Badak sumatra
Badak Sumatera | |
---|---|
Rapunzel, seekor badak Sumatera di kebun binatang Bronxa | |
Klasifikasi ilmiah | |
Kerajaan: | |
Filum: | |
Kelas: | |
Ordo: | |
Famili: | |
Genus: | |
Spesies: | D. sumatrensis
|
Nama binomial | |
Dicerorhinus sumatrensis | |
Subspecies | |
Dicerorhinus sumatrensis harrissoni |
Badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) adalah anggota famili Rhinocerotidae yang langka dan merupakan salah satu dari lima spesies badak. Spesies ini merupakan satu-satunya yang masih bertahan dari genus Dicerorhinus. Badak ini adalah badak terkecil, meskipun masih tergolong mamalia besar. Berdiri sekitar 112-145 cm (3,67-4,76 ft) tinggi di bahu, dengan panjang kepala-hingga-tubuh 2,36-3,18 m (7,7-10,4 kaki) dan ekor dari 35-70 cm (14-28 inci). Dilaporkan berat badak ini berkisar dari 500 sampai 1.000 kg (1.100 lb 2.200), rata-rata 700-800 kg (1,500-1,800 lb), meskipun ada satu catatan 2.000 kg (4.400 lb) dari satu spesimen. Seperti kedua spesies badak di Afrika, ia memiliki dua cula; yang lebih besar adalah cula hidung, biasanya 15-25 cm (5,9-9,8 dalam), sedangkan cula lainnya biasanya sebuah cula pendek. Sebuah mantel rambut cokelat kemerahan meliputi sebagian besar tubuh badak Sumatera.
Anggota spesies ini dahulu menghuni hutan hujan, rawa, dan hutan pegunungan di India, Bhutan, Bangladesh, Myanmar, Laos, Thailand, Malaysia, Indonesia, dan Cina. Di zaman sejarah, mereka tinggal di barat daya Cina, khususnya di Sichuan[3][4] Mereka sekarang tergolong terancam punah, dengan hanya enam populasi besar di alam liar. Empat di Sumatera, satu di Kalimantan, dan satu di Semenanjung Melayu. Jumlah mereka sulit untuk dintukan karena mereka adalah hewan soliter yang banyak tersebar di daerah jangkauan mereka, tetapi mereka diperkirakan berjumlah kurang dari 100. kelangsungan hidup penduduk Semenanjung Malaysia diragukan, dan salah satu populasi Sumatera mungkin sudah punah. Jumlah angka hari ini mungkin serendah 80.[5] Pada 2015, peneliti mengumumkan bahwa badak Timur Sumatera punah dari bagian utara Kalimantan (Sabah, Malaysia).
Badak Sumatera merupakan hewan soliter pada sebagian besar hidupnya kecuali untuk kawin dan memelihara keturunan. Ini adalah spesies badak yang paling vokal dan juga biasa berkomunikasi melalui menandai tanah dengan kakinya, memutar pohon membentuk pola, dan meninggalkan kotoran. Spesies ini jauh lebih baik dipelajari daripada badak Jawa yang juga soliter, sebagian karena program yang membawa 40 badak Sumatera ke dalam konservasi eks-situ dengan tujuan melestarikan spesies tersebut. Program ini dianggap bencana bahkan oleh inisiatornya; sebagian besar badak mati dan tidak ada keturunan yang dihasilkan selama hampir 20 tahun, mewakili penurunan populasi bahkan lebih buruk daripada di alam liar.
Taksonomi dan penamaan
Badak Sumatra yang pertama kali didokumentasikan ditembak pada jarak 16 km (9,9 mi) dari luar Benteng Marlborough, dekat pesisir barat Sumatra, pada tahun 1793. Gambar hewan tersebut dan penulisan deskripsinya dikirimkan ke seorang naturalis bernama Joseph Banks, presiden Royal Society of London, yang kemudian mempubliskasikan sebuah makalah tentang spesimen tersebut pada tahun tersebut. Pada tahun 1814, spesies ini diberikan nama saintifik oleh Johann Fischer von Waldheim, seorang ilmuwan dan kurator Jerman dari Museum Negara Darwin di Moscow, Rusia.[6][7]
Nama saintifik Dicerorhinus sumatrensis berasal dari termologi Yunani di (δι, yang artinya "dua"), cero (κέρας yang berarti "cula"), dan badak (ρινος, yang artinya "hidung").[8] Sumatrensis menandakan "dari Sumatra", sebuah pulau di Indonesia dimana badak tersebut pertama kali ditemukan.[9] Carolus Linnaeus awalnya mengklasifikasikan sebuah badak dalam genus Rhinoceros; selain itu, spesies tersebut awalnya diidentifikasikan sebagai Rhinoceros sumatrensis. Joshua Brookes menganggap badak Sumatra, dengan dua culanya, sebuah genus berbeda dari badak bercula satu, dan hewan tersebut diberikan nama Didermocerus pada tahun 1828. Constantin Wilhelm Lambert Gloger mengusulkan nama Dicerorhinus pada tahun 1841. Pada tahun 1868, John Edward Gray mengusulkan nama Ceratorhinus. Biasanya, nama yang lama yang digunakan, namun sebuah ketentuan 1977 dari International Commission on Zoological Nomenclature membuat pengusulan nama genus bernama Dicerorhinus.[10][11]
Tiga subspesies tersebut adalah:
D. s. sumatrensis, dikenal sebagai badak Sumatra Barat, hanya 170 sampai 230 badak yang tersisa, berada di taman nasional Bukit Barisan Selatan dan Gunung Leuser di Sumatra.[12] Sekitar 75 mungkin juga hidup di Semenanjung Malaysia.[13]
Distribusi dan habitat
Badak Sumatra hidup di hutan hujan, rawa, dan hutan pegunungan yang berada di dataran rendah and dataran tinggi. Badak tersebut mendiami daerah perbukitan yang dekat dengan air, terutama diatas lembah-lembah yang curam dengan semak yang banyak. Badak Sumatra pernah menghuni tempat yang jauh pada sebelah utara yakni Burma, India timur, dan Bangladesh. Laporan tak terkonfirmasi juga menyatakan bahwa badak tersebut hidup di Kamboja, Laos, dan Vietnam. Semua hewan yang diketahui tinggal di Semenanjung Malaysia, pulau Sumatra, dan Sabah, Kalimantan. Beberapa konservator berharap badak Sumatra masih ada di Burma, meskipun dianggap tak mungkin. Kekacauan politik di Burma telah menghambat setiap penilaian atau studi yang mungkin selamat.[14] Laporan terakhir hewan-hewan liar dari perbatasan India ada pada tahun 1990an.[15]
Konservasi
Badak Sumatra dulunya cukup banyak di Asia Tenggara. Saat ini, kurang dari 275 ekor diperkirakan masih hidup.[12] Spesies tersebut digolongkan dalam keadaan kritis, terutama karena perburuan ilegal.[12] Pada awal 1990an, terjadi penurunan populasi lebih dari 50% per dekade, dan sebagian kecil, kawanan yang tersebar saat ini menghadapi resiko depresi penangkaran sanak yang tinggi.[12] Kebanyakan habitat yang tersisa adalah wilayah pegunungan Indonesia yang tidak dijangkau.[16][17]
Catatan kaki
- ^ Asian Rhino Specialist Group (1996). Dicerorhinus sumatrensis. 2007 IUCN Red List of Threatened Species. IUCN 2007. Dilihat pada 13 Januari 2008. Didaftarkan sebagai Spesies Kritis (CR A1bcd, C2a v2.3).
- ^ Derived from range maps in:
- Foose, Thomas J. and van Strien, Nico (1997), Asian Rhinos – Status Survey and Conservation Action Plan., IUCN, Gland, Switzerland, and Cambridge, UK, ISBN 2-8317-0336-0
and - Dinerstein, Eric (2003). The Return of the Unicorns; The Natural History and Conservation of the Greater One-Horned Rhinoceros. New York: Columbia University Press. ISBN 0-231-08450-1.
This map does not include unconfirmed historical sightings in Laos and Vietnam or possible remaining populations in Burma.
- Foose, Thomas J. and van Strien, Nico (1997), Asian Rhinos – Status Survey and Conservation Action Plan., IUCN, Gland, Switzerland, and Cambridge, UK, ISBN 2-8317-0336-0
- ^ Chapman, Jan (1999) The Art of Rhinoceros Horn Carving in China. Christie's Books, London. ISBN 0-903432-57-9. p. 27
- ^ Schafer, Edward H. (1963) The Golden Peaches of Samarkand: A study of T'ang Exotics. University of California Press. Berkeley and Los Angeles. p. 83
- ^ "Sumatran rhino numbers revised downwards". Save The Rhino. 18 March 2012.
- ^ Rookmaaker, Kees (2005). "First sightings of Asian rhinos". Dalam Fulconis, R. Save the rhinos: EAZA Rhino Campaign 2005/6. London: European Association of Zoos and Aquaria. hlm. 52.
- ^ Morales, Juan Carlos (1997). "Mitochondrial DNA Variability and Conservation Genetics of the Sumatran Rhinoceros". Conservation Biology. 11 (2): 539–543. doi:10.1046/j.1523-1739.1997.96171.x.
- ^ Liddell, Henry G. (1980). Greek-English Lexicon (edisi ke-Abridged). Oxford: Oxford University Press. ISBN 0-19-910207-4.
- ^ van Strien, Nico (2005). "Sumatran rhinoceros". Dalam Fulconis, R. Save the rhinos: EAZA Rhino Campaign 2005/6. London: European Association of Zoos and Aquaria. hlm. 70–74.
- ^ Kesalahan pengutipan: Tag
<ref>
tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernamaTaxhistory
- ^ International Commission on Zoological Nomenclature (1977). "Opinion 1080. Didermocerus Brookes, 1828 (Mammalia) suppressed under the plenary powers". Bulletin of Zoological Nomenclature, 34:21–24.
- ^ a b c d Kesalahan pengutipan: Tag
<ref>
tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernamaIUCN
- ^ van Strien, Nico. "Sumatran rhinoceros" (PDF). Rhino Resource Center. Diakses tanggal 31 Mei 2013.
- ^ Foose, Thomas J. and van Strien, Nico (1997). Asian Rhinos – Status Survey and Conservation Action Plan. IUCN, Gland, Switzerland, and Cambridge, UK. ISBN 2-8317-0336-0.
- ^ Choudhury, A.U. (1997). "The status of the Sumatran rhinoceros in north-eastern India" (PDF). Oryx. 31 (2): 151–152. doi:10.1046/j.1365-3008.1997.d01-9.x.
- ^ Rabinowitz, Alan (1995). "Helping a Species Go Extinct: The Sumatran Rhino in Borneo". Conservation Biology. 9 (3): 482–488. doi:10.1046/j.1523-1739.1995.09030482.x.
- ^ van Strien, Nico J. (2001). "Conservation Programs for Sumatran and Javan Rhino in Indonesia and Malaysia". Proceedings of the International Elephant and Rhino Research Symposium, Vienna, June 7–11, 2001. Scientific Progress Reports.
Pranala luar
- (Inggris) Spark of hope
- (Inggris) Yayasan Badak Asia
- (Inggris) Info tentang hewan