Agustinus dari Hippo

Filsuf
Revisi sejak 5 Maret 2016 11.18 oleh Rachmat-bot (bicara | kontrib) (Robot: Perubahan kosmetika)

Agustinus dari Hippo (dalam bahasa Latin: Aurelius Augustinus Hipponensis, 13 November 354 – 28 Agustus 430), atau biasa dikenal dengan Santo Agustinus, adalah seorang filsuf[2] dan teolog Kekristenan awal yang mana tulisannya mempengaruhi perkembangan Kekristenan Barat dan filosofi Barat. Ia adalah Uskup Hippo Regius (sekarang Annaba, Aljazair), yang terletak di Numidia, Provinsi (Romawi) Afrika. Ia dipandang sebagai salah seorang Bapa Gereja terpenting dalam Kekristenan Barat karena tulisan-tulisannya di Era Patristik; beberapa karyanya yang terkenal adalah Kota Tuhan dan Pengakuan-pengakuan.

St. Agustinus dari Hippo
Agustinus dilukis oleh Sandro Botticelli, tahun. 1480
Uskup, Filsuf, Teolog
Lahir(354-11-13)13 November 354
Tagaste, Numidia (sekarang Souk Ahras, Aljazair)
Meninggal28 Agustus 430(430-08-28) (umur 75)
Hippo Regius, Numidia (saat ini bernama Annaba, Aljazair)
Dihormati disemua Kekristenan
Pesta28 Agustus (Kekristenan Barat)
15 Juni (Kekristenan Timur)
4 November (Gereja Asiria Timur)
Atributanak kecil; merpati; pena; cangkang kerang, hati yang tertusuk, memegang buku dengan sebuah gereja kecil, tongkat gembala uskup, mitra
Pelindungbrewery; penerbit dan percetakan; teolog; Bridgeport; Cagayan de Oro; San Agustin[1]

Menurut St Hieronimus, yang mana sejaman dengan Agustinus, ia telah memperbaharui "Iman kuno" (conditor antiquae rursum fidei).[3][4]:343 Di awal hidupnya, Agustinus banyak dipengaruhi oleh Manikheisme dan sesudahnya oleh Neoplatonisme. Setelah dibaptis dan menjadi Kristen pada tahun 387, Agustinus mengembangkan pendekatannya sendiri dalam filosofi dan teologi dengan mengakomodir berbagai metode dan sudut pandang.[4]:347-349 Ketika Kekaisaran Romawi Barat mulai pecah, Agustinus mengembangkan konsep Gereja Katolik sebagai suatu Kota rohani Allah (Yerusalem Baru), berbeda dengan Kota Duniawi yang materiil.[5] Pemikirannya sangat mempengaruhi pandangan dunia pada abad pertengahan. Gereja yang berpegang pada konsep Trinitas, sebagaimana didefinisikan dalam Konsili Nicea I dan Konsili Konstantinopel I,[6] dikenal erat sebagai Kota Allah-nya Agustinus.

Dalam Gereja Katolik dan Komuni Anglikan, ia dipandang sebagai seorang santo, seorang Doktor Gereja yang unggul,[7] dan pelindung para biarawan Agustinian. Banyak kalangan Protestan, terutama Calvinis, menganggapnya sebagai salah seorang bapa teologis dari Reformasi Protestan karena ajarannya tentang anugerah ilahi dan keselamatan.

Dalam Gereja Timur, banyak ajarannya yang tidak diterima; kontrovesi doktrinal yang terpenting sehubungan dengannya adalah filioque.[8] Doktrin lain yang mungkin tidak diterima mencakup pandangannya mengenai dosa asal, doktrin menenai anugerah, dan predestinasi.[8] Meski dianggap keliru dalam beberapa hal, Agustinus tetap dipandang sebagai seorang suci.[9] Gereja Ortodoks memberinya gelar "Yang Terberkati" (Beato); namun hal ini bukan berarti ia tidak dipandang sebagai seorang Santo oleh kalangan Ortodoks, sebab hari peringatannya tercatat dalam kalender liturgi mereka.[10]


Kehidupan

Masa kecil dan pendidikan

 
Santo Agustinus diantar ke sekolah oleh Santa Monika, lukisan karya Niccolò di Pietro

Agustinus dilahirkan pada tahun 354 di municipium (kota atau kotamadya) di Tagaste, Numidia (sekarang Souk Ahras, Aljazair) di Provinsi (Romawi) Afrika.[11][12] Ibunya, Monika, adalah seorang Kristen yang saleh; sementara ayahnya Patrisius adalah seorang Pagan yang kemudian memohon dibaptis menjelang kematiannya.[13] Pada usia 11 tahun ia disekolahkan di Madaurus (sekarang M'Daourouch), sebuah kota kecil di Numidia berjarak sekitar 19 mil ke arah selatan Tagaste. Di sana ia menjadi akrab dengan sastra Latin, juga keyakinan dan praktik paganisme[14] Pemahaman awalnya atas dosa adalah saat ia dan sejumlah temannya mencuri buah pir, yang mana sebenarnya tidak mereka inginkan, dari sebuah kebun di lingkungannya. Ia menceritakan kisah ini dalam otobiografinya, Pengakuan-pengakuan (Confessions). Ia mengingatnya bahwa dulu ia tidak mencuri buah pir tersebut karena rasa lapar, tetapi karena "hal itu tidak diperbolehkan". Katanya, "Buruk kenakalan itu, tetapi aku menyukainya waktu itu; aku menyukai kehancuranku, aku menyukai kesalahanku. Bukan apa yang kukejar dalam kesalahanku itu, melainkan kesalahan itu sendiri yang kusukai."[15]

Karena kemurahan hati sesama warga kotanya, Romanianus,[16] pada umur 17 tahun ia melanjutkan pendidikan dalam bidang retorika di Kartago. Saat Agustinus belajar di sanalah ia membaca karya Cicero, Hortensius, yang ia gambarkan sebagai meninggalkan suatu kesan mendalam dan memicu minatnya dalam filsafat.[17] Sejak awal Agustinus menunjukkan dirinya sebagai seorang murid yang brilian, dengan rasa keingintahuan intelektual yang besar, namun ia tidak pernah menguasai bahasa Yunani.[18]

Meskipun dididik sebagai seorang Kristiani, oleh ibunya, Agustinus lebih tertarik mengikuti agama Manikheisme, sehingga sering membuat ibunya putus asa.[19] Sebagai seorang pemuda, Agustinus menjalani kehidupan yang hedonis dalam suatu kurun waktu, dan bergaul dengan orang muda lainnya yang membanggakan eksploitasi seksual mereka. Kebutuhan akan penerimaan dari sesamanya telah memaksa mereka untuk mencari ataupun mengarang cerita mengenai pengalaman-pengalaman seksual mereka. Saat itu adalah masa di mana ia mengucapkan doanya yang terkenal: "Berikan aku kesucian dan kekuatan untuk menahan nafsu, tetapi jangan sekarang." (da mihi castitatem et continentiam, sed noli modo)[20]

Pada usia sekitar 19 tahun, Agustinus mulai menjalin hubungan di luar perkawinan dengan seorang wanita muda di Kartago. Meskipun sang ibu mengharapkannya agar menikahi seorang yang sederajat dengannya,[21] wanita tersebut menjadi kekasih tetapnya selama lebih dari 13 tahun dan melahirkan anak baginya, Adeodatus,[22] yang dipandang sangat cerdas oleh orang-orang pada masanya.

Guru besar retorika

Agustinus mengajar tata bahasa di Tagaste selama tahun 373-374. Tahun berikutnya ia pindah ke Kartago untuk membuka sekolah retorika, dan berlangsung selama 9 tahun.[16] Karena merasa terganggu oleh murid-murid yang sulit diatur di Kartago, ia pindah ke Roma untuk mendirikan sekolah di sana, di mana ia meyakini bahwa Roma adalah tempatnya para ahli retorika cemerlang dan terbaik. Namun, Agustinus kecewa karena situasi di sana di luar harapannya. Merupakan suatu kebiasaan di Roma saat itu bahwa para murid membayar biaya sekolah di hari terakhir masa studi; sementara banyak murid mengikuti seluruh masa studi dengan tekun sampai akhir, namun tidak membayar biaya sekolah. Para teman Manikhean-nya kemudian memperkenalkan Agustinus dengan prefek Kota Roma, Symmachus, yang telah diminta oleh pengadilan kekaisaran di Milan untuk menyediakan seorang guru besar ilmu retorika. Agustinus kemudian mendapatkan pekerjaan tersebut dan berangkat ke utara untuk menerima jabatan itu pada akhir tahun 384. Di usianya yang ke-30, Agustinus telah mendapatkan jabatan akademik yang paling menonjol di dunia Latin di mana saat itu jabatan seperti demikian memberikan akses ke karir politik.[23]

Walau Agustinus menunjukkan kegairahannya kepada Manikheisme, tetapi ia hanyalah seorang "auditor" (tingkatan terendah dalam hirarki sekte tersebut). Saat masih di Kartago, Agustinus pernah mengalami suatu pertemuan yang mengecewakan dengan Uskup Manikhean, Faustus of Mileve, seorang eksponen utama dalam teologi Manikhean; sejak saat itu Agustinus mulai bersikap skeptis terhadap Manikheisme.[23] Di Roma, ia dikabarkan berpaling dari Manikheisme dan menganut skeptisisme gerakan "Akademi Baru", yang merupakan Akademi Platonik. Karena pendidikannya, Agustinus memiliki kecakapan retorikal yang luar biasa dan berpengetahuan luas dalam filosofi berbagai aliran kepercayaan.[24]

Saat Agustinus tinggal di Milan, kesalehan ibunya, studinya dalam Neoplatonisme, dan temannya Simplicianus (yang kemudian menjadi Uskup Milan, dan juga akhirnya digelari Santo), semuanya itu mendorong dia untuk beralih ke Kekristenan. Awalnya Agustinus tidak begitu terpengaruh oleh Kekristenan, tetapi seiring dengan hubungannya dengan Ambrosius (Uskup Milan saat itu, dan kemudian menjadi salah satu Doktor Agung dalam Gereja Katolik), ia mulai mengevaluasi kembali dirinya. Sama seperti Agustinus, Ambrosius juga seorang ahli retorika (berarti juga ahli pidato), tapi lebih tua dan berpengalaman.[25] Agustinus sangat terpengaruh oleh Ambrosius, terutama melalui khotbah-khotbah Ambrosius, bahkan lebih dari pengaruh ibunya sendiri dan orang-orang lain yang ia kagumi. Sejak ia tiba di Milan, ia segera berada di bawah pengaruh Ambrosius. Dalam Pengakuan-pengakuan X-XIII, Agustinus menulis, "Abdi Allah ini menerimaku dengan sikap kebapakan, dan sebagai seorang uskup yang sejati dinyatakannya kesenangannya akan pemindahan saya." Hubungan mereka segera berkembang, sebagaimana Agustinus menuliskannya, "Begitulah aku mulai merasa sayang kepadanya, meskipun mula-mula bukan sebagai guru suatu kebenaran yang sama sekali sudah tidak kuharapkan dari Gereja-Mu, melainkan sebagai orang yang ramah terhadapku."[26] Agustinus rutin mengunjungi Ambrosius untuk melihat apakah Ambrosius merupakan salah seorang ahli retorika dan pembicara terbaik di dunia. Walau lebih tertarik kepada ketrampilan berbicaranya dibandingkan topiknya, Agustinus segera menyadari bahwa Ambrosius adalah seorang ahli pidato yang spektakuler. Pada akhirnya, Agustinus mengatakan bahwa melalui alam bawah sadarnya ia dibawa kepada iman Kristen.[26]

Sang ibu, Monika, telah menyusul Agustinus sampai ke Milan dan mengatur suatu pernikahan, di mana karena hal ini hubungan Agustinus dengan kekasihnya (di luar pernikahan) berakhir —yaitu pada tahun 385.[27] Meskipun Agustinus menerima rencana pernikahan ini, Agustinus sangatlah terluka karena kehilangan kekasihnya. Saat itu ia menggambarkan keadaannya: "Wanita teman tetapku seranjang direnggut dari sisiku ... hatiku yang melekat padanya tercabik-cabik dan terluka dan mengalirkan darah."[28] Agustinus mengakui bahwa ia bukan gandrung pada perkawinan, melainkan budak nafsu birahi, sehingga ia mencari kekasih lain untuk melayani nafsunya sepeninggal kekasih pertamanya karena ia harus menunggu 2 tahun lagi hingga tunangannya beranjak dewasa. Namun ia menggambarkan bahwa setelah itu pun lukanya tidak sembuh juga, malah mulai bernanah.[28]

Ada bukti yang menunjukkan bahwa Agustinus mungkin menganggap hubungan sebelumnya ini setara dengan pernikahan.[29] Dalam Pengakuan-pengakuan, ia mengakui bahwa pengalaman tersebut kemudian membuat suatu penurunan kepekaan terhadap rasa sakit. Di kemudian hari, Agustinus akhirnya memutuskan pertunangannya dengan tunangannya yang berumur 11 tahun itu, dan ia kemudian tidak pernah menjalin hubungan lagi dengan salah satu pun kekasihnya. Seorang teman Agustinus, Alypius (yang kemudian menjadi Uskup Tagaste, dan juga akhirnya digelari Santo), yang mengarahkan Agustinus untuk menjauhi pernikahan, mengatakan bahwa mereka tidak dapat menjalani suatu kehidupan bersama dalam cinta akan hikmat jika menikah. Agustinus mengenangnya beberapa tahun kemudian saat tinggal di Cassiciacum, sebuah villa di luar Milan, di mana ia berkumpul dengan para pengikutnya sebelum ia dibaptis, dan menggambarkannya sebagai waktu senggang kehidupan Kristiani (Christianae vitae otium).[30]

Memeluk Kristen

Pada musim panas tahun 386, dalam usianya yang ke-31, Agustinus mendengar suatu kisah dari Ponticianus (seorang Kristen kenalannya di istana kaisar) mengenai pengalamannya bersama teman-temannya, dan juga cerita dari temannya itu mengenai kehidupan Santo Antonius Agung yang sangat menyentuhnya. Cerita-cerita dari Ponticianus membuat keinginannya semakin kuat untuk memeluk Kristen. Namun, sebagaimana diceritakannya kemudian, keputusan bulat untuk menjadi Kristen adalah setelah ia didorong oleh suatu suara seperti anak kecil yang ia dengar menyuruhnya "Ambillah, bacalah!" (tolle, lege), yang dianggapnya sebagai perintah ilahi untuk membuka Alkitab. Agustinus kemudian segera membuka Alkitab dan membaca bagian yang ia lihat pertama kali, yaitu Roma 13:13-14 :[31]

"Marilah kita hidup dengan sopan, seperti pada siang hari, jangan dalam pesta pora dan kemabukan, jangan dalam percabulan dan hawa nafsu, jangan dalam perselisihan dan iri hati. Tetapi kenakanlah Tuhan Yesus Kristus sebagai perlengkapan senjata terang dan janganlah merawat tubuhmu untuk memuaskan keinginannya."

 
"St. Agustinus dan St. Monika" (1846), oleh Ary Scheffer.

Dan seketika setelah ia membacanya, ia merasakan seolah-olah ada cahaya kedamaian tercurah ke dalam hatinya dan segala keraguannya hilang.[31] Monika sangat bahagia ketika sang anak menceritakan kisahnya. Dalam Pengakuan-pengakuan, Agustinus juga menyampaikan bahwa sejak saat itu ia tidak lagi menginginkan untuk mempunyai istri, dan dengan mantap ia melepaskan jabatannya di istana. Uskup Ambrosius membaptis Agustinus, dan anaknya (Adeodatus) yang saat itu berumur 15 tahun, serta sejumlah temannya pada Malam Paskah tahun 387 di Milan. Setahun kemudian, tahun 388, Agustinus menyelesaikan apologinya "Dalam Kekudusan Gereja Katolik".[23] Pada tahun yang sama Agustinus beserta seluruh kerabatnya, termasuk Adeodatus anaknya dan juga Monika ibunya, pulang ke kampung halaman mereka di Afrika.[16] Namun sang ibu meninggal di Ostia dalam perjalanan mereka ke Afrika.[32] Dan tidak lama kemudian Adeodatus juga meninggal, di usianya yang ke-16.[33] Agustinus kemudian menjual semua hartanya dan memberikan uangnya kepada orang-orang miskin. Satu-satunya yang dipertahankan adalah rumah keluarganya, di Tagaste, yang mana menjadi basis kehidupan membiara — yang berarti juga selibat — baginya dan sejumlah temannya.[16]

Agustinus kemudian mengungkapkan perubahan radikal pada dirinya, dalam Pengakuan-pengakuan, berupa doa yang kalimat pertamanya sangat populer hingga saat ini: Terlambat aku mencintai-Mu, Tuhan. Doa selengkapnya:[34]

Betapa lambat aku akhirnya mencintai-Mu, Oh Keindahan lama yang selalu baru, betapa lambat Kau kucintai!
Ketika Engkau berada di dalam diriku, aku malah berada di luar, dan di luar sanalah Kau kucari.
Aku, yang tidak layak dicintai ini, melemparkan diri ke antara hal-hal indah yang Kau ciptakan.
Dahulu Engkau bersamaku, namun aku sendiri malah tidak bersama-Mu.
Segala hal itu membuatku terpisah daripada-Mu; yang jikalau tidak ada dalam diri-Mu, sesungguhnya mereka bukanlah apa-apa!

Engkau memanggil dan berseru-seru, dan menghancurkan ketulianku.
Engkau memancarkan kilau dan sinar, dan menghalau kebutaanku.
Engkau menebarkan harum semerbak dan aku menghirupnya; dan sekarang aku terengah-engah merindukan-Mu.
Aku telah mengecap, dan sekarang aku lapar dan haus.
Engkau menyentuhku, dan aku terbakar mendambakan damai-Mu.

Menjadi imam dan uskup

 
Konsekrasi Santo Agustinus sebagai uskup, lukisan karya Jaume Huguet

Pada tahun 391 ia ditahbiskan menjadi seorang imam di Hippo Regius, (kini Annaba, di Aljazair). Ia menjadi seorang pengkhotbah terkenal (lebih dari 350 khotbahnya yang terlestarikan diyakini otentik), dan ia juga dikenal karena melawan paham Manikheisme, yang pernah dianutnya.[23]

Pada tahun 395 ia diangkat menjadi uskup koajutor (seorang uskup dengan hak untuk menggantikan apabila uskup diosesan yang menjabat meninggal dunia) di Hippo, dan tidak lama kemudian menjadi uskup sepenuhnya,[27] sehingga ia dikenal dengan nama "Agustinus dari Hippo"; dan ia memberikan harta miliknya kepada Gereja di Tagaste.[35] Agustinus tetap menjabat sebagai uskup di sana hingga kematiannya tahun 430. Ia menuliskan otobiografinya Pengakuan-pengakuan pada tahun 397-398. Karyanya Kota Allah dituliskan untuk menghibur sesamanya umat Kristiani tidak lama setelah Visigoth menaklukkan Roma pada tahun 410.

Agustinus bekerja tanpa lelah dalam upayanya meyakinkan masyarakat di Hippo untuk memeluk Kristen. Meskipun telah meninggalkan biara, ia tetap menjalani kehidupan monastik di wisma episkopal (tempat kediamannya sebagai uskup). Ia mewariskan sebuah buku peraturan (bahasa Latin: regula) untuk biaranya yang kemudian membuatnya dijadikan santo pelindung para religius (para anggota tarekat religius).[36]

Kebanyakan kisah kehidupan Agustinus kemudian dibukukan oleh St. Possidius, yang adalah temannya dan Uskup Calama (kini Guelma, Aljazair), dalam karyanya Sancti Augustini Vita. St Possidius mengagumi Agustinus sebagai seseorang yang sangat cerdas dan seorang pembicara handal yang memanfaatkan setiap kesempatan untuk membela Kekristenan dari para pencelanya. Karakter pribadi Agustinus juga digambarkannya dengan rinci misalnya: seseorang yang hanya makan secukupnya, bekerja tanpa lelah, membenci gosip, menjauhi godaan-godaan kedagingan, dan menerapkan kehatian-hatian dalam pengelolaan keuangan keuskupannya.[37]

Kematian dan penghormatan atasnya

Sesaat menjelang kematian Agustinus, bangsa Vandal (suatu suku bangsa Jermanik yang telah menjadi penganut Arianisme) menyerbu Afrika —yang masih menjadi Provinsi Romawi. Bangsa Vandal tersebut mengepung Hippo pada musim semi tahun 430, saat Agustinus menderita penyakit terakhirnya sebelum meninggal. Menurut Possidius, salah satu dari beberapa mujizat dikaitkan dengan Agustinus, yaitu kesembuhan seorang sakit, pada saat pengepungan berlangsung.[38] Possidius mencatat bahwa Agustinus menghabiskan hari-hari terakhirnya dalam doa dan penyesalan, serta meminta Mazmur Pertobatan supaya digantungkan di dinding kamarnya sehingga ia dapat membacanya. Ia juga memberi instruksi agar perpustakaan gereja di Hippo dan semua buku-buku di dalamnya supaya dijaga dengan baik. Agustinus kemudian meninggal pada tanggal 28 Agustus 430.[39] Tak lama setelah meninggalnya, bangsa Vandal melepaskan pengepungan Hippo; tetapi mereka kembali tidak lama setelah itu dan membakar kota tersebut. Mereka menghancurkan semuanya selain perpustakaan dan katedral Agustinus, yang mana mereka tinggalkan begitu saja.[40]

Agustinus dikanonisasi melalui pengakuan populer, dan kemudian diakui sebagai seorang Doktor Gereja pada tahun 1298 oleh Paus Bonifasius VIII.[41]

Pemikirannya

Antropologi Kristen

Agustinus adalah salah satu penulis Latin pertama, di kalangan Kristen, dari abad kuno yang memiliki visi yang sangat jelas dalam antropologi teologis.[42] Ia melihat manusia sebagai suatu kesatuan sempurna dari dua substansi: tubuh dan jiwa. Dalam salah satu risalah terakhirnya "Kepedulian yang diperlukan kepada orang mati" (De cura pro mortuis gerenda) bab 5, yang ditulisnya pada tahun 420, ia mendesak penghormatan atas tubuh dengan alasan bahwa tubuh adalah bagian dari kodrat dasar suatu pribadi manusia.[43] Figur favorit Agustinus untuk menggambarkan hubungan tubuh-jiwa adalah perkawinan: "tubuhmu adalah istrimu" (caro tua, coniunx tua).[44][45][46] Awalnya, 2 elemen tersebut berada dalam keselarasan yang sempurna. Setelah jatuhnya umat manusia, mereka (tubuh dan jiwa) mengalami pertempuran dramatis antara satu dengan yang lainnya. Keduanya merupakan 2 hal yang berbeda; tubuh adalah sebuah obyek 3 dimensi yang terdiri dari 4 elemen, sedangkan jiwa tidak memiliki dimensi spasial (ruang).[47] Jiwa adalah satu jenis substansi, berpartisipasi dalam akal, dan cocok untuk berkuasa atas tubuh.[48] Agustinus tidak disibukkan, seperti Plato dan Descartes, dengan penelusuran yang terlalu banyak terhadap rincian mendetail dalam upaya untuk menjelaskan metafisika persatuan tubuh-jiwa. Baginya adalah cukup untuk mengakui bahwa ada perbedaan metafisik antara keduanya: menjadi seorang manusia berarti menjadi satu gabungan tubuh dan jiwa, dan jiwa lebih unggul dibanding tubuh. Pernyataan terakhir tersebut didasarkan pada klasifikasi hirarkisnya akan segala hal ke dalam: yang sekadar ada, yang ada dan hidup, yang ada - hidup - dan ber-akal.[49][50] Layaknya Bapa Gereja lainnya, seperti Athenagoras,[51] Agustinus mengutuk dengan keras praktik aborsi langsung, dan meskipun ia tidak menyetujui aborsi dalam tahap kehamilan manapun, ia membuat perbedaan antara aborsi dini dan lainnya.[52]

Penciptaan

Dalam Kota Allah, Agustinus menolak gagasan mengenai keabadian umat manusia yang diajukan oleh para pagan dan pemikiran kontemporer mengenai zaman (seperti pandangan beberapa orang Yunani dan Mesir) yang berbeda dengan tulisan-tulisan suci Gereja.[53] Dalam "Interpretasi Literal Kitab Kejadian" (De Genesi ad litteram), Agustinus berpandangan bahwa segala sesuatu di alam semesta diciptakan secara bersamaan oleh Allah, dan bukan dalam 7 hari kalender layaknya penafsiran harafiah atas Kejadian. Ia berpendapat bahwa struktur enam-hari penciptaan dalam Kitab Kejadian lebih menggambarkan sebuah kerangka logis, daripada suatu perjalanan waktu secara fisik; maksudnya hal itu tidak lebih dari suatu hal literal. Satu alasan atas interpretasi ini adalah kutipan dalam Sirakh 18:1 bahwa "Dia ... menciptakan segala-galanya bersama-sama" (creavit omnia simul), yang mana digunakan oleh Agustinus sebagai bukti bahwa Kejadian 1 harus diartikan bukan secara literal.[54] Agustinus juga tidak menganggap dosa asal sebagai penyebab perubahan struktural di alam semesta, bahkan menyatakan kalau tubuh Adam dan Hawa telah tercipta fana sebelum kejatuhan mereka.[55] Terlepas dari pandangan-pandangan spesifiknya, Agustinus mengakui bahwa penafsiran atas penciptaan adalah sulit, dan menyatakan bahwa setiap orang seharusnya bersedia untuk mengubah pandangannya mengenai hal tersebut seandainya ada informasi-informasi baru.[56]

Perang yang adil

Agustinus menegaskan bahwa orang Kristen harus pasifis sebagai seorang pribadi, filosofi yang harus menjadi pendiriannya.[57] Namun kedamaian dalam menghadapi suatu kesalahan berat dan serius, yang hanya dapat dihentikan melalui kekerasan, akan menjadi suatu dosa. Pertahanan atas diri sendiri atau orang lain dapat menjadi suatu keharusan, terutama bila diizinkan oleh suatu otoritas yang resmi dan sah. Meskipun tidak merinci kondisi-kondisi yang diperlukan agar perang dapat dibenarkan, yang biasa disebut dengan istilah just war (perang yang adil / sah), Agustinus menciptakan istilah ini dalam karyanya Kota Allah.[58] Perang seperti ini tidak diperkenankan bersifat pre-emptif (melumpuhkan sebagai tindakan antisipasi), tetapi defensif (untuk bertahan), demi memulihkan perdamaian.[59] Beberapa abad kemudian St. Thomas Aquinas menggunakan argumentasi Agustinus dalam upayanya untuk menentukan kondisi-kondisi di mana suatu perang dapat dibenarkan.[60][61]

Mariologi

Walaupun Agustinus tidak mengembangkan suatu teologi khusus mengenai Mariologi, namun pernyataannya mengenai Maria melampaui para penulis awal lainnya dalam hal kedalamannya dan banyaknya.[62] Sebelum Konsili Efesus pun ia telah membela Keperawanan Abadi Maria sebagai Bunda Allah, yang mana karena keperawanannya, adalah penuh rahmat.[63] Dan ia juga menegaskan bahwa Perawan Maria "mengandung sebagai perawan, melahirkan sebagai perawan, dan tetap perawan selamanya".[64]

Penafsiran Alkitab

Agustinus mempunyai pandangan bahwa teks Kitab Suci harus ditafsirkan sebagai kiasan apabila suatu penafsiran harafiah bertentangan dengan ilmu pengetahuan dan iman. Walau setiap bagian dari Alkitab memiliki suatu makna harafiah, "makna harafiah" ini tidak selalu berarti bahwa Alkitab adalah sekadar sejarah belaka; namun terkadang lebih sebagai suatu perluasan metafora.[65]

 
St. Agustinus berdebat dengan bidat, lukisan karya Vergós Group

Dosa asal

Agustinus mengajarkan bahwa dosa asal dari Adam dan Hawa merupakan suatu tindakan kebodohan (insipientia) yang diikuti oleh kesombongan dan ketidaktaatan kepada Allah, atau mungkin juga sebenarnya berawal dari kesombongan.[66] Pasangan pertama tersebut tidak mematuhi Allah, yang telah mengatakan kepada mereka untuk tidak makan dari Pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat (Kejadian 2:17),[67] di mana pohon tersebut merupakan sebuah simbol dari keteraturan penciptaan.[68] Sikap yang berpusat pada diri sendiri membuat Adam dan Hawa memakan buah pohon itu, sehingga gagal untuk mengakui dan menghormati dunia yang telah diciptakan Allah, beserta tatanan ciptaan dan nilai-nilainya.[69] Mereka jatuh dalam kesombongan dan berkurangnya hikmat karena Iblis menabur "akar kejahatan" (radix mali) ke dalam panca indera mereka.[70] Kodrat mereka terluka oleh konkupisensi atau libido, yang mana mempengaruhi kehendak dan kecerdasan mereka, juga afeksi dan hasrat (atau nafsu), termasuk hasrat seksual.[71] Dari segi metafisika, konkupisensi bukanlah suatu ciptaan tetapi merupakan suatu kualitas buruk, kurangnya kebaikan, atau suatu luka.[72]

Pandangan bahwa tidak hanya jiwa manusia, tetapi juga panca indera, yang terkena dampak oleh jatuhnya Adam dan Hawa adalah sesuatu yang lazim di zaman Agustinus —dan para Bapa Gereja.[73] Jelas bahwa alasan Agustinus untuk menjauhi urusan kedagingan berbeda dengan Plotinus, seorang Neoplatonis,[74] yang mengajarkan bahwa seorang manusia dapat mencapai tingkatan tertinggi hanya melalui kebencian terhadap keinginan daging.[75] Agustinus mengajarkan bahwa pembebasan tubuh, yaitu transformasi dan penyucian, adalah pada saat kebangkitan (kebangkitan badan).[76]

Beberapa penulis menganggap ajaran Agustinus ditujukan terhadap seksualitas manusia, dan menghubungkan desakannya pada berpantang nafsu (continence) dan pengabdian kepada Allah, berasal dari kebutuhan Agustinus untuk menolak hasrat sensualnya yang besar sebagaimana diceritakannya dalam Pengakuan-pengakuan. Tetapi jika melihat semua tulisannya, nampaknya ada kesalahpahaman.[77] Agustinus mengajarkan bahwa seksualitas manusia telah terluka, bersamaan dengan seluruh kodratnya, dan membutuhkan penebusan oleh Kristus. Penyembuhannya merupakan suatu proses yang diwujudkan dalam relasi perkawinan (conjugal acts). Kebajikan atau keutamaan berpantang nafsu diperoleh berkat rahmat dari Sakramen Perkawinan, yang karenanya menjadi sebuah obat atas konkupisensi (remedium concupiscentiae).[78][79] Pembebasan dari seksualitas manusia akan tercapai sepenuhnya hanya dalam kebangkitan tubuh.[80]

Dosa Adam diwariskan kepada semua manusia. Sejak tulisan-tulisan awal Agustinus dalam melawan Pelagianisme, ia telah mengajarkan bahwa dosa asal ditularkan kepada semua keturunannya oleh konkupisensi,[81] yang dianggapnya sebagai hasrat dari jiwa dan raga,[82] yang membuat manusia dikuasai dosa (massa damnata) dan banyak melemahkan — walau tidak menghancurkan — kehendak bebas.[83]

Rumusan Agustinus tentang doktrin dosa asal diteguhkan dalam berbagai konsili, misalnya Kartago (418), Efesus (431), Orange (529), Trente (1546). St Anselmus menyatakan dalam Cur Deus Homo suatu definisi yang kemudian diikuti oleh para terpelajar terkemuka pada abad ke-13, bahwa dosa asal adalah "keterbatasan dari kebenaran yang mana seharusnya terdapat dalam diri setiap orang", sehingga membedakannya dengan konkupisensi, di mana beberapa pengikut Agustinus sering menyamakannya —sebagaimana juga Luther dan Calvin.[83][84][85] Pada tahun 1567, Paus Pius V mengutuk pandangan yang menyamakan dosa asal dengan konkupisensi.[83]

Kehendak bebas

Pernyataan bahwa Allah menciptakan manusia dan malaikat sebagai makhluk rasional yang memiliki kehendak bebas dapat ditemukan dalam teodisi Agustinus. Kehendak bebas tidak dimaksudkan untuk berbuat dosa, juga tidak berarti bahwa kehendak bebas memiliki kecenderungan yang sama pada kebaikan dan kejahatan. Suatu kehendak yang telah dikotori oleh dosa tidak lagi dianggap sebagai "bebas" seperti sebelumnya karena kehendak tersebut telah terikat dengan hal-hal duniawi, yang mana dapat saja hilang atau sulit untuk lepas darinya (karena dosa), sehingga menghasilkan ketidakbahagiaan. Dosa merusak kehendak bebas (namun tidak sampai hancur), sementara anugerah atau rahmat memulihkannya. Hanya suatu kehendak yang dulunya bebas yang dapat terkorupsi oleh dosa.[86] Dengan kata lain kehendak bebas memungkinkan manusia dapat berbuat dosa sehingga kehendak bebasnya rusak jika melakukannya, namun rahmat memulihkan kembali kehendak bebasnya.

Gereja Katolik menganggap ajaran Agustinus mengenai kehendak bebas adalah konsisten. Agustinus sering mengatakan bahwa siapa pun dapat diselamatkan jika mereka menginginkannya. Sementara Allah mengetahui siapa yang ingin dan tidak ingin diselamatkan, dengan tidak adanya kemungkinan bagi yang tidak ingin diselamatkan untuk dapat diselamatkan dalam hidup mereka, hal ini menggambarkan pengetahuan sempurna Allah mengenai bagaimana setiap manusia akan memilih sendiri nasib mereka dengan bebas.[87]

 
Santo Agustinus Hippo, sebuah ukiran dari abad ke-19

Sakramen

Dalam perlawanannya terhadap Donatisme, Agustinus mengembangkan suatu perbedaan antara "kelayakan" dan "keabsahan" sakramen-sakramen. Menurutnya suatu sakramen dikatakan layak apabila diterimakan oleh klerus dari Gereja Katolik, sementara sakramen yang diterimakan oleh skismatik dipandang tidak layak (irregular). Namun demikian, keabsahan (validitas) sakramen tidak bergantung pada kesucian dari imam yang menerimakannya (ex opere operato); oleh karena itu, sakramen yang tidak layak masih dapat dipandang valid apabila dilakukan dalam nama Kristus dan sesuai prosedur yang telah ditentukan oleh Gereja. Dalam hal ini Agustinus berbeda dengan ajaran sebelumnya dari St. Siprianus, yang mengajarkan bahwa orang yang kembali dari gerakan skismatik harus dibaptis ulang.[88]

Agustinus mengukuhkan pemahaman Kekristenan awal tentang kehadiran nyata Kristus dalam Ekaristi (transubstansiasi) dengan mengatakan bahwa pernyataan Kristus, "Inilah tubuh-Ku" merujuk ke roti yang dipegang-Nya,[89][90] dan orang-orang Kristiani harus mengimani bahwa roti dan anggur tersebut pada kenyataannya adalah tubuh dan darah Kristus, terlepas dari apa yang mereka lihat dengan mata (jasmani) mereka.[91]

Menentang Pelagianisme, Agustinus sangat menekankan pentingnya baptisan bayi. Mengenai pernyataan apakah baptisan adalah syarat mutlak bagi keselamatan, bagaimana pun, Agustinus sepertinya telah disempurnakan keyakinannya seiring perjalanan hidupnya, menyebabkan beberapa kebingungan di antara para teolog setelahnya mengenai posisinya dalam hal ini. Ia mengatakan dalam salah satu khotbahnya bahwa hanya orang yang telah dibaptis yang diselamatkan.[92] Keyakinan ini dianut oleh banyak orang Kristen awal. Namun satu bagian dari Kota Allah, mengenai Apokalips, mungkin menunjukkan bahwa Agustinus meyakininya dalam pengecualian bagi anak-anak yang lahir dari orang tua Kristiani.[93]

Pernyataannya atas orang Yahudi

Untuk menentang gerakan Kekristenan tertentu, yang beberapa di antaranya menolak penggunaan Alkitab Ibrani, Agustinus menjawab bahwa Allah telah memilih kaum Yahudi sebagai suatu bangsa pilihan,[94] dan ia menganggap tindakan Kekaisaran Romawi menceraiberaikan orang-orang Yahudi sebagai suatu penggenapan nubuat.[95] Ia menolak pembunuhan dengan mengutip nubuat yang sama yang mengatakan, "Jangan bunuh mereka, agar mereka tidak melupakan hukum-Mu" (Mazmur 59:11). Agustinus, yang percaya bahwa orang-orang Yahudi akan memeluk Kristen di "akhir zaman", berpendapat bahwa Tuhan telah mengizinkan mereka bertahan hidup dalam penyebaran mereka sebagai suatu peringatan kepada orang-orang Kristen; karena itu, ia berpendapat bahwa mereka seharusnya diizinkan untuk tinggal di tanah orang-orang Kristen.[96] Sentimen yang terkadang dikaitkan dengan Agustinus bahwa orang-orang Kristen seharusnya membiarkan orang-orang Yahudi "untuk bertahan hidup tetapi tidak untuk berkembang" (contohnya, hal ini diulang oleh penulis James Carroll dalam bukunya Constantine's Sword)[97] adalah apokrif dan tidak ditemukan dalam satu pun tulisannya.[98]

Pengaruhnya

 
Lukisan detail St. Agustinus di sebuah jendela kaca patri karya Louis Comfort Tiffany di Museum Lightner, St. Augustine, Florida, Amerika Serikat.

Agustinus tetap merupakan seorang figur pusat, baik dalam Kekristenan maupun dalam sejarah pemikiran Barat. Dalam argumen filsafat dan teologinya, dia banyak dipengaruhi oleh Stoikisme, Platonisme dan Neoplatonisme, terutama oleh karya Plotinus (penulis Enneads), kemungkinan melalui perantaraan Porfiri dan Victorinus (seperti dalam argumen Pierre Hadot). Meskipun ia kemudian meninggalkan Neoplatonisme, beberapa gagasan akan hal tersebut masih terlihat dalam tulisan-tulisan awalnya.[99] Tulisan awalnya yang berpengaruh tentang kehendak manusia, suatu topik sentral dalam etika, kelak menjadi fokus bagi para filsuf seperti Schopenhauer, Kierkegaard, dan Nietzsche. Ia juga dipengaruhi oleh karya-karya Virgil (yang dikenal karena ajarannya mengenai bahasa) dan Cicero (yang dikenal karena ajarannya mengenai argumen).[2]

Dalam filsafat

Filsuf Bertrand Russell terkesan dengan meditasi Agustinus mengenai hakikat "waktu" dalam bukunya Pengakuan-pengakuan, dan memandangnya dengan positif dibandingkan pandangan Immanuel Kant yang menganggap waktu adalah subyektif.[100] Sementara meditasi Agustinus tentang hakikat waktu terkait erat dengan pertimbangannya tentang daya ingat manusia. Para teolog Katolik umumnya mengikuti keyakinan Agustinus bahwa Allah hadir di luar waktu dalam "masa kini yang kekal"; bahwa waktu hanya ada di dalam alam ciptaan karena hanya dalam ruang-lah waktu dapat dirasakan —yaitu melalui gerak dan perubahan.[101] Frances Yates dalam penelitiannya pada 1966, The Art of Memory (Seni Daya Ingat), berpendapat bahwa paragraf singkat dari Pengakuan-pengakuan X-VIII.12 di mana Agustinus menulis tentang orang yang menaiki tangga dan memasuki suatu bidang ingatan yang sangat luas,[102] jelas menunjukkan bahwa orang-orang Romawi kuno memahami bagaimana menggunakan kiasan ruang dan arsitektural sebagai suatu teknik mnemonik untuk mengelola sejumlah besar informasi.

Filosofi Agustinus, terutama ditunjukkannya dalam Pengakuan-pengakuan, menunjukkan pengaruh yang berkelanjutan dalam filsafat Kontinental sepanjang abad ke-20. Pendekatan deskriptifnya terhadap niat atau kehendak, daya ingat, dan bahasa sebagai suatu fenomena dialaminya dalam alam kesadaran, dan telah menginspirasi cara pandang hermeneutika dan fenomenologi modern.[103] Edmund Husserl menuliskan: "Analisis kesadaran akan waktu adalah suatu inti purba dari psikologi deskriptif dan teori pengetahuan. Pemikir pertama yang memiliki kepekaan mendalam terhadap kesulitan luar biasa tersebut yang dapat ditemukan di sini adalah Agustinus, yang telah bekerja dengan hampir putus asa dalam mengatasi masalah ini."[104] Martin Heidegger merujuk kepada filsafat deskriptif Agustinus di beberapa bagian dalam karyanya yang berpengaruh, Being and Time.[105] Hannah Arendt memulai tulisannya mengenai filsafat dengan suatu disertasi mengenai konsep cinta menurut Agustinus, Der Liebesbegriff bei Augustin (1929): "Arendt muda berusaha menunjukkan bahwa dasar filosofis untuk vita socialis (kehidupan sosial) pada Agustinus dapat dipahami sebagai tinggal dalam cinta yang lemah lembut, berdasar pada pemahamannya mengenai asal mula kemanusiaan."[106]

Dalam teologi

Thomas Aquinas banyak dipengaruhi oleh Agustinus. Namun dalam tulisannya mengenai dosa asal, Aquinas mengajukan suatu pandangan yang lebih optimis mengenai manusia dibanding dengan Agustinus, di mana menurutnya manusia masih memiliki akal budi, kehendak, dan nafsu bahkan sejak jatuhnya manusia pertama dalam dosa.[83] Para teolog Reformasi Protestan, seperti Martin Luther dan Yohanes Calvin, akan menengok kembali kepada Agustinus sebagai inspirasi mereka.[butuh rujukan] Dalam tulisan-tulisan awalnya untuk melawan Pelagianisme, Agustinus mengajarkan bahwa rasa bersalah Adam diteruskan ke semua keturunannya dengan melemahkan, namun tidak merusak, kehendak bebas mereka; sementara para reformator Protestan seperti Martin Luther dan Yohanes Calvin menyatakan bahwa dosa asal merusak kebebasan secara total.[83]

Menurut Leo Ruickbie, argumen-argumen Agustinus dalam melawan magi, yang membedakannya dengan mujizat, sangat penting dalam perjuangan Gereja perdana melawan kekafiran dan menjadi tesis sentral dalam penolakan terhadap para penyihir dan praktik sihir. Menurut Profesor Deepak Lal, visi Agustinus mengenai kota surgawi telah mempengaruhi proyek-proyek sekuler dan tradisi pada Abad Pencerahan, Marxisme, Freudianisme, dan Eco-fundamentalisme.[107]

Ludwig Wittgenstein banyak mengutip Agustinus dalam Philosophical Investigations atas pendekatannya dalam bahasa, dan dalam kekagumannya menjadikan Agustinus seorang 'rekan kerja' dalam mengembangkan gagasan-gasannya sendiri, termasuk juga bagian pembukan Pengakuan-pengakuan yang ekstensif. Secara filosofis, pemikiran Wittgenstein menunjukkan keselarasan mendasar dengan wacana keagamaan.[108] Para ahli bahasa kontemporer juga berpendapat bahwa Agustinus telah secara signifikan mempengaruhi pemikiran Ferdinand de Saussure, yang mana tidak 'menciptakan' disiplin modern terhadap semiotika, tetapi cenderung membangunnya di atas dasar pengetahuan Aristotelian dan neoplatonis dari Abad Pertengahan, melalui perantaraan Agustinus: "Adapun untuk konstitusi dari teori semiotika Saussurian, pentingnya kontribusi pemikiran Agustinus (sehubungan dengan Stoic) juga telah diakui. Saussure tidak melakukan apa-apa tetapi mereformasi suatu teori kuno Di Eropa, berdasar pada mendesaknya konseptual yang modern."[109]

Tuduhan

Beberapa kalangan — misalnya dari Gereja Ortodoks — memandang beberapa ajaran Agustinus (terutama mengenai dosa dan anugerah) tidak tepat, salah dimengerti dan kontroversial (sehingga menimbulkan perpecahan dalam Kekristenan Barat), bahkan ada pula yang menjulukinya "bidah terbesar". Namun tidak sedikit juga yang membelanya, bahkan dari kalangan Gereja Ortodoks sendiri. Uskup Agung Chrysostomos dalam sebuah resensi buku karya Pastor Seraphim Rose, The Place of Blessed Augustine in the Orthodox Church, menuliskan bahwa, "Walau ide-ide Agustinus mungkin telah digunakan dan terdistorsi di Barat untuk menghasilkan teori-teori lebih modern (seperti predestinasinya Calvinisme, sola gratia, atau bahkan Deisme), sang Santo sendiri tidaklah bersalah atas beragam jenis teologi inovatif ... ."[110] Sebuah artikel dalam Orthodox Tradition (Vol.XIV, No.4, p. 33-35) menuliskan, " ... berbagai distorsi dan pernyataan berlebihan tertentu dalam ajaran-ajaran teologisnya oleh para pemikir Abad Pertengahan dan Reformasi telah dikaitkan dengan tidak adil kepada sang Santo sendiri."[110] Uskup Agung Mark dari Gereja Ortodoks Rusia di Luar Rusia mengatakan bahwa, "Kita dapat menemukan titik-titik lemah yang serupa dalam tulisan-tulisan hampir semua bapa Suci (Bapa Gereja) ... ."[110]

Buku-buku

  • (Indonesia) Augustinus. Pengakuan-Pengakuan. Diterjemahkan dari "Confessiones" oleh Ny. Winarsih Arifin dan Dr. Th. van den End (edisi ke-2009, Cetakan ke 8). Kanisius dan BPK Gunung Mulia. ISBN 979-497-709-8.  (tahun 397-398)
  • Tentang Doktrin Kristen, (tahun 397-426)
  • (Indonesia) Augustinus. Bagai Terang di Hati - Kumpulan Khotbah Natal sampai dengan Pentakosta. Terjemahan Indonesia (edisi ke-2009, Cetakan ke 5). Kanisius dan BPK Gunung Mulia. ISBN 979-21-0987-0. 
  • Kota Allah (dimulai sekitar 413, selesai tahun 426)
  • Tentang Tritunggal 400-416
  • Enchiridion
  • Penyangkalan: Menjelang akhir hayatnya (sekitar 426-428) Agustinus meninjau kembali karya-karyanya sebelumnya dalam urutan kronologis dan mengusulkan apa yang mungkin akan dikatakannya dengan cara lain dalam sebuah buku yang berjudul Penyangkalan; buku ini memberikan kepada pembaca sebuah gambaran yang langka tentang perkembangan seorang penulis dan pikiran-pikiran akhirnya.
  • Makna Harafiah Kitab Kejadian
  • Tentang Pilihan Bebas

Surat-surat

  • Tentang Mengajarkan Iman kepada Mereka yang Tidak Berpendidikan
  • Tentang Iman dan Kredo
  • Mengenai Iman tentang Hal-hal yang Tidak Kelihatan
  • Tentang Manfaat Percaya
  • Tentang Kredo: Khotbah kepada para Calon Baptisan
  • Tentang Penahanan Diri
  • Tentang Pernikahan yang Baik
  • Tentang Keperawanan yang Kudus
  • Tentang Kebaikan Kehidupan sebagai Janda
  • Tentang Berbohong
  • Kepada Consentius: Menentang Dusta
  • Tentang Karya para Biarawan
  • Tentang Kesabaran
  • Tentang Pemeliharaan yang Harus Diberikan kepada Orang yang Meninggal
  • Tentang Moral Gereja Katolik
  • Tentang Moral Kaum Manikhean
  • Tentang Dua Jiwa, Menentang Kaum Manikhean
  • Tindakan atau Bantahan terhadap Fortunatus sang Manikhean
  • Melawan Surat Manikheus yang disebut Dasariah
  • Jawaban kepada Faustus sang Manikhean
  • Mengenai Hakikat yang Baik, Melawan Kaum Manikhean
  • Tentang Baptisan, Menentang Kaum Donatis
  • Jawaban kepada Surat-surat dari Petilianus, Uskup Cirta
  • Koreksi Kaum Donatus
  • Jasa dan Penghapusan Dosa, dan Baptisan Anak
  • Tentang Roh dan Tulisan
  • Tentang Alam dan Anugerah
  • Tentang Kesempurnaan Manusia di dalam Kebenaran
  • Tentang Proses Peradilan Pelagius
  • Tentang Anugerah Kristus, dan Dosa Asal
  • Tentang Pernikahan dan Concupiscence
  • Tentang Jiwa dan Asal-usulnya
  • Menentang Dua Surat dari kaum Pelagian
  • Tentang Anugerah dan Kehendak Bebas
  • Tentang Kecaman dan Anugerah
  • Predestinasi orang-orang Kudus / Karunia untuk Bertahan
  • Khotbah Tuhan Kita di Bukit
  • Harmoni Kitab-kitab Injil
  • Khotbah-khotbah berdasaran Bacaan Terpilih dari Perjanjian Baru
  • Traktat-traktat tentang Injil Yohanes
  • Traktat-traktat tentang Injil Yohanes
  • Khotbah-khotbah berdasaran Surat Yohanes yang Pertama
  • Solilokui
  • Narasi, atau Eksposisi tentang Mazmur
  • Tentang Keabadian Jiwa

Terkait

  • Band rock Kristen, Petra mempersembahkan sebuah lagu kepada St. Agustinus yang berjudul "St. Agustine Pears". Lagu ini didasarkan pada salah satu tulisan Agustinus dalam bukunya "Pengakuan-pengakuan".
  • Jon Foreman, penyanyi utama dan penulis lagu dari band rock Kristen, Switchfoot, menulis sebuah lagu berjudul "Something More (Pengakuan Agustinus)," berdasarkan kehidupan dan buku Agustinus, "Pengakuan-pengakuan".

Lihat pula

Referensi

  1. ^ (Inggris) Know Your Patron Saint. catholicapologetics.info
  2. ^ a b (Inggris) Mendelson, Michael. Saint Augustine. The Stanford Encyclopedia of Philosophy. Diakses tanggal 21 December 2012. 
  3. ^ (Latin) Epistola 195
  4. ^ a b (Inggris) TeSelle, Eugene (1970). Augustine the Theologian. London. ISBN 0-223-97728-4.  March 2002 edition: ISBN 1-57910-918-7.
  5. ^ (Inggris) Durant, Will (1992). Caesar and Christ: a History of Roman Civilization and of Christianity from Their Beginnings to A.D. 325. New York: MJF Books. ISBN 1-56731-014-1. 
  6. ^ (Inggris) Wilken, Robert L. (2003). The Spirit of Early Christian Thought. New Haven: Yale University Press. hlm. 291. ISBN 0-300-10598-3. 
  7. ^ (Inggris) Thomas Oestereich (1907). "The Catholic Encyclopedia. Vol. 2". New York: Robert Appleton Company (retrieved from New Advent).  Parameter |chapter= akan diabaikan (bantuan)
  8. ^ a b (Inggris) Rev. Dr. George C. Papademetriou. "Saint Augustine in the Greek Orthodox Tradition". 
  9. ^ (Inggris) Archimandrite [now Archbishop] Chrysostomos. "Book Review: The Place of Blessed Augustine in the Orthodox Church". Orthodox Tradition. II (3&4): 40–43. Diarsipkan dari versi asli tanggal 10 July 2007. Diakses tanggal 28 June 2007. 
  10. ^ (Inggris) "Saint Augustine in the Greek Orthodox Tradition". 
  11. ^ (Inggris) MacKendrick, Paul. (1980). The North African Stones Speak, Chapel Hill: University of North Carolina Press, p. 326, ISBN 0-7099-0394-4.
  12. ^ (Inggris) Ferguson, Everett. (1998). Encyclopedia of Early Christianity, Taylor & Francis, p. 776, ISBN 0-8153-3319-6.
  13. ^ (Inggris) Vesey, Mark, trans. (2007) "Confessions Saint Augustine", introduction, ISBN 978-1-59308-259-8.
  14. ^ (Inggris) Andrew Knowles and Pachomios Penkett, Augustine and his World Ch. 2.
  15. ^ Pengakuan-pengakuan, II:IV
  16. ^ a b c d (Inggris) Encyclopedia Americana, v. 2, p. 685. Danbury, CT: Grolier, 1997. ISBN 0-7172-0129-5.
  17. ^ Pengakuan-pengakuan, III:IV
  18. ^ (Inggris) O'Donnell, James J. "Augustine the African", Georgetown Uinversity
  19. ^ Pope, Hugh. "Saint Monica". Catholic Encyclopedia. Diakses tanggal 20 April 2012. 
  20. ^ Pengakuan-pengakuan, VIII:VII
  21. ^ (Inggris) Ranke-Heineman, Uta (1988). Eunuchs for the Kingdom of Heaven: Women, Sexuality and the Catholic Church. US: Penguin Books. ISBN 9780385265270. 
  22. ^ Pengakuan-pengakuan, IV:II
  23. ^ a b c d (Inggris) Portalié, Eugène. "Life of St. Augustine of Hippo" The Catholic Encyclopedia. Vol. 2. New York: Robert Appleton Company (1907). Retrieved 30 September 2011
  24. ^ (Inggris) Kishlansky, Mark; Geary, Patrick; O'Brien, Patricia (2010). Civilization in the West (edisi ke-Volume 1: to 1715). New Jersey: Pearson Education Inc. hlm. 142–143. 
  25. ^ (Inggris) BeDuhn, Jason David (28 October 2009). Augustine's Manichaean dilemma: Conversion and apostasy, 373–388 C.E. University of Pennsylvania Press. hlm. 163. ISBN 978-0-8122-4210-2. Diakses tanggal 17 June 2011. 
  26. ^ a b (Inggris) Outler, Albert. ""Medieval Sourcebook." Internet History Sourcebooks Project". Fordham University, Medieval Sourcebook. Fordham University. Diakses tanggal 30 October 2014. 
  27. ^ a b Brown, p. 63
  28. ^ a b Pengakuan-pengakuan, VI:XV
  29. ^ (Inggris) Burrus, Virginia (2011). ""Fleeing the Uxorious Kingdom": Augustine's Queer Theology of Marriage". Journal of Early Christian Studies. Johns Hopkins University Press. 19 (1): 1–20. doi:10.1353/earl.2011.0002. 
  30. ^ (Inggris) Ferguson, Everett (1999) Christianity in relation to Jews, Greeks, and Romans, Taylor & Francis, p. 208, ISBN 0-8153-3069-3.
  31. ^ a b Pengakuan-pengakuan, VIII:XII
  32. ^ Pope, Hugh. "Saint Monica". Catholic Encyclopedia. Diakses tanggal 20 April 2012. 
  33. ^ (Inggris) A'Becket, John. "CATHOLIC ENCYCLOPEDIA: Adeodatus". Diakses tanggal 20 April 2012. 
  34. ^ Pengakuan-pengakuan, X.XXVII
  35. ^ Augustine, ep.126.1
  36. ^ (Inggris) Saint Augustine of Hippo at saints.sqpn.com. Retrieved 30 September 2011
  37. ^ Weiskotten
  38. ^ Weiskotten, p. 43
  39. ^ Weiskotten, p. 57
  40. ^ "St Augustine of Hippo" at PhilosophyBasics.com. Retrieved 30 September 2011.
  41. ^ (Inggris) "New Advent – Pope Boniface VIII". Diakses tanggal 26 February 2012. 
  42. ^ (Inggris) "Saint Augustine – Philosophical Anthropology". Encyclopedia of Philosophy. Stanford. Diakses tanggal 23 March 2011. 
  43. ^ Augustine of Hippo, De cura pro mortuis gerenda CSEL 41, 627[13–22]; PL 40, 595
  44. ^ Augustine of Hippo, Enarrationes in psalmos, 143, 6.
  45. ^ CCL 40, 2077 [46] – 2078 [74]; 46, 234–35.
  46. ^ Augustine of Hippo, De utilitate ieiunii, 4,4–5.
  47. ^ Augustine of Hippo, De quantitate animae 1.2; 5.9.
  48. ^ Augustine of Hippo, De quantitate animae 13.12
  49. ^ Augustine of Hippo, On the free will (De libero arbitrio) 2.3.7–6.13.
  50. ^ Mann, WE (1999). "Inner-Life Ethics". Dalam Matthews, GB. The Augustinian Tradition. University of California Press. hlm. 141–42. ISBN 0-520-20999-0. 
  51. ^ (Inggris) the Athenian, Athenagoras. "A Plea for the Christians". New advent. 
  52. ^ (Inggris) Bauerschmidt, John C (1999). "Abortion". Dalam Fitzgerald, Allan D. Augustine Through the Ages: An Encyclopedia. Wm B Eerdmans. hlm. 1. ISBN 978-0-8028-3843-8. 
  53. ^ (Inggris) Augustine of Hippo, Of the Falseness of the History Which Allots Many Thousand Years to the World's Past, The City of God, Book 12: Chapt. 10 [419].
  54. ^ (Inggris) Teske, Roland J (1999). "Genesi ad litteram liber imperfectus, De". Dalam Fitzgerald, Allan D. Augustine Through the Ages: An Encyclopedia. Wm B Eerdmans. hlm. 377–78. ISBN 978-0-8028-3843-8. 
  55. ^ On the Merits, 1.2; City of God, 13:1; Enchiridion, 104
  56. ^ (Inggris) Young, Davis A. "The Contemporary Relevance of Augustine's View of Creation", Perspectives on Science and Christian Faith 40.1:42–45 (3/1988). Retrieved 30 September 2011.
  57. ^ A Time For War? Christianity Today (2001-01-09). Retrieved on 2013-04-28.
  58. ^ (Inggris) Augustine of Hippo. Crusades-encyclopedia.com. Retrieved on 2013-04-28.
  59. ^ (Inggris) Saint Augustine and the Theory of Just War. Jknirp.com (2007-01-23). Retrieved on 2013-04-28.
  60. ^ (Inggris) The Just War. Catholiceducation.org. Retrieved on 2013-04-28.
  61. ^ (Inggris) Gonzalez, Justo L. (1984). The Story of Christianity. San Francisco: Harper. ISBN 006185588X. 
  62. ^ (Inggris) O Stegmüller, in Marienkunde, 455
  63. ^ Augustine of Hippo, De Sancta Virginitate, 6,6, 191.
  64. ^ Augustine of Hippo, De Sancta Virginitate
  65. ^ Augustine of Hippo, De Genesi ad literam 1:19–20, Chapt. 19 [408], De Genesi ad literam, 2:9
  66. ^ Contra Julianum, V, 4.18; PL 44, 795
  67. ^ Augustine of Hippo, On the Literal Meaning of Genesis (De Genesi ad litteram), VIII, 6:12, vol. 1, p. 192-3 and 12:28, vol. 2, p. 219-20, trans. John Hammond Taylor SJ;BA 49,28 and 50–52; PL 34, 377; cf. idem, De Trinitate, XII, 12.17; CCL 50, 371–372 [v. 26–31;1–36]; De natura boni 34–35; CSEL 25, 872; PL 42, 551–572
  68. ^ Augustine of Hippo, On the Literal Meaning of Genesis (De Genesi ad litteram), VIII, 4.8; BA 49, 20
  69. ^ (Inggris) On the Trinity" (De Trinitate), 5:7; CCL 50, 320 [1–12]
  70. ^ Augustine of Hippo, ("Contra Julianum", I, 9.42; PL 44, 670)
  71. ^ Retractationum libri duo II:XXII(XLIX) - De bono coniugali : Cf. De bono coniugali, 16.18; PL 40, 385; De nuptiis et concupiscentia, II, 21.36; PL 44, 443; Contra Iulianum, III, 7.16; PL 44, 710; ibid., V, 16.60; PL 44, 817. Lihat pula Idem (1983). Le mariage chrétien dans l'oeuvre de Saint Augustin. Une théologie baptismale de la vie conjugale. Paris: Études Augustiniennes. hlm. 97. 
  72. ^ De nuptiis et concupiscentia, I, 25. 28; PL 44, 430; cf. Contra Julianum, VI, 18.53; PL 44, 854; ibid. VI, 19.58; PL 44, 857; ibid., II, 10.33; PL 44, 697; Contra Secundinum Manichaeum, 15; PL 42, 590.
  73. ^ Lihat: Sfameni Gasparro, G. (2001). Enkrateia e Antropologia. Le motivazioni protologiche della continenza e della verginità nel christianesimo del primi secoli e nello gnosticismo. Studia Ephemeridis «Augustinianum» 20. Rome. hlm. 250–251. ; Somers, H. "Image de Dieu. Les sources de l'exégèse augustinienne". Revue des Études Augustiniennes. 7 (1961): 115. ISSN 0035-2012. hdl:2042/712.  templatestyles stripmarker di |id= pada posisi 1 (bantuan). Cf. John Chrysostome, Περι παρθενίας (De Sancta Virginitate), XIV, 6; SCh 125, 142–145; Gregory of Nyssa, On the Making of Man, 17; SCh 6, 164–165 and On Virginity, 12.2; SCh 119, 402 [17–20]. Cf. Augustine of Hippo, On the Good of Marriage, 2.2; PL 40, 374.
  74. ^ Walau Agustinus memujinya dalam Pengakuan-pengakuan VIII:II, telah diakui secara luas bahwa sikap Agustinus terhadap filosofi pagan adalah layaknya seorang rasul Kristen: Clarke, SJ, T. E. "St. Augustine and Cosmic Redemption". Theological Studies. 19 (1958): 151.  Cf. É. Schmitt's chapter 2: L'idéologie hellénique et la conception augustinienne de réalités charnelles in: Idem (1983). Le mariage chrétien dans l'oeuvre de Saint Augustin. Une théologie baptismale de la vie conjugale. Paris: Études Augustiniennes. hlm. 108–123.  O'Meara, J.J. (1954). The Young Augustine: The Growth of St. Augustine's Mind up to His Conversion. London. hlm. 143–151 and 195f.  Madec, G. Le "platonisme" des Pères. hlm. 42.  in Idem (1994). Petites Études Augustiniennes. «Antiquité» 142. Paris: Collection d'Études Augustiniennes. hlm. 27–50.  Thomas Aq. STh I q84 a5; Augustine of Hippo, City of God (De Civitate Dei), VIII, 5; CCL 47, 221 [3–4].
  75. ^ Gerson, Lloyd P. Plotinus. New York, NY: Routledge, 1994. 203
  76. ^ Augustine of Hippo, "Enarrations on the Psalms" (Enarrationes in psalmos), 143:6; CCL 40, 2077 [46] – 2078 [74]; On the Literal Meaning of Genesis (De Genesi ad Litteram), 9:6:11, trans. John Hammond Taylor SJ, vol. 2, p. 76-77; PL 34, 397.
  77. ^ Bonner, p. 312
  78. ^ Augustine of Hippo, De continentia, 12.27; PL 40, 368; Ibid., 13.28; PL 40, 369; Contra Julianum, III, 15.29, PL 44, 717; Ibid., III, 21.42, PL 44, 724.
  79. ^ (Inggris) "A Postscript to the Remedium Concupiscentiae". The Thomist. 70: 481–536. 2006. 
  80. ^ Merits and Remission of Sin, and Infant Baptism (De peccatorum meritis et remissione et de baptismo parvulorum), I, 6.6; PL 44, 112–113; cf. On the Literal Meaning of Genesis (De Genesi ad litteram) 9:6:11, trans. John Hammond Taylor SJ, vol. 2, pp. 76–77; PL 34, 397.
  81. ^ (Inggris) Augustine of Hippo, Imperfectum Opus contra Iulianum, II, 218
  82. ^ (Inggris) On the Sermon on the Mount", De sermone Domini in monte, 1:16:46; CCL 35, 52
  83. ^ a b c d e Cross, Ch. "Original Sin", p. 1203
  84. ^ (Inggris) Southern, R.W. (1953). The Making of the Middle Ages. London. hlm. 234–7. 
  85. ^ Bonner, p. 371
  86. ^ Chad Meister, ed. (2012). Routledge companion to philosophy of religion (edisi ke-2). London: Routledge. ISBN 9780415782944. 
  87. ^ (Inggris) Portalié, Eugène. "Teaching of St. Augustine of Hippo" The Catholic Encyclopedia. Vol. 2. New York: Robert Appleton Company (1907). Retrieved 30 September 2011
  88. ^ (Inggris) Gonzalez, Justo L. (1970–1975). A History of Christian Thought: Volume 2 (From Augustine to the eve of the Reformation). Abingdon Press. ISBN 0687171830. 
  89. ^ (Inggris) Augustine of Hippo, Explanations of the Psalms 33:1:10 [405]
  90. ^ (Inggris) Augustine of Hippo, Sermons 227 [411]
  91. ^ (Inggris) Augustine of Hippo, Sermons 272
  92. ^ (Inggris) Augustine of Hippo, A Sermon to Catechumens on the Creed, Paragraph 16
  93. ^ (Inggris) Augustine of Hippo, City of God, Book 20, Chapter 8
  94. ^ (Inggris) Diarmaid MacCulloch. The Reformation: A History (Penguin Group, 2005) p 8.
  95. ^ (Inggris) Augustine of Hippo, City of God, book 18, chapter 46.
  96. ^ (Inggris) Edwards, J. (1999) The Spanish Inquisition, Stroud, pp. 33–35, ISBN 0-7524-1770-3.
  97. ^ (Inggris) James Carroll, Constantine's Sword (Houghton Mifflin Harcourt, 2002), p. 219.
  98. ^ Paula Fredriksen, interviewed by David Van Biema "Was Was Saint Augustine Good for the Jews?" in Time magazine, December 7, 2008.
  99. ^ (Inggris) Bertrand Russell History of western Philosophy Book II Chapter IV
  100. ^ (Inggris) Bertrand Russell A History of Western Philosophy, 1946, reprinted Unwin Paperbacks 1979, pp. 352–353.
  101. ^ Pengakuan-Pengakuan, Kitab XI-XIII : Renungan Kitab Kejadian dan Nilai Rohani Penciptaan
  102. ^ (Latin)(Inggris) Confessiones Liber X: commentary on 10.8.12
  103. ^ (Inggris) de Paulo, Craig J. N. (2006). The Influence of Augustine on Heidegger: The Emergence of an Augustinian Phenomenology. The Edwin Mellen Press. ISBN 0773456899. 
  104. ^ (Inggris) Husserl, Edmund (1964) Phenomenology of Internal Time-Consciousness. Tr. James S. Churchill. Bloomington: Indiana UP, p. 21.
  105. ^ (Inggris) Martin Heidegger. Being and Time, Trs. Macquarrie & Robinson. New York: Harpers, 1964, p. 171.
  106. ^ (Inggris) Chiba, Shin (1995). "Hannah Arendt on Love and the Political: Love, Friendship, and Citizenship". The Review of Politics. 57 (3): 505–535 (507). doi:10.1017/S0034670500019720. JSTOR 1408599. 
  107. ^ (Inggris) Lal, D. (March 2002) Morality and Capitalism: Learning from the Past. Working Paper Number 812, Department of Economics, University of California, Los Angeles.
  108. ^ (Inggris) Bruce R. Ashford, "Wittgenstein's Theologians: A Survey of Ludwig Wittgenstein's Impact on Theology"
  109. ^ (Inggris) Munteanu, E. "On the Object-Language / Metalanaguage Distinction in Saint Augustine's Works. De Dialectica and de Magistro.'". Dalam Cram, D., Linn, A. R., & Nowak, E. History of Linguistics 1996: Volume 2: From Classical to Contemporary Linguistics (edisi ke-1999). John Benjamins Publishing Company. hlm. 65. ISBN 9789027283818. 
  110. ^ a b c (Inggris) "Blessed Augustine of Hippo: His Place in the Orthodox Church - A Corrective Compilation". Orthodox Christian Information Center. 

Sumber

  • (Inggris) Cross, Frank L.; Livingstone, Elizabeth, ed. (2005). The Oxford Dictionary of the Christian Church. Oxford: Oxford University Press. ISBN 0-19-280290-9. 
  • (Inggris) Weiskotten, Herbert T. (2008). The Life of Saint Augustine: A Translation of the Sancti Augustini Vita by Possidius, Bishop of Calama. Merchantville, NJ: Evolution Publishing. ISBN 1-889758-90-6. 
  • (Inggris) Brown, Peter (1967). Augustine of Hippo. Berkeley: University of California Press. ISBN 0-520-00186-9. 
  • (Inggris) Bonner, G. (1986). St. Augustine of Hippo. Life and Controversies. Norwich: The Canterbury Press. ISBN 0-86078-203-4. 

Bacaan lanjutan

  • (Inggris) von Heyking, John (2001). Augustine and Politics as Longing in the World. Columbia: University of Missouri Press. ISBN 0-8262-1349-9. 
  • (Inggris) Tanquerey, Adolphe (2001). The Spiritual Life: A Treatise on scetical and Mystical Theology. Rockford, IL: Tan Books & Publishers. hlm. 37). ISBN 0-89555-659-6. 

Pranala luar