Pemuliaan tanaman

pemuliaan tanaman

Pemuliaan tanaman atau pembiakan tanaman adalah kegiatan mengubah susunan genetik individu maupun populasi tumbuhan untuk suatu tujuan. Pemuliaan tanaman kadang-kadang disamakan dengan penangkaran tanaman, kegiatan memelihara tanaman untuk memperbanyak dan menjaga kemurnian; pada kenyataannya, kegiatan penangkaran adalah sebagian dari pemuliaan. Selain melakukan penangkaran, pemuliaan berusaha memperbaiki mutu genetik sehingga diperoleh tanaman yang lebih bermanfaat.

Plot demonstrasi (demplot) memperlihatkan variasi tinggi tanaman berbagai kultivar jagung.

Pengetahuan mengenai perilaku biologi tumbuhan dan pengalaman dalam budidaya tanaman merupakan hal yang paling menentukan keberhasilan usaha pemuliaan, sehingga buku-buku teks sering kali menyebut pemuliaan tanaman sebagai seni dan ilmu memperbaiki keturunan tanaman demi kemaslahatan manusia.[1] Di perguruan tinggi, pemuliaan tanaman biasa dianggap sebagai cabang agronomi (ilmu produksi tanaman) atau genetika terapan, karena sifat multidisiplinernya.

Pelaku pemuliaan tanaman disebut pemulia tanaman. Karena pengetahuannya, seorang pemulia tanaman biasanya juga menguasai agronomi dan genetika. Tugas pokok seorang pemulia tanaman adalah merakit kultivar yang lebih baik:[2] memiliki ciri-ciri yang khas dan lebih bermanfaat bagi penanamnya.

Aplikasi kultivar unggul padi dan gandum merupakan salah satu komponen penting dalam Revolusi Hijau,[3] suatu paket penggunaan teknologi modern secara massal untuk menggenjot produksi pangan dunia, khususnya gandum roti, jagung, dan padi. Dilihat dari sudut pandang agribisnis, pemuliaan tanaman merupakan bagian dari usaha perbenihan yang menempati posisi awal/hulu dari keseluruhan mata rantai industri pertanian.

Tujuan dalam pemuliaan tanaman

sunting
 
Tujuan dalam pemuliaan tanaman dapat bersifat spesifik. Tanaman di bagian kanan atas warna daunnya menjadi merah apabila tempat tumbuhnya mengandung nitrogen dioksida. Sifat ini dimanfaatkan untuk mendeteksi keberadaan ranjau yang melepaskan senyawa tersebut.

Tujuan dalam program pemuliaan tanaman didasarkan pada strategi jangka panjang untuk mengantisipasi berbagai perubahan arah konsumen atau keadaan lingkungan. Pemuliaan padi, misalnya, pernah diarahkan pada peningkatan hasil, tetapi sekarang titik berat diarahkan pada perakitan kultivar yang toleran terhadap kondisi ekstrem (tahan genangan, tahan kekeringan, dan tahan lahan bergaram) karena proyeksi perubahan iklim dalam 20–50 tahun mendatang. Tujuan pemuliaan akan diterjemahkan menjadi program pemuliaan.

Ada dua tujuan umum dalam pemuliaan tanaman: peningkatan kepastian terhadap hasil yang tinggi dan perbaikan kualitas dari produk yang dihasilkan.[4]

Peningkatan kepastian terhadap hasil biasanya diarahkan pada peningkatan daya hasil, cepat dipanen, ketahanan terhadap organisme pengganggu atau kondisi alam yang kurang baik bagi usaha tani, serta kesesuaian terhadap perkembangan teknologi pertanian yang lain. Hasil yang tinggi menjamin terjaganya persediaan bahan mentah untuk diolah lebih lanjut. Tanaman yang berumur singkat (genjah) akan memungkinkan efisiensi penggunaan lahan yang lebih tinggi. Ketahanan terhadap organisme pengganggu atau kondisi alam yang tidak mendukung akan membantu pelaku usaha tani menghindari kerugian besar akibat serangan hama, penyakit, serta bencana alam. Beberapa tanaman tertentu yang dalam usaha budidayanya melibatkan banyak peralatan mekanik memerlukan populasi yang seragam atau khas agar dapat sesuai dengan kemampuan mesin dalam bekerja.

Usaha perbaikan kualitas produk adalah tujuan utama kedua. Tujuan semacam ini dapat diarahkan pada perbaikan ukuran, warna, kandungan bahan tertentu (atau penambahan serta penghilangan substansi tertentu), pembuangan sifat-sifat yang tidak disukai, ketahanan simpan, atau keindahan serta keunikan. Perkembangan bioteknologi di akhir abad ke-20 telah membantu pemuliaan terhadap tanaman yang mampu menghasilkan bahan pangan dengan kandungan gizi tambahan (pangan fungsional) atau mengandung bahan pengobatan tertentu (pharmcrops, kegiatannya dikenal sebagai crop pharming).[5]

Sejarah

sunting

Kegiatan pemuliaan tanaman dapat dikatakan sebagai tekanan evolusi yang sengaja dilakukan oleh manusia. Pada masa prasejarah, pemuliaan tanaman telah dilakukan orang sejak dimulainya domestikasi tanaman, namun dilakukan tanpa dasar ilmu yang jelas. Sisa-sisa biji-bijian dari situs-situs peninggalan arkeologi membantu menyingkap masa prasejarah pemuliaan tanaman. Catatan-catatan pertama dalam jumlah besar mengenai berbagai jenis tanaman diperoleh dari karya penulis-penulis Romawi, terutama Plinius.

Domestikasi

sunting
 
Perkembangan bunga betina jagung dari teosinte (kiri) tanpa tongkol menjadi jagung dengan tongkol dan banyak baris.

Para petani pada masa-masa awal pertanian selalu menyimpan sebagian benih untuk pertanaman berikutnya dan tanpa sengaja melakukan pemilihan (seleksi) terhadap tanaman yang kuat karena hanya tanaman yang kuat mampu bertahan hingga panen.[6] Sifat pertama dalam budidaya tanaman serealia (bijirin) yang termuliakan adalah ukuran bulir yang menjadi lebih besar dan menurunnya tingkat kerontokan bulir pada tanaman budidaya apabila dibandingkan dengan moyang liarnya.[7] Beberapa petunjuk untuk hal ini dapat diperkirakan dari temuan sejumlah sisa bulir jelai dan einkorn di lembah Sungai Eufrat dan Sungai Tigris (paling tua 9000 SM) serta padi di daerah aliran Sungai Yangtze.[7] Temuan serupa untuk biji polong-polongan berasal dari India utara dan kawasan Afrika Sub-Sahara.[7]

Perkembangan seleksi lebih lanjut telah menunjukkan kesengajaan dan terkait dengan tingkat kebudayaan masyarakat penanam. Bulir jagung terseleksi dari teosinte yang bulirnya keras serta terbungkus sekam, lalu menjadi jagung bertongkol namun bulirnya masih terbungkus sekam, dan akhirnya bentuk yang berbulir tanpa sekam dan lebih mudah digiling menjadi semakin banyak ditemukan. Beberapa petunjuk yang sama juga terlihat dari temuan-temuan untuk bulir gandum roti dan jelai.[7] Contoh lainnya adalah munculnya padi ketan serta jagung ketan di Asia Timur dan Asia Tenggara.[7] Hanya dari wilayah inilah muncul jenis-jenis ketan dari delapan spesies dan menunjukkan preferensi akan sifat ini.

Pemuliaan pada masa pramodern

sunting

Kebudayaan Romawi Kuno (abad ke-9 SM – abad ke-5 Masehi) meninggalkan banyak tulisan mengenai keanekaragaman tanaman budidaya dan juga menyebut berbagai variasi setiap jenis. Cato dengan De Agri Cultura[8] dan Plinius yang Tua dengan Naturalis Historia, misalnya, memberi banyak informasi mengenai variasi tanaman dan khasiat masing-masing bagi kesehatan.

Kitab suci seperti Al-Qur'an,[9] juga menyebut tentang variasi pada beberapa tanaman. Hal ini menunjukkan telah ada kesadaran dalam memilih bahan tanam dan pemilihan kultivar tertentu dengan target konsumen yang berbeda-beda.

Pada awal milenium pertama dan paruh pertama milenium kedua telah terjadi pertukaran komoditas pertanian yang berakibat migrasi sejumlah bahan pangan. Pisang menyebar dari Asia Tenggara maritim ke arah barat hingga pantai timur Afrika. Berbagai tanaman rempah, seperti merica dan ketumbar, dan tanaman "suci", seperti randu alas dan beringin, menyebar dari India ke Nusantara. Namun demikian, pertukaran tanaman yang intensif terjadi setelah penjelajahan orang Eropa.

Kolonialisme dan penyebaran tanaman "eksotik"

sunting
 
Bermacam-macam variasi kentang. Kentang didatangkan dari Amerika Selatan pada abad ke-15 ke Eropa, lalu menyebar ke Asia.

Meskipun penyebaran tanaman telah terjadi sebelum kolonialisme, Zaman Penjelajahan (sejak abad ke-14) dan kolonialisme (penjajahan) yang menyusulnya telah membawa pengaruh yang dramatis dalam budidaya tanaman.[butuh rujukan]

Segera setelah orang Spanyol dan Portugis menaklukkan Amerika dan menemukan jalur laut ke Tiongkok, terjadi pertukaran berbagai tanaman dari Dunia Baru ke Dunia Lama, dan sebaliknya. Kopi yang berasal Afrika, misalnya, dibawa ke Amerika dan Asia (dibawa ke Nusantara pada abad ke-18 awal).[10] Kelak (abad ke-18) tebu juga menyebar dari Asia Tenggara menuju Amerika tropis, seperti Karibia dan Guyana. Namun demikian, yang lebih intensif adalah penyebaran berbagai tanaman budidaya penduduk asli Amerika ke tempat lain: jagung, kentang, tomat, cabai, kakao, para (karet), serta berbagai tanaman buah dan hias.

Pada abad ke-18, terjadi gelombang rasionalisasi di Eropa sebagai dampak Masa Pencerahan. Orang-orang kaya di Eropa (dan pada tingkat tertentu juga di Cina dan Jepang) mulai meminati koleksi tanaman eksotik dan kebun-kebun kastel mereka yang luas menjadi tempat koleksi berbagai tanaman dari negeri asing. Pada abad ke-18 mulai berkembang perkebunan-perkebunan monokultur (satu macam tanaman pada satu petak lahan). Berbagai tanaman penghasil komoditi dagang utama dunia seperti tebu, teh, kopi, lada, dan tarum dibudidayakan di berbagai tanah jajahan, termasuk Kepulauan Nusantara, tentu saja dengan melibatkan perbudakan atau tanam paksa. Pada abad ini pula cengkih dan pala mulai ditanam di luar Maluku, sehingga harganya menurun dan tidak lagi menjadi rempah-rempah yang eksklusif.[butuh rujukan]

Pola pertanaman monokultur yang diterapkan pada abad ke-18 dan ke-19 di Eropa dan perkebunan-perkebunan di berbagai negeri jajahan memakan korban dengan terjadinya dua wabah besar: serangan hawar kentang Phytophthora infestans yang menyebabkan Wabah Kelaparan Besar di Irlandia, Skotlandia serta beberapa wilayah Eropa lainnya sejak 1845 akibat dan hancurnya perkebunan kopi arabika dan liberika akibat serangan karat daun Hemileia vastatrix di perkebunan dataran rendah Afrika dan Asia sejak 1861 sampai akhir abad ke-19. Pada tahun 1880-an juga meluas wabah penyakit sereh di berbagai perkebunan tebu dunia.[11]

Para botaniwan dan ahli pertanian kemudian segera mengambil pelajaran dari kasus-kasus ini untuk menyediakan bahan tanam yang tahan terhadap serangan organisme pengganggu, sekaligus memberikan hasil yang lebih baik. Usaha-usaha perbaikan mutu genetik tanaman perkebunan mulai dilakukan pada akhir abad ke-19 di beberapa daerah koloni, termasuk Hindia Belanda.[butuh rujukan]

Kebun penelitian gula (tebu) pertama kali didirikan di Semarang tahun 1885 (Proefstation Midden Java), setahun kemudian didirikan pula di Kagok, Jawa Barat, dan menyusul di Pasuruan tanggal 8 Juli 1887 (Proefstation Oost Java, POJ). Salah satu misinya adalah mengatasi kerugian akibat penyakit sereh. Pada tahun 1905 seluruh penelitian gula/tebu dipusatkan di Pasuruan (sekarang menjadi P3GI).[12] Berbagai klon tebu hasil lembaga penelitian ini pernah termasuk sebagai kultivar tebu paling unggul di dunia di paruh pertama abad ke-20, seperti POJ 2364, POJ 2878, dan POJ 3016 sehingga menjadikan Jawa sebagai produsen gula terbesar di belahan timur bumi.[13]

Pusat penelitian karet (sekarang menjadi Pusat Penelitian Karet Indonesia) didirikan di Sungei Putih, Sumatera Utara, oleh AVROS, dan pemuliaan para dimulai sejak 1910.[14] AVROS juga mendirikan lembaga penelitian kelapa sawit (sekarang populer sebagai PPKS) di Marihat, Sumatera Utara pada tahun 1911, meskipun tanaman ini sudah sejak 1848 didatangkan ke Medan/Deli dan Bogor.

Abad ke-20: Pemuliaan berbasis ilmu

sunting

Awal abad ke-20 menjadi titik perkembangan pemuliaan tanaman yang berbasis ilmu pengetahuan. Perkembangan pesat dalam botani, genetika, agronomi, dan statistika tumbuh sebagai motor utama modernisasi pemuliaan tanaman sejak awal abad ke-20 hingga 1980-an. Mekanisasi pertanian di dunia yang meluas sejak 1950-an memungkinkan penanaman secara massal dengan tenaga kerja minimal. Ketika biologi molekular tumbuh pesat sejak 1970-an, pemuliaan tanaman juga mengambil manfaat darinya, dan mulailah perkembangan pemuliaan tanaman yang didukung ilmu tersebut sejak 1980-an. Bioinformatika juga perlahan-lahan mengambil peran statistika sebagai pendukung utama dalam analisis data eksperimen.[butuh rujukan]

Gelombang pertama: pemuliaan konvensional

sunting
 
Jagung hibrida mendominasi 90% lahan jagung di Amerika Serikat pada tahun 1940. Di Indonesia 50% lahan jagung ditanami jagung hibrida tahun 2010[15].

Penemuan kembali Hukum Pewarisan Mendel pada tahun 1900, eksperimen terhadap seleksi atas generasi hasil persilangan dan galur murni oleh Wilhelm Johannsen (dekade pertama abad ke-20), peletakan dasar Hukum Hardy-Weinberg (1908 dan 1909), dan penjelasan pewarisan kuantitatif berbasis Hukum Mendel oleh Sir Ronald Fisher pada tahun 1916 memberikan banyak dasar-dasar teoretik terhadap berbagai fenomena yang telah dikenal dalam praktik dan menjadi dasar bagi aplikasi ilmu dan teknologi dalam perbaikan kultivar.

Perkembangan yang paling revolusioner dalam genetika dan pemuliaan tanaman adalah ditemukannya cara perakitan varietas hibrida pada tahun 1910-an setelah serangkaian percobaan persilangan galur murni di Amerika Serikat sejak akhir abad ke-19 oleh Edward M. East, George H. Shull dan Donald F. Jones yang memanfaatkan gejala heterosis. Ditemukannya teknologi mandul jantan pada tahun 1940-an semakin meningkatkan efisiensi perakitan varietas hibrida.

Cara budidaya yang semakin efisien dan mendorong intensifikasi dalam pertanian, dengan penggunaan pupuk kimia, pestisida, dan mekanisasi pertanian, memunculkan lahan pertanian dengan kebutuhan benih berjumlah besar dan mulai menghasilkan "raksasa" dalam industri perbenihan. Tumbuhnya industri perbenihan juga dimungkinkan sejak adanya varietas hibrida karena benih yang harus dibeli petani memungkinkan industri perbenihan untuk tumbuh. Dari sini mulai muncul pula isu perlindungan varietas tanaman. Di Amerika Serikat muncul Dekalb dan Pioneer Hi-Bred sebagai pemain utama dalam industri benih. Dari Eropa, wilayah yang telah memulai produksi benih setengah industrial pada abad ke-19, muncul KWS Saat dan NPZ (Jerman), serta SW Seeds (Swedia) sebagai pemain utama di bidang perbenihan tanaman serealia dan pakan ternak hijauan. Di Taiwan dan Jepang juga berkembang perusahaan benih yang menguasai pasar regional Asia, seperti Sakata (Jepang) dan Known You Seeds (Taiwan).

Seusai Perang Dunia II (PD II) perbaikan genetik gandum yang didukung Yayasan Rockefeller di lembaga penelitian yang didanainya di Meksiko sebagai bagian dari paket teknologi untuk melipatgandakan hasil gandum menunjukkan keberhasilan. Strategi ini, yang dikonsep oleh Norman Borlaug, kemudian dicoba untuk diterapkan pada tanaman pokok lain, khususnya padi dan beberapa serealia minor lainnya (seperti sorgum dan milet) dan didukung oleh FAO. Revolusi dalam teknik bercocok tanam ini kelak dikenal secara iinformal sebagai Revolusi Hijau. Untuk mendukung revolusi ini banyak dibentuk lembaga-lembaga penelitian perbaikan tanaman bertaraf dunia seperti CIMMYT (di Meksiko, 1957; sebagai kelanjutan dari lembaga milik Yayasan Rockefeller), IRRI (di Filipina, 1960), ICRISAT (di Andhra Pradesh, India, 1972), dan CIP (di La Molina, Peru). Lembaga-lembaga ini sekarang tergabung dalam CGIAR dan koleksi serta hasil-hasil penelitiannya bersifat publik.

Akhir PD II juga menjadi awal berkembangnya teknik-teknik baru dalam perluasan latar genetik tanaman. Mutasi buatan, yang tekniknya dikenal sejak 1920-an, mulai luas dikembangkan pada tahun 1950-an sampai dengan 1970-an sebagai cara untuk menambahkan variabilitas genetik. Pemuliaan dengan menggunakan teknik mutasi buatan ini dikenal sebagai pemuliaan mutasi. Selain mutasi, teknik perluasan latar genetik juga menggunakan teknik poliploidisasi buatan menggunakan kolkisin, yang dasar-dasarnya diperoleh dari berbagai percobaan oleh Karpechenko pada tahun 1920-an. Tanaman poliploid biasanya berukuran lebih besar dan dengan demikian memiliki hasil yang lebih tinggi.

Gelombang kedua: Integrasi bioteknologi dalam pemuliaan

sunting
 
Daun dari kacang tanah yang telah direkayasa dengan sisipan gen cry dari Bacillus thuringiensis (bawah) tidak disukai ulat penggerek.

Gelombang bioteknologi, yang memanfaatkan berbagai metode biologi molekuler, yang mulai menguat pada tahun 1970-an mengimbas pemuliaan tanaman. Tanaman transgenik pertama dilaporkan hampir bersamaan pada tahun 1983,[16] yaitu tembakau, Petunia, dan bunga matahari. Selanjutnya muncul berbagai tanaman transgenik dari berbagai spesies lain; yang paling populer dan kontroversial adalah pada jagung, kapas, tomat, dan kedelai yang disisipkan gen-gen toleran herbisida atau gen ketahanan terhadap hama tertentu. Perkembangan ini memunculkan wacana pemberian hak paten terhadap metode, gen, serta tumbuhan terlibat dalam proses rekayasa ini. Kalangan aktivis lingkungan dan sebagian filsuf menilai hal ini kontroversial dengan memunculkan kritik ideologis dan etis terhadap praktik ini sebagai reaksinya, terutama karena teknologi ini dikuasai oleh segelintir perusahaan multinasional. Isu politik, lingkungan, dan etika, yang sebelumnya tidak pernah masuk dalam khazanah pemuliaan tanaman, mulai masuk sebagai pertimbangan baru.

Sebagai jawaban atas kritik terhadap tanaman transgenik, pemuliaan tanaman sekarang mengembangkan teknik-teknik bioteknologi dengan risiko lingkungan yang lebih rendah seperti SMART Breeding ("Pemuliaan SMART")[17][18] dan Breeding by Design,[19] yang mendasarkan diri pada pemuliaan dengan penanda,[20] dan juga penggunaan teknik-teknik pengendalian regulasi ekspresi gen seperti peredaman gen, dan kebalikannya, pengaktifan gen.

Meskipun penggunaan teknik-teknik terbaru telah dilakukan untuk memperluas keanekaragaman genetik tanaman, hampir semua produsen benih, baik yang komersial maupun publik, masih mengandalkan pada pemuliaan tanaman "konvensional" dalam berbagai programnya.

Di arah yang lain, gerakan pemuliaan tanaman "gotong-royong" atau partisipatif (participatory plant breeding) juga menjadi jawaban atas kritik hilangnya kekuasaan petani atas benih. Gerakan ini tidak mengarah pada perbaikan hasil secara massal, tetapi lebih mengarahkan petani, khususnya yang masih tradisional, untuk tetap menguasai benih yang telah mereka tanam secara turun-temurun sambil memperbaiki mutu genetiknya. Perbaikan mutu genetik tanaman ditentukan sendiri arahnya oleh petani dan pemulia membantu mereka dalam melakukan programnya sendiri.[21] Istilah "gotong-royong" (participatory) digunakan untuk menggambarkan keterlibatan semua pihak (petani, LSM, pemulia, dan pedagang benih) dalam kegiatan produksi benih dan pemasarannya. Gerakan ini sangat memerlukan dorongan dari organisasi non-pemerintah (LSM), khususnya pada masyarakat tidak berorientasi komersial.

Strategi dasar pemuliaan tanaman

sunting

Pemuliaan tanaman mencakup tindakan penangkaran koleksi bahan/material pemuliaan (dikenal pula sebagai plasma nutfah atau germplasms), penciptaan kombinasi sifat-sifat baru (biasanya melalui persilangan yang intensif), dan seleksi terhadap bahan yang dimiliki. Semua tindakan ini dilakukan setelah tujuan spesifik program pemuliaan ditentukan sebelumnya.[22]

Koleksi plasma nutfah

sunting
 
Koleksi plasma nutfah dapat disimpan dalam bank/gudang benih.

Plasma nutfah adalah bahan baku dasar pemuliaan karena di sini tersimpan berbagai keanekaragaman sifat yang dimiliki oleh masing-masing nomor koleksi (aksesi). Tanpa keanekaragaman, perbaikan sifat tidak mungkin dilakukan.

Usaha pencarian plasma nutfah baru berarti eksplorasi ke tempat-tempat yang secara tradisional menjadi pusat keanekaragaman hayati (atau hutan) atau dengan melakukan pertukaran koleksi. Lembaga-lembaga publik seperti IRRI dan CIMMYT menyediakan koleksi plasma nutfah bagi publik secara bebas bea, namun untuk kepentingan bisnis diatur oleh perjanjian antara pihak-pihak yang terkait.

Peningkatan keragaman (variabilitas) genetik

sunting
 
Keanekaragaman dalam plasma nutfah merupakan bahan dasar untuk perakitan kultivar baru.

Apabila aksesi tidak ada satu pun yang memiliki suatu sifat yang diinginkan, pemulia tanaman melakukan beberapa cara untuk merakit individu yang memiliki sifat ini. Beberapa cara yang dapat dilakukan adalah introduksi bahan koleksi, persilangan, manipulasi kromosom, mutasi dengan paparan radioaktif atau bahan kimia tertentu, penggabungan (fusi) protoplas/inti sel, manipulasi urutan gen, transfer gen, dan manipulasi regulasi gen.

Empat cara yang disebut terakhir kerap dianggap sebagai bagian dari bioteknologi pertanian (green biotechnology). Tiga cara yang terakhir adalah bagian dari rekayasa genetika dan dianggap sebagai "pemuliaan tanaman molekular" karena menggunakan metode-metode biologi molekular.[23]

Introduksi

sunting

Mendatangkan bahan tanam dari tempat lain (introduksi) merupakan cara paling sederhana untuk meningkatkan keragaman (variabilitas) genetik. Seleksi penyaringan (screening) dilakukan terhadap koleksi plasma nutfah yang didatangkan dari berbagai tempat dengan kondisi lingkungan yang berbeda-beda. Pengetahuan tentang pusat keanekaragaman (diversitas) tumbuhan penting untuk penerapan cara ini. Keanekaragaman genetik untuk suatu spesies tidaklah sama di semua tempat di dunia. N.I. Vavilov, ahli botani dari Rusia, memperkenalkan teori "pusat keanekaragaman" (centers of origin) bagi keanekaragaman tumbuhan.

Contoh pemuliaan yang dilakukan dengan cara ini adalah pemuliaan untuk berbagai jenis tanaman buah asli Indonesia, seperti durian dan rambutan, atau tanaman pohon lain yang mudah diperbanyak secara vegetatif, seperti ketela pohon dan jarak pagar. Introduksi dapat dikombinasi dengan persilangan.

Persilangan

sunting
 
Malai padi dibungkus dengan kertas pelindung untuk mencegah penyerbukan yang tidak dikehendaki. Persilangan masih menjadi tulang punggung industri perbenihan sampai saat ini.

Persilangan merupakan cara yang paling populer untuk meningkatkan variabilitas genetik, bahkan sampai sekarang karena murah, efektif, dan relatif mudah dilakukan. Berbagai galur hasil rekayasa genetika pun biasanya masih memerlukan beberapa kali persilangan untuk memperbaiki penampilan sifat-sifat barunya.

Pada dasarnya, persilangan adalah manipulasi komposisi gen dalam populasi. Keberhasilan persilangan memerlukan prasyarat pemahaman akan proses reproduksi tanaman yang bersangkutan (biologi bunga). Berbagai macam skema persilangan telah dikembangkan (terutama pada pertengahan abad ke-20) dan menghasilkan sekumpulan metode pemuliaan yang telah diterapkan pada berbagai perusahaan perbenihan.

Walaupun secara teknis relatif mudah, keberhasilan persilangan perlu mempertimbangkan ketepatan waktu berbunga (sinkronisasi), keadaan lingkungan yang mendukung, kemungkinan inkompatibilitas, dan sterilitas keturunan. Keterampilan teknis dari petugas persilangan juga dapat berpengaruh pada keberhasilan persilangan. Pada sejumlah tanaman, seperti jagung, padi, dan Brassica napus (rapa), penggunaan teknologi mandul jantan dapat membantu mengurangi hambatan teknis karena persilangan dapat dilakukan tanpa bantuan manusia.

Semua varietas unggul padi, jagung, dan kedelai yang ditanam di Indonesia saat ini dirakit melalui persilangan yang diikuti dengan seleksi.

Perkembangan dalam biologi molekular memunculkan metode-metode pemuliaan baru yang dibantu dengan penanda genetik dan dikenal sebagai pemuliaan dengan penanda.

Manipulasi kromosom

sunting

Yang termasuk dalam cara ini adalah semua manipulasi ploidi, baik poliploidisasi (penggandaan genom) maupun pengubahan jumlah kromosom. Gandum roti dikembangkan dari penggabungan tiga genom spesies yang berbeda-beda. Semangka tanpa biji dikembangkan dari persilangan semangka tetraploid dengan semangka diploid. Pengubahan jumlah kromosom (seperti pembuatan galur trisomik atau monosomik) biasanya dilakukan sebagai alat analisis genetik untuk menentukan posisi gen-gen yang mengatur sifat tertentu. Galur dengan jumlah kromosom yang tidak berimbang seperti itu mengalami hambatan dalam pertumbuhannya.

Teknik pemuliaan ini sebenarnya juga mengandalkan persilangan dalam praktiknya.

Pemuliaan dengan bantuan mutasi

sunting

Pemuliaan tanaman dengan bantuan mutasi (dikenal pula sebagai pemuliaan tanaman mutasi) adalah teknik yang pernah cukup populer untuk menghasilkan variasi-variasi sifat baru. Teknik ini pertama kali diterapkan oleh Stadler pada tahun 1924[24] tetapi prinsip-prinsip pemanfaatannya untuk pemuliaan tanaman diletakkan oleh Åke Gustafsson dari Swedia.[24] Tanaman dipaparkan pada sinar radioaktif dari isotop tertentu (biasanya kobal-60) dengan dosis rendah sehingga tidak mematikan tetapi mengubah sejumlah basa DNA-nya. Mutasi pada gen akan dapat mengubah penampilan tanaman. Pada tanaman yang dapat diperbanyak secara vegetatif, induksi jaringan kimera sudah cukup untuk menghasilkan kultivar baru. Pada tanaman yang diperbanyak dengan biji, mutasi harus terbawa oleh sel-sel reproduktif, dan generasi selanjutnya (biasa disebut M2, M3, dan seterusnya) diseleksi.

Pemuliaan mutasi sejak akhir abad ke-20 telah dilakukan pula dengan melakukan mutasi pada jaringan yang dibudidayakan (kultur jaringan) atau dengan bantuan teknik TILLING. TILLING membantu mutasi secara lebih terarah sehingga hasilnya lebih dapat diramalkan.[25]

Hingga tahun 2006 telah dihasilkan lebih dari 2300 kultivar tanaman dengan mutasi, 566 di antaranya adalah tanaman hias.[26] Daftar kultivar dengan pemuliaan mutasi dapat diakses pada http://www-mvd.iaea.org Diarsipkan 2015-07-21 di Wayback Machine..

Manipulasi gen dan ekspresinya

sunting

Metode-metode yang melibatkan penerapan genetika molekular masuk dalam kelompok ini, seperti teknologi antisense, peredaman gen (termasuk interferensi RNA), rekayasa gen, dan overexpression. Meskipun teknik-teknik ini telah diketahui berhasil diterapkan dalam skala percobaan, belum ada kultivar komersial yang dirilis dengan cara-cara ini.

Transfer gen

sunting
 
Alat biolistik untuk transfer gen.

Transfer gen sebagai alat untuk menghasilkan keragaman genetik tanaman mulai dikembangkan sejak 1980-an, setelah orang menemukan enzim endonuklease restriksi dan mengetahui cara menyisipkan fragmen DNA organisme asing ke dalam kromosom penerima, dan diciptakannya alat sekuensing DNA. Teknik transfer gen juga memerlukan keterampilan dalam budidaya jaringan untuk mendukung proses ini. Karena memerlukan biaya sangat tinggi, hanya industri agrokimia yang sanggup menggunakan metode ini. Akibat dari hal ini berkembanglah isu "penguasaan gen" sebagai isu politik baru karena gen-gen "buatan" dan kultivar yang dihasilkan dikuasai oleh segelintir perusahaan multinasional besar.

Dalam transfer gen, fragmen DNA dari organisme lain (baik mikrob, hewan, atau tanaman), atau dapat pula gen sintetik, disisipkan ke dalam tanaman penerima dengan harapan gen "baru" ini akan terekspresi dan meningkatkan keunggulan tanaman tersebut. Strategi pemuliaan ini banyak mendapat penentangan dari kelompok-kelompok lingkungan karena kultivar yang dihasilkan dianggap membahayakan lingkungan jika dibudidayakan.

Penyisipan gen dilakukan melalui berbagai cara: transformasi dengan perantara bakteri penyebab puru tajuk Agrobacterium (terutama untuk tanaman non-monokotil), elektroporasi terhadap membran sel, biobalistik (penembakan partikel), dan transformasi dengan perantara virus.


Identifikasi dan seleksi terhadap bahan pemuliaan

sunting
 
Penyaringan adalah salah satu cara mengidentifikasi sifat yang dimiliki bahan pemuliaan. Galur di sebelah kanan rentan terhadap kegaraman tinggi, sedangkan di sebelah kiri toleran.

Bahan atau materi pemuliaan dengan keanekaragaman yang luas selanjutnya perlu diidentifikasi sifat-sifat khas yang dibawanya, diseleksi berdasarkan hasil identifikasi sesuai dengan tujuan program pemuliaan, dan dievaluasi kestabilan sifatnya sebelum dinyatakan layak dilepas kepada publik. Dalam proses ini penguasaan berbagai metode percobaan, metode seleksi, dan juga "naluri" oleh seorang pemulia sangat diperlukan.

Identifikasi keunggulan

sunting

Usaha perluasan keanekaragaman akan menghasilkan banyak bahan yang harus diidentifikasi. Pertimbangan sumber daya menjadi faktor pembatas dalam menguji banyak bahan pemuliaan. Pada masa lalu identifikasi dilakukan dengan pengamatan yang mengandalkan naluri seorang pemulia dalam memilih beberapa individu unggulan. Program pemuliaan modern mengandalkan rancangan percobaan yang diusahakan seekonomis tetapi seakurat mungkin. Percobaan dapat dilakukan di laboratorium untuk pengujian genotipe/penanda genetik atau biokimia, di rumah kaca untuk penyaringan ketahanan terhadap hama atau penyakit, atau lingkungan di bawah optimal, serta di lapangan terbuka. Tahap identifikasi dapat dilakukan terpisah maupun terintegrasi dengan tahap seleksi.

Seleksi

sunting

Banyak metode seleksi yang dapat diterapkan, penggunaan masing-masing ditentukan oleh berbagai hal, seperti moda reproduksi (klonal, berpenyerbukan sendiri, atau silang), heritabilitas sifat yang menjadi target pemuliaan, serta ketersediaan biaya dan fasilitas, serta jenis kultivar yang akan dibuat.

Tanaman yang dapat diperbanyak secara klonal merupakan tanaman yang relatif mudah proses seleksinya. Keturunan pertama hasil persilangan dapat langsung diseleksi dan dipilih yang menunjukkan sifa-sifat terbaik sesuai yang diinginkan.

Seleksi massa dan seleksi galur murni dapat diterapkan terhadap tanaman dengan semua moda reproduksi. Hasil persilangan tanaman berpenyerbukan sendiri yang tidak menunjukkan depresi silang-dalam seperti padi dan gandum dapat pula diseleksi secara curah (bulk). Teknik modifikasi seleksi galur murni yang sekarang banyak dipakai adalah keturunan biji tunggal (single seed descent, SSD) karena dapat menghemat tempat dan tenaga kerja.

Terhadap tanaman berpenyerbukan silang atau mudah bersilang, seleksi berbasis nilai pemuliaan (breeding value) dianggap yang paling efektif. Berbagai metode, seperti seleksi "tongkol-ke-baris" (beserta modifikasinya), seleksi saudara tiri, seleksi saudara kandung, dan seleksi saudara kandung timbal-balik (reciprocal selection), diterapkan apabila tanaman memenuhi syarat perbanyakan seperti ini. Metode seleksi timbal-balik yang berulang (recurrent reciprocal selection) adalah program seleksi jangka panjang yang banyak diterapkan perusahaan-perusahaan besar benih untuk memperbaiki lungkang gen (gene pool) yang mereka miliki. Dua atau lebih lungkang gen perlu dimiliki dalam suatu program pembuatan varietas hibrida.

Penggunaan penanda genetik sangat membantu dalam mempercepat proses seleksi. Apabila dalam pemuliaan konvensional seleksi dilakukan berdasarkan pengamatan langsung terhadap sifat yang diamati, aplikasi pemuliaan tanaman dengan penanda (genetik) dilakukan dengan melihat hubungan antara alel penanda dan sifat yang diamati. Agar teknik ini dapat dilakukan, hubungan antara alel/genotipe penanda dengan sifat yang diamati harus ditegakkan terlebih dahulu.

Evaluasi (pengujian)

sunting

Bahan-bahan pemuliaan yang telah terpilih harus dievaluasi atau diuji terlebih dahulu dalam kondisi lapangan karena proses seleksi pada umumnya dilakukan pada lingkungan terbatas dan dengan ukuran populasi kecil. Evaluasi dilakukan untuk melihat apakah keunggulan yang ditunjukkan sewaktu seleksi juga dipertahankan dalam kondisi lahan pertanian terbuka dan dalam populasi besar. Selain itu, bahan pemuliaan terpilih juga akan dibandingkan dengan kultivar yang sudah lebih dahulu dirilis. Calon kultivar yang tidak mampu mengungguli kultivar yang sudah lebih dahulu dirilis akan dicoret dalam proses ini. Apabila bahan pemuliaan lolos tahap evaluasi, ia akan dipersiapkan untuk dirilis sebagai kultivar baru.

Dalam praktik, biasanya ada tiga jenis evaluasi atau pengujian yang diterapkan sebelum suatu kultivar dilepas, yaitu uji pendahuluan (melibatkan 20-50 bahan pemuliaan terseleksi), uji daya hasil pendahuluan (maksimum 20), dan uji multilingkungan/multilokasi (atau uji daya hasil lanjutan, biasanya kurang dari 10). Semakin lanjut tahap pengujian, ukuran plot percobaan semakin besar. Setiap negara memiliki aturan tersendiri mengenai bakuan untuk masing-masing jenis pengujian dan jenis tanaman.

Calon kultivar yang akan dirilis/dilepas ke publik diajukan kepada badan pencatat (registrasi) perbenihan untuk disetujui pelepasannya setelah pihak yang akan merilis memberi informasi mengenai ketersediaan benih yang akan diperdagangkan.

Perbenihan

Benih kultivar unggul yang dirilis dikuasai oleh pemulia yang merakitnya dan hak ini dinamakan "perlindungan varietas" atau "hak pemulia" (breeder's right). Benih di tangan pemulia disebut benih pemulia ("breeder seed") dan terbatas jumlahnya. Benih pemulia tersedia hanya terbatas dan perbanyakannya sepenuhnya dikontrol oleh pemulia.

Kritik atas program pemuliaan tanaman

sunting

Pemuliaan tanaman masih menjadi salah satu tumpuan dalam usaha penyediaan pangan dunia;[27] meskipun demikian, sejumlah isu dan keprihatinan telah dilemparkan terhadap program pemuliaan tanaman.

Penyempitan keanekaragaman genetik

sunting

Penyempitan keanekaragaman genetik merupakan isu mendasar yang telah disuarakan dan disadari sejak awal pemuliaan tanaman modern. Akibat fokus pada peningkatan produksi dan mutu hasil, sebagian kecil variasi genetik mendominasi pertanaman. Seleksi yang dilakukan dalam program pemuliaan tanaman mengakibatkan sempitnya keragaman genetik tanaman yang dibudidayakan. Keadaan diperparah dengan sedikitnya pilihan kultivar yang ditanam petani karena tuntutan konsumen akan keseragaman produk. Tanaman menjadi mudah terserang hama dan penyakit, karena organisme pengganggu lebih tinggi plasitisitas fenotipiknya daripada tanaman budidaya. Beberapa wabah besar telah terjadi akibat hal ini, seperti hawar kentang, hawar jagung, dan tungro pada padi (lewat perantara wereng coklat). Suatu kajian terhadap kandungan gizi sejumlah kultivar tanaman sayuran kebun dari tahun 1950 sampai 1999 menunjukkan efek kompensasi penurunan sejumlah kandungan gizi akibat fokus diberikan kepada hasil, termasuk 6% protein dan 38% riboflavin (vitamin B2).[28] Sempitnya latar belakang genetik juga akan menyebabkan stagnasi dalam program pemuliaan. Untuk mengatasi hal ini, program pemuliaan modern memasukkan persilangan dengan kerabat jauh atau bahkan spesies yang berbeda untuk memperluas variabilitas. Selain itu, persyaratan kestabilan penampilan untuk sejumlah spesies tanaman diperlunak sehingga kultivar yang bersifat spesifik lokasi juga dapat disetujui untuk dirilis.

Penguasaan plasma nutfah

sunting

Kebanyakan kultivar tanaman masa kini dihasilkan oleh sebagian kecil perusahaan benih, beberapa di antaranya bermodal kuat, transnasional, dan menguasai teknologi tinggi. Masyarakat adat, yang sebelum terjadi industrialisasi pertanian menguasai benih berangsur-angsur terdesak perannya dan petani lambat-laun tergantung pada pasokan benih dari industri benih. Hal ini dipandang tidak adil oleh anggota gerakan anti-globalisasi. Keadaan ini sedikit banyak merupakan akibat dari Revolusi Hijau, yang berfokus pada peningkatan hasil, dan pemberlakuan prinsip Perlindungan Varietas Tanaman (Hak Cipta Pemulia Tanaman).

Salah satu pemecahan yang ditawarkan adalah menggunakan konsep pemuliaan tanaman partisipatif (participatory plant breeding). Melalui cara ini, plasma nutfah tetap dikuasai oleh masyarakat pemilik plasma nutfah, tetapi industri benih juga mendapat keuntungan dari pemanfaatan sumber daya genetik ini.

Tokoh-tokoh

sunting

Berikut adalah beberapa tokoh yang berperan dalam sejarah pemuliaan tanaman, mencakup pemulia, teoretis, serta kritikus.

Referensi

sunting
  1. ^ lihat, misalnya, Sleper D.A. dan J.M. Poehlman. 2006. Breeding Field Crops. Edisi ke-5. Wiley-Blackwell. Hal. 3.
  2. ^ McCouch, S. (2004). "Diversifying selection in plant breeding". PLoS Biol. 2 (10): e347. DOI:10.1371/journal.pbio.0020347. Diakses tanggal 2010-08-24. 
  3. ^ Sisworo W.H. Membangun Kembali Swa Sembada Beras. Diarsipkan 2012-03-08 di Wayback Machine. [sic!]. Makalah yang disampaikan dalam ? tanggal 26 April 2007.
  4. ^ "Laman Bundesverband Deutscher Pflanzenzüchter e.V." Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-03-01. Diakses tanggal 2011-01-01. 
  5. ^ Gewin Virginia . 2003. Genetically Modified Corn— Environmental Benefits and Risks. PLOS Biology 1: e8. DOI:10.1371/journal.pbio.0000008
  6. ^ Zohary, D. & Hopf, M. 2000. Domestication of Plants in the Old World. Oxford Univ. Press. London.
  7. ^ a b c d e Purugganan, M.D. (2009-02-12). "The nature of selection during plant domestication". Nature (pdf). 457: 843–8. DOI:10.1038/nature07895. 
  8. ^ Bab ke-157 misalnya menyebutkan tentang variasi pada kubis (brassica) dalam kaitan dengan khasiat pengobatan.
  9. ^ Umpamanya, QS 13:3—4 menyebutkan tentang variasi sifat pada tanaman kurma: berbatang tunggal atau menumbuhkan anakan, buah dengan beraneka ragam rasa.
  10. ^ Vlekke, BHM. 2008. Nusantara: Sejarah Indonesia. Edisi terjemah dari edisi asli 1961. KP Gramedia. Hal. 216. Gubernur Jenderal Van Hoorn mendapatkan kopi yang dikirim dari Malabar, India, oleh Hendrick Zwaardecroon.
  11. ^ Plucknett, D.A. (1987). Gene banks and the world's food. Princeton, N.J.: Princeton University Press. hlm. 164. ISBN 0-691-08438-6. Diakses tanggal 2010-08-12. 
  12. ^ The History of P3GI Diarsipkan 2011-12-18 di Wayback Machine.. Artikel pada laman P3GI Diarsipkan 2010-07-26 di Wayback Machine..
  13. ^ Olean Sugar Mill - a candidate for a World Heritage Site?. Artikel di laman The International Steam Pages
  14. ^ AD Sagala, M. Lasminingsih, S. Woelan, H. Hadi Kemajuan Pemuliaan dan Seleksi Tanaman Karet di Indonesia[pranala nonaktif permanen]. 2009-09-09
  15. ^ Syngenta Bangun Pabrik Senilai 25 Juta Dolar Diarsipkan 2020-11-23 di Wayback Machine.. Suara Karya Online Edisi 11 Juni 2011. Diakses 21 Januari 2012
  16. ^ History of Plant Breeding
  17. ^ Davis, G.P., D'occhio, M.J.D., Hetzel, D.J.S. (1997). Smart breeding: Selection with markers and advanced reproductive technologies. Proceedings of the Association for the Advancement of Animal Breeding and Genetics 12, 429–432
  18. ^ Haas, Lucian (2006-07-27). "Ist die Grüne Gentechnik von gestern?". Berliner Zeitung. Diakses tanggal 2010-07-27. 
  19. ^ Peleman, J.D. (July 2003). "Breeding by design". Trends in Plant Science. 8 (7): 330–334. doi:10.1016/S1360-1385(03)00134-1. 
  20. ^ Young, Nevin D. (1999). "A cautiously optimistic vision for marker-assisted breeding". Molecular Breeding. 5 (6): 505–510. doi:10.1023/A:1009684409326. 
  21. ^ "Participatory Plant Breeding oleh PRGA" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2020-09-23. Diakses tanggal 2010-07-26. 
  22. ^ Diepenbrock W, Ellmer F, Leon J. 2005. Ackerbau, Pflanzenbau, und Pflanzenzüchtung. Ulmer UTB. Stuttgart. Hal. 265
  23. ^ Moose, S.P. (2008). "Molecular plant breeding as the foundation for 21st century crop improvement". Plant Physiology. 147: 969–977. doi:10.1104/pp.108.118232. Diakses tanggal 2010-07-27. 
  24. ^ a b Maluszynski M. 2001. Officially released mutant varieties – The FAO/IAEA Database[pranala nonaktif permanen]. Plant Cell, Tissue and Organ Culture 65:175–177.
  25. ^ Henikoff, S. (2004). "TILLING. Traditional mutagenesis meets functional genomics". Plant Physiology. 135: 630–636. doi:10.1104/pp.104.041061. Diakses tanggal 2010-07-27. 
  26. ^ Jain M. 2006. Mutation-assisted breeding for improving ornamental plants. Dalam: Mercuri A, Schiva T. ISHS Acta Horticulturae 714:85-98.
  27. ^ This time: A Greener Revolution? Diarsipkan 2010-02-14 di Wayback Machine.. National Geographic Special Report — The Global Food Crisis. Edisi June 2009.
  28. ^ Davis, D.R., Epp, M.D., and Riordan, H.D. 2004. Changes in USDA Food Composition Data for 43 Garden Crops Diarsipkan 2009-06-15 di Wayback Machine., 1950 to 1999. Journal of the American College of Nutrition 23(6):669-682

Pranala luar

sunting