Pengguna ini sedang mengerjakan proyek sekolah dan universitas di Wikipedia.

Di indonesia, terdapat beragam jenis media yang dapat digunakan untuk berkomunikasi, diantaranya adalah televisi, radio, surat kabar atau koran, majalah, internet website, dan sebagainya. Masing-masing media komunikasitersebut memiliki karakteristik yang berbeda-beda, oleh sebab itu artikel ini akan membahas dan menjelaskan mengenai beragam jenis media komunikasi yang berkembang serta digunakan di Indonesia. Pada dasarnya, beragam media komunikasi yang ada di Indonesia dapat dikelompokan dan dibagi menjadi 2 kategori besar, yaitu media konvensional dan media baru atau yang lebih dikenal dengan istilah new media.

Media komunikasi

Media berasal dari bahasa latin “medium” (jamak), yang memiliki arti “perantara” atau “pengantar”[1]. Berdasarkan kata tersebut, maka media dapat diartikan sebagai sesuatu yang menjadi perantara atau penengah komunikasi, serta menjadi saluran tempat komunikasi antara pengirim dan penerima pesan berlangsung. Selain itu, media juga dapat diartikan sebagai saluran yang mampu mengantarkan pesan dan informasi dari komunikator kepada komunikan. Dari perpektif teknologi informasi dan komunikasi, media komunikasi dapat diartikan sebagai teknologi yang mampu mengirim ataupun menerima pesan dan informasi yang hendak disampaikan oleh pengirim kepada penerima informasi. Sebuah teknologi dapat dikatakan menjadi media komunikasi apabila teknologi tersebut mampu menyampaikan pesan komunikasi dan mempermudah proses komunikasi yang berlangsung.

Definisi menurut ahli

  • Assosiasi Teknologi dan Komunikasi (Association of Education and Communication Technology/AECT) di Amerika, media adalah segala bentuk dan saluran yang dapat digunakan orang untuk menyalurkan pesan ataupun informasi[2].
  • Menurut Cangara, Media merupakan suatu alat atau sarana yang dapat digunakan untuk menyebarkan atau menyampaikan pesan komunikasi dari komunikator kepada khalayak[3].
  • Mc. Luhan berpendapat bahwa media adalah sarana yang disebut juga sebagai channel, karena pada hakekatnya media dapat memperluas atau memperpanjang kemampuan manusia untuk mendengarkan, merasakan, dan melihat dalam batas-batas ruang, jarak,dan waktu yang hampir tak terbatas[4]


Jenis media komunikasi

Berdasarkan bentuk

Berdasarkan bentuk penyampaian pesannya, media komunikasi dapat dibedakan menjadi:

Menurut Ronald H Aderson, media cetak adalah bahan bacaan yang diproduksi secara profesional, seperti surat kabar, majalah, dan buku. [5]. Contoh media cetak adalah surat kabar, majalah, tabloid, dsb.
Menurut Sadiman, media audio adalah media yang digunakan untuk menyampaikan pesan dalam bentuk lambang – lambang auditif, baik bahasa verbal (kata – kata atau bahasa lisan) maupun bahasa non verbal[6]. Contoh media audio adalah radio.
Menurut Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, media visual adalah media yang hanya mengandalkan mata atau indera penglihatan[7], atau sarana atau alat komunikasi yang dapat dilihat dengan mata atau indra penglihatan. Contoh dari media visual adalah gambar dan foto.
Menurut Sanjaya, media audio visual yaitu jenis media yang mengandung unsur suara dan juga unsur gambar yang bisa dilihat [8]


Sejarah media

Pada masa pemerintahan orde baru, media di Indonesia mengalami “masa kelam”, karena pada saat itu media tidak memperoleh kebebasan pers untuk memberitakan informasi yang sebenarnya kepada masyarakat. Media masih diatur dan dikuasai oleh pemerintahan, sehingga belum dapat secara bebas dan independen menyampaikan pesan dan informasi kepada khalayak. Pada saat ini, media terancam mengalami pembredelan apabila memberitakan atau pesan komunikasi dan informasi yang menentang penguasa atau pemerintahan saat itu. Media harus tunduk dan hanya diperbolehkan menyebarkan hal yang menguntungkan dan baik bagi pemerintah. Pada masa ini, media digunakan untuk menjaga kestabilan penguasa dan pemerintahan[9].Setelah berakhirnya masa kekuasaan dan pemerintahan Presiden Soeharto, kebebasan media di Indonesia meningkat dengan pesat. Setelah lama ditekan, diawasi, dibatasi, dan dilecehkan oleh pemerintahan orde baru, akhirnya kini media atau pers di Indonesia menjadi salah satu media yang paling bebas dan hidup di Asia.[10] Setelah orde baru berakhir, media yang tadinya serupa dan hanya memberitakan hal dari sudut pandang yang sama perlahan mulai berubah dan cenderung menuju pluralisme yang agak lebih besar atau sudut pandang yang berbeda-beda, terbuka pada hal-hal baru, dan independen, dan tidak lagi tergantung pada pemerintahan.

Pluralisme mulai terjadi ketika pemerintahan Reformasi (pemerintahan setelah orde baru) mulai mengijinkan berdirinya sebuah stasiun radio dan televisi yang baru. Pada awalnya, terdapat aturan bahwa seluruh stasiun televisi harus berbasis di Jakarta. Lisensi atau izin untuk mendirikan stasiun televisi pada awalnya juga hanya diberikan kepada orang-orang tertentu saja, seperti anggota keluarga mantan Presiden Soeharto, orang-orang yang dekat dengan pemerintahan, dan beberapa konglomerat lainya[11]. Dalam beberapa tahun runtuhnya orde baru, perkembangan media, khususnya media televisi dapat dikatakan cukup pesat. Saat itu sebagian media televisi telah mampu menjangkau sekitar 70 hingga 80 persen populasi seluruh masyarakat Indonesia.Karena kebebasan media mulai terasa, dan mulai bermunculan beberapa media televisi, maka mengakibatkan persaingan antar media televisi tersebut untuk mendapatkan pendapatan iklan dan penonton. Persaingan yang cukup pesat menyebabkan beberapa media mulai tertarik dan tergoda untuk mendorong batas-batas yang selama ini dipegangnya. Salah satu batasan yang mulai ditinggalkan adalah mengenai larangan menayangkan program berita selain yang dihasilkan oleh negara, yaitu berita dari TVRI (Televisi Republik Indonesia)[12]. Saat itu TVRI adalah sebuah stasiun televisi yang dikelola oleh pemerintah, sehingga berita yang dihasilkan oleh stasiun televisi tersebut lebih memihak dan menguntungkan pemerintah.

Stasiun-stasiun televisi tersebut ternyata sangat menguntungkan dan mampu menghasilkan profit atau keuntungan yang sangat besar. Hal itu menyebabkan pemerintah atau Rezim menjadi sulit untuk menghukum kerabat maupun teman dekat sendiri, dengan menutup stasiun televisi tersebut apabila stasiun televisi melanggar aturan yang telah dibuat dengan menyiarkan program berita independen yang diproduksi sendiri[13]. Surya Citra Televisi (SCTV) dan Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) adalah contoh dari stasiun televisi yang memproduksi dan menyiarkan program berita sendiri, dan kemudian program berita tersebut menjadi sangat populer serta disukai oleh pemirsa diseluruh negeri, sebagai program berita alternatif yang memiliki berita yang lain daripada TVRI. Meskipun program berita yang diproduksi dan disiarkan oleh stasiun televisi tersebut masih relatif “jinak” dan tidak terlalu menentang ataupun memojokan pemerintahan, tetapi program berita tersebut cukup efektif dan berpengaruh untuk melemahkan TVRI[14]. Sejak berakhirnya masa orde baru, media menjadi lebih bebas dan berkembang dengan pesat. Pada tahun 2003, pemerintah melaporkan bahwa terdapat lebih dari 2.000 stasiun televisi dan radio illegal atau tidak memiliki izin siar di seluruh negeri. Hal ini membuat pemerintah mendesak seluruh stasiun televisi dan radio illegal untuk mengajukan izin atau menutupnya.


Surat Kabar

Jumlah surat kabar atau Koran dan beragam media cetak lainnya telah berkembang dengan signifikan sejak tahun 1998, atau sejak berakhirnya masa pemerintahan orde baru[15]. Lebih dari 50 surat kabar harian utama diterbitkan di seluruh Nusantara, dengan mayoritas di pulau Jawa. Bahkan, terdapat ratusan surat kabar, majalah, dan tabloid baru bermunculan. Surat kabar yang memperoleh pembaca terbanyak adalah surat kabar Kompas, yang berbasis di Jakarta. Surat kabar Kompas memproduksi 523.000 eksemplar, disusul oleh Suara Merdeka yang berbasis di semarang, Berita Buana yang berbasis di Jakarta, Pikiran Rakyat yang berbasis di Bandung, dan Sinar Indonesia Baru yang berbasis di Medan dengan masing-masing produksi sekitar 150.000 eksemplar[16]. Selain itu terdapat juga surat kabar yang beredar dengan menggunakan Bahasa Inggris. Surat kabar berbahasa Inggris yang diterbitkan di Jakarta adalah Jakarta Post dan Jakarta Globe, dengan masing-masing produksi sekitar 40.000 eksemplar[17]. Pada tahun 2003. Surat kabar dibaca oleh sekitar 8,6 persen masyarakat Indonesia, sedangkan menurut lembaga survey Nielsen, sebanyak 12 persen masyarakat Indonesia saat ini masih membaca dan mengkonsumsi surat kabar[18]. Selain surat kabar, juga terdapat majalah mingguan yang terbit dengan menggunakan bahasa Inggris. Majalah tersebut adalah majalah berita mingguan Tempo dan Grata. Saat ini, total pembaca majalah menurut lembaga survey Nielsen adalah sekitar 5 persen dari jumlah penduduk Indonesia. (http://www.nielsen.com/id/en/press-room/2014/nielsen-konsumsi-media-lebih-tinggi-di-luar-jawa.html). Saat ini, hampir seluruh surat kabar dan majalah selain memproduksi berita dalam bentuk cetak, juga memiliki edisi online-nya. Produsen surat kabar yang memiliki luas jangkauan yang besar juga menggunakan digital printing remote untuk dapat mencetak surat kabar dari tempat berbeda, agar dapat memecahkan masalah distribusi di daerah-daerah terpencil di Indonesia[19]. ANTARA adalah kantor berita resmi pemerintah Indonesia. Monumen Pers Nasional saat ini memiliki lebih dari satu juta koleksi surat kabar dan majalah, serta berbagai pameran dan artefak yang terkait dengan sejarah pers di Indonesia[20].


Televisi

Televisi adalah media yang menyebarkan dan menyampaikan pesan serta informasi dalam bentuk suara dan gambar, atau yang dikenal dengan audio-visual. Karena mampu menyampaikan pesan komunikasi dan informasi dalam bentuk suara dan gambar bergerak, maka dapat dikatakan bahwa televisi lebih menarik, sehingga banyak dipilih oleh masyarakat Indonesia. Bahkan, menurut survey yang dilakukan oleh Nielsen, sekitar 95 persen masyarakat Indonesia mengkonsumsi dan menonton televisi[21]. Hal ini menunjukan bahwa penggunaan media penyiaran, khususnya televisi sangat tinggi oleh masyarakat Indonesia. Televisi bahkan mampu menjangkau hampir seluruh masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia banyak mengonsumsi televisi untuk mencari informasi, mengetahui keadaan politik, ekonomi, dan sosial, menggunakan sebagai pendidikan, pengetahuan dan juga hiburan. Saat ini, terdapat beragam program yang ditayangkan televisi guna untuk memenuhi kepuasan penontonnya, diantara lain adalah program berita, sinetron, komedi, talk show, reality show, pencarian bakat dan sebagainya. Saat ini, televisi diatur oleh pemerintahan melalui Direktorat Jendral Telekomunikasi dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)[22]. Saat ini, televisi dan radio nasional didominasi dan dikendalikan, serta dikelola oleh jaringan pemerintah, sedangkan televisi dan radio swasta yang bersifat komersial dikendalikan oleh pihak swasta atau pemilik perorangan. Televisi komersial swasta muncul dan berkembang sejak diperkenalkannya RCTI di wilayah Jakarta pada tahun 1988[23]. Pada awal abad 21, sistem komunikasi terus menerus ditingkatkan hingga mampu membawa membawa sinyal televisi untuk setiap desa di negara ini. Saat ini, hampir seluruh masyarakat Indonesia dapat mengakses dan menonton 11 saluran program televisi. Saluran televisi tersebut terdiri dari saluran televisi nasional yang dimiliki oleh Negara, serta 10 saluran komersial swasta. Saluran nasional adalah TVRI, sedangkan 10 saluran komersial swasta adalah Indosiar, RCTI, SCTV, Metro TV, dan Trans 7, Trans 7, ANTV, Global TV, MNC TV, dan TV One. Selain 11 saluran tv yang memiliki luas jangkauan siaran nasional, terdapat juga 54 stasiun televisi lokal pada tahun 2009, seperti TV Bali di Bali, Jak TV di Jakarta, dan TV Pasifik di Manado.


Radio

Radio adalah media yang menyebarkan dan menyampaikan pesan serta komunikasi dalam bentuk suara atau yang dikenal dengan sebutan audio. Seperti hal nya televisi, radio juga diatur dan berada dibawah pengawasan negara atau pemerintah melalui Direktorat Jendral Telekomunikasi dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)[24]. Saat ini, terdapat lebih dari 3.000 stasiun radio yang masih aktif di seluruh Indonesia, namun hanya sedikit saja radio yang dapat melakukan siaran dalam luas jangkauan nasional. Radio Jakarta News, Sonora, dan Prambors adalah contoh dari radio yang mampu melakukan siaran dalam skala nasional, sedangkan mayoritas stasiun radio lain hanya mampu menyiarkan dalam skala lokal saja. Radio DJ, JJFM, dan Radio Istra adalah contoh stasiun radio yang melakukan siaran di Kota Surabaya, dan Global FM Bali yang melakukan siaran di Denpasar. Stasiun radio privat atau swasta dapat membuat dan menyiarkan sendiri bulletin berita mereka dan penyiar asing yang bukan merupakan karyawan dari stasiun radio tersebut dapat menyumbangkan informasi ataupun program tertentu[25]. Radio Republik Indonesia (RRI) adalah salah satu jaringan radio Negara Indonesia, yang memiliki jaringan berita nasional, serta stasiun regional di kota-kota besar di seluruh negeri, sedangkan Voice of Indonesia adalah divisi untuk penyiaran luar negeri. Kini, dengan perkembangan jaman, beberapa stasiun radio juga menyiarkan program menggunakan teknologi dan sistem digital, sehingga terdapat radio digital yang berdasarkan digital audio.


Kebabasan media

Sejak adanya transisi menuju demokrasi media, mulailah bermunculan ribuan media publikasi cetak, stasiun radio dan televisi baru yang memiliki izin atau lisensi di seluruh negeri[26]. Ribuan media tersebut memiliki izin publikasi dan penyiaran, baik bersifat lokal, regional, maupun nasional. Pemerintah bahkan tidak dapat mencabut izin publikasi dan penyiaran beragam media tersebut hanya karena apa yang mereka tulis dan siarkan[27]. Presiden Abdurrahman Wahid juga membuat kebijakan yang berdampak pada melemahnya kemampuan pemerintah untuk mengendalikan media. Pada masa awal pemerintahannya, beliau menghapuskan Departemen Penerangan yang menjadi momok bagi para insan pers pada masa jaman orde baru[28]. Badan atau lembaga sensor, seperti halnya Badan Sensor Film Indonesia dan Lembaga Sensor Film tetap beroprasi, hanya saja pembatasan yang mereka lakukan hanya sebatas pada pengawasan dan pengaturan “moralitas publik”, seperti halnya seksualitas, dan tidak membatasi hal-hal yang berhubungan dengan pernyataan-pernyataan politik[29]. Namun, Presiden Megawati Soekarnoputri mengaktifkan kembali Departement Penerangan pada saat beliau berkuasa[30]. Hal ini memberikan dampak yang cukup buruk, karena dengan tidak adanya represi yang signifikan dari pemerintah, individu swasta dapat mengajukan tuntutan hukum kepada pengawas atau penanggung jawab media[31]. Salah satu kasus yang paling menonjol adalah kasus yang melibatkan pengusaha swasta Tomy Winata, yang menggugat kepada pemimpin redaksi Tempo, Bambang Harymurti. Berdasarkan tuntutan tersebut, Harymurti dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman selama satu tahun penjara[32].

  1. ^ Sanjaya, Wina. 2010. Strategi Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada Media
  2. ^ AECT. 1977. Selecting Media for Learning. Washington DC: Association for Education Communication and Technology.
  3. ^ Cangara, Hafied. 2006. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
  4. ^ Arif Sadiman, S, Raharjo, R, Anung Haryono. 1986. Media Pendidikan. Jakarta: CV. Rajawali
  5. ^ Anderson, Ronald, H. 1994. Pemilihan dan Pengembangan Media untuk Pembelajaran. Jakarta: Raja Grafindo Persada
  6. ^ Sadiman, Arif S. 2011. Media Pendidikan, Pengertian, Pengembangan, dan Pemanfaatannya. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
  7. ^ Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain. 2006. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta
  8. ^ Sanjaya, Wina. 2010. Strategi Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada Media
  9. ^ http://www.kompasiana.com/andi.kc/media-pasca-orde-baru_55285a606ea834cb6a8b4599
  10. ^ Kuipers, Joel C. "The Media", in (Frederick, William H. and Worden, Robert L. 2011. Indonesia: a country study. Washington, DC: Federal Research Division, Library of Congress. )
  11. ^ Kuipers, Joel C. "The Media", in (Frederick, William H. and Worden, Robert L. 2011. Indonesia: a country study. Washington, DC: Federal Research Division, Library of Congress. )
  12. ^ Kuipers, Joel C. "The Media", in (Frederick, William H. and Worden, Robert L. 2011. Indonesia: a country study. Washington, DC: Federal Research Division, Library of Congress. )
  13. ^ Kuipers, Joel C. "The Media", in (Frederick, William H. and Worden, Robert L. 2011. Indonesia: a country study. Washington, DC: Federal Research Division, Library of Congress. )
  14. ^ Kuipers, Joel C. "The Media", in (Frederick, William H. and Worden, Robert L. 2011. Indonesia: a country study. Washington, DC: Federal Research Division, Library of Congress. )
  15. ^ Kuipers, Joel C. "The Media", in (Frederick, William H. and Worden, Robert L. 2011. Indonesia: a country study. Washington, DC: Federal Research Division, Library of Congress. )
  16. ^ Kuipers, Joel C. "The Media", in (Frederick, William H. and Worden, Robert L. 2011. Indonesia: a country study. Washington, DC: Federal Research Division, Library of Congress. )
  17. ^ Kuipers, Joel C. "The Media", in (Frederick, William H. and Worden, Robert L. 2011. Indonesia: a country study. Washington, DC: Federal Research Division, Library of Congress. )
  18. ^ http://www.nielsen.com/id/en/press-room/2014/nielsen-konsumsi-media-lebih-tinggi-di-luar-jawa.html
  19. ^ Kuipers, Joel C. "The Media", in (Frederick, William H. and Worden, Robert L. 2011. Indonesia: a country study. Washington, DC: Federal Research Division, Library of Congress. )
  20. ^ http://mpn.kominfo.go.id/index.php/2013/12/11/pelestarian-arsip-dan-peningkatan-pelayanan-melalui-digitalisasi/
  21. ^ http://www.nielsen.com/id/en/press-room/2014/nielsen-konsumsi-media-lebih-tinggi-di-luar-jawa.html.
  22. ^ Kuipers, Joel C. " Post and Telecommunications", in (Frederick, William H. and Worden, Robert L. 2011. Indonesia: a country study. Washington, DC: Federal Research Division, Library of Congress. )
  23. ^ Kuipers, Joel C. " Post and Telecommunications", in (Frederick, William H. and Worden, Robert L. 2011. Indonesia: a country study. Washington, DC: Federal Research Division, Library of Congress. )
  24. ^ Kuipers, Joel C. " Post and Telecommunications", in (Frederick, William H. and Worden, Robert L. 2011. Indonesia: a country study. Washington, DC: Federal Research Division, Library of Congress. )
  25. ^ Kuipers, Joel C. " Post and Telecommunications", in (Frederick, William H. and Worden, Robert L. 2011. Indonesia: a country study. Washington, DC: Federal Research Division, Library of Congress. )
  26. ^ Kuipers, Joel C. "The Media", in (Frederick, William H. and Worden, Robert L. 2011. Indonesia: a country study. Washington, DC: Federal Research Division, Library of Congress. )
  27. ^ Kuipers, Joel C. "The Media", in (Frederick, William H. and Worden, Robert L. 2011. Indonesia: a country study. Washington, DC: Federal Research Division, Library of Congress. )
  28. ^ http://news.detik.com/berita/502415/kekang-kebebasan-pers-gus-dur-minta-depkominfo-dihapus
  29. ^ Kuipers, Joel C. "The Media", in (Frederick, William H. and Worden, Robert L. 2011. Indonesia: a country study. Washington, DC: Federal Research Division, Library of Congress. )
  30. ^ http://news.liputan6.com/read/17404/sutjipto-pemerintah-akan-menghidupkan-kembali-deppen
  31. ^ Kuipers, Joel C. "The Media", in (Frederick, William H. and Worden, Robert L. 2011. Indonesia: a country study. Washington, DC: Federal Research Division, Library of Congress. )
  32. ^ http://news.detik.com/berita/209071/pemred-tempo-bambang-harymurti--dijatuhi-1-tahun-penjara