Infeksi

serangan agen penyebab penyakit pada tubuh organisme
Revisi sejak 26 November 2016 01.34 oleh Helito (bicara | kontrib) (Mutasi genetik: Perbaikan kesalahan ketik)

Infeksi adalah kolonalisasi yang dilakukan oleh spesies asing terhadap organisme inang, dan bersifat paling membahayakan inang. Organisme penginfeksi, atau patogen, menggunakan sarana yang dimiliki inang untuk dapat memperbanyak diri, yang pada akhirnya merugikan inang. Patogen mengganggu fungsi normal inang dan dapat berakibat pada luka kronik, gangrene, kehilangan organ tubuh, dan bahkan kematian. Respons inang terhadap infeksi disebut peradangan. Secara umum, patogen umumnya dikategorikan sebagai organisme mikroskopik, walaupun sebenarnya definisinya lebih luas, mencakup bakteri, parasit, fungi, virus, prion, dan viroid.

Simbiosis antara parasit dan inang, di mana satu pihak diuntungkan dan satu pihak dirugikan, digolongkan sebagai parasitisme. Cabang kedokteran yang menitikberatkan infeksi dan patogen adalah cabang penyakit infeksi.

Secara umum infeksi terbagi menjadi dua golongan besar:[1]

  • Infeksi yang terjadi karena terpapar oleh antigen dari luar tubuh
  • Infeksi yang terjadi karena difusi cairan tubuh atau jaringan, seperti HIV, karena virus tersebut tidak dapat hidup di luar tubuh.

Infeksi awal

Setelah menembus jaringan, patogen dapat berkembang pada di luar sel tubuh (ekstraselular) atau menggunakan sel tubuh sebagai inangnya (intraselular). Patogen intraselular lebih lanjut dapat diklasifikasikan lebih lanjut:

  • patogen yang berkembang biak dengan bebas di dalam sel, seperti : virus dan beberapa bakteri (Chlamydia, Rickettsia, Listeria).
  • patogen yang berkembang biak di dalam vesikel, seperti Mycobacteria.

Jaringan yang tertembus dapat mengalami kerusakan oleh karena infeksi patogen, misalnya oleh eksotoksin yang disekresi pada permukaan sel, atau sekresi endotoksin yang memicu sekresi sitokina oleh makrofaga, dan mengakibatkan gejala-gejala lokal maupun sistemik.[2]

Terpuruknya mekanisme sistem kekebalan

Pada tahapan umum sebuah infeksi, antigen selalu akan memicu sistem kekebalan turunan, dan kemudian sistem kekebalan tiruan pada saat akut. Tetapi lintasan infeksi tidak selalu demikian, sistem kekebalan dapat gagal meredakan infeksi, karena terjadi fokus infeksi berupa:[3]

  • subversi sistem kekebalan oleh patogen
  • kelainan bawaan yang disebabkan gen
  • tidak terkendalinya mekanisme sistem imun

Perambatan perkembangan patogen bergantung pada kemampuan replikasi di dalam inangnya dan kemudian menyebar ke dalam inang yang baru dengan proses infeksi. Untuk itu, patogen diharuskan untuk berkembangbiak tanpa memicu sistem kekebalan, atau dengan kata lain, patogen diharuskan untuk tidak menggerogoti inangnya terlalu cepat.

Patogen yang dapat bertahan hanya patogen yang telah mengembangkan mekanisme untuk menghindari terpicunya sistem kekebalan.

Variasi serotipe

 

Salah satu cara yang digunakan patogen untuk menghindari sistem kekebalan adalah dengan mengubah struktur permukaan selnya. Banyak patogen ekstraselular mempunyai tipe antigenik yang sangat beragam. Salah satu contoh adalah streptococcus pneumoniae, penyebab pneumonia, yang mempunyai banyak tipe antigenik dan baru diketahui 84 macam. Setiap macam mempunyai stuktur pelapis polisakarida yang berbeda. Tipe-tipe tersebut dibedakan berdasarkan uji serologi, sehingga disebut juga serotipe. Infeksi yang dilakukan oleh satu serotipe tertentu dapat memicu sistem kekebalan tiruan terhadapnya, tetapi tidak terhadap infeksi ulang yang dilakukan oleh serotipe yang berbeda, oleh karena sistem kekebalan tiruan melihat satu serotipe sebagai satu jenis organisme yang berbeda. Infeksi akut berulang dari antigen yang sama dapat terjadi karena hal ini.

Penggunaan kapsul pelindung yang mencegah lisis oleh sistem komplemen dan fagosit juga dilakukan Mycobacterium tuberculosis. Spesies bacterioides umumnya bakteri komensal yang berdiam di usus buntu mamalia. Beberapa spesies seperti Bacterioides fragilis adalah patogen oportunistik penyebab infeksi pada lapisan peritoneum. Spesies ini menghindari sistem kekebalan dengan memengaruhi pencerap yang digunakan fagosit untuk menelan bakteri atau dengan menyamar sebagai sel organisme tersebut sehingga sistem kekebalan tidak mengenali mereka sebagai patogen.

Bakteri dan jamur mungkin juga membentuk lapisan bio kompleks, menyediakan perlindungan dari sel dan protein dari sistem kekebalan. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa lapisan bio muncul di infeksi yang berhasil, termasuk infeksi kronis Pseudomonas aeruginosa dan Burkholderia cenocepacia, ciri utama dari cystic fibrosis.

Mutasi genetik

 
Deteksi trypanosome oleh antibodi akan memicu pergantian gen VSG pada DNA, sehingga dihasilkan protein VSG yang berbeda pula. Tubuh kemudian akan membuat antibodi baru dengan cara yang sama, tetapi setiap antibodi yang baru dibuat mengenali trypanosome, gen VSG akan berubah lagi sebelum sistem kekebalan terpicu. Dengan demikian trypanosome berada satu langkah lebih cepat dari sistem kekebalan, sehingga meskipun berupa protozoa yang berkembangbiak ekstraselular, fokus infeksinya bersifat kronik dan membentuk kompleks imun dan peradangan, hingga berakhir pada kerusakan saraf dan koma. Hal ini yang menyebabkan African trypanosomiasis mendapatkan julukan penyakit "tidur". Malaria adalah contoh lain penyakit yang disebabkan parasit protozoa dengan kemampuan tata-ulang DNA, yang sangat sulit diatasi oleh sistem kekebalan.

Metode kedua yang lebih dinamis ditunjukkan oleh virus influensa. Virus influensa dikenali oleh sistem kekebalan melalui hemaglutinin yang terdapat pada permukaan virus.

  • Mutasi genetik yang pertama disebut antigenic drift yang mengubah notasi gen ekspresi dari hemaglutinin, sebagai respon dari protein yang berada pada permukaan, neuraminidase. Mutasi yang lain mengubah epitop agar tidak dikenali oleh sel T, khususnya yang mempunyai koreseptor CD8.[4]
  • Mutasi genetik yang kedua disebut antigenic shift yang terjadi karena tertukarnya RNA antara virus baru dengan virus yang telah lama berada dalam tubuh inang.
  • Mekanisme ketiga melibatkan tata-ulang DNA terprogram. African trypanosome mempunyai kemampuan untuk mengubah major surface antigen berkali-kali dengan satu kali infeksi. Trypanosome terbungkus oleh sebuah tipe glikoprotein yang disebut variant-specific glycoprotein (VSG), yang dengan mudah dapat dikenali oleh sistem imun. Meskipun demikian, DNA trypanosome mengandung lebih dari 1000 gen VSG dengan ekspresi antigenik yang berlainan.
    • Pada tingkat bakteri, kemampuan tata-ulang DNA juga dijumpai pada Salmonella typhimurium dan Neisseria gonorrhoeae.

Fokus infeksi laten

 

Dalam fisiologi, laten didefinisikan sebagai jedah waktu antara stimulus dan respon yang terpicu di dalam suatu organisme. Virus umumnya segera akan mengkoordinir sintesis protein viral yang dibutuhkan untuk proliferasi, setelah berhasil melakukan infeksi terhadap sebuah sel. Mekanisme semacam ini akan mengakibatkan kondisi akut yang akan segera direspon oleh sistem kekebalan tiruan. Sel T akan dengan mudah memindai fragmen dari protein viral yang tertera pada permukaan molekul MHC dan memadamkan infeksi.

Meskipun demikian, masih terdapat jenis virus yang lain yang mampu menunda proses sintesis protein viral di dalam sel. Kondisi ini disebut kondisi laten, saat tidak terjadi replikasi virus di dalam sel. Infeksi laten tidak menimbulkan penyakit dan keberadaan virus tidak terdeteksi oleh karena tidak terdapat fragmen viral pada molekul MHC. Salah satu contoh adalah virus Herpes Simplex, yang melakukan infeksi epitelia dengan fokus berupa sel saraf di daerah tersebut.

Setelah sistem kekebalan mengatasi infeksi pada epitelia, virus HS tetap berada dalam kondisi laten di dalam neuron saraf. Beberapa faktor seperti sinar matahari, infeksi bakteri dan perubahan hormonal akan mengaktivasi virus ini untuk bermigrasi melalui akson dan melakukan infeksi ulang pada jaringan epitelial. Fokus infeksi berupa neuron memiliki dua keunggulan:

  • peptida viral yang dihasilkan sangat sedikit, menghasilkan fragmen yang tidak menyolok
  • neuron mempunyai molekul MHC kelas I, yang kecil, sehingga sulit dideteksi sel T CD8.

Contoh lain adalah virus Epstein-Barr (EBV), sebuah tipe virus herpes yang lain, memiliki kondisi laten di dalam sel B. Proliferasi sel B akan menghasilkan sel baru dengan EBV di dalamnya.

Evolusi fitur

 

Beberapa bakteri yang biasanya dicerna oleh makrofaga dengan proses fagositosis, telah berevolusi dan berhasil membuat makrofaga sebagai fokus infeksi. Salah satu contoh adalah Mycobacterium tuberculosis yang tertelan oleh makrofaga, akan menghalangi pencairan lisosom ke dalam fagosom dan melindunginya dari sitokina di dalam lisosom.

Listeria monocytogenes, bahkan dapat keluar dari fagosom dan masuk ke dalam sitoplasma dan membuat replikasi di dalamnya. Kemudian menginfeksi sel yang berdekatan, tanpa keluar dari ruang intraselularnya.

Sebuah parasit protozoa toxoplasma gondii, dapat membuat vesikel sendiri yang memisahkannya dari bagian sel yang lain. Hal ini memungkinkan T. gondii untuk membuat peptida dengan fragmen yang tidak termuat pada molekul MHC, sehingga keberadaannya tidak terdeteksi sistem kekebalan.

Perlawanan patogen

 
Staphylococci aureus, salah satu penyebab mastitis pada ternak sapi. Kapsul yang besar melindung organisme ini dari sistem kekebalan sapi, sebagai inangnya. Citra ini diambil dengan 50.000x pembesaran dari substrat replikasi yang kering dan beku.

Respon patogen dalam menghadapi sistem kekebalan juga berlainan. Selain dengan berbagai cara untuk menghindar, beberapa patogen melakukan perlawanan. Staphylococci aureus melepaskan dua macam toksin yaitu staphylococcal enterotoxin dan toxic shock syndrome toxin-1 yang berperan sebagai superantigen.

Superantigen adalah protein yang mengikat sejumlah pencerap antigen dari sel T. Ikatan ini menyebabkan sel T mengalamai apoptosis dengan sangat cepat.

Organisme lain seperti Streptococcus pyogenes, dan Bacillus anthracis memiliki mekanisme untuk membunuh langsung fagosit.

Banyak patogen melakukan perlawanan dalam rentang waktu infeksi akut. Hal merupakan tekanan terhadap sistem kekebalan (bahasa Inggris: immunosuppression) dan menyebabkan tubuh inang menjadi rentan terhadap infeksi susulan oleh patogen jenis lain. Contoh-contoh penting meliputi trauma, luka bakar dan operasi bedah besar. Pasien dengan luka bakar tidak dapat merespon infeksi, sehingga infeksi ringan pun dapat menyebabkan kematian.

Infeksi virus measles juga merupakan salah satu contoh tekanan terhadap sistem kekebalan. Banyak anak-anak yang menderita malagizi menjadi korban, hingga meninggal dunia, karena infeksi susulan pada saat sistem kekebalan tertekan oleh infeksi virus measles. Infeksi susulan biasanya berupa bakteri penyebab pneumonia. Virus measles mempunyai fokus infeksi pada sel dendritik sehingga memengaruhi kinerja sel T dan sel B dalam sistem kekebalan, dan aktivasi makrofaga oleh sel TH1.

Fokus infeksi

Salah satu contoh terbaik dari topik ini adalah fokus infeksi yang dimiliki oleh virus HIV, berupa putusnya mata rantai sistem kekebalan seluler[5] karena padamnya kemampuan sel T CD4 untuk teraktivasi dan terdiferensiasi menjadi sel T pembantu. Terputusnya mata rantai tersebut terjadi perlahan tanpa memantik sistem kekebalan oleh sebab sifat laten retrovirus. Sejumlah kecil PSK Gambia dan Kenya yang selalu terpapar infeksi HIV selama 5 tahun melalui fluida reproduksi[6][7] justru menunjukkan respon kekebalan tiruan sel T CD8 dan sel TH1[8] yang merespon berbagai macam epitop HIV tanpa disertai respon antibodi.

Selain itu, modus yang digunakan oleh virus HIV adalah pemotongan jalur informasi seluler dengan menempel pada pencerap kemokina CCR5 dan CXCR4, selain pada CD4.[9] Pencerap CCR5 merupakan ekspresi dari sel dendritik, makrofaga dan sel T CD4. Ekspresi CXCR4 adalah pencerap pada sel T CD4 setelah teraktivasi.

Kompetisi pada area pencerap CCR5 oleh sekresi kemokina RANTES, MIP-1α, and MIP-1β menunjukkan respon kekebalan terhadap infeksi HIV.[10]

Rujukan

  1. ^ (Inggris)"Immunobiology, Chapter 10:Adaptive immunity to infection". Charles A. Janeway, et al. Diakses tanggal 2010-03-15.  Section 10-1.
  2. ^ (Inggris)"Immunobiology, figure 10.5 Pathogens can damage tissues in a variety of different ways". Charles A. Janeway, et al. Diakses tanggal 2010-03-17. 
  3. ^ (Inggris)"Immunobiology, Chapter 11:Failures of Host Defense Mechanisms". Charles A. Janeway, et al. Diakses tanggal 2010-03-15. 
  4. ^ (Inggris)"Immunobiology, Figure 11.2 Two types of variation allow repeated infection with type A influenza virus". Charles A. Janeway, et al. Diakses tanggal 2010-03-15. 
  5. ^ (Inggris)"11-26. HIV infection leads to low levels of CD4 T cells, increased susceptibility to opportunistic infection, and eventually to death". Charles A. Janeway, et al. Diakses tanggal 2010-03-29.  2nd paragraph.
  6. ^ (Inggris)"11-27. Vaccination against HIV is an attractive solution but poses many difficulties". Charles A. Janeway, et al. Diakses tanggal 2010-03-30.  fourth paragraph.
  7. ^ (Inggris)"HIV-specific cytotoxic T-cells in HIV-exposed but uninfected Gambian women". Institute of Molecular Medicine, John Radcliffe Hospital; Rowland-Jones S, Sutton J, et al. Diakses tanggal 2010-03-30. 
  8. ^ (Inggris)"11-25. An immune response controls but does not eliminate HIV". Charles A. Janeway, et al. Diakses tanggal 2010-03-30. , second paragraph.
  9. ^ (Inggris)"11-18. HIV is a retrovirus that infects CD4 T cells, dendritic cells, and macrophages". Charles A. Janeway, et al. Diakses tanggal 2010-03-30. , second paragraph
  10. ^ (Inggris)"11-19. Genetic deficiency of the macrophage chemokine co-receptor for HIV confers resistance to HIV infection in vivo". Charles A. Janeway, et al. Diakses tanggal 2010-03-30.