didapatkan oleh wanita.[3] Hambatan pendidikan bagi wanita, terutama datang dari profesi kedokteran, sebab berkembang pemikiran bahwa keadaan menstruasi dan kemampuan intelektual pada wanita tidak sesuai dan tidak mencukupi untuk bidang tersebut. Pendidikan bagi wanita dipercayai akan berakibat pada ibu yang memiliki/menghasilkan anak-anak yang lemah dan sering mengalami sakit.[3]
Ketidakadilan dalam perceraian
Sejak tahun 1857, proses perceraian dipermudah dari tahun-tahun sebelumnya. Pria yang memiliki cukup harta dapat menceraikan istri mereka berdasarkan landasan sederhana perzinahan yang dilakukan oleh istri tersebut. Ia juga dapat menuntut klaim kerusakan terhadap pihak ketiga perzinahan. Namun bagi seorang wanita/istri yang ingin menceraikan suaminya harus membawa bukti atas perzinahan yang dilakukan pihak suami tersebut, serta menunjukkan bahwa hal tersebut telah berlangsung selama dua tahun. Cara alternatif yang dapat dilakukan seorang istri ialah dengan jalan membuktikan tindakan keji/kekejaman yang dilakukan oleh suami (sodomi, inses, bigami, pemerkosaan, dll), dan ia tidak diizinkan menuntut klaim kerugian terhadap pihak ketiga. Perlakuan yang tidak adil ini bertahan hingga tahun 1923.[3]
Pekerjaan untuk wanita
Meskipun diterima secara luas bahwa pada abad ke-19 tempat bekerja wanita adalah di rumah, namun pada kenyataannya wanita bekerja dalam rentang pekerjaan yang beragam. Pola dalam bekerja, meski demikian, ditentukan oleh kelas. Wanita kelas atas tidak diharapkan untuk bekerja. Namun demikian, untuk wanita kelas pekerja, bekerja seringkali diperlukan bagi mereka untuk mendapatkan penghasilan dan berkontribusi pada keberjalanan rumah tangga mereka. Tipe pekerjaan yang dapat mereka lakukan juga terbatas, dan mereka umumnya mengambil pekerjaan buruh seperti pelayan rumah tangga, pencuci pakaian, dan pekerja pabrik atau perkebunan. Wanita umumnya diharapkan pula menerima lebih sedikit uang daripada pria untuk pekerjaan yang sama.[3] Wanita pekerja dari kelas menengah tidak disetujui melakukan pekerjaan buruh untuk mendapatkan penghasilan. Mereka membutuhkan keterampilan lebih untuk mendapatkan pekerjaan di luar pekerjaan buruh, yang seringkali berupa pekerjaan pengawasan atau pekerjaan profesional lain, dan mereka mempekerjakan orang lain untuk melakukan tugas manual. Wanita dari kelas menengah juga tidak didorong untuk melakukan pekerjaan rumah, pekerjaan yang umumnya dikerjakan oleh pelayan rumah tangga, seperti memasak dan merapikan rumah. Bahkan wanita kelas menengah bawah, seperti misalnya istri dari guru sekolah dan juru tulis, memiliki pelayan umum (general servant) di rumah mereka, yang diharapkan melakukan pekerjaan seperti membersihkan lantai dan mengupas kentang.[3]
Di luar usaha penghargaan yang terlihat diberikan kepada/ditunjukkan oleh istri dan ibu di Inggris di abad ke-19, pada kenyataannya wanita-wanita itu hidup dalam dunia yang mendiskriminasi mereka. Pria menganggap diri mereka sebagai gender yang dominan karena kekuatan fisik mereka, dan menundukkan wanita selama yang dapat mereka lakukan. Pada akhir abad ke-19 hak-hak wanita mulai menjadi isu sosial.[3]
Landasan pembatasan
Berdasarkan sejarah abad ke-18 Inggris, kepemilikan properti yang menandakan status kaum pilihan/elite merupakan kualitas yang dimiliki oleh pria. Wanita secara signifikan kurang memiliki hak properti dibandingkan pria.[2] Penindasan terhadap hak-hak wanita termaktub dalam berbagai institusi Inggris, antara lain yang mengatur mengenai primogeniture (hak anak sulung), mas kawin/mahar, dan couverture (kedudukan wanita bersuami- doktrin hukum umum dimana keberadaan hukum wanita setelah menikah terletak pada suami mereka, terutama berkaitan dengan kepemilikan properti dan perlindungan, serta keadaan/periode setelah menjadi janda).[2] Meski demikian, wanita dari golongan aristokrat tetap dapat menemukan cara menyiasati pembatasan tersebut dalam bentuk separate estate (pemilikan tanah/properti terpisah) dan jointure (persetujuan harta istri- persetujuan pemilikan tanah/properti yang diberikan kepada istri setelah kematian suami mereka), di antara metode lainnya.[2]
Pembatasan hak properti dilakukan pada wanita berdasarkan landasan filosofi dan pola tradisi masyarakat. Pola tersebut berasal dari berbagai sumber yang terkombinasikan sehingga menghasilkan gagasan bahwa wanita adalah makhluk yang lemah, tidak cakap, dan jahat. Tradisi Judeo-Kristen (Judeo-Christian) memiliki andil dalam pembentukan pola terhadap wanita tersebut. Ajaran gereja merujuk pada Kitab Kejadian (Genesis) memperhitungkan kejatuhan manusia, dengan wanita (Eve) yang bertanggung jawab atas hal tersebut. Mereka melihat Eve sebagai sumber kejahatan, dan diteruskan kepada seluruh wanita yang ada. Cerita dalam Kitab Kristen seperti Delilah, Rebekah, dan istri nabi Lot, lebih lanjut membuktikan bahwa wanita merupakan tipu daya, bersifat tidak patuh, dan berakhlak buruk.[2][6] Sepanjang periode Renaissance dan reformasi, gambaran ideal seorang wanita ialah sosok yang patuh, penghibur anak di waktu sedih atau bosan, dan pelayan suami tanpa banyak bertanya. Revolusi ilmiah yang memperdebatkan mengenai anatomi wanita, berakhir dengan simpulan bahwa wanita lebih rendah kualitas fisiknya dibandingkan pria dalam segala aspek, dan menyetujui bahwa wanita mempunyai ciri tidak rasional, mudah histeris, dan membutuhkan pria untuk menyalurkan keinginan mereka. Berdasarkan gagasan tersebut bahwa wanita secara fisik, spiritual, dan emosional, inferior terhadap pria, hukum umum Inggris mengembangkan sebuah sistem yang bertujuan membatasi peluang wanita merusak masyarakat. Pola tersebut juga berdampak pada identitas wanita yang terdefinisi oleh peran mereka sebagai istri dan ibu, daripada entitas hukum. Berdasarkan peran-peran tersebut, wanita dapat membuktikan karakter dan budi baik mereka di bawah pengawasan pria.[2]
Hak primogenetur
Hukum umum Inggris pertama yang berdampak pada hak properti wanita pada masa moderen awal ialah hak primogenetur (primogeniture) atau hak anak sulung. Hak tersebut berlaku secara efektif terutama selama masa gadis seorang wanita. Hak primogenetur menetapkan bahwa harta peninggalan diberikan sepenuhnya kepada anak laki-laki tertua dalam keluarga, dan seringkali meninggalkan anggota keluarga yang perempuan dengan sedikit atau tidak ada samasekali harta peninggalan. Alasan dibalik peraturan tersebut dapat diterima untuk sebuah negara dengan keterbatasan lahan seperti Inggris, yakni untuk menjaga tanah agar tidak terpecah-pecah menjadi bagian yang lebih kecil akibat pernikahan dan pewarisan berulang-ulang, oleh sebab itu anak laki-laki pertama dalam keluarga yang mewarisinya. Apabila seorang wanita diberikan tanah sebagai mahar atau warisan, maka akibat pernikahan itu, tanah tersebut tidak lagi menjadi tanah keluarga, sehingga dapat menurunkan harga tanah tersebut. Sedangkan apabila anak laki-laki termuda yang mendapatkan tanah melalui warisan, maka tanah tersebut akan menjadi cepat berkurang karena pembagian dengan masing-masing generasi baru. Selain tanah, benda-benda lain diturunkan kepada semua anak, seperti barang yang dapat dipindahkan, misalnya furnitur dan pakaian, atau sejumlah uang: namun tanah, karena merupakan penentu kekayaan dan kekuasaan di Inggris, maka harus dipertahankan dengan segala cara. Hak primogenetur mempertahankan golongan aristokrasi melalui penjagaan terhadap tanah dan juga gelar kebangsawanan, serta menjaga peruntungan keluarga untuk kelangsungan anak cucu dan keturunan selanjutnya.[2]
Meski demikian, dalam realita yang terjadi, wanita dapat pula semakin memiliki pertambahan harta melalui warisan, yang terkadang termasuk di dalamnya berupa tanah. Wanita pada umumnya mendapatkan warisan properti yang dapat dipindahkan sebagaimana yang lebih dapat diterima berdasarkan hukum umum; namun hukum menyediakan kondisi dimana anak perempuan dapat menerima warisan berupa tanah. Apabila ayah wanita tersebut tidak mempunyai anak laki-laki, namun menginginkan agar tanah yang dimilikinya dapat tetap berada dalam kepemilikan keluarga langsungnya (immediate family) daripada diberikan kepada keluarga laki-laki jauh, maka anak perempuannya dapat mewarisi tanah tersebut.[2] Di samping itu, apabila seorang ayah memiliki beberapa anak perempuan dan tidak memiliki anak laki-laki, tanah yang dimilikinya dapat dibagi secara merata di antara anak-anak perempuannya. Diperkirakan sekitar 33% wanita menerima warisan properti tanah di bawah peraturan hukum umum tersebut.[7] Tanah warisan untuk wanita juga bervariasi menurut wilayah. Sebagai contoh, catatan dari Yorkshire mengindikasikan sekitar 26% pria yang memiliki anak laki-laki dan anak perempuan memberikan warisan tanah kepada anak dengan kedua gender tersebut, sementara di Sussex, laju pemberian warisan kepada anak perempuan ialah serendah 5%. Gagasan memberikan tanah kepada wanita dibandingkan kepada keluarga laki-laki benar adanya, bahkan di dalam lingkup keluarga inti. Sebagai contoh, dalam kasus Tuan John Shelton, ia mengatur agar tanah yang dimilikinya dapat diberikan kepada tiga anak perempuannya karena saudara laki-lakinya, satu-satunya laki-laki yang dapat mewarisi tanah tersebut, meninggal sebelum dirinya.[8] Sementara hukum umum idealnya memberikan warisan tanah kepada anak laki-laki tertua, namun pada praktiknya dalam periode moderen awal Inggris memberikan pula kepada wanita warisan berupa tanah, meskipun lebih jarang terjadi.[2]
Mahar
Praktik pembatasan hak properti wanita yang kedua ialah mas kawin atau mahar. Sebagai penukar janji hak istri untuk pengantin wanita, mahar merupakan setengah dari kontrak pernikahan, dan seringkali terdiri dari sejumlah uang yang dibayarkan secara penuh atau dapat pula dibayarkan secara berangsung dari waktu ke waktu. Pihak keluarga akan memberikan mahar sebesar-besarnya semampu yang dapat mereka berikan, sebab pernikahan merupakan jalan utama untuk meningkatkan status sosial dan ekonomi.[9] Mahar dapat bervariasi dari sejumlah kecil hingga sejumlah besar uang, di samping properti lainnya, dan jumlah tersebut dirundingkan oleh keluarga atau wali pengantin pria dan pengantin wanita. Pada beberapa kasus, ibu merupakan perunding utama dalam transaksi tersebut, seperti misalnya dalam kasus Margaret Green pada tahun 1635.[10] Seringkali mahar merupakan bagian warisan keluarga untuk wanita, yang jumlahnya dapat bervariasi di antara anak-anak perempuan apabila ayah mereka memutuskan bahwa seorang anak perempuan tertentu lebih berharga dibanding anak perempuan yang lainnya. Semakin besar mahar, semakin menarik seorang wanita sebagai pasangan pernikahan yang potensial.[11] Meskipun mahar seorang wanita merupakan bagian milik mereka dalam warisan keluarga, beberapa ayah memilih untuk tetap memberi lebih banyak warisan kepada anak perempuannya yang telah menikah. Berdasarkan hukum umum negosiasi mahar, semua properti yang diberikan kepada pengantin wanita akan diberikan segera kepada suami mereka sebagai pembayaran untuk janji harta istri (jointure), yang tidak akan dimiliki oleh wanita/istri tersebut sampai masa jandanya tiba.[2]
Couverture
Hukum umum ketiga yang membatasi hak-hak properti wanita ialah couverture (kedudukan wanita bersuami). Berdasarkan couverture, “dengan pernikahan, suami dan istri merupakan satu orang di dalam hukum: yakni, segala keberadaan hukum seorang wanita ditangguhkan selama pernikahan, atau setidaknya terikut dan terkonsolidasi ke dalam keberadaan hukum suaminya…[12] Di bawah couverture, wanita kehilangan tidak hanya hak mereka terhadap properti mahar mereka, tetapi juga segala bentuk identitas hukum yang mungkin mereka miliki. Berdasarkan hukum couverture ini pula wanita dicegah dari berfungsi secara hukum tanpa seizin suami mereka. Sebagai contoh, wanita tidak dapat menuntut ataupun dituntut sebagai individu. Suami mereka yang dapat menuntut atau dituntut atas nama istri mereka.[13] Sesuai standar hukum umum, seorang wanita tidak hanya kehilangan semua hak atas properti setelah pernikahan, tetapi juga pengaturan yang paling ketat bahwa semua properti mereka akan diproses untuk anak laki-laki pertama mereka, sejalan dengan hukum primogenetur.[14] Wanita kehilangan semua properti bergerak dan properti tetap yang mungkin ia bawa ke dalam kontrak pernikahan, dan kemungkinan properti tersebut dapat kembali atau dapat pula tidak kembali kepada mereka, bergantung kepada suami mereka apakah telah menjualnya atau akan meninggalkannya untuk mereka atas keinginannya. Penyelesaian pernikahan yang ketat ini merupakan satu-satunya tipe kontrak pernikahan yang ada. Namun meski keadaan tersebut merupakan bentuk terbatas dari suatu kontrak pernikahan, wanita menemukan dua cara untuk mengatasinya.[2]
Jointure
Cara yang pertama yakni melalui jointure (harta istri). Apabila kontrak pernikahan tidak dijalankan sepenuhnya, atau apabila sebuah pernikahan gagal memenuhi hukum gereja (ecclesiastical law), harta istri sekurangnya dikembalikan kepada keluarga istri tersebut sebagian. Harta istri (jointure) tidak hanya merupakan pengaman kekayaan bagi keluarga pengantin wanita, tetapi juga dimaksudkan oleh hukum umum untuk melindungi istri dari berakhirnya pernikahan akibat perceraian maupun kematian.[15] Terdapat dua kondisi dimana hukum gereja dapat berlaku, yang pertama ialah keadaan dimana pengantin wanita berusia lebih muda dari 12 tahun dan pengantin pria berusia lebih muda dari 14 tahun, dan diterapkan ketika pasangan tersebut telah cukup dewasa untuk memutuskan bahwa sebenarnya mereka tidak ingin dinikahkan pada saat pernikahan mereka dilangsungkan. Hal ini merupakan landasan yang sah untuk mengakhiri pernikahan yang telah terlanjur dilakukan, dan landasan yang kuat pula untuk mengembalikan mahar kepada pihak wanita. Keadaan yang kedua ialah apabila baik pengantin pria maupun pengantin wanita meninggal sebelum pelaksanaan pernikahan atau sebelum mencapai usia 16 tahun.[16] Harta istri (jointure) diberikan kepada wanita/istri untuk kasus-kasus tersebut, sebagai langkah pengamanan bagi wanita. Hal ini juga menggambarkan dimana hukum umum menjadi tidak berlaku karena harta istri (jointure) sangat bergantung erat pada hukum gereja.[2]
Separate estate
Cara kedua keluar dari pembatasan couverture (kedudukan wanita bersuami) ialah melalui bentuk kontrak pernikahan yang disebut dengan separate estate (lahan terpisah). Kontrak pernikahan ini memungkinkan wanita memiliki sepenuhnya tanah selama masa pernikahan. Hal ini berarti bahwa pengantin wanita menjaga sepenuhnya hak atas pemilikan properti tanah yang dimilikinya selama pernikahan (tanah tidak menjadi milik suami setelah pernikahan). Gagasan ini serupa dengan perjanjian moderen sebelum masa pernikahan (pre-nuptial), diakibatkan karena berakhirnya pernikahan oleh perceraian ataupun kematian, wanita dapat menjaga properti mahar tertentu dan juga harta istri (jointure). Namun demikian, bentuk kontrak pernikahan ini hanya digunakan oleh anggota masyarakat yang paling kaya untuk melindungi kekayaan keluarga, dan lahan terpisah (separate estate ) ini termasuk salah satu di antara hal yang paling sulit untuk mendapat pembelaan secara hukum karena hanya berlaku berdasarkan hukum kewajaran (law of equity).[17]
Equity (hak menurut keadilan) merupakan bentuk hukum yang cenderung berpihak pada hak-hak properti wanita. Pengadilan equity, tidak seperti pengadilan hukum pada umumnya, memandang tidak hanya pada benda-benda seperti akta, naskah resmi, dan berkas-berkas bukti hukum dalam sebuah kasus, tetapi juga mempertimbangkan keadaan dan penyebab yang meliputi serta mendorong seseorang untuk melakukan suatu tindakan. Di bawah equity, seorang wanita dapat menuntut anak laki-laki mereka sendiri, laki-laki lain, bahkan suami mereka.[18] Sebagai contoh, apabila seorang janda hendak menuntut anak laki-lakinya untuk sebagian tanah yang menjadi warisan anak laki-lakinya tersebut, pengadilan hukum umum akan melihat kontrak pernikahan asli janda tersebut untuk memastikan ia memenuhi syarat yang memenuhi bagiannya dalam perjanjian. Pengadilan kemudian akan melihat pula berkas-berkas yang relevan dengan tanah tersebut, misalnya keinginan ayah dari wanita tersebut atau naskah resmi. Berdasarkan perihal dokumen tersebut, pengadilan akan membuat keputusan. Namun disebabkan karena sulitnya bagi wanita untuk membuktikan secara hukum atas tanah melalui keinginan seseorang ataupun melalui berkas resmi, pengadilan hukum umum lebih cenderung berpihak dan mendukung hak properti bagi pria. Pengadilan equity, pada sisi lain, melihat tidak hanya pada ketersediaan dokumen-dokumen, tetapi juga pada penjelasan wanita mengapa ia tidak memiliki berkas resmi atau dokumen lainnya, serta argumen mengapa ia pantas mendapatkan tanah yang bersangkutan. Hukum equity biasanya dipergunakan oleh wanita janda untuk melindungi harta istri (jointure), lahan terpisah (separate estate), atau properti lain yang secara hukum dapat menjadi milik mereka.[19]
Sebuah contoh tepat penggunaan lahan terpisah (separate estate) ialah kasus Margaret, Countess of Bath (istri bangsawan dari Bath). Seorang janda kaya raya yang mensyaratkan suami ketiganya untuk menandatangani kontrak pernikahan yang mengizinkan dirinya mengendalikan secara penuh properti bergerak yang dimilikinya. Kontrak pernikahan tersebut termasuk inventaris properti yang dimilikinya, dan di dalamnya disebutkan pula bahwa ia diizinkan membuang, menambah, atau menjual properti yang ia miliki sejauh ia melihat hal-hal tersebut sesuai untuk dilakukan, di samping memuat sebuah klausa yang menyatakan bahwa suaminya akan menebus/mengganti rugi atas kerusakan atau yang menyebabkan berkurangnya properti yang ia miliki akibat perbuatan suaminya tersebut. Setelah kematian suaminya, semua properti yang semula dimilikinya akan tetap menjadi miliknya, dan apabila ia yang terlebih dahulu mati, ia memiliki kuasa untuk mewariskan properti yang dimilikinya sebagaimana ia kehendaki. Untuk memberi pengaruh hukum di bawah hukum umum, Lady Bath (Nyonya Bath) itu membuat dokumennya ditandatangani oleh kedua menantu laki-lakinya, yang memberikannya kekuatan untuk melakukan penuntutan atas nama dan kepentingannya.[20] Nyonya Bath merupakan contoh cemerlang kemampuan wanita menyiasati hukum umum menggunakan lahan terpisah (separate estate) di bawah hukum kewajaran (equity) untuk melindungi hak propertinya. Kasus Nyonya Bath juga mengilustrasikan bahwa pernikahan tidak sedemikian mengikat/membatasi sebagaimana yang ditetapkan dalam hukum umum. Bentuk paling umum dari kontrak pernikahan cenderung dibuat berdasarkan perlindungan atas hak-hak properti istri, dan menjaga hak-hak istri untuk membuat keputusan mengenai mahar anak perempuan dan yang terkait dengan pernikahan, dimana hal-hal tersebut tidak diizinkan di bawah naungan hukum umum.[2]
Selain kasus Nyonya Bath, terdapat pula beberapa di antara pria dari golongan bangsawan/aristokrat yang mempercayakan kepada istri mereka tanggung jawab tidak hanya mengatur rumah tangga, tetapi juga dalam mengelola properti. Beberapa dari pria-pria tersebut sedemikian mempercayai kemampuan istri mereka dalam mengelola lahan sehingga menjadikan istri mereka sebagai pelaksana utama properti setelah mereka mati.[21] Pria-pria tersebut seringkali membatasi kekuasaan pelaksana pembantu dalam memberikan nasihat finansial kepada para janda mereka. Beberapa contoh mengenai hal ini ditemukan dalam kasus permintaan Tuan Thomas Arundell, Tuan John Danvers, dan Tuan Phillip Champernon. Tuan Arundell memberikan kepada istrinya kuasa untuk menambah dan mengurangi permintaan/keinginan yang dibuat oleh Tuan Arundell, pada setiap saat, sejauh hal tersebut merupakan hal terbaik yang dapat dipikirkan oleh istrinya yang telah menjadi janda itu. Tuan Danver dan Tuan Champernon keduanya memerintahkan kepada pelaksana pembantu agar tidak ikut campur dalam administrasi lahan mereka, kecuali istri mereka mati sebelum permintaan mereka dilaksanakan.[22] Janda-janda yang mendapat kepercayaan penuh dari suami mereka yang telah meninggal, yang oleh hukum umum seharusnya tidak diperkenankan mengatur atau memiliki kendali apapun atas properti suami mereka, tidak hanya menerima harta istri (jointure), tetapi juga memiliki kendali penuh atas lahan. Selain mewarisi kendali atas lahan suami mereka, beberapa di antara janda itu ada pula yang semakin bertambah kaya setelah kematiannya masing-masing suami mereka dan meninggalkan kepada mereka lahan yang luas. Dalam kasus Nyonya Bath, ia menikah tiga kali, dan tiap-tiap kematian suaminya ia menjadi pelaksana penuh properti atas permintaan suami-suaminya tersebut. Dengan demikian, dengan memiliki tiga lahan pemilikan, Nyonya Bath merupakan pasangan pernikahan yang sangat menarik.[23]
Keadaan wanita janda
Setelah kematian suami, seorang wanita menemukan diri mereka berada dalam posisi yang tidak biasa (bagi mereka) di tengah masyarakat. Oleh sebab dalam pandangan masyarakat, wanita janda memiliki pembawaan jahat dan sangat membutuhkan kepemimpinan seorang pria, wanita tersebut memberikan sebuah kasus yang menarik. Terdapat beberapa orang istri yang telah berada di bawah kepemimpinan pria/suami mereka selama durasi couverture (kedudukan wanita bersuami), namun kemudian tidak lagi memiliki seorang pemimpin pria. Apabila wanita janda itu sudah tua, maka ayah wanita janda tersebut kemungkinan besarnya telah meninggal dunia. Hukum umum menyatakan bahwa sekurangnya sepertiga lahan milik suaminya atau harta istri (jointure) miliknya seharusnya menjadi miliknya untuk mencukupi kebutuhannya: di luar itu, wanita janda tidak seharusnya menyimpan properti.[24] Sebuah buku yang membicarakan perihal perlakuan hukum umum terhadap wanita berjudul The Laws Resolutions of Women’s Rights menyatakan bahwa “ketika wanita kehilangan suaminya, maka kepalanya terpotong, bagian intelektual dalam dirinya hilang, bagian dalam jiwanya tersapu pergi…”[25] Di bawah couverture (kedudukan wanita bersuami) hukum umum yang ketat, pola yang tergambarkan dalam buku tersebut memang benar adanya. Apabila suami seorang wanita meninggal, identitas wanita itu pun hilang, dan statusnya turun menjadi status janda yang rendah. Kasus yang dialami seorang janda sedemikian membingungkan dan seringkali merupakan kekacauan hukum, terutama apabila ia kembali menikah.[2]
Pernikahan kembali
Janda yang menikah untuk ke-dua atau ke-tiga kali, pada umumnya bersikap waspada atas couverture (kedudukan wanita menikah) mereka, dan seringkali menjalankan lahan terpisah (separate estate), seperti halnya perjanjian yang dibuat oleh Nyonya Bath sebelum kembali dalam pernikahan. Dengan cara tersebut wanita janda mempertahankan hak mereka atas properti dan lahan yang ditinggalkan untuk mereka oleh mendiang suami mereka. Mereka dapat pergi ke pengadilan untuk mempertahankan properti mereka atau menuntut siapa saja yang berani menyalahi domain material mereka tersebut, termasuk anak laki-laki maupun suami baru mereka.[26] Hal seperti ini seringkali membuat frustasi laki-laki yang menikahi janda seperti itu, yang mengharapkan mendapatkan lahan sebagai imbalan atas persetujuan pernikahan yang dibuatnya. Apabila suatu pernikahan gagal, pihak laki-laki/suami seringkali pergi ke pengadilan, seperti kasus yang dialami oleh William Culliford dan Elizabeth Mitchell. Elizabeth telah menikah sebelumnya dan mewarisi lahan yang sangat indah dari mendiang suami pertamanya. Di pengadilan, William berargumen bahwa Elizabeth telah menjanjikan lahan tersebut pada pernikahan mereka, namun tidak pernah merealisasikan hal tersebut untuknya, dan hal yang berlaku ialah lahan tersebut tetap merupakan milik Elizabeth dengan wewenang keinginan suami terdahulunya, yang telah ia lindungi dalam ketetapan yang dibuatnya. Oleh sebab itu, William tidak mendapat lahan apapun yang dituntutnya.[2]
Anak tiri
Anak tiri juga merupakan hal rumit dalam suatu pernikahan kembali. Janda kaya sering berada dalam posisi untuk menulis keinginannya dan mewariskan lahan sebagaimana yang ia kehendaki. Hal ini sering menyebabkan masalah hukum ketika ahli waris mereka terbagi. Sebagaimana janda tersebut menginginkan agar anak-anak mereka dapat menerima sesuatu, namun mereka juga berkewajiban memberikan sesuatu kepada anak-anak tiri mereka. Kompleksitas keinginan dari beberapa suami yang meninggalkan warisan untuk masing-masing anak kandung mereka seringkali juga ditinggalkan kepada janda tersebut untuk dilaksanakan, sehingga memberikan kepada janda tersebut kendali/tanggung jawab yang besar akibat permintaan/keinginan mendiang suami-suami mereka tersebut.[27] Potensi yang dapat muncul akibat pernikahan kembali, yakni serangkaian anak-anak tiri, kuasa atas lahan yang diberikan kepada wanita janda sepeninggal suami, realitas praktik perwarisan, serta apa yang idealnya ditetapkan dalam hukum umum seringkali bertentangan satu sama lain. Hukum umum memberikan kelonggaran bagi janda untuk memiliki sedikit atas lahan suami mereka, namun totalnya tidak diperbolehkan mendekati jumlah kekayaan yang biasanya janda tersebut warisi/miliki. Selain itu, kuasa atas akumulasi lahan yang janda tersebut gunakan dalam tiap-tiap kontrak pernikahan juga bertentangan dengan hukum umum couverture (kedudukan wanita bersuami) yang ideal. Meski demikian, wanita janda dapat membuat klaim dan memperoleh hak properti jauh lebih banyak daripada yang diizinkan hukum umum atau daripada yang dapat mereka miliki saat mereka gadis atau pada saat pernikahan pertama mereka.[2]
Tantangan gagasan mengenai wanita
Pada masa Elizabeth I memerintah, gagasan mengenai wanita mendapatkan tantangan. Sebelum Elizabeth I memerintah, pria memandang wanita berpembawaan jahat dan makhluk tidak stabil yang tidak dapat mengendalikan keinginan mereka tanpa adanya pria yang mengendalikan mereka. Terbukti oleh kurangnya pengakuan hukum yang diberikan kepada wanita, mereka tidak dapat dipercayakan dengan identitas pribadi, terlebih lagi dengan properti. Dengan kenaikannya Elizabeth I, gagasan mengenai wanita tersebut semakin mengemuka ke hadapan publik. Meskipun parlemen dan penasihat Elizabeth I, yang merupakan pria, berupaya untuk mengendalikan dirinya, Elizabeth senantiasa tampil di luar realitas patriarki. Terlepas dari itu semua, Elizabeth menyandang properti sebagai Ratu Inggris dan memerintah Inggris beserta seluruh populasinya. Elizabeth menampilkan dirinya sebagai pribadi yang bersahaja, menjaga perilaku, stabil, dan meskipun belum menikah pada saat itu, sifat baik maternal yang ditunjukkannya diasosiasikan dengan sikap keibuan.[28] Figur pemegang kekuasaan Inggris tersebut menimbulkan konflik antara maskulinitas dan femininitas yang memicu kontroversi peran wanita di dalam masyarakat. Di luar tantangan mengenai ide tradisional mengenai wanita, sistem patriarki di Inggris masih membatasi dan mencegah wanita memiliki kehidupan yang mandiri. Tantangan ini dalam pandangan potensi wanita pada gilirannya berfungsi sebagai katalis untuk mengubah status wanita.[2]
Undang-undang properti wanita menikah
Undang-undang properti wanita menikah (Married Women’s Property Acts, UK 1870, 1882 and 1893) merupakan hal monumental bagi hak wanita di Inggris,[29] meski keefektifannya tetap berlanjut sebagai sebuah perdebatan, sebab wanita kelas pekerja yang tidak mempunyai properti tetap pribadi, tetap tidak mendapatkan perbaikan, sedangkan wanita yang lebih kaya dapat menghasilkan lebih banyak input dalam alokasi aset rumah tangga beserta kendali atas properti pribadi.[30]
Undang-undang 1870
Beberapa kemajuan dibuat pada tahun 1870, ketika parlemen Inggris meloloskan beberapa undang-undang properti wanita menikah (Married Woman’s Property Acts) yang pertama, yang memperbaiki posisi wanita menikah dengan memberikan kepada mereka kepemilikan dari hasil pendapatan mereka sendiri.[5] Undang-undang tersebut memungkinkan wanita menyimpan penghasilan atau properti lainnya yang ia dapatkan setelah menikah. Misalnya dalam bentuk uang, dapat disimpan hingga sebanyak 200 pound dari yang ia dapat dari hasil bekerja atau yang diwarisinya, dan memiliki serta menjalankan kendali atas properti pribadi mereka. Properti pribadi yang dimaksud itu ialah terdiri dari aset bergerak seperti: uang, saham, furnitur, hewan ternak, dan tandamata pribadi, dimana kendali atas properti-properti tersebut pada wanita yang menikah sebelum tahun 1870 diberikan seluruhnya kepada suami mereka. Sedangkan properti tidak bergerak yang dianggap dimiliki oleh wanita sebelum menikah, maka setelah wanita itu menikah, ia tidak dapat membuat keputusan mengenai penggunaan dan distribusinya tanpa seizin suami mereka.[30] Oleh karena itu, istilah kepemilikan dalam undang-undang 1870 kurang bernilai konkrit.[3][29]
Undang-undang 1882
Kelanjutan undang-undang properti wanita menikah tahun 1882 jauh lebih berkembang dan memperluas hak properti wanita dengan memberikan kepada wanita yang telah menikah hak yang sama atas properti, sebagaimana yang diizinkan dimiliki oleh wanita yang belum menikah. Sebab pada akhirnya, sebelum pemberlakun peraturan tersebut, wanita tidak dapat memiliki barang-barang yang dimilikinya sebelum menikah (untuk wanita dari golongan atas, termasuk di dalam barang-barang tersebut ialah tanah, bangunan, atau rumah) karena menjadi milik suami mereka.[5] Adanya undang-undang properti wanita menikah tahun 1882 tersebut memungkinkan wanita menikah dapat secara langsung mengelola properti tetap atau tanah yang lebih berharga dibandingkan sebatas perhiasan atau pakaian, dan ia tetap dapat mempertahankan hak properti yang ia miliki sebelum menikah. Setelah diberlakukannya undang-undang properti wanita menikah tahun 1882, seorang suami dan istri dianggap sebagai “…dua entitas hukum yang terpisah”.[31] Dengan diberlakukannya undang-undang 1882, wanita dapat mengendalikan properti tetap dan properti pribadi sejak sebelum atau setelah menikah, baik yang dihasilkannya sendiri maupun yang diperoleh dari pemberian/warisan orang lain.[29]
Undang-undang 1893
Undang-undang properti wanita menikah tahun 1893 melengkapi undang-undang yang telah dibuat sebelumnya dengan memberikan kepada wanita menikah kendali dan jenis properti apapun yang dimilikinya setelah menikah, seperti misalnya harta warisan. Setelah diberlakukannya undang-undang properti wanita menikah tahun 1893 tersebut, wanita menikah dan wanita yang belum menikah mendapat perlakuan yang sama.[5]
Dampak pemberlakuan undang-undang
Undang-undang properti wanita menikah yang mengembalikan kepada wanita menikah hak untuk memiliki, menjual, dan membeli properti, serta mengembalikan identitas hukum mereka, memungkinkan wanita melakukan penuntutan, dituntut, membuat kontrak hutang, atau dinyatakan bangkrut.[32] Para tradisionalis memperingatkan bahwa undang-undang tersebut dapat membuat pernikahan menjadi kurang populer di kalangan pria, namun hanya sedikit bukti yang dapat mendukung opini tersebut. Sebab pada kenyataannya, beberapa wanita kelas atas yang berasal dari keluarga terpandang selalu dapat menjaga properti mereka setelah menikah, selama ayah mereka cukup menyadari akan hukum yang berlaku, dan cukup kaya untuk membuat penetapan hukum khusus menjadi dapat diberlakukan. Meski demikian, undang-undang properti wanita menikah merupakan penanda signifikan bagi wanita menuju kehadiran hukum yang independen.[5] Salah satu reaksi menarik yang muncul atas pemberlakuan undang-undang properti wanita menikah ialah meningkatnya tingkat perceraian. Sebelum tahun 1880, jumlah perceraian di Inggris dalam satu tahun penuh jarang lebih tinggi/di atas 300 perceraian. Perceraian semakin meningkat dari tahun ke tahun melampaui 1000 perceraian dengan terjadinya Perang Dunia I. Setelah wanita mendapat hak suara (vote) pada tahun 1918, jumlah perceraian semakin meningkat tajam tiga kali lipat dalam dua tahun. Dampak pemberlakuan undang-undang ternyata berkenaan langsung dengan pilihan orang-orang untuk melakukan perceraian. Di Skotlandia, gambaran tersebut bahkan lebih mencolok. Pada tahun 1879, terdapat 55 perceraian. Jumlah perceraian tertinggi untuk setiap tahunnya ialah sebanyak 66 perceraian pada tahun 1878, satu tahun setelah Skotlandia mendapatkan undang-undang properti wanita menikah mereka yang pertama. Pada tahun 1880, terdapat 80 perceraian, dan jumlah tersebut tidak pernah turun lagi di bawah 65 perceraian dalam satu tahun. Di akhir dekade, terdapat lebih dari 100 perceraian dalam saru tahun- hampir dua kali lipat jumlah perceraian sebelum pemberlakuan undang-undang properti wanita menikah tersebut.[32]
Referensi
- ^ a b http://oro.open.ac.uk/19216/2/14BC4459.pdf
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r http://digitalcommons.liberty.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1036&context=honors
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p "Women's Rights: Not Up for Discussion". Victorian England (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-12-14.
- ^ a b "Marriage in the 19th Century". Spartacus Educational (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-12-14.
- ^ a b c d e "The Married Women's Property Acts (UK, 1870, 1882 and 1893) – HerStoria". herstoria.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-12-14.
- ^ Merry E. Weisner, Women and Gender in Early Modern Europe (Cambridge:Cambridge University Press, 1993), 10–11
- ^ Eileen Spring, Law, Land, and Family: Aristocratic Inheritance in England, 1300 to 1800 (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1993) 10–11
- ^ Barbara J. Harris, British Aristocratic Women, 1450–1550: Marriage and Family, Property and Careers (Oxford: Oxford University Press, 2002), 21
- ^ Barbara J. Harris, British Aristocratic Women, 1450–1550: Marriage and Family, Property and Careers (Oxford: Oxford University Press, 2002), 43-44
- ^ Amy Louise Erickson, Women and Property in Early Modern England, (New York: Routledge, 1993), 93
- ^ Mary Chan and Nancy E. Wright, “Marriage, Identity, and the Pursuit of Property in Seventeenth–Century England: The Cases of Anne Clifford and Elizabeth Wiseman,” in Wright, Ferguson, and Buck, 162–182
- ^ Barbara J. Harris, British Aristocratic Women, 1450–1550: Marriage and Family, Property and Careers (Oxford: Oxford University Press, 2002), 47
- ^ Amy Louise Erickson, Women and Property in Early Modern England, (New York: Routledge, 1993), 24
- ^ Amy Louise Erickson, Women and Property in Early Modern England, (New York: Routledge, 1993), 102
- ^ Eileen Spring, Law, Land, and Family: Aristocratic Inheritance in England, 1300 to 1800 (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1993), 25-26
- ^ Barbara J. Harris, British Aristocratic Women, 1450–1550: Marriage and Family, Property and Careers (Oxford: Oxford University Press, 2002), 45
- ^ Amy Louise Erickson, Women and Property in Early Modern England, (New York: Routledge, 1993), 103
- ^ Tim Stretton, Women Waging Law in Elizabethan England (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 28
- ^ Mary Beard, Woman as Force in History: A Study in Traditions and Realities (New York: The Macmillan Company, 1946)
- ^ Barbara J. Harris, British Aristocratic Women, 1450–1550: Marriage and Family, Property and Careers (Oxford: Oxford University Press, 2002), 71
- ^ Barbara J. Harris, British Aristocratic Women, 1450–1550: Marriage and Family, Property and Careers (Oxford: Oxford University Press, 2002), 128
- ^ Barbara J. Harris, British Aristocratic Women, 1450–1550: Marriage and Family, Property and Careers (Oxford: Oxford University Press, 2002), 129
- ^ Barbara J. Harris, British Aristocratic Women, 1450–1550: Marriage and Family, Property and Careers (Oxford: Oxford University Press, 2002), 71-72
- ^ Amy Louise Erickson, Women and Property in Early Modern England, (New York: Routledge, 1993), 25
- ^ Amy Louise Erickson, Women and Property in Early Modern England, (New York: Routledge, 1993), 153
- ^ Barbara J. Harris, British Aristocratic Women, 1450–1550: Marriage and Family, Property and Careers (Oxford: Oxford University Press, 2002), 134-135
- ^ Amy Louise Erickson, Women and Property in Early Modern England, (New York: Routledge, 1993), 167-174
- ^ Kathleen M. Brown, Good Wives, Nasty Wenches, and Anxious Patriarchs: Gender, Race, and Power in Colonial Virginia (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1996), 21
- ^ a b c "Reference". www.unc.edu. Diakses tanggal 2017-12-15.
- ^ a b Combs, Mary Beth. "Cui Bono? The 1870 British Married Women's Property Act, Bargaining Power, and the Distribution of Resources within Marriage." Feminist Economics Vol. 12 Issue 1/2(2006) 51-83
- ^ Brinjikji , Hiam. "Property Rights of Women in Nineteenth-Century England ." Pip's World:A Hypertext on Charles Dickens's Great Expectations. University of Michigan-Dearborn.
- ^ a b "Married Women's Property and Divorce in the 19th Century". Women's History Network (dalam bahasa Inggris). 2010-07-25. Diakses tanggal 2017-12-15.