Pelantikan (即位の礼, Sokui no rei) Kaisar Jepang adalah upacara kuno yang menandai kenaikan tahta penguasa baru Tahta Seruni, monarki warisan tertua di dunia yang masih ada. Berbagai regalia kekaisaran kuno diberikan kepada penguasa berdaulat baru pada saat ritus tersebut.

Upacara pelantikan Kaisar Taisho di Istana Kekaisaran Kyoto pada 1915
Kaisar Shōwa saat pelantikannya pada 1928.

Upacara

Persembahan Tiga Harta Karun Keramat

Upacara pelantikan Kaisar Jepang terdiri dari tiga bagian utama. Yang pertama adalah yang paling sederhana, dan diadakan setelah kematian penguasa berdaulat terdahulunya. Pewaris tahta secara resmi dipersembahkan dengan kota-kota yang berisi dua dari Tiga Harta Karun Keramat Jepang: (1) sebuah pedang replika yang mewakili pedang Kusanagi-no-Tsurugi (artinya "Pedang Pemotong Rumput") (草薙劍), meskipun aslinya dikatakan disimpan di Kuil Atsuta, Nagoya; dan (2) Yasakani no magatama (八尺瓊曲玉), sebuah kalung akik berbentuk koma. Tak seperti monarki lainnya, Jepang tak memiliki mahkota dalam regalianya. Tiga obyek tersebut awalnya dikatakan diberikan oleh Dewi Surya, Amaterasu-ōmikami, kepada cucunya saat ia mula-mula turun ke bumi dan menjadi pendiri dinasti kekaisaran. Benda paling berpengaruh dari tiga harta kartun tersebut adalah cermin Yata no Kagami (八咫鏡), yang disimpan di Kuil Ise sebagai go-shintai (御神体), atau pertubuhan Dewi Surya itu sendiri. Benda tersebut secara permanen disimpan di kuil tersebut, dan tidak dipersembahkan kepada Kaisar pada upacara pelantikannya. Para pendeta dan pengirim pesan Kekaisaran dikirim ke kuil tersebut, serta kuil-kuil makam dari empat Kaisar yang memerintah sebelumnya, untuk memberitahukan pengangkatan Kaisar baru.

Pelantikan

 
Takamikura yang digunakan untuk Pelantikan.
 
Spanduk Banzai yang digunakan pada saat upacara pelantikan.

Bagian kedua dari upacara tersebut, yang disebut "Sokui-Rei", adalah ritual pelantikan itu sendiri; upacara semacam itu terakhir kali diadakan pada 1990 untuk penguasa berdaulat saat ini, Akihito. Ritus kuno tersebut biasanya diadakan di Kyoto, bekas ibukota Jepang, namun pada 1990an, Kaisar Akihito dilantik di Tokyo. Pelantikan 1990 merupakan upacara pelantikan pertama yang disorot televisi, dan memiliki Penjaga Kekaisaran dengan seragam tradisional. Upacara tersebut diadakan di dalam ruangan, dengan mendirikan panggung yang ditempatkan di dalam kompleks Istana Kekaisaran. Satu-satunya bagian dari ritual tersebut adalah publik, dan regalia itu sendiri umumnya hanya dilihat oleh Kaisar dan beberapa pendeta Shinto. Sebuah catatan dalam majalah Time dari pelantikan ayah Kaisar Akihito, Hirohito, pada 1928 menyebut beberapa penjelasan: Pertama mendatangkan upacara tiga jam dimana Kaisar baru secara ritual dikabarkan kepada leluhur-leluhurnya yang bahwa ia akan mengambil tahta. Yang berikutnya disusul oleh pelantikan itu sendiri, yang diadakan di sebuah tempat tertutup yang disebut Takamikura, yang terdiri dari sebuah panggung kota besar yang diduduki tiga panggung segi delapan yang atasnya diletakkan sebuah kursi sederhana. Tempat tersebut dikelilingi oleh paviliun segi delapan bergambar Phoenix emas besar.[1] Pada saat yang sama, Permaisuri Jepang, yang mengenakan regalia busana lengkap, menempatkan diri ke panggung terpisah di samping suaminya.

Kaisar baru ditempatkan di kursi tersebut, dimana setelah duduk, Kusanagi, Yasakani no magatama, segel penasehat dan segel negara ditempatkan di sebelahnya. Sebuah skepter kayu sederhana dipersembahkan kepada Kaisar, yang dipegang oleh Perdana Menteri yang berdiri di sebelahnya, mewakili rakyat Jepang. Kaisar ditawarkan membuat sebuah ceramah yang mengumumkan kenaikan tahtanya, menyebut orang-orang yang secara langsung atau melalui perantara membantunya dalam meraih seluruh aspirasinya. perdana Menteri membalasnya dengan sebuah ceramah yang menjanjikan kesetiaan dan devosi, disusul oleh "tiga sambutan Banzai" dari seluruh orang yang hadir. Waktu acara terakhir tersebut harus sinkron, sehingga orang-orang Jepang di seluruh dunia harus bergabung dalam penyambutan "Banzai" pada saat yang sama dengan yang ada di Kyoto atau di Tokyo.[1]

Acara dari ritus tersebut diakhiri dengan penembakan penghormatan 21 meriam oleh Pasukan Bela Diri Jepang.

Daijo-sai

Daijo-sai, atau Perayaan Ucapan Terima Kasih Besar, adalah ritual pelantikan ketiga dan paling penting—dan juga paling kontroversial, karena upacara tersebut adalah sebuah upacara dimana Kaisar dipersatukan dengan Leluhur Kekaisarannya, dewi matahari Amaterasu-ōmikami, untuk berbagi keilahiannya dengan cara yang unik. Upcara tersebut tidak disebutkan dalam Konstitusi yang dituangkan oleh pasukan pendudukan Amerika, sehingga konstitusional saat ini dipertanyakan pada masa pengangkatan Kaisar saat ini Akihito.

Pertama, dua sawah khusus dipilih dan dimurnikan oleh ritual pemurnian Shinto. Para keluarga petani yag menanam padi di sawah tersebut harus dalam kondisi sehat. Saat padi tumbuh dan panen, beras-berasnya dibawa ke sebuah kuil Shinto khusus sebagai goshintai (御神体), persembahan kepada seorang kami atau pasukan ilahi. Setiap biji harus utuh dan tidak rusak, dan satu per satu dipoles sebelum direbus. Beberapa sake juga dihasilkan dari beras tersebut.

Sementara itu, dua gubuk dua kamar dua atap dibangun di dekat tempat khusus, menggunakan gaya bangunan Jepang asli yang mendapatkan pengaruh budaya Tionghoa. Satu kamar berisi mebel besar di tengahnya; kamar yang kedua digunakan oleh para musisi. Seluruh perabotan dan barang-barang rumah tangga juga dipersiapkan lebih awal, dan sebagian besar memiliki bentuk Jepang yang murni: contohnya, seluruh obyek tembikar dipanaskan namun tidak diglasir. Dua struktur tersebut mewakili rumah Kaisar sebelumnya dan Kaisar yang baru. Pada masa-masa awal, saat kepala seorang rumah tangga meninggal, rumahnya dibakar; sebelum pendirian Kyoto, saat seorang Kaisar wafat, seluruh ibukotanya dibakar sebagai upacara pemurnian.

 
Barang-barang ritual dari Pelantikan Kaisar Jepang.

Setelah ritual permandian, kaisar dipakaikan busana sutra putih dari seorang pendeta Shinto, namun dengan rajutan panjang khusus. Diiringi oleh para abdi, Kaisar secara sendirian mula-mula memasukki tempat tertutup dan kemudian setiap gubuk dalam acara yang sama—dari 18:30 sampai 21:30 pada ritual pertama, dan ritual kedua dari 12:30 sampai 3:30 pada malam yang sama. Sebuah karpet dibentangkan sebelum ia datang dan kemudian digulung kembali saat ia berjalan, sehingga kakinya tak pernah menyentuh tanah. Sebuah payung khusus ditempatkan di atas kepala pemimpin berdaulat tersebut, dimana pegangannya terdapat gambar phoenix yang diukir di ujung tiangnya dan mewakili orang keramat yang datang dari udara ke atasnya. Acara berjalan di sebuah karpet dilakukan menuju Kuil Bekas Ise, Kaisar mempersembahkan beras, sake yang terbuat dari beras, millet, ikan dan berbagai panganan lainnya dari darat dan laut, kepada Amaterasu. Kemudian, ia memakan beberapa beras sesembahan itu sendiri, sebagai tindakan komuni ilahi yang menyantap penyatuan tunggalnya dengan Amaterasu-ōmikami, kemudian menjadikannya (dalam tradisi Shinto) perantara antara Amaterasu dan rakyat Jepang.[2][3] Upacara tersebut disusul dengan tiga perjamuan dan kunjungan ke Kuil-Kuil Para Leluhur Kekaisarannya.[1]

Bacaan tambahan

  • Robert S. Ellwood, The Feast of Kingship: Accession Ceremonies in Ancient Japan (Tokyo: Sophia University, 1973).
  • D. C. Holtom, Japanese Enthronement Ceremonies: With an Account of the Imperial Regalia (Tokyo: Sophia University, 1972).

Pranala luar

  1. ^ a b c "Emperor Enthroned – TIME". Time.com. November 19, 1928. Diakses tanggal 2008-10-12. 
  2. ^ Schoenberger, Karl (November 23, 1990). "Akihito in Final Ritual of Passage". Los Angeles Times. Diakses tanggal 2010-05-02. 
  3. ^ Weisman, Steven R. (November 23, 1990). "Akihito Performs His Solitary Rite". The New York Times. Diakses tanggal 2010-05-02.