Kerajaan Kadiri
Artikel ini sudah memiliki daftar referensi, bacaan terkait, atau pranala luar, tetapi sumbernya belum jelas karena belum menyertakan kutipan pada kalimat. |
Kerajaan Kadiri atau Kediri Aksara Jawa : ꦏꦢꦶꦫꦶ atau Panjalu, adalah sebuah kerajaan Hindu Buddha yang terdapat di Jawa Timur antara tahun 1042-1222. Kerajaan ini berpusat di Dahanapura (Daha), yang menjadi bagian dari Kota Kediri saat ini.
Kerajaan Kadiri
ꦏꦢꦶꦫꦶ | |||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
1042–1222 | |||||||||
Kerajaan Janggala dan Panjalu (Kediri), kemudian bersatu menjadi Kerajaan Kadiri | |||||||||
Ibu kota | Dahanapura | ||||||||
Bahasa yang umum digunakan | Jawa Kuno | ||||||||
Agama | Hinduisme, Buddhisme, Animisme | ||||||||
Pemerintahan | Monarki | ||||||||
Raja | |||||||||
• 1042-1051 | Sri Samarawijaya | ||||||||
• 1051-1112 | Sri Jitendrakara | ||||||||
• 1112-1135 | Sri Bameswara | ||||||||
• 1135-1157 | Jayabaya | ||||||||
• 1159-1171 | Sri Sarweswara | ||||||||
• 1171-1181 | Sri Aryeswara | ||||||||
• 1181-1182 | Sri Gandra | ||||||||
• 1182-1194 | Kamesywara | ||||||||
• 1194-1222 | Kertajaya | ||||||||
• 1292-1293 | Jayakatwang | ||||||||
Sejarah | |||||||||
• Dibagi dari Kahuripan | 1042 | ||||||||
• Janggala ditaklukkan Panjalu | 1135 | ||||||||
• Kakawin Bhāratayuddha selesai ditulis | 1157 | ||||||||
• Runtuh oleh Pemberontakan Ken Arok | 1222 | ||||||||
Mata uang | Koin emas dan perak | ||||||||
| |||||||||
Sekarang bagian dari | Indonesia | ||||||||
Bagian dari seri mengenai |
---|
Sejarah Indonesia |
Garis waktu |
Portal Indonesia |
Latar belakang
Sesungguhnya kota Daha sudah ada sebelum Kerajaan Kadiri berdiri. Daha merupakan singkatan dari Dahanapura, yang berarti kota api. Nama ini terdapat dalam prasasti Pamwatan yang dikeluarkan Airlangga tahun 1042. Hal ini sesuai dengan berita dalam Serat Calon Arang bahwa, saat akhir pemerintahan Airlangga, pusat kerajaan sudah tidak lagi berada di Kahuripan, melainkan pindah ke Daha.
Pada akhir November 1042, Airlangga terpaksa membelah wilayah kerajaannya karena kedua putranya bersaing memperebutkan takhta. Putra yang bernama Sri Samarawijaya mendapatkan kerajaan barat bernama Panjalu yang berpusat di kota baru, Daha, sedangkan putra yang bernama Mapanji Garasakan mendapatkan kerajaan timur bernama Janggala yang berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan.
Menurut Nagarakretagama, sebelum dibelah menjadi dua, nama kerajaan yang dipimpin Airlangga sudah bernama Panjalu, yang berpusat di Daha. Jadi, Kerajaan Janggala lahir sebagai pecahan dari Panjalu. Adapun Kahuripan adalah nama kota lama yang sudah ditinggalkan Airlangga dan kemudian menjadi ibu kota Janggala.
Pada mulanya, nama Panjalu atau Pangjalu memang lebih sering dipakai daripada nama Kadiri. Hal ini dapat dijumpai dalam prasasti-prasasti yang diterbitkan oleh raja-raja Kadiri. Bahkan, nama Panjalu juga dikenal sebagai Pu-chia-lung dalam kronik Tiongkok berjudul Ling wai tai ta (1178).
Nama "Kediri" atau "Kadiri" sendiri berasal dari kata bahasa Sansekerta, khadri, yang berarti pacé atau mengkudu (Morinda citrifolia). Batang kulit kayu pohon ini menghasilkan zat perwarna ungu kecokelatan yang digunakan dalam pembuatan batik, sementara buahnya dipercaya memiliki khasiat pengobatan.
Perkembangan kerajaan
Masa-masa awal Kerajaan Panjalu atau Kadiri tidak banyak diketahui. Prasasti Turun Hyang (1044) yang diterbitkan Kerajaan Janggala hanya memberitakan adanya perang saudara antara kedua kerajaan sepeninggal Airlangga.
Sejarah Kerajaan Panjalu mulai diketahui dengan adanya Prasasti Banjaran dan Prasasti Mataji. Setelah Raja Sri Jitendrakara diketahui terdapat raja bernama Sri Bameswara berdasarkan Prasasti Karanggayam. Selanjutnya dalam Prasasti Hantang raja yang memerintah sudah berganti Sri Jayabhaya.
Panjalu di bawah pemerintahan Sri Jayabhaya berhasil menaklukkan Kerajaan Janggala dengan semboyannya yang terkenal dalam prasasti Ngantang (1135), yaitu Panjalu Jayati, yang berarti "Panjalu Menang".
Pada masa pemerintahan Sri Jayabhaya inilah, Kerajaan Panjalu mengalami masa kejayaannya. Wilayah kerajaan ini meliputi seluruh Jawa dan beberapa pulau di Nusantara, bahkan sampai mengalahkan pengaruh Kerajaan Sriwijaya di Sumatra.
Hal ini diperkuat kronik Tiongkok berjudul Ling wai tai ta karya Chou Ku-fei tahun 1178, bahwa pada masa itu negeri paling kaya selain Tiongkok secara berurutan adalah Arab, Jawa, dan Sumatra. Saat itu yang berkuasa di Arab adalah Bani Abbasiyah, di Jawa ada Panjalu, sedangkan Sumatra dikuasai Kerajaan Sriwijaya.
Menurut berita Cina, dan kitab Ling-wai-tai-ta diterangkan bahwa dalam kehidupan sehari-hari orang-orang memakai kain sampai di bawah lutut. Rambutnya diurai. Rumah-rumah mereka bersih dan teratur, lantainya ubin yang berwarna kuning dan hijau. Dalam perkawinan, keluarga pengantin wanita menerima mas kawin berupa emas. Rajanya berpakaian sutera, memakai sepatu, dan perhiasan berupa emas. Rambutnya disanggul ke atas. Kalau berpergian, Raja naik gajah atau kereta yang diiringi oleh 500 sampai 700 prajurit. Di bidang kebudayaan, yang menonjol adalah perkembangan seni sastra dan pertunjukan wayang. Di Kediri dikenal adanya wayang panji. masih menurut Chou Ku-fei bahwa Kerajaan Kadiri kekuasaanya sangat luas dan kaya raya, di Dunia katanya waktu itu ada 3 kerajaan kaya, yaitu Kekhalifahan Abbasiyah yang berkuasa di Arab, Kerajaan Sriwijaya yang menguasai bagian barat Nusantara dan Kerajaan Kadiri yang menguasai Bagian Timur Nusantara
Chou Ju-Kua, seorang pegawai resmi Dinasti Song menuliskan dalam bukunya Chu-fan-chi, menggambarkan bahwa di Jawa penduduknya menganut dua agama: Buddha dan Hindu. Penduduk Jawa sangat berani dan emosional. Waktu luangnya dipergunakan untuk mengadu binatang. Mata uangnya terbuat dari campuran tembaga dan perak.
Buku Chu-fan-chi menyebut bahwa maharaja jawa mempunyai wilayah jajahan: Pai-hua-yuan (Pacitan), Ma-tung (Medang), Ta-pen (Tumapel, Malang), Hi-ning (Dieng), Jung-ya-lu (Hujung Galuh, sekarang Surabaya), Tung-ki (Jenggi, Papua Barat), Ta-kang (Sumba), Huang-ma-chu (Papua), Ma-li (Bali), Kulun (Gurun, mungkin Gorong atau Sorong di Papua Barat atau Nusa Tenggara), Tan-jung-wu-lo (Tanjungpura di Borneo), Ti-wu (Timor), Pingya-i (Banggai di Sulawesi), dan Wu-nu-ku (Maluku)
Penemuan Situs Tondowongso pada awal tahun 2007 yang diyakini sebagai peninggalan Kerajaan Kadiri dan Situs Adan-Adan yang berupa temuan benda bersejarah seperti batuan fondasi candi, makara, sistem pertirtaan (pengairan) diduga embung, pecahan keramik dan beberapa arca peninggalan era Kerajaan Kadiri dan Singhasari yang terletak di Desa Adan-adan, Kecamatan Gurah, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, diharapkan dapat membantu memberikan lebih banyak informasi tentang kerajaan tersebut.
Karya sastra
Seni sastra mendapat banyak perhatian pada zaman Kerajaan Panjalu-Kadiri. Pada tahun 1157 Kakawin Bharatayuddha ditulis oleh Mpu Sedah dan diselesaikan oleh Mpu Panuluh. Kitab ini bersumber dari Mahabharata yang berisi kemenangan Pandawa atas Korawa, sebagai kiasan kemenangan Sri Jayabhaya atas Janggala.
Selain itu, Mpu Panuluh juga menulis Kakawin Hariwangsa dan Ghatotkachasraya. Terdapat pula pujangga zaman pemerintahan Sri Kameswara bernama Mpu Dharmaja yang menulis Kakawin Smaradahana. Kemudian pada zaman pemerintahan Kertajaya terdapat pujangga bernama Mpu Monaguna yang menulis Sumanasantaka dan Mpu Triguna yang menulis Kresnayana.
Keruntuhan
Kerajaan Panjalu-Kadiri runtuh pada masa pemerintahan Kertajaya, dan dikisahkan dalam Pararaton dan Nagarakretagama.
Pada tahun 1222 Kertajaya sedang berselisih melawan kaum brahmana. Kemudian para Brahmana meminta perlindungan kepada Ken Arok akuwu Tumapel. Kebetulan Ken Arok juga bercita-cita memerdekakan Tumapel yang merupakan daerah bawahan Kadiri.
Puncak peperangan antara Kadiri dan Tumapel terjadi dekat Desa Ganter (Genter), di wilayah timur Kadiri. Pasukan Ken Arok berhasil menghancurkan pasukan Kertajaya. Dengan demikian, berakhirlah masa Kerajaan Kadiri, yang sejak saat itu kemudian menjadi bawahan Tumapel atau Singhasari.
Setelah Ken Arok mengalahkan Kertajaya, Kadiri menjadi suatu wilayah di bawah kekuasaan Singhasari. Ken Arok mengangkat Jayasabha, putra Kertajaya sebagai bupati Kadiri. Tahun 1258 Jayasabha digantikan putranya yang bernama Sastrajaya. Pada tahun 1271 Sastrajaya digantikan putranya, yaitu Jayakatwang.
Pada tahun 1292, Jayakatwang memberontak terhadap Singhasari yang dipimpin oleh Kertanegara, karena dendam masa lalu dimana leluhurnya Kertajaya dikalahkan oleh Ken Arok. Setelah berhasil membunuh Kertanegara, Jayakatwang membangun kembali Kerajaan Kadiri, namun hanya bertahan satu tahun dikarenakan serangan gabungan yang dilancarkan oleh pasukan Mongol dan pasukan menantu Kertanegara, Raden Wijaya.
Daftar raja-raja
Berikut adalah nama-nama raja yang pernah memerintah di Daha, ibu kota Kadiri.
Pada saat Daha menjadi ibu kota kerajaan yang masih utuh
Airlangga, merupakan pendiri kota Daha sebagai pindahan kota Kahuripan. Ketika ia turun takhta tahun 1042, wilayah kerajaan dibelah menjadi dua. Daha kemudian menjadi ibu kota kerajaan bagian barat, yaitu Panjalu.
Menurut Nagarakretagama, kerajaan yang dipimpin Airlangga tersebut sebelum dibelah sudah bernama Panjalu.
Pada saat Daha menjadi ibu kota Panjalu
- Maharaja Sri Samarawijaya
- Sri Jitendrakara Parakrama Bakta (Prasasti Mataji 973 Saka),
- Maharaja Sri Bameswara (Prasasti Pandlegan I, Prasasti Panumbangan, Prasasti Tangkilan, Prasasti Besole, Prasasti Bameswara, Prasasti Karanggayam, Prasasti Geneng, Prasasti Pagiliran)
- Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya (Prasasti Hantang, Prasasti Jepun, dan Prasasti Talan)
- Maharaja Rakai Sirikan Sri Sarweswara (Prasasti Pandlegan II, dan Prasasti Kahyunan)
- Sri Maharaja Rakai Hino Sri Aryeswara (Prasasti Waleri & Prasasti Angin)
- Sri Maharaja Kroncaryyadipa Sri Gandra (Prasasti Jaring)
- Sri Maharaja Mapanji Kamesywara (Prasasti Semanding dan Prasasti Ceker)
- Sri Maharaja Crengga/Kertajaya (Prasasti Galunggung, Prasasti Kamulan, Prasasti Palah, Prasasti Biri, dan Prasasti Lawadan) gugur tahun 1144 Saka
Pada saat Daha menjadi bawahan Singhasari
Kerajaan Panjalu runtuh tahun 1222 dan menjadi bawahan Singhasari. Berdasarkan prasasti Mula Malurung, diketahui raja-raja Daha zaman Singhasari, yaitu:
- Mahisa Wunga Teleng putra Ken Arok
- Guningbhaya adik Mahisa Wunga Teleng
- Tohjaya kakak Guningbhaya
- Kertanagara cucu Mahisa Wunga Teleng (dari pihak ibu), yang kemudian menjadi raja Singhasari
Pada saat Daha menjadi ibu kota Kadiri
Jayakatwang, adalah keturunan Kertajaya yang menjadi bupati Gelang-Gelang. Tahun 1292 ia memberontak hingga menyebabkan runtuhnya Kerajaan Singhasari. Jayakatwang kemudian membangun kembali Kerajaan Kadiri. Tapi pada tahun 1293 ia dikalahkan Raden Wijaya pendiri Majapahit.
Pada saat Daha menjadi bawahan Majapahit
Sejak tahun 1293 Daha menjadi negeri bawahan Majapahit yang paling utama. Raja yang memimpin bergelar Bhre Daha tetapi hanya bersifat simbol, karena pemerintahan harian dilaksanakan oleh patih Daha. Bhre Daha yang pernah menjabat ialah:
- Jayanagara 1295-1309 Nagarakretagama.47:2; Prasasti Sukamerta - didampingi Patih Lembu Sora.
- Rajadewi 1309-1375 Pararaton.27:15; 29:31; Nag.4:1 - didampingi Patih Arya Tilam, kemudian Gajah Mada.
- Indudewi 1375-1415 Pararaton.29:19; 31:10,21
- Suhita 1415-1429 ?
- Jayeswari 1429-1464 Pararaton.30:8; 31:34; 32:18; Waringin Pitu
- Manggalawardhani 1464-1474 Prasasti Trailokyapuri
Pada saat Daha menjadi ibu kota Majapahit
Menurut Suma Oriental tulisan Tome Pires, pada tahun 1513 Daha menjadi ibu kota Majapahit yang dipimpin oleh Bhatara Wijaya. Nama raja ini identik dengan Dyah Ranawijaya yang dikalahkan oleh Sultan Trenggana raja Demak tahun 1527.
Sejak saat itu nama Kediri lebih terkenal daripada Daha. Dan pada saat ini berdasarkan peta daerah kekuasaan Kerajaan Majapahit dan peta Provinsi Jawa Timur maka dapat dilihat bahwa Kota Daha pada saat ini berada di daerah sekitar Pare-Kandangan, Kabupaten Kediri, Jawa Timur yang memiliki banyak peninggalan arkeologis sampai sekarang.
Lihat pula
Daftar pustaka
- H.J.de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
- Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara
- Poesponegoro & Notosusanto (ed.). 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka.
Didahului oleh: Kahuripan |
Kerajaan Hindu-Budha 1042-1222 |
Diteruskan oleh: Singasari |