Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah atau Ahlus-Sunnah wal Jama'ah (Bahasa Arab: أهل السنة والجماعة) atau lebih sering disingkat Ahlul-Sunnah (bahasa Arab: أهل السنة) atau Sunni.Ahlussunnah adalah mereka yang senantiasa tegak di atas Islam berdasarkan Al Qur'an dan hadits yang shahih dengan pemahaman para sahabat, tabi'in, dan tabi'ut tabi'in. [1]. Sekitar 90% umat Muslim sedunia merupakan kaum Sunni, dan ±10% menganut aliran Syi'ah

Terminologi

Ahlus Sunnah adalah orang-orang yang mengikuti sunnah dan berpegang teguh dengannya dalam seluruh perkara yang Rasulullah berada di atasnya dan juga para sahabatnya. Oleh karena itu Ahlus Sunnah yang sebenarnya adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan orang-orang yang mengikuti mereka sampai hari kiamat.

Imam Ibnu Hazm berkata dalam kitabnya :

"Ahlus Sunnah adalah Ahlul Haq sedangkan yang selain mereka adalah ahlul bid’ah. Sesungguhnya mereka (Ahlus Sunnah) adalah para sahabat radliyallahu 'anhum dan orang-orang yang berjalan di atas manhaj mereka dari kalangan para tabi'in yang mendapatkan rahmat Allah atas mereka kemudian para Ashhabul Hadits dan orang yang mengikuti mereka dari para fuqaha, generasi demi generasi sampai masa kita sekarang ini. Demikian pula orang-orang yang mencontoh mereka dari orang-orang awam di bagian Timur dan Barat bumi ini. Semoga Allah melimpahkan rahmatnya atas mereka."[2]

Adapun sebab penamaan mereka dengan Ahlus Sunnah adalah sebagaimana yang telah disebutkan Ibnu Taimiyah dengan perkataannya :

"Hanya saja mereka dinamakan dengan Ahlus Sunnah karena mereka mengikuti sunnah beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.”[3]

Hal yang sama juga diucapkan oleh Abu Mudhaffar Al Isfirayini :

"Tidak ada pada kelompok-kelompok yang ada pada umat ini (orang) yang paling banyak mengikuti khabar-khabar dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan sunnahnya di antara mereka melainkan mereka dinamakan Ahlus Sunnah."[4]

Sejarah

Fitnah di tubuh Islam

Fitnah pada saat wafatnya Rasulullah Muhammad

Ketika Rasulullah Muhammad SAW wafat, maka terjadilah kesalahpahaman antara golongan Muhajirin dan Anshar siapa yang selanjutnya menjadi pemimpin kaum muslimin. Para sahabat melihat hal ini akan mengakibatkan perang saudara antar kaum muslimin muhajirin dan anshor. Setelah masing-masing mengajukan delegasi untuk menentukkan siapa Khalifah pengganti Rasulullah. Akhirnya disepakati oleh kaum muslimin untuk mengangkat Abu Bakar sebagai Khalifah karena memang tidak ada manusia yang terbaik setelah Rasulullah selain Abu Bakar.

Fitnah masa khalifah ke-3

Pada masa kekhalifahan ke-3, Utsman bin Affan, terjadi fitnah yang cukup serius di tubuh Islam pada saat itu, yang mengakibatkan terbunuhnya Khalifah Utsman. Pembunuhnya ialah suatu rombongan delegasi syi'ah yang didirikan oleh Abdullah bin Saba' dari Mesir yang hendak memberontak kepada Khalifah dan hendak membunuhnya. Abdullah bin Saba' berhasil membangun pemahaman yang sesat untuk mengadu domba umat Islam untuk menghancurkan Islam dari dalam. Kemudian masyarakat banyak saat itu, terutama disponsori oleh para bekas pelaku pembunuhan terhadap Utsman, berhasil membunuh beliau dengan sadis ketika beliau sedang membaca Qur'an.

Fitnah masa khalifah ke-4

Segera setelah bai'at Khalifah Ali mengalami kesulitan bertubi-tubi, pertama berasal dari janda Rasulullah SAW, Aisyah, yang bersama dengan Thalhah dan Zubair melancarkan pemberontakan dan perang yang kemudian disebut dengan Perang Jamal atau Perang Unta. Dan kemudian pemberontakan yang dilakukan oleh Muawiyah yang diangkat oleh Utsman sebagai Gubernur di Syam, mengakibatkan terjadinya Perang Shiffin. Dimana walaupun secara militer Ali menang, tetapi secara diplomatik Ali kalah. Kemudian terjadi perpecahan di pihak Ali, dimana terjadi pembelotan oleh Golongan Khawarij (Pembelot). Sedangkan golongan yang mengikuti Ali disebut Syi'ah Ali (pengikut Ali).

Tahun Jama'ah

Kaum Khawarij ingin mengembalikan masalah kekhalifahan kepada rakyat banyak, melalui pemilihan. Tapi terhalang oleh Ali dan Muawiyah, sehingga mereka merencanakan untuk membunuh keduanya. Ibnu Muljam dari Khawarij berhasil membunuh Khalifah Ali pada saat khalifah mengimami shalat subuh di Kufah, tapi tidak terhadap Muawiyah karena dijaga ketat. Bahkan Muawiyah berhasil mengkonsolidasikan diri dan umat Islam, berkat kecakapan politik dan ketegaran kepemimpinannya. Karena trauma oleh berbagai pertumpahan darah, kaum muslim secara pragmatis dan realistis mendukung kekuasaan de facto Muawiyah. Maka tahun itu, tahun 41 Hijriyah, secara khusus disebut tahun persatuan ('am al-jama'ah).

Sunnah Madinah

Berbagai pertumpahan darah tersebut kemudian menjadi trauma yang menjurus kepada sikap netral dalam beragama, khususnya bagi warga Madinah, yang dipelopori oleh Abdullah bin Umar. Mereka mendalami agama berdasarkan Al-Qur'an, dan memperhatikan serta ingin mempertahankan tradisi (Sunnah) pendudukan Madinah. Tradisi kota Nabi itu dipandang sebagai kelanjutan langsung tradisi yang tumbuh pada zaman Nabi. Kaum netralis ini ditenggang oleh penguasa Bani Umayyah, meskipun mereka juga sering melakukan oposisi moral dengan rezim Damaskus. Maka terjadi proses penggabungan dan penyatuan golongan Jama'ah (para pendukung Muawiyah) dan golongan Sunnah (para netralis politik di Madinah), yang kelak melahirkan Golongan Sunnah dan Jama'ah (Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah). Mereka tumbuh dengan doktrin-doktrin tersendiri (berbeda dengan yang lain seperti Khawarij dan Syi'ah) yang berkembang selama beberapa abad, sampai tuntasnya masalah pembukuan hadis sebagai wujud nyata Sunnah pada sekitar akhir abad ke-3 hijriyah. Saat itu, lengkap sudah kodifikasi hadis dan menghasilkan al-Kutub al-Sittah (Buku Yang Enam) yakni oleh al-Bukhari (w. 256 H), Muslim (w. 261 H), Ibnu Majah (w. 273 H), Abu Dawud (w. 275), al-Turmudzi (w. 279 H), dan al-Nasa'i (w. 303 H).

Perkembangannya kemudian

Ahlus-Sunnah pada masa kekuasaan Bani Umayyah masih dalam keadaan mencari bentuk, hal ini dapat dilihat dengan perkembangan empat mazhab yang ada di tubuh Sunni. Abu Hanifah, pendiri Mazhab Hanafi, hidup pada masa perkembangan awal kekuasaan Bani Abbasiyah.

Mazhab / aliran Fikih

Terdapat empat mazhab yang paling banyak diikuti oleh Muslim Sunni. Di dalam keyakinan sunni empat mazhab yang mereka miliki valid untuk diikuti, perbedaan yang ada pada setiap mazhab tidak bersifat fundamental. Perbedaan mazhab bukan pada hal Aqidah (pokok keimanan)tapi lebih pada tata cara ibadah.

Hanafi

Didirikan oleh Imam Abu Hanifah, Mazhab Hanafi adalah yang paling dominan di dunia Islam (sekitar 45%), penganutnya banyak terdapat di Asia Selatan (Pakistan, India, Bangladesh, Sri Lanka, dan Maladewa), Mesir bagian Utara, separuh Irak, Syria, Libanon dan Palestina (campuran Syafi'i dan Hanafi), Kaukasia (Chechnya, Dagestan).[butuh rujukan]

Maliki

Didirikan oleh Imam Malik, diikuti oleh sekitar 25% muslim di seluruh dunia. Mazhab ini dominan di negara-negara Afrika Barat dan Utara.[butuh rujukan] Mazhab ini memiliki keunikan dengan menyodorkan tatacara hidup penduduk madinah sebagai sumber hukum karena Nabi Muhammad hijrah, hidup dan meninggal di sana dan terkadang kedudukannya dianggap lebih tinggi dari hadits.

Syafi'i

Dinisbatkan kepada Imam Syafi'i memiliki penganut sekitar 28% muslim di dunia. Pengikutnya tersebar di Turki, Irak, Syria, Iran, Mesir, Somalia, Yaman, Indonesia, Thailand, Singapura, Filipina, Sri Lanka dan menjadi mazhab resmi negara Malaysia dan Brunei.[butuh rujukan]

Hambali

Dimulai oleh para murid Imam Ahmad bin Hambal. Mazhab ini diikuti oleh sekitar 5% muslim di dunia dan dominan di daerah semenanjung Arab. Mazhab ini merupakan mazhab yang saat ini dianut di Saudi Arabia.[butuh rujukan]

Tradisi keagamaan


Pandangan Sunni mengenai Hadits


Referensi

  1. ^ Makalah Dr. Nurcholish Madjid pada Seminar Sehari Sunnah Syi'ah, diselenggarakan oleh Korps Mahasiswa Penghafal dan Pengkaji Al-Qur'an (KOMPPAQ) Keluarga Jawa Barat di Jakarta, bertempat di Wisma Sejahtera, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tanggal 8 September 1987, yang kemudian dijadikan kata pengantar dalam buku Awal dan Sejarah Perkembangan Islam: Dari Saqifah sampai Imamah, oleh Sayyid Husain M. Jafri, Pustaka Hidayah, Bandung: 1995
  2. ^ Al Fashl 2/107
  3. ^ Al Muntaqa halaman 190
  4. ^ At Tafshir Fiddin oleh Al Isfirayini halaman 167

Lihat pula

Pranala luar