Perang Tiga Puluh Tahun

artikel daftar Wikimedia
Revisi sejak 28 November 2017 02.30 oleh Adeninasn (bicara | kontrib) (draf)

Perang Tiga Puluh Tahun adalah sebuah konflik yang terjadi antara tahun 1618 hingga 1648, khususnya di wilayah yang sekarang menjadi negara Jerman, dan melibatkan sebagian besar kekuatan-kekuatan di kawasan tersebut. Ada beberapa sebab mengapa perang ini terjadi. Meskipun tampak sebagai konflik keagamaan antara kaum Protestan dan Katolik, persaingan antara dinasti Habsburg dan kekuatan lainnya juga merupakan salah satu motif penting terjadinya perang ini, hal ini dapat terlihat dari fakta kaum Katolik Perancis mendukung pihak Protestan, yang meningkatkan persaingan Perancis dan Habsburg.

Akibat dari Perang Tiga Puluh Tahun yang disertai musibah kelaparan dan wabah penyakit sangat mengerikan. Perang mungkin hanya berlangsung 30 tahun, tetapi konflik yang memicunya tetap berlanjut hingga waktu yang lama. Perang ini diakhir melalui Perjanjian Westfalen.

Ikhtisar

Perang Tiga Puluh Tahun dimulai sebagai perang agama, yang tumbuh dari perjuangan antara Katolik Roma Jerman dan para pemeluk Protestan. Hal ini berkembang menjadi sebuah kontes politik penguasa Habsburg di Kekaisaran Romawi Suci yang berusaha memperluas kendali mereka di Eropa, sementara sejumlah kekuatan lainnya seperti Swedia berusaha membatasinya. Perancis pada khususnya (meskipun juga kekuatan Katolik) khawatir dengan prospek hegemoni Habsburg di Eropa. Kepausan Spanyol dan sebagian besar pangeran Jerman bergabung dengan kelompok Katolik yang diperjuangkan oleh Habsburg Austria. Mereka ditentang oleh kekuatan Protestan Swedia dan Denmark, pangeran Jerman Protestan, dan Perancis Katolik (setelah 1635). Perang Tiga Puluh Tahun adalah konflik paling dahsyat di Eropa modern awal.[1]

Secara umum, perang tiga puluh tahun terdiri dari empat fase. Fase pertama adalah fase Bohemia (1618-1625) yang ditandai perang saudara di wilayah Bohemia. Perang ini melibatkan Liga Katolik yang dipimpin Raja Ferdinand II melawan Serikat Protestan yang dipimpin Pangeran Friedrich V dari Palatine. Kemudian Raja Ferdinand II diberhentikan dari jabatan rajanya oleh pangeran-pangeran Bohemia, dan sebagai gantinya, Friedrich V diangkat menjadi raja Bohemia pada tahun 1618. Naiknya Ferdinand II sebagai Kaisar Agung Romawi di tahun 1620 menjadikannya benar-benar menghapus Protestanisme dari Bohemia.[2] Fase kedua adalah fase Denmark (1625-1630) di mana Raja Christian IV dari Denmark berpartisipasi membela kaum Protestan. Jenderal perang Liga Katolik, Albert dari Wallenstein, terlalu kuat bagi Christian IV sehingga kekalahan terjadi di pihak Protestan. Kedua fase ini berlangsung selama 10 tahun, di mana Bohemia sepenuhnya menjadi Katolik di bawah kekuasaan Ferdinand II.[2] Fase ketiga diawali dengan kedatangan Raja Swedia (1625-1635), Gustavus Adolphus di tanah Jerman. Fase ini disebut dengan fase Swedia. Negara seperti Denmark (lagi), Polandia, Finlandia, dan beberapa negara kecil di kawasan Baltik, serta Raja Gustavus membantu Protestan, khususnya menolong saudaranya, Adipati Mecklenburg, yang sedang diasingkan. Fase ini ditandai dengan keterlibatan Perancis, melalui Perdana Menteri Kardinal Richelieu, yang membantu Swedia secara finansial.[a] Gustavus berhasil melawan Katolik di Pertempuran Breitenfield dan Lützen, yang terjadi di tahun 1631 dan 1632. Namun, Gustavus ternyata harus tewas dalam pertempuran di Nördlingen pada tahun 1634. Hal ini membuat Perancis campur tangan membela protestan (lebih tepatnya melawan wangsa Habsburg).[2]

Fase terakhir ditandai dengan kedatangan Perancis pada perang ini (1635-1648), yang sekaligus menandai "internasionalisasi" Perang Tiga Puluh Tahun, dengan bergabungnya Belanda (yang merupakan bentuk balas budi ketika berperang melawan Spanyol di tahun 1622), Skotlandia, dan sejumlah tentara bayaran Jerman yang disewa raja-raja Protestan Jerman, yang memperkuat kubu Serikat Protestan. Perang pada fase ini berlangsung lama, bahkan bisa disebut 'stalemate' (imbang), di mana tidak ada pihak yang memenangkan peperangan. Hal ini disebabkan keterbatasan logistik di kedua belah pihak. Situasi 'stalemate' membuat para raja atau ratu tidak memiliki pilihan lain selain membuat perjanjian damai untuk menghentikan perang, setidaknya untuk sementara waktu. Perang ini berakhir dengan disepakatinya Perjanjian Westfalen, dengan dua traktat utamanya: Traktat Münster yang mendamaikan Perancis (dan sekutunya) dengan Kekaisaran Agung Romawi serta Traktat Osnabrück yang mendamaikan Swedia (dan sekutunya) dengan Kekaisaran Agung Romawi.[2]

Pendahuluan

Kekaisaran Romawi Suci adalah sebuah konfederasi yang berkisar 1.000 negara otonom atau semi otonomi di Jerman. Negara-negara ini membentang dari dari Habsburg Austria hingga Hamburg, Lübeck, dan kota-kota kekaisaran bebas lainnya di utara, serta wilayah-wilayah yang lebih kecil yang berada tidak lebih dari beberapa kilometer persegi, yang dijalankan oleh para uskup. Negara bagian Swabia di wilayah Jerman barat daya, misalnya, terbagi menjadi 68 penguasa sekuler, 40 negara gerejawi dan 32 kota kekaisaran bebas. Faktor geografis mempersulit kehidupan politik negara-negara Jerman. Palatinate hulu yang terbentang antara Bohemia dan Bavaria menganut ajaran Lutheran, sedangkan Palatinate hilir sebagian besar menganut ajaran Kalvinis. Sejak tahun 1356, ketika hukum konstitusional Kekaisaran Romawi Suci telah didirikan, tujuh pemilih (4 panglima pemilihan dan 3 uskup agung) memilih setiap kaisar Romawi Suci yang baru. Dewan Imperial memutuskan hal-hal penting bagi kekaisaran. Kekaisaran Romawi Suci, yang pernah menjadi kekuatan paling kuat di Eropa, telah dilemahkan akibat peperangannya dengan kepausan di abad ke-13. Namun, beberapa negara kekaisaran menawarkan keseimbangan antara keinginan atas sosok berwibawa yang bisa menjaga hukum dan ketertiban, serta kemerdekaan politik mereka yang terus berlanjut.[3]

Perdamaian Augsburg (1555) mengakhiri perang antara Kaisar Romawi Suci Karl V, dengan negara-negara Jerman Protestan,[3] di mana asas cuius regio, eius religio menentukan agama raja sebagai agama wilayah kekuasaan, dan sistem agama tunggal, digantikan dengan sistem agama di setiap wilayah.[4] Asas ini, bagaimanapun, tidak mengakhiri persaingan agama atau tuntutan agama minoritas yang ditoleransi oleh pemerintah.[3] Perdamaian Augsburg, pada kenyataannya, memperkuat partikularisme Jerman, serta membantu mensekulerasikan institusi Kekaisaran Romawi Suci dengan mengakui hak pangeran Jerman untuk menentukan agama negara-negara mereka. Hal ini juga membantu mengakhiri harapan Karl V dalam mendirikan sebuah kerajaan yang akan mempertemukan semua wilayah Habsburg di negara bagian Jerman, Spanyol, dan Belanda.[3]

Rudolf II (1557- 1612), raja Bohemia dan kaisar Romawi Suci (yang menggantikan ayahnya Maximilian II), ingin meluncurkan sebuah perang agama melawan Protestan. Dia menutup gereja-gereja Lutheran di tahun 1578, mengingkari janji sebelumnya kepada bangsawan Bohemia bahwa dia akan mentoleransi agama, yang dianut sebagian besar penduduk yang telah berpindah agama.[3] Selain itu, sepupu Rudolf II; Adipati Agung Ferdinand II (1578-1637) menarik toleransi agama yang diberikan Maximilian II di Austria hilir. Pasukan kekaisaran Rudolf II, yang telah memerangi orang-orang Turki sejak tahun 1593, telah menganeksasi Transilvania.[3] Kaisar bergerak melawan Protestan di sana dan di Hongaria. Namun pada tahun 1605, ketika tentara Rudolf II melakukan kampanye melawan orang-orang Turki di Balkan, orang-orang Protestan memberontak di kedua tempat tersebut. Sebuah tentara Protestan menginvasi Moravia, yang terletak di sebelah timur Bohemia dan utara Austria, dekat dengan ibukota Habsburg di Wina. Sementara itu, Kaisar Rudolf II, yang hanya sedikit kompeten pada hari-hari terbaiknya (dia mengalami depresi dan kemudian merasa tidak waras), hidup sebagai pertapa di kastilnya di Praha. Keluarganya meyakinkan saudaranya Matthias (1557-1619) untuk bertindak atas nama Rudolf II dengan berdamai dengan penduduk Protestan Hongaria dan Transilvania, serta orang-orang Turki. Traktat Wina (1606) menjamin kebebasan beragama di Hongaria. Matthias kemudian dikenal sebagai kepala ahli waris atau penerus wangsa Habsburg dan Rudolf II.[3] Kebanyakan orang sepakat dengan perdamaian yang diakui pada Traktat Wina (1606), kecuali Rudolf II, dan mengklaim bahwa wabah yang memburuk di Bohemia adalah bukti bahwa Tuhan tidak senang dengan konsesi yang diberikannya kepada penganut Protestan. Dia juga mencela Matthias dan Ferdinand II atas akomodasi mereka dengan orang-orang Protestan dan dengan orang-orang Turki. Matthias bersekutu dengan wilayah tanah Hongaria yang Protestan dan bergerak melawan Rudolf II. Kemudia Rudolf II menyerah, dan memberikan Hongaria, Austria, dan Moravia kepada Matthias di tahun 1608, dan Bohemia di tahun 1611. Rudolf II dipaksa untuk menandatangani Letter of Majesty di tahun 1609, dan memberikan hak kepada penduduk Bohemia untuk memilih agama Katolik, Lutheranisme, atau satu dari dua kelompok ajaran Husite. Gereja-gereja Protestan, sekolah, dan juga kuburan ditoleransi.[3]

Penurunan efektif atas otoritas Kekaisaran Romawi Suci berkontribusi pada akhir periode perdamaian di negara-negara Jerman. Dalam dasawarsa terakhir di abad ke-16, negara-negara ini saling bermusuhan dan dimiliterisasi. Untuk beberapa saat, Reformasi Katolik diuntungkan dari perdebatan sengit, atau bahkan perang kecil antara pemeluk Lutheran dan Kalvinis. Namun semakin banyak pemeluk Protestan mengesampingkan perbedaan keduanya, betapapun besarnya, dalam menghadapi desakan penguasa Katolik yang ingin memenangkan kembali wilayah-wilayah yang hilang akibat Protestanisme.[3]

Kisah-kisah intoleransi tejadi dan memanaskan perselisihan antar agama. Pada tahun 1606, di Donauwörth, sebuah kota kekaisaran bebas Jerman bagian selatan di mana pemeluk Lutheran dan Katolik saling bersikap toleran, kerusuhan tejadi bermula ketika penganutLutheran berusaha mencegah pemeluk Katolik untuk menahan sebuah prosesi. Kemudian di tahun berikutnya, Adipati Maximilian I dari Bavaria mengirim pasukan untuk memastikan dominasi Katolik di wilayah tersebut. Hal ini membuat para pangeran Kalvinis marah, sama halnya dengan beberapa penguasa Lutheran. [3]

Permulaan perang (1618-1625)

Pemberontakan di Bohemia

Campur tangan Katolik

Baik Austria-Jerman, maupun kawasan Eropa yang lebih luas, terlibat dalam perang yang bermula dari masa pemerintahan Kaisar Maximilian I dan, yang lebih khusus lagi, semenjak Reformasi dan pemilihan Karl V, Raja Spanyol, ke tahta kekaisaran tahun 1519. Maximilian memulai, dan Karl V melanjutkan kekuasaan Katolik yang membangkitkan ketakutan universalisme Habsburg yang tak terpadamkan, serta konflik normal Abad Pertengahan Jerman yang terancam akibat keragaman agama, juga mengacaukan sistem politiknya hingga sekitar tahun 1648. Permintaan dan klaim kebebasan beragama diliputi oleh pembelaan kebebasan konstitusional, yaitu sebuah tujuan yang agak esoteris.[5] Klaim historis Perancis terhadap Kekaisaran Jermanik, atau kepada beberapa vikariat terbatas, telah tertanam dalam jiwa Perancis dan bertahan dalam pemerintahan Louis XIV. Kehadiran Perancis, yang siap di sayap, tidak akan pernah bisa diabaikan. Periode pertama ini juga menyaksikan asal mula dan perkembangan obsesi Perancis dengan Italia - berasal dari invasi pertama Italia pada tahun 1494 yang merupakan bahan dasar dalam persaingan Perancis-Habsburg. Karl merebut kembali Milan dari Perancis pada tahun 1535, dan menahannya. Perancis secara efektif dikelilingi oleh wilayah Habsburg, beberapa kawasan yang diklaimnya, di antaranya: Flanders, Artois, Franche-Comte dan Milan. Perancis juga berusaha untuk mempertahankan rute invasi utara-timur dan timur ke Perancis dan untuk menjaga hubungan dengan Swiss dan Venesia, dan rute turun ke Italia tengah. Sementara tema Italia sebagian besar tidak aktif pada periode kedua, ia terulang sekitar tahun 1600 dan menjadi menonjol lagi pada periode ketiga, di abad tujuh belas. Masuknya resmi Perancis ke dalam perang dengan Spanyol.[5]

Intervensi Denmark (1625-1630)

Intervensi Swedia (1630-1635)

Intervensi Perancis dan bergabung kembali dengan Swedia (1635-1648)

Perdamaian Westfalen (1648)

 
Eropa setelah Perdamaian Westfalen, 1648.

Selama periode empat tahun, partai-partai yang bertikai (Kekaisaran Romawi Suci, Perancis, dan Swedia) secara aktif melakukan negosiasi di Osnabrück dan Münster di Westfalen.[6] Akhir perang tidak hanya berakhir dengan satu perjanjian, namun oleh satu kelompok perjanjian seperti Perjanjian Hamburg. Pada tanggal 15 Mei 1648, Perdamaian Münster ditandatangani, serta mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun. Lebih dari lima bulan kemudian, pada tanggal 24 Oktober, Perjanjian Münster dan Osnabrück ditandatangani.[7]

Korban perang dan penyebaran penyakit

Perang Tiga Puluh Tahun merupakan malapetaka terburuk, juga bencana medis terbesar dalam sejarah Eropa modern.[8][9] Karena tidak memiliki data sensus yang baik, para sejarawan mengekstrapolasi hasil penemuan di daerah yang mereka teliti.[10] John Theibault setuju dengan kesimpulan dalam Der Dreissigjährige Krieg und das Deutsche Volk (1940) karya Günther Franz, bahwa telah terjadi penurunan populasi yang signifikan, namun bervariasi secara regional (berkisar 50%). Dia mengklaim hasil temuannya adalah yang terbaik dari yang pernah ada.[11] Perang secara langsung telah membunuh tentara dan warga sipil, menyebabkan kelaparan, menghancurkan penghidupan, mengganggu perdagangan, menunda pernikahan dan persalinan, serta memaksa banyak orang untuk pindah. Penurunan populasi di negara bagian Jerman sekitar 25% hingga 40%.[12] Beberapa daerah lebih banyak terkena dampak daripada yang lain.[13] Sebagai contoh, Württemberg kehilangan tiga perempat dari penduduknya selama perang.[14] Di wilayah Brandenburg, penurunan populasi hingga setengahnya, sementara di beberapa daerah, diperkirakan dua pertiga penduduknya meninggal.[15] Populasi penduduk di negara bagian Jerman berkurang hampir setengahnya.[16] Penduduk di wilayah Ceko mengalami penurunan sepertiga akibat perang, penyakit, kelaparan, dan pengusiran penduduk Ceko Protestan.[17][18] Sebagian besar penghancuran kehidupan sipil dan harta benda disebabkan oleh kekejaman dan keserakahan tentara bayaran.[19] Desa-desa sangat mudah menjadi objek penjarahan tentara bayaran. Mereka yang bertahan, seperti desa kecil Drais dekat Mainz, membutuhkan waktu sekitar seratus tahun untuk pulih kembali. Tentara Swedia sendiri mungkin telah menghancurkan hingga 2.000 istana, 18.000 desa, dan 1.500 kota di Jerman, atau sepertiga dari seluruh kota di Jerman.[20]

Beberapa sejarawan berpendapat bahwa biaya perang, sebenarnya dapat memperbaiki standar hidup orang-orang yang selamat.[21] Menurut Ulrich Pfister, Jerman adalah salah satu negara terkaya di Eropa per kapita pada tahun 1500, namun berada pada peringkat yang jauh lebih rendah pada tahun 1600. Kemudian, pulih pada periode 1600-1660, sebagian berkat kejutan demografis Perang Tiga Puluh Tahun.

Galeri

Pranala luar

Catatan

  1. ^ Selepas Perang Habsburg-Valois, Perancis telah menanam kebencian pada Habsburg, meskipun kedua negara tersebut beragama Katolik.[2]

Referensi

  1. ^ Richard,, Bonney,. The Thirty Years' War, 1618-1648. Oxford. ISBN 1472810023. OCLC 883427955. 
  2. ^ a b c d e Polimpung, Hizkia Yosie. (2014). Asal-usul Kedaulatan: Telusur Psikogenealogis Atas Hasrat Mikrofasis Bernegara. Depok: Penerbit Kepik. ISBN 9786021426128. 
  3. ^ a b c d e f g h i j M., Merriman, John. A history of modern Europe : from the Renaissance to the present (edisi ke-Third edition). New York. hlm. 145. ISBN 9780393934335. OCLC 320193499. 
  4. ^ Kristiyanto, OFM, Eddy. (2004). Reformasi dari dalam, Sejarah Gereja Zaman modern. Yogyakarta: Penerbit Kanisisus. hlm. 67–69. ISBN 979-21-0910-2. 
  5. ^ a b M., Sutherland, N. (1992-07-01). "The Origins of the Thirty Years War and the Structure of European Politics". The English Historical Review (dalam bahasa Inggris). CVII (CCCCXXIV). doi:10.1093/ehr/CVII.CCCCXXIV.587. ISSN 0013-8266. 
  6. ^ Bring, Ove (August 2000). "The Westphalian Peace Tradition in. International Law. From Jus ad Bellum to Jus contra Bellum". International Law Studies. 75: 58. Diakses tanggal 27 November 2017. 
  7. ^ "Germany History Timeline". countryreports.org. Diakses tanggal 27 November 2017. 
  8. ^ Parker, Geoffrey (2008). "Crisis and catastrophe: The global crisis of the seventeenth century reconsidered". American Historical Review. 113 (4): 1053–1079. doi:10.1086/ahr.113.4.1053. 
  9. ^ Outram, Quentin (2002). "The Demographic impact of early modern warfare". Social Science History. 26 (2): 245–272. doi:10.1215/01455532-26-2-245. 
  10. ^ Outram, Quentin (2001). "The socio-economic relations of warfare and the military mortality crises of the Thirty Years' War". Medical History. 45 (2): 151–184. doi:10.1017/S0025727300067703. PMC 1044352 . 
  11. ^ Theibault, John (1997). "The Demography of the Thirty Years War Re-revisited: Günther Franz and his Critics". German History. 15 (1): 1–21. doi:10.1093/gh/15.1.1. 
  12. ^ "History of Europe – Demographics". Encyclopædia Britannica.
  13. ^ Thirty Years' War: Battle of Breitenfeld, HistoryNet
  14. ^ "Germany  — The Thirty Years' War  — The Peace of Westphalia". About.com. Diakses tanggal 27 November 2017. 
  15. ^ Prussia in the later 17th century, University of Wisconsin-Madison
  16. ^ Coins of the Thirty Years' War, The Wonderful World of Coins, Journal of Antiques & Collectibles January Issue 2004
  17. ^ "The Thirty Years' War  — Czech republic". czech.cz. Diarsipkan dari versi asli tanggal 4 May 2008. Diakses tanggal 27 November 2017. 
  18. ^ "Historical/Cultural Timeline – 1600s". College of Education, University of Houston. Diakses tanggal 27 November 2017. 
  19. ^ "The Thirty Year War and its Consequences". Universitätsstadt Tübingen. Diarsipkan dari versi asli tanggal 27 March 2008. Diakses tanggal 27 November 2017. 
  20. ^ "Population". History Learningsite. Diakses tanggal 27 November 2017. 
  21. ^ German economic growth, 1500–1850, Pfister