Orang Banyumasan
Wilayah | Banyumasan |
Luas wilayah | 1.015.000 Ha |
Penduduk | 10 - 12 juta jiwa |
- Kepadatan | 1.003/km² |
Kabupaten | 8 |
Bahasa | Bahasa Banyumasan |
Situs web resmi: [1] |
Banyumasan atau mBanyumasan adalah : Kesatuan budaya, bahasa dan karakter yang hidup dan berkembang di masyarakat wilayah Banyumasan.
Wilayah Banyumasan adalah sebuah wilayah yang terletak di bagian barat propinsi Jawa Tengah, Indonesia atau wilayah yang mengitari Gunung Slamet dan Kali Serayu.
Banyumasan sebagai kesatuan budaya adalah : akal budi, pikiran serta hasil kreativitas masyarakat Banyumasan yang tumbuh sebagai suatu rangkaian tindakan dan aktivitas yang memiliki karakter dan pola-pola tertentu.
Banyumasan sebagai kesatuan bahasa adalah : tuturan/ucapan dengan sistematika tertentu yang digunakan masyarakat Banyumasan untuk mewakili wujud suatu benda, tindakan, gagasan serta keadaan. Secara umum ini sebut sebagai bahasa Banyumasan yang menjadi salah satu identitas masyarakat Banyumasan.
Banyumasan sebagai kesatuan karakter adalah : sikap mental dan nilai-nilai moral yang secara genetis hidup di masyarakat Banyumasan. Karakter Banyumasan sekaligus menjadi identitas masyarakat Banyumasan.
Wilayah Banyumasan secara geografis terdiri dari 2 bagian yaitu : Wilayah utara yang terdiri dari :Brebes, Tegal dan Pemalang, serta wilayah selatan yang mencakup Cilacap, Kebumen, Banjarnegara, Purbalingga dan Banyumas. Perbedaan ini merupakan implikasi dari regionalisasi yang dilakukan pada jaman dahulu, seperti pembentukan karesidenan-karesidenan. Walaupun terdapat sedikit perbedaan (nuansa) adat istiadat dan logat bahasa tetapi secara umum dapat dikatakan satu warna.
Sejarah
Periode : Akhir Kesultanan Demak hingga Awal Mataram
Pada jaman Kesultanan Demak (1478 - 1546), wilayah Banyumasan terdiri dari beberapa Kadipaten, diantaranya Kadipaten Pasirluhur dengan Adipatinya Banyak Belanak, juga Kadipaten Wirasaba dengan Adipatinya Wargo Utomo I. Luasnya kekuasaan Kesultanan Demak membuat Sultan Trenggono (Sultan Demak ke III) merasa perlu memiliki angkatan perang yang kuat, untuk itu wilayah-wilayah Kesultanan Demak pun dibagi-bagi secara militer menjadi beberapa daerah komando militer. Untuk wilayah Barat, Sultan Trenggono mengangkat Adipati Banyak Belanak sebagai Panglima Komando Wilayah Pertahanan Barat dengan cakupan wilayah meliputi Kerawang sampai gunung Sumbing (Wonosobo). Sebagai salah seorang Panglima Perang Kesultanan Demak, Adipati Pasirluhur dianugrahi gelar Pangeran Senopati Mangkubumi I sedangkan adiknya yang bernama Wirakencana diangkat menjadi Patih. Setelah Sultan Trenggono wafat, Kesultanan Demak terpecah menjadi 3 bagian, salah satunya adalah Pajang yang diperintah oleh Joko Tingkir dan bergelar Sultan Adiwijaya (1546 – 1587). Pada masa ini, sebagian besar wilayah Banyumasan termasuk dalam kekuasaan Pajang. Mengikuti kebijakan pendahulunya, Sultan Adiwijaya juga mengangkat Adipati Pasirluhur yang saat itu dijabat Wirakencana, menjadi Senopati Pajang dengan gelar Pangeran Mangkubumi II. Sementara itu Adipati Kadipaten Wirasaba, Wargo Utomo I wafat dan salah seorang putranya bernama R. Joko Kaiman diangkat oleh Sultan Adiwijaya menjadi Adipati Wirasaba dengan gelar Wargo Utomo II, beliau menjadi Adipati Wirasaba ke VII. Menjelang berakhirnya kejayaan kerajaan Pajang dan mulai berdirinya kerajaan Mataram (1587), Adipati Wargo Utomo II menyerahkan kekuasaan Kadipaten Wirasaba ke saudara-saudaranya, sementara beliau sendiri memilih membentuk Kadipaten baru dengan nama Kadipaten Banyumas dan beliau menjadi Adipati pertama dengan gelar Adipati Marapat. Selanjutnya, Kadipaten Banyumas inilah yang berkembang pesat, telebih setelah pusat Kadipatennya dipindahkan ke Sudagaran - Banyumas, pengaruh kekuasaannya menyebabkan Kadipaten-Kadipaten lainnya semakin mengecil. Seiring dengan berkembangnya Kerajaan Mataram, Kadipaten-Kadipaten di wilayah Banyumasan pun tunduk pada kekuasaan Mataram. Kekuasaan Mataram atas Kadipaten-Kadipaten di wilayah Banyumasan tidak secara otomatis memasukkan wilayah Banyumasan ke dalam “lingkar dalam” kekuasaan Mataram sehingga Kadipaten-Kadipaten di wilayah Banyumasan tersebut masih memiliki otonomi dan penduduk Mataram pun menyebut wilayah Banyumasan sebagai wilayah Mancanegara Kulon.
Awal Pembentukan Karesidenan & Kabupaten-Kabupaten
Sebelum Belanda masuk, wilayah Banyumasan disebut sebagai daerah Mancanegara Kulon dengan rentang wilayah meliputi antara Bagelen (Purworejo) sampai Majenang (Cilacap). Disebut Mancanegara Kulon karena pusat pemerintahan waktu itu memang berada di wilayah Surakarta atau wilayah wetan. Terhitung sejak tanggal 22 Juni 1830, daerah Mancanegara Kulon ini secara politis masuk di bawah kontrol pemerintah kolonial Belanda, itulah awal penjajahan Belanda, sekaligus akhir dari pendudukan kerajaan Mataram atas bumi Banyumasan. Selanjutnya para Adipati di wilayah Banyumasan pun tidak lagi tunduk pada Raja Mataram, mereka selanjutnya dipilih dan diangkat oleh Gubernur Jenderal dan dipilih dari kalangan penduduk pribumi, umumnya putera atau kerabat dekat Adipati terakhir.
Karesidenan Banyumas
Pemerintahan di wilayah Banyumasan diatur berdasarkan Konstitusi Nederland yang pada pasal 62 ayat 2 disebutkan bahwa pemerintahan umum di Hindia Belanda (Indonesia) dilakukan oleh Gubernur Jenderal atas nama kerajaan Belanda. Gubernur Jenderal adalah kepala eksekutif yang berhak mengangkat serta memberhentikan para pejabat di Hindia Belanda, termasuk para Adipatinya. Saat itu yang menjadi Gubernur Jenderal adalah Johannes Graaf van den Bosch (16 Januari 1830 – 2 Juli 1833). Upaya untuk mengontrol para Adipati ini sebenarnya agar Belanda mudah melakukan mobilisasi rakyat untuk dipekerjakan di perkebunan-perkebunan milik Belanda yang lebih dikenal dengan tanam paksa. Persiapan pembentukan pemerintahan kolonial Belanda di wilayah Banyumasan dilakukan oleh Residen Pekalongan bernama Hallewijn. Hallewijn tiba di wilayah Banyumasan pada 13 Juni 1830 dengan tugas utama mempersiapkan penyelenggaraan pemerintahan sipil di wilayah Banyumasan. Dia dibantu antara lain oleh Vitalis sebagai administrator juga Kapiten Tak sebagai komandan pasukan. Tanggal 20 September 1830, Hallewijn memberikan laporan umum hasil kerjanya kepada Komisaris Kerajaan yaitu Jenderal De Kock di Sokaraja, diantara isi laporan tersebut adalah tentang cakupan wilayah Banyumasan yang meliputi (dari timur) : Kebumen, Banjar (Banjarnegara), Panjer, Ayah, Prabalingga (Purbalingga), Banyumas, Kroya, Adireja, Patikraja, Purwakerta (Purwokerto), Ajibarang, Karangpucung, Sidareja, Majenang sampai ke Daiyoe-loehoer (Dayeuhluhur), termasuk juga di dalamnya tanah-tanah Perdikan (daerah Istimewa) seperti Donan dan Kapungloo. Pada pertemuan di Sokaraja itulah akhirnya diresmikan berdirinya Karesidenan Banyumas yang meliputi sebagian besar wilayah mancanegara kulon, selanjutnya tanggal 1 November 1830 de Sturler dilantik sebagai Residen Banyumas pertama. Pada tanggal 18 Desember 1830 melalui Beslit Gubernur Jenderal J.G. van den Bosch, Karesidenan Banyumas diperluas dengan dimasukkannya Distrik Karangkobar (Banjarnegara), pulau Nusakambangan, Madura (sebelumnya termasuk wilayah Cirebon) dan Karangsari (sebelumnya termasuk wilayah Tegal).
Awal Pembentukan Kabupaten-Kabupaten
Untuk mengefektifkan jalannya pemerintahan, pemerintah kolonial Belanda pada tanggal 22 Agustus 1831 membentuk 4 Regentschap (Kabupaten) di wilayah Karesidenan Banyumas yaitu, Kabupaten Banyumas, Ajibarang, Daiyoe-loehoer dan Prabalingga yang masing-masing dipimpin oleh seorang Bupati pribumi. Selain itu Residen de Sturler juga melakukan perubahan ejaan nama dan pembentukan struktur Afdeling yang berfungsi sebagai Asisten Residen di masing-masing Kabupaten. Di antara yang mengalami perubahan nama adalah Prabalingga menjadi Poerbalingga, Daiyoe-Loehoer menjadi Dayoehloehoer dan Banjar menjadi Banjarnegara, selanjutnya wilayah Banjarnegara diperluas dengan memasukkan Distrik Karangkobar, statusnyapun ditingkatkan menjadi sebuah Kabupaten.
Pembentukan Afdeling meliputi, Kabupaten Dayoehloehoer dan Kabupaten Ajibarang menjadi satu Afdeling yaitu Afdeling Ajibarang dengan ibukota Ajibarang dan D.A. Varkevisser diangkat sebagai Asisten Residen di Ajibarang sekaligus sebagai ”pendamping” Bupati Ajibarang Mertadiredja II dan Bupati Dayoehloehoer R. Tmg. Prawiranegara. Tiga Kabupaten lainnya yaitu Kabupaten Banyumas, Purbalingga dan Banjarnegara masing-masing memiliki Afdeling sendiri-sendiri.
bersambung....
Pemerintahan
Wilayah Banyumasan merupakan sebuah wilayah yang meliputi 8 Kabupaten.
Kultur Umum
Budaya Banyumasan memiliki ciri khas tersendiri yang berbeda dengan wilayah lain di Jawa Tengah, walaupun akarnya masih merupakan budaya Jawa. Hal ini sangat terkait dengan karakter masyarakatnya yang sangat egaliter tanpa mengenal istilah ningrat atau priyayi. Hal ini juga tercermin dari bahasanya yaitu bahasa Banyumasan yang pada dasarnya tidak mengenal tingkatan status sosial. Penggunaan bahasa halus (kromo) pada dasarnya merupakan serapan akibat interaksi intensif dengan masyarakat Jawa lainnya (wetanan) dan ini merupakan kemampuan masyarakat Banyumasan dalam mengapresiasi budaya luar. Penghormatan kepada orang yang lebih tua umumnya ditampilkan dalam bentuk sikap hormat, sayang serta sopan santun dalam bertingkah laku. Tidak dapat dipungkiri bahwa pengaruh feodalisme memang terasa tetapi itu bukan merupakan karakter asli masyarakat Banyumasan.
Selain egaliter, masyarakat Banyumasan dikenal memiliki kepribadian yang jujur serta berterus terang atau biasa disebut cablaka/blakasuta.
Kesenian
Kesenian khas Banyumasan tersebar di hampir seluruh pelosok daerah. Kesenian itu sendiri umumnya terdiri atas seni pertunjukan rakyat yang memiliki fungsi-fungsi tertentu yang berkaitang dengan kehidupan masyarakat pemilik-nya. Adapun bentuk-bentuk kesenian yang tumbuh dan berkembang antara lain:
Wayang Kulit Gagrag Banyumasan, yaitu jenis seni pertunjukan wayang kulit yang bernafaskan Banyumasan. Di daerah ini dikenal ada dua gragak atau gaya, yaitu Gragak Kidul Gunung dan Gragak Lor Gunung. Spesifikasi dari wayang kulit gragak Banyumasan adalah nafas kerakyatannya yang begitu kental dalam pertunjukannya.
BÉGALAN, adalah seni tutur tradisional yang digunakan sebagai yang digunakan sebagai sarana upacara pernikahan, propertinya berupa alat-alat dapur yang masing-masing memiliki makna-makna simbolis yang berisi falsafah jawa & berguna bagi kedua mempelai dalam mengarungi hidup berumah tangga.
Musik
Musik-musik tradisional Banyumasan memiliki perbedaan yang cukup jelas dengan musik Jawa lainnya.
- Calung
- Alat musik ini terbuat dari potongan bambu yang diletakkan melintang dan dimainkan dengan cara dipukul. Perangkat musik khas Banyumasan yang terbuat dari bambu wulung mirip dengan gamelan jawa, terdiri atas gambang barung, gambang penerus, dhendhem, kenong, gong & kendang. Selain itu ada juga Gong Sebul dinamakan demikian karena bunyi yang dikeluarkan mirip gong tetapi dimainkan dengan cara ditiup (sebul), alat ini juga terbuat dari bambu dengan ukuran yang besar. Dalam penyajiannya calung diiringi vokalis yang lazim disebut sinden. Aransemen musikal yang disajikan berupa gending-gending Banyumasan, gending gaya Banyumasan, Surakarta-Yogyakarta dan sering pula disajikan lagu-lagu pop yang diaransir ulang
- Kenthongan - sebagian menyebut Tek - Tek.
- Kentongan juga terbuat dari bambu. Kenthong adalah alat utamanya, berupa potongan bambu yang diberi lubang memanjang disisinya dan dimainkan dengan cara dipukul dengan tongkat kayu pendek. Kenthongan dimainkan dalam kelompok yang terdiri dari sekitar 20 orang dan dilengkapi dengan Beduk, seruling, kecrek dan dipimpin oleh mayoret. Dalam satu grup kenthongan, Kenthong yang dipakai ada beberapa macam sehingga menghasilkan bunyi yang selaras. Lagu-lagu yang dibawakan kebanyakan lagu Jawa dan Dangdut.
- Salawatan Jawa
- yaitu salah satu seni musik bernafaskan Islam dengan perangkat musik berupa terbang Jawa. Dalam pertunjukan kesenian ini menyajikan lagu-lagu yang diambil dari kitab Barzanji.
Tarian
- Lengger,yaitu jenis tarian tradisional yang tumbuh subur diwilayah sebaran budaya Banyumasan. Kesenian ini umunya disajikan oleh dua orang wanita atau lebih. Pada pertengahan pertunjukkan hadir seorang penari pria yang lazim disebut badhud(badut/bodor), Lengger disajikan diatas panggung pada malam hari atau siang hari , dan diiringi oleh perangkat musik calung.
- SINTRÉN, adalah seni traditional yang dimainkan oleh seorang pria yang mengenakan busana wanita. Biasanya kesenian ini melekat pada kesenian ébég. Ditengah pertunjukkan ebeg para pemain melakukan trance/mendem, kemudian salah seorang pemain mendem badan, kemudian ditindih dengan lesung.Dan dimasukan ke dalam kurungan. Di dalam kurungan itu ia berdandan secara wanita dan menari bersama - sama dengan pemain yang lain. Pada beberapa kasus, pemain itu melakukan thole-thole, yaitu penari membawa tampah dan berkeliling arena untuk meminta sumbangan penonton.
- AKSIMUDA, adalah kesenian bernafas Islam yang tersaji dalam bentuk atraksi Pencak Silat yang digabung dengan tari-tarian.
- ANGGUK, yaitu kesenian bernafaskan Islam yang tersaji dalam bentuk tari-tarian. Dilakukan oleh delapan orang pemain, & pada bagian akhir pertunjukkan para pemain Trance (tidak sadar)
- APLANG atau DAENG, Kesenian yang serupa dengan Angguk, pemainnya terdiri atas remaja Putri.
- BONGKÉL, Musik Traditional yang mirip dengan Angklung, hanya terdiri atas satu buah Instrument dengan empat bilah berlaras slendro, dengan nada 2, 3, 5, 6. Dalam pertunjukkannya Bongkel disajikan gendhing - gendhing khusus bongkel.
- BUNCIS, yaitu perpaduan antara seni musik & seni tari yang disajikan oleh delapan orang pemain. Dalam pertunjukkannya diiringi dengan perangkat musik Angklung. Para pemain buncis selain menjadi penari juga menjadi pemusik & vokalis. Pada bagian akhir sajian para pemain Buncis Intrance atau mendem.
- ÉBÉG, adalah bentuk tari tradisional khas Banyumasan dengan Properti utama berupa ebeg atau kuda kepang. Kesenian ini menggambarkan kegagahan prajurit berkuda dengan segala atraksinya. Biasanya dalam pertunjukkan ebeg dilengkapi dengan atraksi barongan, penthul & cépét. Dalam pertunjukkannya ebeg diiringi oleh gamelan yang lazim disebut bendhe. Kesenian ini mirip dengan jathilan, kuda kepang dan kuda lumping di daerah lain.
Makanan
Wilayah Banyumasan mempunyai makanan khas yaitu Mendoan Tempe. Tempe sudah terkenal sampai keseluruh daerah di nusantara bahkan sampai ke dunia internasional. Beberapa makanan khas Banyumasan lainnya adalah keripik tempe, mendoan tempe, soto Sokaraja dan getuk goreng Sokaraja.
Wisata
Wilayah Banyumasan memiliki beberapa tempat wisata andalan, kebanyakan berupa keindahan alam seperti gua, air terjun dan wana wisata. Brebes : Waduk Malahayu dan Penjalin, pantai Randusanga, pemandian air panas Cipanas Bantarkawung dan Wanatirta, Kedungoleng, cagar alam Telaga Renjeng. Tegal : Guci Indah, pantai Purwahamba, waduk Cacaban, pemandian Kalibakung, goa Lawet, wisata sejarah Makam Amangkurat I dan wisata industri LIK Takaru. Pemalang : Pantai Widuri/Cilincing, pemandian Moga. Banjarnegara : Hutan wisata Wanayasa, taman satwa Selomanik atau menyaksikan fenomena hujan salju (mbun upas) saat puncak musim kemarau (Juli – Agustus), Kebumen : Benteng Van der Wijck, gua Jatijajar dan gua Petruk pantai Logending Ayah, Karangbolong, Petanahan, Mirit, Ambal, Buluspesantren dan Puring, waduk Sempor, waduk Wadaslintang dan pemandian air panas Krakal. Purbalingga : Gua Lawa, Monumen Jend. Soedirman, Purbasari Pancuran Mas. Cilacap : Segara Anakan, hutan wisata Srandil, benteng Pendem serta Pulau Nusakambangan. Banyumas : Baturaden, Curug Cipendok, Masjid saka tunggal, pancuran pitu, mata air panas Kalibacin.
Lain-Lain
==Tokoh Terkenal== Sudirman, Gatot Subroto, Surono, R.A. Wiriaatmaja, Susilo Sudarman, Suparjo Rustam, Yoga Soegama, R. Suprapto, Margono Sukarjo, K.H. Muslich, Ahmad Tohari, Kurnia Effendi, M. Koderi, Entang Wiharso, Slamet Gundono, Ki Sugino Siswocarito, Ki Enthus Susmono, Ki Sugito Purbotjarito, Timbul Suhadi, Eko Budiharjo, Otto Soemarwoto, Imam Budidarmawan Prasodjo, Purwoto Suhadi Gandasubtara, Kuntoro Mangkusubroto, Sanyoto Sastrowardoyo, Fuad Bawazier, Subiakto Tjakrawerdaya, Hartono Mardjono, Rustriningsih, Mauro Purnomo Rahardjo, Yani Saptohudoyo, Mayangsari, Ebiet G. Ade, Christian Hadinata, Muhammad Sarengat, Richard Sam Bera, Purnomo, Meitri Widya Pangestika, Felix & Albert Sutanto, Titiek Sandhora - Muchsin Alatas, Bagyo, Darto Helm, Indro Warkop, Toro Margen, Soemarno Wiryo Di Harjo atau Pak Singa, Tuti Wasiat, Koes Hendratmo dll.