Dalam filsafat, hasrat telah diidentifikasi sebagai masalah filosofis sejak zaman purba. Dalam Republik Plato, Sokrates berpendapat bahwa hasrat individu harus ditunda atas nama cita-cita yang lebih tinggi. Dalam ajaran Buddhisme, hasrat dianggap sebagai penyebab semua penderitaan. Dengan menghilangkan keinginan, seseorang bisa mencapai kebahagiaan tertinggi, atau Nirwana.[1]

Sejarah

Psikoanalisis

Istilah hasrat (bahasa Inggris: desire) sudah muncul dalam pemikiran Freud. Freud mengasosiasikan hasrat ini sebagai harapan atau keinginan yang bersifat tidak disadari. Freud melihat hasrat berhubungan dengan “kepenuhan”. Freud memahami hasrat ini tersimpan dalam wilayah tidak-sadar dan menjadi pendorong bagi tindakan seseorang, yaitu mencari pemenuhan atas hasratnya. Freud juga menyebutkan bahwa mimpi adalah realisasi dari "hasrat“. Hasrat dalam Freud dipahami sebagai hasrat seksual (atau libidinal desire).[2]

Kemudian Jacques Lacan memahami hasrat dengan tambahan pengaruh filsafat Hegel melalui kuliah yang diberikan oleh Alexandre Kojéve Pengertian hasrat dalam filsafat Hegel berbeda dari apa yang dipahami oleh Freud. Hegel memahami hasrat sebagai 'hasrat akan pengakuan' (desire of recognition). Hal ini dijelaskan dengan dialektika tuan-budak. Seseorang berjuang untuk mendapatkan pengakuan dari sesamanya karena dengan cara demikianlah orang itu mendapatkan kepastian dirinya. Proses pengakuan ini haruslah seimbang dan bersifat timbal balik, pengakuan diberikan oleh seseorang yang sepadan dengan orang yang diakui. Hegel beranggapan bahwa kepastian diri terbentuk dari proses dialektika antara hasrat dan pemenuhannya. Kepastian diri inilah yang diperjuangkan oleh manusia karena dengan memiliki kepastian diri manusia seakan menemukan posisinya dalam dunia, dan membawa manusia kepada kebebasan. Lacan juga mengatakan bahwa Subjek mencari kepastiannya.[2]

Lacan mendapat pengaruh filsafat Hegel melalui Kojéve. Penafsiran Kojéve terhadap filsafat Hegel lebih menekankan pada negativitas dalam proses dialektika. Lacan memahami bahwa proses dialektika hasrat adalah hasrat akan pengakuan dan bahwa negativitas manusia adalah perjuangan akan pengakuan itu. Manusia menyadari dirinya ketika pertama kali ia menyebut kata “Aku”, hal ini terjadi melalui hasrat, ketika seseorang mengenali hasratnya sebagai dirinya, dan bahwa hasrat terlepas dari obyeknya. Pemuasan hasrat membutuhkan bentuk negativitas (penghancuran atau perubahan) atas obyek hasrat. Lacan mengacu pada Freud bahwa hasrat seseorang adalah hasrat dari yang lain.[2]

Kalimat “hasrat seseorang adalah hasrat Liyan” juga menjelaskan hubungan hasrat dengan hasrat. Kalimat ini juga dapat dipahami bahwa hasrat seseorang adalah hasrat dari orang lain, bahwa hasrat seseorang adalah menjadi hasrat dari orang lain juga. Teori ini berkaitan dengan teori Hegelian, yaitu struggle for recognition. Seseorang memiliki hasrat untuk mendapat pengakuan dan untuk diingini oleh orang lain, untuk menjadi hasrat dari orang lain. Hasrat seseorang hanya dapat terpuaskan bila ia menjadi dihasrati oleh hasrat orang lain, menjadi obyek hasrat orang lain. Tahap cermin adalah tempat kelahiran hasrat seseorang karena dalam tahap ini terjadi identifikasi untuk pertama kalinya dan seorang anak mulai mengenali dirinya.[2] Lebih lanjut, Lacan menyebutkan bahwa obyek a (objet petite a) adalah penyebab hasrat. Obyek a dipahami sebagai obyek yang dalam pengalaman nyata ditandai pada kita dengan status khusus. Obyek a ini dipahami sebagai suatu kondisi yang diingini oleh subjek dalam proses pembentukannya. Obyek a ini dapat berubah-ubah dan menjadi simbol yang membawa subjek masuk dari tatanan simbolik ke dalam tatanan riil. Obyek a juga dipahami sebagai obyek hasrat (object of desire) atau hasrat dari Liyan. Dalam penjelasannya, Lacan menjelaskan bahwa obyek hasrat adalah penyebab hasrat itu sendiri, dan obyek ini yang menjadi penyebab hasrat adalah obyek pendorong (object of drive). Hasrat dan dorongan tidaklah sama. Hasrat bersifat lebih esensial daripada dorongan, dan hasrat adalah apa yang menggerakkan dorongan dalam diri manusia. Lacan menyebutkan bahwa hasrat adalah esensi manusia.[2] Obyek a juga dipahami sebagai 'agalma' dalam simposium Plato yang ditafsirkan oleh Lacan sebagai hasrat dari Sokrates sendiri akan sesuatu yang berharga, bersinar, bercahaya. Agalma ini dipahami sebagai obyek hasrat yang kita cari pada diri orang lain. Tugas seorang terapis adalah menyusun kembali hasrat tidak-sadar dari pasiennya melalui diskursus dengan hasrat sang terapis sendiri.[2]

Lacan memahami Kompleks Oedipus dalam Freud sebagai hasrat yang paling awal dari seorang anak, yaitu hasrat akan ibunya dan juga sebaliknya, hasrat sang ibu kepada anaknya. Lacan menjelaskan lebih lanjut dalam teori "Atas nama Ayah". Dalam teorinya ini Lacan menjelaskan bahwa hasrat ibu adalah demi kepentingan dan berada dalam sang ayah, dengan kata lain bahwa hasrat sang ibu adalah simbol dari sang ayah. Ayah sendiri dalam hal ini menjadi simbol bagi kebudayaan dan hukum, bagi masyarakat. Teori nama ayah ini juga menurut Lacan yang membawa seseorang keluar dari keadaan alamiahnya untuk masuk ke dalam masyarakat atau kebudayaan. Transisi oedipal ini terjadi karena sang ayah memberikan sang anak namanya, dan nama itu dikenal dan menjadi legalisasi dalam masyarakat dan bagi anak itu sendiri bahwa sang anak adalah milik dari sang ayah.[2]

Lacan mengaitkan hasrat dengan kebutuhan (need) dan tuntutan (demand). Kebutuhan dipahami sebagai suatu kebutuhan alami manusia sebagai makhluk biologis, sedangkan tuntutan dipahami sebagai ucapan. Kebutuhan mungkin untuk dipuaskan, sedangkan tuntutan tidaklah mungkin dapat dipuaskan, tetapi ada hubungan antara pemuasan kebutuhan dan tuntutan. Dalam relasi anak-ibu terjadi tuntutan akan cinta sang ibu yang menjamin terpenuhinya kebutuhan sang anak akan hal lainnya (makanan, minuman, dll.). Tuntutan akan cinta sang ibu ini tidak mungkin terpuaskan. sehingga menyebabkan kebutuhan sang anak juga tidak mungkin terpuaskan. Dalam hal ini terjadi jurang lebar antara kebutuhan dan tuntutan, dan di sinilah letak hasrat. Tuntutan berbeda dari hasrat; tuntutan bersifat penguasaan (want-to-have), sedangkan hasrat bersifat pengakuan, pengenalan atau identifikasi (want-to-be). Hasrat bersifat tidak terbatas, dan hanya kematian yang menjadi batas hasrat. Lacan memahami kematian ini sebagai “Tuan Absolut” dalam penafsirannya terhadap dialektika tuan-budak Hegel, sebagai Tuan yang tidak kelihatan, tetapi memegang menjadi tujuan pemuasan hasrat manusia.[2]

Lacan juga memahami kegelisahan berkaitan dengan hasrat. Fantasi dipahami sebagai pendukung bagi hasrat. Obyek a yang menjadi penyebab hasrat, tetapi hasrat didukung oleh fantasi. Dengan adanya fantasi seseorang mendapatkan ilusi untuk mendekati obyek a. Dalam teori Lacan, hal ini digambarkan dengan rumus $ <> a, di mana $ melambangkan subjek yang terpecah, dan a melambangkan obyek a, dan rumus tersebut dapat dibaca sebagai subjek yang terpecah yang mendekati (berhasrat terhadap) obyek a. Hasrat muncul dari kekurangan (atau lack), hasrat itu sendiri adalah kekurangan. Lacan juga mengaitkan kekurangan ini dengan kegelisahan. Kegelisahan terjadi ketika ada kekurangan yang terjadi.[2] Lacan berpendapat bahwa hasrat mengungkapkan diri dalam perkataan (speech, parole). Perkataan menjadi sarana bagi hasrat. Hasrat terungkap dalam mekanisme bahasa, yaitu metafora dan metonimi. Metafora memperlihatkan hasrat sebagai gejala, sedangkan metonimi menstrukturkan hasrat yang terungkap. Hasrat manusia adalah metonimi. Lacan menyebutkan bahwa obyek dari hasrat adalah das Ding (the Thing, Sesuatu). Sesuatu itu adalah obyek yang hilang yang harus terus-menerus dicari. Hal ini menjelaskan bahwa hasrat tidak pernah berhenti pada satu obyek tertentu, tetapi terus bergerak mencari Sesuatu lainnya. Hasrat juga dipahami sebagai “yang lain”, sehingga hasrat terus menjadi yang lain dan tidak pernah menetap pada satu obyek.[2]

Kemudian Rene Girard memperkenalkan konsepnya tentang hipotesis mimesis. Menurut hipotesis ini, kendali total ego atas hasrat adalah ilusi. Manusia adalah makhluk yang tidak tahu apa yang harus dihasrati dan karenanya berpaling ke orang lain untuk menentukan pilihan. Hasrat tidak muncul dari imperatif ego, melainkan peniruan hasrat orang lain. Dua kesimpulan Girard tentang hasrat bertolak pada: pertama, hasrat tidak divalidasi oleh properti yang terkandung dalam objek yang dihasrati; kedua, hasrat sesungguhnya didorong oleh rasa berkekurangan yang perlu dipenuhi. Seseorang menghasrati objek bukan karena kualitas objek itu sendiri, melainkan karena orang lain menghasrati objek itu dan mendapatkan keutuhan ontologis darinya. Itulah sesungguhnya yang diincar dalam menghasrati objek: the being of other.[3]

Catatan kaki

  1. ^ ""The Wings to Awakening"". www.accesstoinsight.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-10-25. 
  2. ^ a b c d e f g h i j Lukman, Lisa. (2011). "Proses Pembentukan Subjek: Antropologi Jacques Lacan". Jakarta: Penerbit Kanisius.
  3. ^ Adlin, Alfathri, dkk. (2006). "Menggeledah Hasrat: Sebuah Pendekatan Multi Perspektif". Yogyakarta & Bandung: Penerbit Jalasutra.

Pranala luar