Sastra berbahasa Jerman
Sastra berbahasa Jerman atau sastra Jerman merupakan karya-karya sastra yang ditulis dalam bahasa Jerman yang berasal dari daerah-daerah yang berbahasa Jerman (meliputi Jerman, Swiss dan Austria) baik pada masa lampau maupun pada masa kini. Yang dimaksud dengan sastra berbahasa Jerman di sini bukan hanya karya-karya puitis saja, melainkan juga karya-karya dari kisah asli lainnya, misalnya karya-karya sejarah, sejarah sastra, atau filsafat. Juga misalnya buku harian atau surat juga dilihat sebagai karya sastra.
Abad Pertengahan Awal (kira-kira 750–1100)
Sastra Jerman Tinggi Kuno dimulai dengan sumber tertulis teks-teks Jerman Tinggi kuno.[1] Diawali dengan berkuasanya raja Carolus Magnus (768-814) atau raja Karl yang Agung. Zaman Carolus Magnus adalah zaman perubahan spiritual, sekaligus juga zaman perubahan kesusasteraan bangsa Jerman. Raja ini memiliki keinginan untuk menyatukan semua keturunan bangsa Jerman di bawah kekuasaannya dan membimbing mereka ke arah agama Kristen, meningkatkan pengetahuan mereka, mendirikan sekolah biasa, dan sikapnya yang menjunjung tinggi kepribadian bangsa Jerman, yaitu dengan memelopori penggunaan nama-nama bulan dalam bahasa Jerman.
Meskipun lagu-lagu kepahlawanan merupakan ciri dari tradisi lisan (tidak tertulis), beberapa pengarang tak dikenal dari biara Fulda pada abad ke-8 menulis lagu Hildebrand (Hildebrandslied) dalam bahasa Jerman Tinggi kuno. Hildebrandslied adalah peninggalan sastra rakyat Jerman pada zaman itu yang mengisahkan sebagian dari saga Dietrich. Namun sebagai teks tertua sastra berbahasa Jerman adalah Kata-kata Mantra Merseburger yang dikarang oleh seorang biarawan pada awal abad ke-8.
Peninggalan-peninggalan penting kesusastraan Jerman pada abad ke-9 misalnya Doa Wessobrunn, Muspilli (menceritakan tentang akhir zaman), Heliand, dll.
Peninggalan-peninggalan penting sastra Jerman pada abad ke-11 misalnya Ezzolied (sekitar 1065), puisi legenda, misalnya Annolied (sekitar 1077), epos Perjanjian Lama dan Baru (Kejadian, Keluaran, Kehidupan Yesus), penjelasan-penjelasan dogmatis, puisi-puisi eskhatologis dan puisi-puisi Mariologi.
Sastra Jerman mulai pada zaman Carolus Magnus sampai pada awal abad ke-12 dikuasai oleh kaum Gereja (Geistlichdichtung).
Abad Pertengahan Tinggi (kira-kira 1100–1250)
Kesusastraan terutama yang dikembangkan oleh kalangan bangsawan, yaitu kasta ksatria, (Ritter), yang disebut Ritterlichedichtung.
Secara keseluruhan, ada empat sebab mengapa kesusastraan Jerman pada masa ini berkembang hingga mencapai puncaknya, yaitu sebagai berikut :
1. Perang salib, memperluas pandangan dan pengetahuan bangsa Eropa dalam berbagai bidang.
2. Dinasti Hohensraufen, yang cemerlang ketika menduduki takhta mulai dari 1138 hingga 1254, melindungi dan memajukan seni sastra dengan berbagai cara dan usaha.
3. Kasta ksatria (bangsawan), yang sedang memuncak menggarap seni sastra dan menjadi teladan dalam kesusilaan.
4. Seperti telah dikemukakan, para bangsawan Jerman mengambil teladan dari orang Perancis yang mereka kenal selama Perang Salib dan yang ternyata paling menonjol di antara semua bangsa peserta Perang Salib dalam hal keksatriaan dan kesopanan.
Karya-karya penting pada zaman ini adalah antara lain: Annolied (pujian terhadap santo Anno uskup besar Collogne/Köln), Kaiserkronik (buku tentang kaisar dan raja-raja, yang terdiri dari 17.000 ayat), Alexandried, karya pendeta Lamprecht tentang Alexander Yang Agung, Rolandslied.
Volksepos (epos kerakyatan) Jerman terbesar adalah Das Nibelungenlied (judul aslinya Der belunge Not atau der Nibelinge. Isinya dapat dibagi menjadi dua: (1) gugurnya Siegfried dan 2) pembalasan Kriemhilde.
Kunstepos (epos buatan), yang juga disebut ritterliches atau höfisches Epos, mengambil bahan-bahannya dari sumber asing terutama Perancis, dan dapat dibagi menjadi jenis-jenis antara lain : 1. Saga Inggris (tentang raja Arthur), 2. Saga Spanyol tentang Mangkuk suci (Heiliger Gral).
Penyair-penyair epos yang terpenting adalah sebagai berikut :
1. HEINRICH VON VELDEKE (VELDEKIN),
Heinrich von Veldeke (Veldekin), yang berasal dari sekitar kota Maastricht (Belanda).
2. HARTMANN VON AUE
Hartmann von Aue, yang berasal dari daerah barat daya Jerman (Schwaben), mendapat pendidikan tinggi tidak seperti rekan-rekan sezamannya.
3. WOLFRAM VON ESCHENBACH
Wolfram von Eschenbach adalah seorang ksatria bangsa Franken yang miskin dan tinggal bersama anak-isterinya di Wildenberg (sekarang Wahlenberg) dekat Eschenbach. la menjelajahi sebagian besar wilayah Jerman dan tiba di istana Hermann von Thuringen. la kemudian lama tinggal di sana dan bertemu dengan Walther von der Vogelheide. Pada 1217 ia kembali ke kampung halamannya dan meninggal pada 1220. la melampaui semua rekan sezamannya dalam hal ketertiban, kealiman dan kemurnian pikiran.
Abad Pertengahan Akhir (kira-kira 1250–1500)
Pada masa ini terdapat penemuan yang sangat revolusioner, yaitu ditemukannya mesin cetak dengan huruf-huruf yang dapat digerakkan (seperti mesin ketik). Akhirnya perkamen sebagai bahan untuk menulis dapat digantikan dengan kertas yang tentunya dengan harga yang jauh lebih murah. Di akhir masa ini terbit karya dari Johannes von Tepls dengan judul "Der Ackermann aus Böhmen".
Abad Baru Awal (Humanisme dan Reformasi) (kira-kira 1450–1600)
Dari Italia Humanisme menyebar di Jerman, yang merupakan pola pikir Renaissance. Sebuah pergantian pola pikir terjadi waktu itu. Tokoh Humanisme yang terkenal adalah Erasmus von Rotterdam dan Johannes Reuchlin. Namun mereka menulis dalam bahasa Latin, sehingga oleh karena kendala bahasa, maka peran mereka berdua di luar dari dunia akademis sangatlah sedikit. Lain daripada itu, Ulrich von Hutten (1488–1523) dengan puisi-puisi pemberontakannya, atau Sebastian Brant (1458–1521), yang telah menulis „Narrenschiff“ dalam bahasa Jerman, yang memiliki pengaruh nyata di luar dunia akademis.
Gerakan yang paling berhasil pada waktu itu adalah gerakan reformasi yang dipimpin oleh Martin Luther (1483–1546). Luther menyebarkan ide-idenya tentang reformasi dalam bahasa Jerman. Hasil yang sangat memuaskan dalam pasar buku Jerman pada abad ke-16 adalah terbitnya terjemahan Alkitab versi Luther atau biasa disebut dengan Lutherbibel di tahun 1522 dan 1534. Terjemahan Alkitab versi Luther ini sangat mempengaruhi penyebaran bahasa Jerman yang digunakan sampai saat ini.
Barock (kira-kira 1600–1720)
Im Barock vollzog sich eine stärkere Hinwendung der Literatur zur deutschen Sprache. Politisch war die Epoche von der konfessionellen Spaltung und dem Dreißigjährigen Krieg (1618–1648) geprägt. Die Spannweite der Barockliteratur ist sehr weit: von höfischer Dichtung zu volksnahen Romanen, von der Nachahmung antiker Vorbilder zur persönlichen Erlebnislyrik, von Lebensbejahung zum Vanitas-Motiv. Eine Gelegenheitsdichtung entsteht.
In der Barockzeit wurden zahlreiche Dichter- und Sprachgesellschaften gegründet, die bekannteste davon war die Fruchtbringende Gesellschaft. Von Martin Opitz (1597–1639) wurde in seinem „Buch von der deutschen Poeterey“ (1624) der Alexandriner für die deutschsprachige Lyrik empfohlen und blieb lange Zeit der wichtigste Vers. Mit einiger Verspätung gelangten der Petrarkismus und die Schäferidylle in die deutsche Literatur, genannt seien hier der Opitz-Schüler Paul Fleming (1609–1640) und Simon Dach (1605–1659). Bedeutendste Vertreter der Schäferpoesie waren die Dichter des Nürnberger Pegnesischen Blumenordens Georg Philipp Harsdörffer, Johann Klaj und Sigmund von Birken.
Wichtige lyrische Formen der Epoche sind das Sonett, die Ode und das Epigramm, die Lyrik kann man grob in religiöse, meist evangelische, und weltliche einteilen. Religiöse Lyrik schrieben Friedrich Spee von Langenfeld (1591–1635), die Kirchenliederdichter Paul Gerhardt (1607–1676), Johann Rist (1607-1667), Angelus Silesius (1624–1677), Friedrich Spee (1591-1635) und der Mystiker Jakob Böhme (1575–1624). Unter den weltlicher orientierten Dichtern sind besonders die Sonette von Andreas Gryphius (1616–1664) zu nennen sowie Christian Hofmann von Hofmannswaldau (1617–1679).
Das Drama der Barockzeit zeigt sich vielfältig: Es gab einerseits das Jesuitentheater, das vor allem im südlichen, katholischen Raum in lateinischer Sprache aufgeführt wurde. Da die Zuschauer die Sprache nicht verstanden, setzte man umso mehr auf visuelle Effekte. Ähnlich verhielt es sich mit den anfangs ausländischen Wanderbühnen. Für ein anderes Publikum waren die Barockoper und das höfische Drama gedacht. Die Barockoper wurde als Gesamtkunstwerk hoch geschätzt. Im höfischen Drama gilt das Prinzip der Ständeklausel, Autoren sind etwa Daniel Casper von Lohenstein (1635–1683) (z. B. „Cleopatra“, „Sophonisbe“) und Gryphius mit drei Komödien und fünf Tragödien (z. B. „Chatharina von Armenien“, „Leo Armenius“, „Carolus Stuardus“).
Barockromane sind der Schäferroman, der Staatsroman, der höfisch galante Roman und am einflussreichsten: der aus dem Spanischen stammende Pikaro- oder Schelmenroman. Insbesondere ragt hier Hans Jakob Christoffel von Grimmelshausen (um 1625–1676) mit seinem „Simplicissimus“ und weiteren „Simplicianischen Schriften“ hervor. Simplicissimus’ Abenteuer während des Dreißigjährigen Krieges sind der bedeutendste außerspanische Schelmenroman. Als wichtigster Vertreter des Staatsromans gilt der Birken-Schüler Anton Ulrich von Braunschweig und Lüneburg-Wolfenbüttel.
Abad Pencerahan (kira-kira 1720–1780)
Bereits im Jahr 1687 hielt Christian Thomasius, der „Vater der deutschen Aufklärung“, seine Vorlesungen in Deutsch statt Latein. Bekannte Philosophen dieser Zeit, der Frühaufklärung, waren Christian Wolff und Gottfried Wilhelm Leibniz. Der wichtigste literarische Autor der Frühaufklärung war sicher Christian Fürchtegott Gellert (1715–1769) mit seinen Fabeln. Die bedeutendste Figur im literarischen Leben aber war Johann Christoph Gottsched (1700–1766). Wegweisend waren seine theoretischen Schriften, vor allem der „Versuch einer critischen Dichtkunst“ (1730), sein literarisches Werk ist dagegen zweitrangig. In der „Dichtkunst“, einer normativen Poetik, orientierte er sich am klassischen französischen Drama und behielt die Ständeklausel bei, also die Regel, im Drama nur Schicksale adliger Personen darzustellen und das Bürgertum nur in der Komödie zu thematisieren. Dagegen polemisierten die Schweizer Johann Jakob Bodmer und Johann Jakob Breitinger, die das rationale Moment überbewertet sahen.
Autoren der Frühaufklärung lassen sich auch dem Spätbarock zurechnen, ein Beispiel dafür, wie fragwürdig Epocheneinteilungen sein können. Der bedeutendste Lyriker war Johann Christian Günther (1695–1723), ebenso wie Barthold Heinrich Brockes (1680–1747), kann er beiden Epochen zugeschrieben werden.
Neben der Aufklärung bildeten sich auch Strömungen, die das Gefühl in den Vordergrund stellten. Dazu zählt die Rokoko-Dichtung Friedrich Hagedorns, von Ewald Christian von Kleist, Salomon Gessner und anderen.
Vorbild einer ganzen Generation wurde Friedrich Gottlieb Klopstock (1724–1803) mit seinem Epos „Der Messias“ (1748–1773), das ganz in Empfindungen und Seelenzuständen schwelgt. Klopstock wird der Empfindsamkeit zugerechnet.
Im Bereich der Prosa war Christoph Martin Wieland (1733–1813) wegweisend. Er gestaltete den frühen Bildungsroman „Geschichte des Agathon“ (1766/67) und vermischte Rokoko-Elemente mit aufklärerischen Gedanken.
Die deutsche Spätaufklärung ist undenkbar ohne Gotthold Ephraim Lessing (1729–1781). Sein Wirken umfasst wichtige theoretische Werke („Laokoon“ 1766), Literaturkritik (mit Friedrich Nicolai und Moses Mendelssohn) und eine Reihe von bedeutenden Dramen. Am stärksten von aufklärerischem Geist durchdrungen ist „Nathan der Weise“ (1779), in dem exemplarisch gezeigt werden soll, dass der Wert eines Menschen nicht unbedingt an Religionszugehörigkeit oder Nationalität gebunden ist.
Pasca Abad Pertengahan (kira-kira 1767–1785)
Die jugendliche Reaktion auf die Aufklärung, die als einengend und gefühlskalt empfunden wurde, war die kurze Periode des „Sturm und Drang“. Die meist jungen Männer, die gegen jede Form von Tyrannei waren, wollten auch in künstlerischen Dingen keine Bevormundung. Ein „Genie“, so die Idee, muss sich nicht an Regeln halten. Sie schrieben über die Probleme, die sie beschäftigten, und gaben dem Hier-und-Jetzt den Vorzug vor der Antike.
Johann Wolfgang von Goethe zeigte in dem Briefroman „Die Leiden des jungen Werther“ einen Mann, der an seinem Gefühlsüberschwang und einer unglücklichen Liebe stirbt. In Friedrich Schillers (1759–1805) Drama „Die Räuber“ rebelliert ein junger Mann gegen seinen Vater und die Obrigkeit. Die Dramen von Jakob Lenz (1751–92) thematisieren die bedrückende Situation junger Intellektueller, wie etwa in dem „Hofmeister“. Neben den Dramen war auch die Lyrik wichtig, in ihr konnten sich Emotion und Pathos ausdrücken.
Der „Sturm und Drang“ dauerte aber nicht lange, die meisten Protagonisten entwickelten sich weiter. Schiller und Goethe begründeten die deutsche Klassik, Lenz hingegen legte mit seinen Werken – zu denen das zeitgenössische Publikum oft keinen Zugang finden konnte – den Grundstein für realistische und moderne Formen der Literatur und übte damit einen entscheidenden Einfluss auf spätere Künstler wie Georg Büchner, Gerhart Hauptmann oder Bertolt Brecht aus.
Masa Klassik Weimar (kira-kira 1772–1805)
Der Beginn der Weimarer Klassik wird oft mit dem Eintreffen Christoph Martin Wielands 1772 in Weimar angesetzt, des Ersten aus dem namengebenden „Weimarer Viergestirn“: Wieland - Herder - Goethe - Schiller. Oft wird sie enger gefasst und nur auf ‚Goethe und Schiller‘ bezogen und dann entsprechend später datiert. Ihr Ende mit Schillers Tod (1805) ist auch nur ein Anhaltsdatum. Alle Vier orientierten sich entgegen bzw. nach einer Sturm-und-Drang-Phase an humanistischen Idealen, teilweise unter klassizistischer Verwendung antiker Themen und Muster. „Klassik“ selbst ist eine positiv wertende Bezeichnung für diese Epoche.
Goethes Drama „Iphigenie auf Tauris“ thematisiert die Überwindung von Vorurteilen und ist darin ein Beispiel für das humanistische Ideal der Klassik. Das Schaffen Goethes ist sehr weitgespannt, seine spätere Phase († 1832) wird im engeren Sinne nicht mehr der „Klassik“ zugerechnet.
Friedrich Schiller schrieb in dieser Zeit zahlreiche seiner Balladen („Die Bürgschaft“), theoretische Werke („Über naive und sentimentalische Dichtung“) und eine Reihe von historischen Dramen („Wallenstein“, „Wilhelm Tell“). Auch in seiner Lyrik griff er philosophische Fragestellungen auf (etwa im „Spaziergang“).
Andere Autoren, die manchmal auch zur Klassik gezählt werden, gelten als Vorläufer wie zum Beispiel Karl Philipp Moritz (1757–1793) oder Richtung Romantik weisend Friedrich Hölderlin (1770–1843). Moritz' autobiografisch gefärbter Roman „Anton Reiser“ gilt als der erste psychologische Roman in deutscher Sprache, Hölderlins hymnische Lyrik stellt einen Höhepunkt in dieser Gattung dar.
Nicht im engeren Sinn zur Klassik gehören Jean Paul (1763–1825), der vor allem satirische Romane schrieb, und Heinrich von Kleist (1777–1811), dessen Thema häufig das Individuum ist, das sich an gesellschaftlichen Zwängen abmüht oder an ihnen zerbricht, zum Beispiel in der Novelle „Michael Kohlhaas“.
Masa Romantik (kira-kira 1799–1835)
Die Epoche der Romantik wird meist in Frühromantik, Hochromantik, Spätromantik und Nachromantik unterteilt; im Einzelnen ist es jedoch nicht ganz einfach, zeitliche und personelle Abgrenzungen vorzunehmen.
Die Frühromantik kann aus literaturtheoretischer Perspektive als die spannendste Phase bezeichnet werden. Die miteinander befreundeten, in Jena arbeitenden Autoren, wie die Brüder August Wilhelm (1767–1845) und Friedrich Schlegel (1772–1829), Wilhelm Heinrich Wackenroder (1773–1798), Ludwig Tieck (1773–1853) und Friedrich von Hardenberg (1772–1801), der unter dem Pseudonym Novalis arbeitete, brachen mit vielen Konventionen: Beispielsweise mischten sie in ihre Romane Gedichte und Balladen, kleine Märchen etc.; dabei bezogen sie sich oft auf Goethes Werke („Werther“, „Wilhelm Meisters Lehrjahre“). Dem entspricht Friedrich Schlegels Konzept einer „progressiven Universalpoesie“, die nicht nur unterschiedlichste Gattungen und Wissensgebiete miteinander verbindet, sondern auch über sich selbst nachdenkt und ihre eigene Kritik enthält. Als wichtigstes Gestaltungsmittel dieser „Reflexionspoesie“ erscheint die Ironie, die zum Ausdruck bringt, dass der ideale Zustand, den Kunst nach „klassischer“ Theorie in den Blick bringen soll, menschlicher Vorstellung entzogen ist, und dass den Bildern, mittels derer die Künstler diesen Zustand darzustellen suchen, nicht zu trauen ist. Andererseits können wir uns der vielfältigen Bedeutungen und Bedeutungsbrechungen literarischer Werke nie sicher sein und tun deshalb möglicherweise gut daran, uns auf das Wagnis der Lüge, das die Kunst eingeht, einzulassen. Das literarische Fragment ist ein weiteres, von den Romantikern geschätztes Darstellungsmittel, in dem die Kunst ihr eigenes 'Versagen' reflektiert und sich von dem „klassischen“ Konzept des harmonisch in sich abgeschlossenen Werks, in dem sich der ideale Zustand „spiegelt“, abgrenzt.
Als Vertreter der Hochromantik oder Heidelberger Romantik gelten Achim von Arnim (1781–1831) und Clemens Brentano (1778–1842). Sie gaben unter dem Titel „Des Knaben Wunderhorn“ eine Sammlung deutscher Volkslieder heraus. Und es war deren Ehefrau und Schwester Bettina von Arnim (1785–1859), die mit ihrem Band „Goethes Briefwechsel mit einem Kinde“ – erschienen 1835 – nicht zuletzt zur Popularität Goethes in Deutschland beitrug, aber auch die sozialen und politischen Missstände in Deutschland immer wieder in ihrem Werk thematisiert hat („Armenbuch“, „Dies Buch gehört dem König“, besonders dessen Anhang, sowie die „Polenbroschüre“).
Auch die Brüder Jacob und Wilhelm Grimm zählen mit ihrer Sammlung von Volksmärchen zu dieser Epoche. Ebenso kann man auch den mittleren Tieck dieser Epoche zuordnen.
Der wohl bekannteste Spätromantiker dürfte E. T. A. Hoffmann (1776–1822) sein, der mit Erzählungen wie „Lebensbeschreibungen des Katers Murr“ und dem „Sandmann“ die romantische Ironie psychologisch wendet und so eine moderne, nicht mehr idealistisch begründete Poetik vorbereitete. Zur Spätromantik zählt darüber hinaus der Dichter Joseph von Eichendorff (1788–1857).
Heinrich Heine (1797–1856) nimmt zur Romantik und zu ihren Motiven eine oft ironische Haltung ein und müsste wohl am ehesten zum Frührealismus gerechnet werden.
Biedermeier (etwa 1830–1850) und Vormärz (etwa 1840–1850)
Die literarischen Strömungen zwischen der „Kunstperiode“ von Klassik und Romantik einerseits und dem bürgerlichen Realismus andererseits lassen sich nicht unter einen einzigen Epochenbegriff subsumieren. Man bedient sich der historischen oder kunstgeschichtlichen Begriffe des Biedermeier und Vormärz.
Andere Autoren werden, wenn nicht zum Realismus, so zum Biedermeier gerechnet. Vor allem als Lyriker bekannt sind: Nikolaus Lenau (1802–1850), Eduard Mörike (1804–1875), Friedrich Rückert (1788–1866), August von Platen (1796–1835) und Annette von Droste-Hülshoff (1797–1848). In der Prosa sind von ihr „Die Judenbuche“ sowie Adalbert Stifter (1805–1868) und Jeremias Gotthelf (1797–1854) zu erwähnen.
Dramatiker, die mehr oder minder zum Biedermeier gehören, sind Franz Grillparzer (1791–1872), Johann Nepomuk Nestroy (1801–1862) und Ferdinand Raimund (1790–1836). Grillparzer schrieb Tragödien im Geist der Weimarer Klassik, Nestroy und Raimund vertraten das Wiener Volksstück.
Autoren, die zum Vormärz gerechnet werden, engagierten sich politisch und brachten das politische Gedicht zu einer Blüte. Viele von ihnen waren in der lockeren Gruppierung Junges Deutschland, so etwa Georg Herwegh (1817–1875), Heinrich Laube (1806–1884), Karl Gutzkow (1811–1878) und Ferdinand Freiligrath (1810–1876). Von ähnlichem Geist waren auch Heinrich Heine („Die Harzreise“, „Deutschland. Ein Wintermärchen“), Ludwig Börne (1786–1837) und der jung verstorbene Georg Büchner (1813–1837) („Woyzeck“).
Realisme Puisi (1848–1890)
Im poetischen oder bürgerlichen Realismus mieden die Autoren die großen gesellschaftspolitischen Probleme und wandten sich der engeren, lokalen Heimat mit ihrer Landschaft und ihren Menschen zu. Im Zentrum aller Romane, Dramen und Gedichte steht der Einzelmensch, das Individuum. Das stilistische Merkmal vieler Werke des poetischen Realismus ist der Humor, der die Distanz zu dem eigentlich Unerträglichen und Empörenden der Wirklichkeit schafft. Er richtet hierbei eine Anklage gegen einzelne Fehler und Schwächen im Gesellschaftsgefüge, wendet sich aber nicht gegen das System als Ganzes.
Die bevorzugte Gattungsform war anfangs die Novelle. Spätere Beispiele dafür sind etwa „Das Amulett“ (geschrieben 1872) des Schweizers Conrad Ferdinand Meyer (1825–1898) und „Der Schimmelreiter“ (geschrieben 1886–1888) von Theodor Storm (1817–1888). Im Drama bleibt lediglich Friedrich Hebbel (1813–1863) (etwa mit „Maria Magdalena“) in Erinnerung. Später trat neben die Novelle noch der Roman. Hier sind unter anderem Gustav Freytag (1816–1895) und Wilhelm Raabe (1831–1910) zu nennen.
Die beiden Größen des bürgerlichen Realismus sind der Schweizer Gottfried Keller (1819–1890), der unter anderem mit Theodor Storm in regem Briefkontakt stand, und Theodor Fontane (1819–1898). Keller schrieb den Bildungsroman „Der grüne Heinrich“ sowie die Novellenzyklen Züricher Novellen und Die Leute von Seldwyla, wozu „Romeo und Julia auf dem Dorfe“ gehört. Fontane, der als Journalist begonnen hatte, schrieb Romane wie „Frau Jenny Treibel“ oder „Effi Briest“. Er weitete seine Sicht von einer zentralen Figur immer weiter zum Gesellschaftsroman aus.
In Österreich finden sich dörfliche Motive bei Marie von Ebner-Eschenbach (1830–1916), Ludwig Anzengruber (1839–1889) und, schon nach Ausklingen der Epoche, Peter Rosegger (1843–1918).
Naturalisme (1880–1900)
Der Naturalismus war eine neue Kunst- und Literaturrichtung, die die Verhältnisse in allen gesellschaftlichen Bereichen schonungslos aufdecken wollte. Was den Realisten der Jahrhundertmitte als Thema noch verpönt gewesen war, wurde zum Hauptgegenstand dieser literarischen Richtung. Ohne Rücksicht auf traditionelle Grenzen des so genannten guten Geschmacks und auf bürgerliche Kunstauffassungen sollten Wirklichkeitsausschnitte möglichst in einer Deckungsgleichheit zwischen Realität und Abbild wiedergegeben werden. Eine wesentliche stilistische Neuerung war es hierbei, dass Umgangssprache, Jargon und Dialekt Einzug hielten. Der individuelle Held, der sich frei entscheiden kann, steht nicht länger im Mittelpunkt der Erzählungen und Dramen, sondern der durch ein Kollektiv oder durch Herkunft, Milieu und Zeitumstände bestimmte Mensch.
Anders als in der russischen oder französischen Literatur gibt es im deutschen Sprachraum keine bedeutenden naturalistischen Romane. Arno Holz (1863–1929) schuf gemeinsam mit Johannes Schlaf (1862–1941) Lyrik und Kurzprosa („Papa Hamlet“). Bekannt ist Holz' Gleichung „Kunst = Natur - x“, wobei x nach Möglichkeit gegen Null streben, die Kunst also nichts weiter als Abbildung der Wirklichkeit sein sollte. Bedeutender ist der Beitrag von Gerhart Hauptmann (1862–1946), der mit Dramen wie den „Webern“ internationale Anerkennung fand. Am Rande des Naturalismus ist Frank Wedekind (1864–1918) zu sehen. Sein Drama „Frühlings Erwachen“ weist mit seiner pubertär-erotischen Thematik bereits in Richtung Fin de siècle.
Dari 1900 sampai 1933
Mit Naturalismus und Symbolismus beginnt das, was man oft als die Klassische Moderne bezeichnet. Diese Zeit ist geprägt von einem Stilpluralismus, dem Nebeneinander verschiedener Strömungen. Die meisten Autoren lassen sich in mindestens eine dieser Stilrichtungen einordnen.
Simbolisme
In der Klassischen Moderne erlangte der Begriff der „Avantgarde“ eine besondere Wichtigkeit. Den Beginn nahm diese Epoche im Ausgang des 19. Jahrhunderts mit dem französischen Symbolismus, mit Dichtern wie Stéphane Mallarmé, Charles Baudelaire und Arthur Rimbaud. Die wichtigsten Vertreter des deutschen Symbolismus sind Stefan George (1868–1933), Hugo von Hofmannsthal (1874–1929) und Rainer Maria Rilke (1875–1926). Der Symbolismus verfolgt ein gänzlich anderes Programm als der oben beschriebene, ungefähr zeitgleiche Naturalismus. Symbolistische Lyrik ist elitär und legt höchsten Wert auf Schönheit und Form. Eine ihr verwandte Richtung in der Kunst ist der Jugendstil, der Zeitraum wird als Fin de siècle bezeichnet.
Zentren der deutschen Literatur waren Berlin und Wien, entsprechend wird auch oft von „Berliner Moderne“ und „Wiener Moderne“ gesprochen. Diese erlitten einen jähen Abbruch mit dem Ausbrechen des Ersten Weltkrieges.
Epos Modern
Parallel zu diesen programmatisch gegen die Tradition gerichteten Strömungen entstanden Prosawerke, die die alten Formen aufgriffen und weiterentwickelten; zu nennen sind Rainer Maria Rilke mit seinem Roman Die Aufzeichnungen des Malte Laurids Brigge (1910), Heinrich Mann (1871–1950) (der in dem Frühwerk als ein Wegbereiter des Expressionismus gelten darf), Thomas Mann (1875–1955) (mit artifiziellen Großromanen und Motive durchspielenden Erzählungen), Hermann Broch (1886–1951), Robert Musil (1880–1942), Franz Kafka (1883–1924) und Hermann Hesse (1877–1962).
Seni Tanah Air (Heimatkunst)
Die Heimatkunst war eine literarische Strömung im deutschsprachigen Raum von etwa 1890 bis 1910. Sie entstand in unmittelbarem Anschluss an den Naturalismus. Der Hauptpropagandist der neuen Bewegung wurde der Schriftsteller und Literaturhistoriker Adolf Bartels, der 1898 in einem Artikel in der Zeitschrift Der Kunstwart erstmals den Begriff Heimatkunst verwendete. Gemeinsam mit Friedrich Lienhard verbreitete er die neuen Anschauungen in der kurzlebigen, in Berlin erscheinenden Zeitschrift Heimat.
Die neue Bewegung sollte vom Sujet der Großstadt weg und in Richtung Heimat und Volkstum gehen. Mit der weiten Auffassung von „Heimat“ ist nicht nur ländliches, sondern auch städtisches Leben gemeint, da auch die Stadt Heimat sein kann. Wie der Naturalismus, von dem sie einige Techniken übernahm, sollte sie neben der Liebe zur Heimat auch Kritik an ihr üben, was ihr nicht durchgehend gelang. In neueren Untersuchungen wurde festgestellt, dass die Heimatkunstbewegung manche Grundgedanken der späteren Ökologiebewegung vorwegnahm.
Mit ihrer konservativen, antimodernistischen Grundhaltung war sie eine Vorläuferin der nationalsozialistischen Blut-und-Boden-Dichtung.
Ekspressionisme (kira-kira 1910–1920) dan Avantgarde
Der Expressionismus gilt als die letzte große Literaturströmung Deutschlands. Wie schon der Symbolismus ist sie eine avantgardistische Literaturströmung. Die Avantgarde ist neuartigkeits- und theoriebetonte Literatur, sie tritt mit antibürgerlichem Gestus auf. Dieser erreichte einen Höhepunkt im Dadaismus, der das bildungsbürgerliche Publikum mit Nonsense-Literatur brüskierte. Einflüsse kommen auch vom Surrealismus und Futurismus. Diese Richtungen erfuhren in Deutschland durch den Nationalsozialismus, europaweit durch den Zweiten Weltkrieg, eine Zäsur, in gewissem Sinne sogar ihren außerliterarisch bedingten Abbruch.
Als Initialzündung der expressionistischen Lyrik gilt Jakob van Hoddis' Gedicht Weltende von 1911, dessen wenige Zeilen „schienen uns in andere Menschen zu verwandeln“, wie Johannes R. Becher formulierte. Gottfried Benn, der gerade die Ausbildung zum Mediziner beendete, erregte Aufsehen mit dem schmalen Band „Morgue“, der Gedichte in Prosaversen zu Themen brachte, die bislang kaum oder gar nicht dargestellt wurden (beispielsweise Leichenbeschauhaus, Geburt im Kreißsaal und Prostitution).
Weitere wichtige Autoren des Expressionismus waren Alfred Döblin, Albert Ehrenstein, Carl Einstein, Salomo Friedlaender, Walter Hasenclever, Georg Heym, Heinrich Eduard Jacob, Ludwig Rubiner, Else Lasker-Schüler, August Stramm, Ernst Toller, Georg Trakl und Alfred Wolfenstein.
Neue Sachlichkeit
Nach dem Expressionismus setzte vermehrt eine nüchtern-realistische Haltung ein, die zusammenfassend als Neue Sachlichkeit bekannt wurde. Aktualität, Realismus und Unparteilichkeit waren die Hauptforderungen an die neusachliche Literatur.[2] Im Bereich der Dramatik sind hier Ödön von Horvath, Bertolt Brecht und der Regisseur Erwin Piscator zu nennen, für die Epik unter anderem Erich Kästner, Anna Seghers, Erich Maria Remarque und Arnold Zweig, ebenso wie Marieluise Fleißer, Irmgard Keun oder Gabriele Tergit. Der Gebrauchswert der Lyrik wurde stark betont, wodurch traditionelle Formen wie das Sonett wieder an Popularität gewinnen konnten.[3] Erich Kästner, Joachim Ringelnatz, Kurt Tucholsky und Mascha Kaléko erlangten mit ihren Gedichten eine große Bekanntheit.
Nationalsozialisme dan Sastra di Perantauan
Am 30. Januar 1933 wurde den Nationalsozialisten die Macht über das Deutsche Reich übergeben. Noch im selben Jahr fanden im Reich öffentliche Bücherverbrennungen statt. Unabhängige Literatur und Literaturkritik war nicht mehr möglich. Für die deutsche Republik Österreich traf dies erst mit dem Anschluss in 1938 zu, auch hier wurden Bücher verbrannt. Vom Regime wurde Blut-und-Boden-Dichtung gefördert, daneben bestand auch mehr oder weniger ideologiefreie Unterhaltungsliteratur. Bekannten Regimegegnern drohte der Tod, wenn sie nicht ins Exil gingen, so wurde Jakob van Hoddis und wohl auch Carl von Ossietzky umgebracht. Einige Schriftsteller blieben im Land (z. B. G. Benn), obwohl sie in Opposition zum Nationalsozialismus standen, sie werden zur so genannten Inneren Emigration gerechnet. Sie waren zum Schweigen verurteilt, schrieben für die Schublade oder über unpolitische Themen, die Abgrenzung zu tatsächlich unpolitischen Autoren fällt aber manchmal schwer. Bekannte Namen von im Reich Gebliebenen sind Gottfried Benn, Ernst Jünger, Erich Kästner, Ehm Welk, Gerhart Hauptmann, Heimito von Doderer, Wolfgang Koeppen, Josef Weinheber, Mirko Jelusich, Franz Koch und Robert Hohlbaum. Des Weiteren folgende Mitglieder der Dichterakademie: Will Vesper, Börries Freiherr von Münchhausen, Hans Grimm, Erwin Guido Kolbenheyer, Wilhelm Schäfer, Werner Beumelburg, Hans Friedrich Blunck, Agnes Miegel, Hanns Johst, Emil Strauß, sowie Rudolf G. Binding.
1500 namentlich bekannte Autoren gingen, oft über verschlungene Stationen, ins Exil, viele nahmen sich das Leben (Stefan Zweig, Kurt Tucholsky). Zentren deutscher Exilliteratur entstanden in vielen Staaten der Welt, darunter auch in der deutschsprachigen Schweiz, die besonders für Theaterautoren wichtig war. Angesichts der Masse an Schriftstellern, beinahe jeder von Rang ging ins Exil, kann man kaum von einer thematisch oder stilistisch einheitlichen Exilliteratur sprechen. Autoren, die auch im Exil produktiv blieben, waren unter anderem Thomas und Heinrich Mann, Bertolt Brecht, Anna Seghers, Franz Werfel und Hermann Broch. Andere, wie Alfred Döblin, Heinrich Eduard Jacob oder Joseph Roth, fanden sich nur schwer oder gar nicht zurecht. Nach dem Krieg blieben sie zum Teil im Ausland, einige kehrten zurück. Nachdem Elias Canetti infolge des österreichischen Anschlusses von Wien nach London ausgewandert war, bekam er den Literaturnobelpreis als britischer Staatsbürger. Auffällig ist, dass viele nicht mehr an ihre Leistungen in der Zwischenkriegszeit und im Exil anschließen konnten.
Sastra setelah tahun 1945
Nach dem Ende des Zweiten Weltkrieges sprach man von einem literarischen Nullpunkt. Die „Trümmerliteratur“ beschrieb eine zusammengebrochene Welt, bald besann man sich aber darauf, versäumte Entwicklungen der Weltliteratur nachzuholen, erst jetzt, über zwanzig Jahre nach seinem Tode, wurde Franz Kafka entdeckt. In Westdeutschland formierte sich die Gruppe 47, deren lose assoziierten Mitglieder tonangebend in der Nachkriegsliteratur waren. Die Wiener Gruppe praktizierte innovative Formen der Lyrik.
Mit dem Entstehen neuer deutscher Staaten entstanden unterschiedliche Bedingungen für die Literatur. Im Folgenden werden die deutsche Literatur der BRD, der DDR, Österreichs und der Schweiz getrennt dargestellt, die Unterschiede sollten aber nicht überbewertet werden: Immerhin handelt es sich um eine gemeinsame Sprache und, mit Ausnahme der DDR, um einen gemeinsamen Markt.
Jerman Barat (Bundesrepublik Deutschland/BRD)
Unmittelbar nach 1945 wurden der Schrecken des Krieges und die Situation der Heimgekehrten dargestellt. Eine neu entdeckte Form dafür war die Kurzgeschichte, etwa von Heinrich Böll. Nach dem Einsetzen des deutschen Wirtschaftswunders, konzentrierte man sich auf die Gegenwart, so in den Romanen von Wolfgang Koeppen, Siegfried Lenz, Christine Brückner und Martin Walser. Ein wichtiger Lyriker der Zeit war Günter Eich, der auch Hörspiele schrieb, ein damals sehr populäres Genre. 1952 bis 1956 erschien Werner Riegels und Peter Rühmkorfs Zeitschrift Zwischen den Kriegen, und der dort debütierende Rühmkorf wurde zu einem einprägsamen lyrischen Autor für zwei Generationen. Konkrete Poesie stammte u. a. von Eugen Gomringer und Helmut Heißenbüttel. Günter Grass, Literaturnobelpreisträger des Jahres 1999, schrieb Die Blechtrommel, einen Schelmenroman, der die jüngere deutsche Geschichte behandelte und auch international hohes Ansehen errang.
Autoren, die sich nur schwer einer bestimmten Richtung zuordnen lassen, sind der experimentierfreudige Arno Schmidt, Uwe Johnson und der vom Nouveau roman geprägte Ror Wolf. Wolfgang Hildesheimer schrieb absurde Dramen zu einer Zeit, als die Theaterlandschaft noch immer von Bertolt Brecht geprägt war.
Ab 1962 bildete sich um die Zeitschrift pardon die Neue Frankfurter Schule mit v. a. F. W. Bernstein, Robert Gernhardt und F. K. Waechter heraus, die nicht nur als Lyriker stilistische Innovatoren wurden. Bekanntester Romancier der NFS ist Eckhard Henscheid.
Mit dem Vietnamkrieg und der 68er-Bewegung besann man sich auf das politische Gedicht (Hans Magnus Enzensberger, Erich Fried) und das politische Drama (Peter Weiss, Rolf Hochhuth). Eine dem entgegengesetzte Tendenz war die „Neue Subjektivität“, die Beschäftigung mit privaten Themen (u. a. Jürgen Theobaldy). Herausragender deutschsprachiger Pop- und Underground-Lyriker der 60er und 70er Jahre war Rolf Dieter Brinkmann.
In den 80er Jahren traten Botho Strauß (Drama) und in der Lyrik Ulla Hahn und später Durs Grünbein hervor.
Siehe auch: P.E.N.-Zentrum Deutschland
Jerman Timur (Deutsche Demokratische Republik/DDR)
Die DDR definierte sich selber als „Literaturgesellschaft“ (der Begriff stammt von Johannes R. Becher), sie kämpfte gegen die „Poesiefeindlichkeit“ des Westens und gegen die Ghettoisierung einer Hochkultur. Eine Demokratisierung sollte auf Ebene der Produktion, der Distribution und der Rezeption durchgeführt werden. Allerdings wurde durch die Zensur der Begriff der Demokratisierung ad absurdum geführt, da der Staat versuchte, die Literatur zu instrumentalisieren und für seine Zwecke, d.h., für die des Realsozialismus, zu verwenden.
Gefördert wurde eine Literatur auf der Grundlage des Sozialistischen Realismus, ein darauf aufbauender Plan wurde als „Bitterfelder Weg“ bekannt. In den 1970er Jahren lässt sich wie in der BRD eine Tendenz zur „Neuen Subjektivität“ feststellen. Viele Autoren mussten oder durften die DDR verlassen, so Wolf Biermann, Jurek Becker, Reiner Kunze, Günter Kunert, Sarah Kirsch und schon früher Peter Huchel und Uwe Johnson. Von den systemnahen Autoren sind vor allem Hermann Kant und Stephan Hermlin zu erwähnen, mehr oder weniger große Distanz zum Staat hielten Volker Braun, Christa Wolf, Heiner Müller, Irmtraud Morgner und Stefan Heym oder Wolfgang Hilbig.
Austria
Nach dem Zweiten Weltkrieg bemühten sich insbesondere die Wiener Gruppe um Gerhard Rühm und H. C. Artmann sowie Autoren wie Albert Paris Gütersloh und Heimito von Doderer um Anknüpfpunkte an die durch den Austrofaschismus und die Nazi-Zeit verschüttete moderne Tradition. Die Affinität zum Sprachspiel ist eine Konstante in der Literatur Österreichs, zu den bekannteren Vertretern gehören Ernst Jandl und Franzobel. Wichtige Lyrikerinnen waren Friederike Mayröcker und Christine Lavant.
Der Lyriker Paul Celan lebte 1947/48 einige Monate in Wien, ließ sich dann aber in Paris nieder. Erich Fried emigrierte nach Großbritannien.
Eine Blüte erlebte die Literatur in Österreich in den 60er und 70er Jahren, als mit Autoren wie Peter Handke, Ingeborg Bachmann und Thomas Bernhard die deutsche Literaturlandschaft nachhaltig verändert wurde. In dieser Tradition arbeiten auch bedeutende zeitgenössische Autoren wie beispielsweise Ruth Aspöck, Sabine Gruber, Norbert Gstrein, Elfriede Jelinek, Christoph Ransmayr, Werner Schwab und O. P. Zier.
Swiss
Anders als in Deutschland oder Österreich gab es mit 1945 keinen grundlegenden Einschnitt in der deutschen Literatur der Schweiz. Die wichtigsten Deutschschweizer Autoren sind Friedrich Dürrenmatt und Max Frisch. Beide schrieben Romane und Dramen, Frisch eher intellektuell, Dürrenmatt eher pointiert-grotesk. Weitere bekannte Schweizer Autoren, die oft im Schatten der beiden großen standen, sind etwa Peter Bichsel, Hugo Loetscher, Adolf Muschg oder Urs Widmer. Die wichtigste literarische Vereinigung der Schweiz war die bis 2002 bestehende Gruppe Olten.
Sastra-sastra Jerman di luar daerah berbahasa Jerman
In vielen Ländern mit deutschen Minderheiten sind eigene deutschsprachige Literaturen entstanden, die mehr oder weniger mit der deutschen Literatur des Binnensprachraums in Verbindung stehen, teilweise aber auch isoliert sind. Solche deutschsprachigen Auslandsliteraturen haben sich in Nordamerika (Deutschamerikanische und Deutschkanadische Literatur) entwickelt, des Weiteren in mehreren Staaten Südamerikas (Deutschbrasilianische, Deutschargentinische und Deutschchilenische Literatur). In Afrika gibt es durch die deutsche Kolonialvergangenheit und die Einwanderung deutscher Siedler im 19. und frühen 20. Jahrhundert deutschsprachige Literaturen in Namibia und Südafrika. In Europa bestehen deutschsprachige Minderheitenliteraturen unter anderem in Italien (Südtirol), Frankreich (Elsass), Belgien (Eupen-Malmedy), Dänemark (Nordschleswig), Russland (Wolgadeutsche, Russlanddeutsche) und Rumänien (Rumäniendeutsche Literatur) sowie im Baltikum die Deutschbaltische Literatur. Kennzeichen auslandsdeutscher Literatur, vor allem in Übersee, ist die Publikation literarischer Texte in Kalendern und Jahrbüchern. Eine wichtige Rolle bei der Verbreitung dieser Literaturen spielt auch die vor Ort erscheinende auslandsdeutsche Presse.
Sastra Jerman-Rumania
Der meistgelesene zeitgenössische rumäniendeutsche Autor, der in Rumänien wirkt, ist Eginald Schlattner. Mittlerweile in Deutschland schreibt die Banater Autorin Herta Müller.
Vorher wirkte Adolf Meschendörfer in der ersten Hälfte des 20. Jahrhunderts in Kronstadt.
Obwohl die meisten deutschsprachigen Menschen aus Rumänien ausgewandert sind, hat sich im Banat eine neue Literaturgruppe Die Stafette zusammengefunden, aus der neue deutschsprachige Autoren, die die Rumäniendeutsche Literatur weiterführen, hervorgehen könnten.
Sastra Jerman Masa Kini
In den 1990er Jahren erlebte die deutschsprachige Literatur einen vorübergehenden Boom an Debütantinnen und Jungautoren. Diese Erscheinungen waren zum Teil vom Buchmarkt gesteuert, der seit 1945 enorm angewachsen ist und spätestens seit 1990 so groß ist, dass selbst gute Literatur schwer über die Wahrnehmungsschwelle kommt.
Unter den Sammelbegriff Popliteratur wurde in den 1990er Jahren eine Reihe jüngerer Autoren gefasst, die sich sprachlich und ästhetisch an der Popkultur in Musik und Werbung orientierten, am bekanntesten und folgenreichsten u. a. Benjamin von Stuckrad-Barre, Alexa Hennig von Lange oder Christian Kracht (Faserland). Auch die Autoren Thomas Meinecke, Andreas Neumeister und Rainald Goetz werden mit der Popliteratur assoziiert. Insbesondere Kracht wird von der Literaturwissenschaft allerdings zunehmend in einem postmodernen Sinne verstanden und gelesen [4].
Als postmoderne Roman-Autoren deutscher Provenienz seien Oswald Wiener, Hans Wollschläger, Christoph Ransmayr, Walter Moers und Marlene Streeruwitz genannt. Aus England meldete sich W. G. Sebald zu Wort mit Aufsehen erregenden Polemiken zur deutschen Nachkriegsliteratur und die Genregrenzen von Roman, Biografie und Reiseliteratur ignorierenden oder bewusst überschreitenden Texten.
Zudem haben seit den 1990er Jahren im deutschsprachigen Raum multikulturelle Literaturen wieder an Bedeutung gewonnen; z. B. hat sich eine deutsch-türkische Literatur etabliert, deren Wurzeln in der Migrationsliteratur der 60er Jahre liegen. Als türkischstämmige Schriftsteller gehören Feridun Zaimoglu und Osman Engin heute zu den prominenten Gegenwartsautoren deutscher Sprache. Auch Vertreter anderer multikultureller Literaturen, wie Wladimir Kaminer oder Rafik Schami sind in der deutschsprachigen Gegenwartsliteratur bekannte Autoren.
Der aktuellen deutschsprachigen Literatur wird oft politische Indifferenz vorgeworfen sowie ein Kreisen um autobiografische Themen aus der Kindheit. Ein Kontrapunkt ist hier die Verleihung des Literaturnobelpreises 2004 an Elfriede Jelinek, die politisch und feministisch engagierte Literatur schreibt.
Einer der wichtigsten Lyriker seit Ende der 1980er Jahre ist neben Marcel Beyer, Durs Grünbein und Uwe Kolbe vor allem Thomas Kling (1957-2005), der mit seiner oft phonetisch orientierten Schreibweise für belebende Akzente in der deutschsprachigen Poesie gesorgt hat.
Herausragende zeitgenössische Romanautoren sind unter anderem Thomas Brussig, Dietmar Dath, Daniel Kehlmann, Wolfgang Herrndorf, Martin Mosebach, Ulrich Peltzer, Bernhard Schlink, Ingo Schulze, Uwe Tellkamp, Uwe Timm und Juli Zeh, zu den bekanntesten Dramatikern gehören Albert Ostermaier, Moritz Rinke oder Roland Schimmelpfennig.
Bentuk Sastra Jerman masa kini
Bentuk sastra yang dapat dijumpai pada sastra Jerman saat ini beserta dengan para pengarangnya misalnya:
- Roman Kriminal: Friedrich Ani, Peter Schmidt, Heinrich Steinfest
- Fiksi ilmiah / Science-Fiction: Andreas Eschbach, Frank Schätzing
Pustaka
Sejarah Sastra Jerman (dalam satu jilid)
- Beutin, Wolfgang u. a.: Deutsche Literaturgeschichte: von den Anfängen bis zur Gegenwart. Metzler, Stuttgart 1979 (7., edisi revisi 2008)ISBN 3-476-02247-1.
- Peter J. Brenner: Neue deutsche Literaturgeschichte: vom „Ackermann“ zu Günter Grass. Niemeyer, Tübingen 1996, (2., edisi diaktualisasi 2004) ISBN 3-484-10736-7.
- Gerhard Fricke u. a.: Geschichte der deutschen Literatur. 20. Auflage. Schöningh, Paderborn 1988.
- Claus Gigl: Deutsche Literaturgeschichte: Abitur-Wissen. Stark, Freising 1999.
- Hilmar Grundmann: Deutsche Literaturgeschichte für Lehrer. Heinz, Stuttgart 2001. (Stuttgarter Arbeiten zur Germanistik; 394)
- Heinrich Haerkötter: Deutsche Literaturgeschichte. 62., aktualisierte Auflage, Winkler, Darmstadt 2002.
- Fritz Martini: Deutsche Literaturgeschichte. Von den Anfängen bis zur Gegenwart. 19., edisi revisi. Kröner, Stuttgart 1991, ISBN 3-520-19619-0 (edisi lisensi KOMET-Verlag, Köln 2003, ISBN 3-89836-381-3). Karya standar.
- Helmut Nürnberger: Geschichte der deutschen Literatur. 25., edisi revisi. Bayerischer Schulbuch-Verlag, München 2006.
- Hans Gerd Rötzer: Geschichte der deutschen Literatur: Epochen, Autoren, Werke. 2., edisi revisi dan diperluas. Buchner, Bamberg 2000.
- Kurt Rothmann: Kleine Geschichte der deutschen Literatur. Edisi ke-17. Reclam, Stuttgart 2001.
- Viktor Žmegač (Hrsg.): Kleine Geschichte der deutschen Literatur. Von den Anfängen bis zur Gegenwart. Marix, Wiesbaden 2004, ISBN 3-937715-24-X.
Sejarah Sastra Jerman (dalam beberapa jilid)
Geschichte der deutschen Literatur von den Anfängen bis zur Gegenwart. Begründet von Helmut de Boor und Richard Newald. Beck, München 1971- (direncanakan 12 jilid)
- Jilid 1: Die deutsche Literatur von Karl dem Großen bis zum Beginn der höfischen Dichtung: 770-1170. 9. Aufl. bearbeitet von Herbert Kolb. Back, München 1979, ISBN 3-406-06088-9.
- Jilid 2: Die höfische Literatur: Vorbereitung, Blüte, Ausklang; 1170-1250. 11. Aufl. bearbeitet von Ursula Hennig. Beck, München 1991, ISBN 3-406-35132-8.
- Jilid 3: Die deutsche Literatur im späten Mittelalter.
- Bagian 1: Zerfall und Neubeginn: 1250-1350. 5., neubearbeitete Auflage, neubearbeitet von Johannes Janota. Beck, München 1997, ISBN 3-406-40378-6.
- Bagian 2: Reimpaargedichte, Drama, Prosa. Herausgegeben von Ingeborg Glier. Beck, München 1987, ISBN 3-406-00713-9.
- Jilid 4: Die deutsche Literatur vom späten Mittelalter bis zum Barock.
- Bagian 1: Das ausgehende Mittelalter, Humanismus und Renaissance: 1370-1520, 2. Aufl. Neubearb. von Hedwig Heger, Beck, München 1994, ISBN 3-406-37898-6.
- Bagian 2: Das Zeitalter der Reformation: 1520-1570. Bearbeitet von Hans Rupprich. Beck, München 1973, ISBN 3-406-00717-1.
- Jilid 5: Die deutsche Literatur vom Späthumanismus zur Empfindsamkeit: 1570–1750. Unveränderter Nachdruck der 6., verbesserten Auflage. Mit einem bibliographischen Anhang. Beck, München 1975, ISBN 3-406-00721-X.
- Jilid 6: Von Klopstock bis zu Goethes Tod.
- Bagian 1: Aufklärung, Sturm und Drang, frühe Klassik: 1740-1789. Von Sven Aage Jørgensen; Klaus Bohnen; Per Øhrgaard. Beck, München 1990, ISBN 3-406-34573-5. (Sonderausgabe 1999. Früher unter dem Titel: Richard Newald: Ende der Aufklärung und Vorbereitung der Klassik. Später auch unter dem Titel: Sven AgeJørgensen: Aufklärung, Sturm und Drang, Frühe Klassik.)
- Jilid 7: Die deutsche Literatur zwischen Französischer Revolution und Restauration.
- Bagian 1: Das Zeitalter der Französischen Revolution: 1789-1806. 2., neubearbeitete Auflage, bearbeitet von Gerhard Schulz. Beck, München 2000, ISBN 3-406-46700-8.
- Bagian 2: Das Zeitalter der Napoleonischen Kriege und der Restauration: 1806-1830. Bearbeitet von Gerhard Schulz. Beck, München 1989, ISBN 3-406-09399-X.
- Jilid 9: Geschichte der deutschsprachigen Literatur.
- Bagian 1: 1870-1900: von der Reichsgründung bis zur Jahrhundertwende. Bearbeitet von Peter Sprengel. Beck, München 1998, ISBN 3-406-44104-1.
- Bagian 2: 1900-1918: von der Jahrhundertwende bis zum Ende des Ersten Weltkriegs. Bearbeitet von Peter Sprengel. Beck, München 2004, ISBN 3-406-52178-9.
- Jilid 12: Geschichte der deutschen Literatur von 1945 bis zur Gegenwart. Herausgegeben von Wilfried Barner. Beck, München 1994, ISBN 3-406-38660-1.
Sejarah Sastra Jerman dengan teks-teks primer
- Die deutsche Literatur. Ein Abriss in Text und Darstellung. Reclam, Stuttgart 2000, ISBN 3-15-030022-3 (Insgesamt 17, auch einzeln erhältliche Bände zu verschiedenen Epochen).
Buku-buku lainnya
- Gunter E. Grimm, Frank Rainer Max (Hrsg.): Leben und Werk deutschsprachiger Autoren vom Mittelalter bis zur Gegenwart. Reclam 1993. ISBN 3-15-010388-6.
(Auch in Einzelausgaben zu verschiedenen Epochen erhältlich.) - Kürschners Deutscher Literatur-Kalender 2 Teilbde., Saur Verlag: München (65. Jahrgang) 2006/07 ISBN 3-598-23591-7. Mit biographischen Daten, Adresse, Mitgliedschaften und literarischen Preise von 12.011 lebenden Verfasserinnen und Verfassern schöngeistiger Literatur in deutscher Sprache sowie 165.000 Veröffentlichungen.
- Horst Dieter Schlosser: dtv-Atlas Deutsche Literatur. Illustriert von Uwe Goede. dtv 3219, München 2002, ISBN 978-3-423-03219-3.
- Wulf Segebrecht: Was sollen Germanisten lesen? Ein Vorschlag. 3., neu bearbeitete und erweiterte Auflage, Schmidt, Berlin 2006, ISBN 978-3-503-09806-4.
Referensi
- ^ Vgl. Gert Hübner: Ältere deutsche Literatur. Eine Einführung. A. Francke Verlag, Tübingen und Basel, 2006 S.40.
- ^ Bengt Algot Sørensen: Geschichte der deutschen Literatur 2. Vom 19. Jahrhundert bis zur Gegenwart. 2002, S.220.
- ^ Barbara Baumann und Birgitta Oberle: Deutsche Literatur in Epochen. 1985, S.205.
- ^ Drügh, H. (2007) ‘... und ich war glücklich darüber, endlich seriously abzunehmen’: Christian Krachts Roman 1979 als Ende der Popliteratur? Wirkendes Wort Deutsche Sprache und Literatur in Forschung und Lehre: 1.
Pranala luar
- Teks-teks Primer dalam Projekt Gutenberg-DE
- Teks-teks Primer dalam Project Gutenberg
- Teks-teks Primer dalam „Sozialistischen Archiv für Belletristik“ - dengan teks lengkap
- Daftar sastrawan-sastrawan Jerman dengan biografi dan karya-karya
- Sejarah Sastra Jerman dalam Satu Jam dalam Projekt Gutenberg-DE