Isis atau Aset (bahasa Yunani Kuno: Ἶσις) adalah dewi dalam kepercayaan Mesir Kuno. Ia dipuja sebagai ibu dan istri yang ideal, dan juga sebagai ibu alam dan sihir. Isis merupakan sahabat bagi para budak, pendosa, tukang, dan orang yang tertekan. Ia juga mendengarkan doa-doa orang kaya, aristokrat, dan penguasa.[2] Isis umumnya digambarkan sebagai ibu kandung Horus, dewa perang berkepala burung (walaupun menurut beberapa tradisi ibu kandung Horus adalah Hathor). Isis juga dikenal sebagai pelindung orang mati dan dewi anak-anak.

Isis
Hieroglif
Q1X1
H8
B1
[1]
Pusat pemujaanPhilae, Abydos

Di atas kepala Isis, terdapat sebuah mahkota berbentuk tahta. Maka ia merupakan representasi tahta firaun. Firaun digambarkan sebagai putranya, yang duduk di tahta yang diberikan Isis. Kultus Isis sendiri populer di Mesir Kuno. Kuil Isis yang paling penting terletak di Behbeit El-Hagar, delta sungai Nil, serta di pulau Philae, Mesir Hulu, semenjak masa kekuasaan Nectanebo I (380–362 SM).

Isis merupakan putri pertama Geb, dewa Bumi, dan Nut, dewi langit. Isis dilahirkan pada hari kabisat keempat. Ia menikahi saudara laki-lakinya, Osiris, dan mengandung Horus darinya. Isis berperan penting dalam kebangkitkan kembali Osiris setelah Osiris dibunuh oleh Set. Dengan menggunakan kemampuan sihirnya, ia berhasil mengembalikan anggota-anggota tubuh Osiris yang sebelumnya terpencar-pencar.[3]

Mitos ini menjadi sangat penting pada periode Yunani-Romawi. Misalnya, Sungai Nil diyakini banjir setiap tahun karena Isis menangisi kematian Osiris. Kematian dan kelahiran kembali Osiris dihidupkan kembali melalui ritual. Pemujaan Isis pada akhirnya menyebar di Yunani-Romawi, dan terus berlanjut hingga paganisme ditindas pada masa Kekristenan.[4]

Di Mesir dan Nubia

Nama dan asal usul

Meskipun beberapa dewa-dewi Mesir sudah muncul pada akhir Periode Pra-dinasti (sebelum sekitar tahun 3100 SM), Isis dan suaminya Osiris tidak pernah disebutkan secara jelas sebelum masa Dinasti Kelima (s. 2494–2345 SM).[5][6] Sebuah inskripsi yang merujuk kepada Isis berasal dari masa pemerintahan Nyuserre Ini pada periode tersebut,[7] dan tampak menonjol dalam Teks Piramida, yang mulai ditulis pada akhir zaman dinasti tersebut dan memiliki isi yang telah dikembangkan pada masa sebelumnya.[8] Beberapa bagian dalam Teks Piramida mengaitkan Isis dengan wilayah Delta Nil di dekat Behbeit el-Hagar dan Sebennytos, sehingga daerah ini mungkin merupakan daerah asal Isis dan kultus terhadapnya.[9][Note 1]

Banyak ahli yang memusatkan perhatian pada nama Isis dalam upaya menentukan asal usulnya. Nama Mesir-nya adalah ꜣst atau Aset, yang menghasilkan bentuk Koptiknya ⲎⲤⲈ (Ēse) dan nama Yunani-nya Ἶσις (Isis; Yunani Kuno: [îːsis]), yang menjadi dasar nama modernnya. Nama hieroglifnya menggunakan tanda sebuah takhta, yang juga dikenakan di kepala Isis sebagai tanda identitasnya. Simbol tersebut berfungsi sebagai fonogram, dibaca dengan pelafalan st pada namanya, tetapi mungkin memang memiliki kaitan dengan takhta. Istilah Mesir untuk takhta juga disebut st dan mungkin memiliki etimologi yang sama dengan nama Isis. Maka dari itu, ahli Mesir Kuno Kurt Sethe berkeyakinan bahwa Isis awalnya adalah personifikasi takhta.[14] Henri Frankfort setuju dan meyakini bahwa takhta dianggap sebagai ibu firaun, sehingga juga merupakan seorang dewi karena memiliki kekuatan untuk menjadikan seorang pria sebagai firaun.[15] Ahli-ahli yang lain, seperti Jürgen Osing dan Klaus P. Kuhlmann, meragukan penafsiran tersebut akibat ketidaksamaan nama Isis dengan kata yang berarti takhta[14] atau karena kurangnya bukti yang menunjukkan bahwa takhta pernah didewikan.[16]

Peranan

Serangkaian mitos seputar kematian dan kebangkitan Osiris mula-mula dicatat dalam Teks Piramida dan berkembang menjadi mitos Mesir yang paling rumit dan berpengaruh.[17] Isis memainkan peran yang lebih aktif dalam mitos tersebut ketimbang tokoh-tokoh utama lainnya, dan saat sastra Mesir Kuno mengalami perkembangan dari masa Kerajaan Baru (s. 1550–1070 SM) sampai Periode Ptolemaik (305–30 SM), ia menjadi tokoh yang paling kompleks dari antara seluruh dewa-dewi Mesir.[18] Pada waktu yang bersamaan, ia memperoleh ciri khas dewi-dewi lainnya, sehingga pengaruhnya menjadi jauh lebih besar daripada sekadar tokoh di dalam mitos Osiris.[19]

Istri yang berkabung

 
Pahatan seorang wanita, mungkin Isis saat sedang berkabung. Pahatan ini berasal dari abad ke-15 atau ke-14 SM

Isis adalah bagian dari Ennead dari Heliopolis, yaitu sebuah keluarga yang terdiri dari sembilan dewa yang merupakan keturunan dewa pencipta, Atum atau Ra. Ia dan saudara-saudaranya (yaitu Osiris, Set, dan Nephthys) adalah generasi terakhir Ennead yang lahir dari pasangan Geb, dewa bumi, dan Nut, dewi langit. Dewa pencipta yang merupakan penguasa dunia yang pertama menyerahkan kekuasaannya kepada keturunan laki-laki Ennead, sehingga Osiris-lah yang menjadi raja. Isis, yang menjadi istri Osiris sekaligus saudarinya, adalah ratunya.[20]

Set membunuh Osiris dan, dalam beberapa versi ceritanya, memotong-motong jasadnya. Isis dan Nephthys, bersama dengan dewa-dewi lainnya seperti Anubis, mencari potongan-potongan jasad Osiris dan menyatukannya kembali. Upaya mereka ini merupakan purwarupa mumifikasi dan praktik pemakaman Mesir kuno lainnya.[21] Menurut beberapa teks, mereka juga harus melindungi jasad Osiris dari penistaan yang dilakukan Set atau para hambanya.[22] Isis adalah lambang seorang janda yang berkabung. Rasa cinta dan kesedihan Isis dan Nephthys membantu membangkitkan kembali Osiris, dan begitu pula mantra sihir yang diucapkan oleh Isis.[23] Teks-teks pemakaman berisi ucapan-ucapan Isis yang mengungkapkan kesedihan atas kematian Osiris, hasrat seksual terhadapnya, dan bahkan rasa murka karena Isis merasa bahwa Osiris telah meninggalkannya. Perasaan-perasaan ini memiliki peranan dalam mewujudkan kebangkitan Osiris, karena perasaan-perasaan tersebut dimaksudkan untuk membuat Osiris bertindak.[24] Pada akhirnya, Isis mengembalikan nyawa ke dalam jasad Osiris dan bersetubuh dengannya, sehingga Isis melahirkan seorang putra bernama Horus.[21] Mulai saat itu, Osiris hanya tinggal di Duat, atau dunia bawah tanah. Namun, dengan berhasil melahirkan seorang putra dan pewaris untuk membalas kematiannya dan melakukan upacara pemakaman untuknya, Isis telah memastikan bahwa suaminya dapat bertahan di akhirat.[25]

Peran Isis dalam kepercayaan akhirat didasarkan pada mitos tersebut. Ia membantu memulihkan jiwa-jiwa manusia yang sudah meninggal menjadi utuh kembali seperti yang telah ia lakukan untuk Osiris. Seperti dewi-dewi lainnya (contohnya adalah Hathor), ia juga berperan sebagai ibu orang yang sudah meninggal dan memberikan perlindungan dan makanan.[26] Maka dari itu, seperti halnya dewi Hathor, terkadang ia mengambil wujud Imentet, dewi barat, yang menyambut jiwa orang mati ke kehidupan setelah kematian sebagai anaknya.[27] Namun, dalam sejarah Mesir pada umumnya, dewa laki-laki seperti Osiris diyakini memegang kekuatan regenerasi, termasuk kemampuan seksual, yang penting untuk proses kelahiran kembali. Isis dianggap hanya membantu merangsang kekuatan tersebut.[26] Kekuatan dewi baru menjadi semakin penting dalam kepercayaan akhirat pada zaman Kerajaan Baru akhir.[28] Berbagai teks pemakaman Ptolemaik menegaskan bahwa Isis berperan aktif dalam kelahiran Horus dengan merangsang suaminya yang tidak bergerak,[29] dan beberapa hiasan makam dari zaman Romawi di Mesir menggambarkan Isis sebagai dewi yang memiliki peranan utama di akhirat.[30] Selain itu, sebuah teks pemakaman dari zaman yang sama menunjukkan bahwa kaum wanita dianggap dapat bergabung dengan rombongan Isis dan Nephthys di akhirat.[31]

Seorang ibu

 
Isis menyusu Horus. Karya seni ini dibuat pada abad ketujuh SM.

Isis dianggap sebagai ibu Horus bahkan dalam salinan-salinan Teks Piramida yang paling pertama.[32] Namun, terdapat kemungkinan bahwa Hathor-lah yang awalnya dianggap sebagai ibu Horus,[33] dan tradisi lain menjadikan Horus yang berwujud lebih tua sebagai putra Nut dan saudara kandung Isis dan Osiris.[34] Isis mungkin baru dijadikan ibu Horus saat mitos Osiris mulai terbentuk pada masa Kerajaan Lama,[33] tetapi berkat ikatan ini Isis dipandang sebagai lambang pengabdian seorang ibu.[35]

Menurut versi mitos yang telah dikembangkan, Isis melahirkan Horus, setelah hamil panjang dan proses kelahiran yang sulit, di semak belukar papirus di Delta Nil. Saat Horus tumbuh besar, Isis harus melindunginya dari Set dan mara bahaya lainnya, seperti ular, kalajengking, dan penyakit.[36] Dalam beberapa teks, Isis mengunjungi dunia manusia dan harus meminta pertolongan mereka. Menurut salah satu cerita semacam itu, tujuh dewa kalajengking kecil ikut dengannya dan menjaganya. Mereka membalas dendam kepada seorang wanita kaya yang menolak untuk membantu Isis dengan menyengat putra wanita tersebut, sehingga Isis harus menyembuhkan si anak yang tak bersalah.[37] Reputasi Isis sebagai seorang dewi yang penuh kasih sayang yang mau meringankan penderitaan manusia menjadikannya sebagai seorang dewi yang sangat menarik khalayak umum.[38]

Isis terus menemani putranya saat ia menantang Set untuk memperebutkan klaim jabatan raja yang direbut oleh Set,[39] meskipun ibu dan anak tersebut terkadang digambarkan saling berseteru, seperti saat Horus memenggal Isis dan Isis lalu mengganti kepalanya dengan kepala seekor sapi—yang menjadi mitos asal muasal tanduk sapi yang dikenakan oleh Isis.[40]

Aspek keibuan Isis juga timbul pada dewa-dewa lainnya. Teks Peti Mati dari Kerajaan Pertengahan (s. 2055–1650 SM) menuliskan bahwa Empat Putra Horus, para dewa pemakaman yang dianggap melindungi organ dalam orang mati, adalah keturunan Isis dan Horus yang berwujud lebih tua.[41] Pada masa yang sama, Horus disinkretkan dengan dewa kesuburan Min, sehingga Isis dianggap sebagai ibu Min.[42] Salah satu wujud Min yang dikenal sebagai Kamutef, "kerbau dari ibunya", yang melambangkan putaran regenerasi para dewa dan raja, dikatakan telah menghamili ibunya untuk melahirkan dirinya sendiri.[43] Maka dari itu, Isis juga dianggap sebagai pasangan dari dewa Min.[44] Ideologi yang sama mengenai jabatan raja mungkin berada di balik tradisi yang ditemukan dalam beberapa teks bahwa Horus telah memerkosa Isis.[45][46] Amun, dewa utama Mesir pada zaman Kerajaan Menengah dan Baru, juga berperan sebagai Kamutef, dan saat ia berwujud seperti itu, Isis seringkali menjadi pasangannya.[44] Apis, seekor kerbau yang disembah sebagai dewa hidup di Memphis, konon merupakan putra Isis, dan ayahnya adalah salah satu perwujudan Osiris yang dikenal sebagai Osiris-Apis. Ibu setiap kerbau Apis kemudian dikenal sebagai "sapi Isis".[47]

Sebuah cerita dalam Papirus Westcar dari Kerajaan Pertengahan berisi tentang Isis di antara sekelompok dewi yang menjadi bidan pada saat kelahiran tiga raja yang akan datang.[48] Isis memiliki peranan yang serupa di dalam teks Kerajaan Baru yang mendeskripsikan kelahiran para firaun.[49]

Dalam Papirus Westcar, Isis menyebutkan nama tiga anak-anak itu saat mereka lahir. Barbara S. Lesko memandang cerita tersebut sebagai pertanda bahwa Isis memiliki kekuatan untuk memprediksi atau mempengaruhi peristiwa masa depan, seperti halnya dewi-dewi lain yang mengawasi proses kelahiran,[48] seperti Shai dan Renenutet.[50] Teks-teks dari masa selanjutnya secara eksplisit menyebut Isis sebagai "nyonya kehidupan, penguasa nasib dan takdir"[48] dan mengindikasikan bahwa ia memiliki kendali atas Shai dan Renenutet, selayaknya dewa besar lainnya seperti Amun pada masa-masa sebelumnya dalam sejarah Mesir. Dengan memerintah dewi-dewi tersebut, Isis dapat menentukan panjang dan kualitas kehidupan manusia.[50]

Dewi firaun dan perlindungan kerajaan

 
Isis memangku firaun Seti I pada abad ke-13 SM.

Horus disamakan dengan setiap firaun yang masih hidup dan Osiris dengan para pendahulunya yang sudah almarhum. Maka dari itu, Isis adalah ibu dan istri para firaun dari sudut pandang mitologis. Dalam Teks Piramida, peran utamanya untuk firaun adalah sebagai salah satu dewi yang melindungi dan membantunya di akhirat. Pengaruhnya dalam ideologi kerajaan berkembang pada zaman Kerajaan Baru.[51] Ukiran-ukiran di kuil dari zaman tersebut menunjukkan bahwa firaun sedang disusui oleh Isis; susunya tak hanya menyembuhkan anaknya, tetapi juga melambangkan hak ilahi untuk berkuasa.[52] Ideologi kerajaan juga semakin menegaskan pentingnya para ratu sebagai rekan duniawi para dewi dengan menjadi istri firaun dan ibu pewarisnya. Pada mulanya, sosok dewi yang paling penting adalah Hathor, dan bahkan atribut Hathor dalam seni juga menjadi atribut mahkota ratu. Namun, , Isis kemudian juga memiliki ikatan mitologis dengan ratu di dunia manusia, sehingga Isis diberi gelar dan tanda kerajaan yang sama dengan sang ratu.[53]

Tindakan Isis dalam melindungi Osiris dari Set menjadi bagian dari sifatnya yang lebih suka berperang.[54] Teks-teks Kerajaan Baru menggambarkan Isis dalam kapal Ra saat ia berlayar di dunia bawah tanah, dan bertindak sebagai salah satu dari beberapa dewa-dewi yang menundukkan musuh besar Ra, Apep.[55] Para firaun juga memohon kekuatan perlindungan ajaib Isis untuk melawan musuh-musuh di dunia. Di kuil Isis dari masa Ptolemaik di Philae, yang berada di dekat perbatasan dengan wilayah suku bangsa Nubia yang pernah menyerang Mesir, Isis digambarkan sebagai pelindung seluruh negara, lebih kuat daripada "jutaan prajurit", dan juga mendukung para firaun dari Dinasti Ptolemaik dan kaisar Romawi dalam upaya mereka untuk menundukkan musuh-musuh Mesir.[54]

Dewi sihir dan kebijaksanaan

Isis juga dikenal akan kecerdikan dan kekuatan sihirnya, yang membuatnya mampu membangkitkan Osiris dan melindungi dan menyembuhkan Horus.[56] Berkat pengetahuan sihirnya, ia dikatakan "lebih cerdas ketimbang sejuta dewa".[57][58] Dalam beberapa bagian dari cerita zaman Kerajaan Baru "Persaingan Horus dan Set", Isis menggunakan kemampuan tersebut untuk mengakali Set pada masa ketika Set berseturu dengan Horus. Pada suatu kejadian, ia berubah menjadi seorang wanita muda yang memberitahu Set bahwa ia terlibat dalam sengketa warisan yang mirip dengan kasus Set yang merampas tahta Osiris. Saat Set menyatakan bahwa yang dialami oleh wanita tersebut merupakan sebuah ketidakadilan, Isis mengejeknya dan berkata bahwa Set telah menghakimi tindakannya sebagai tindakan yang salah.[58] Dalam teks-teks berikutnya, ia menggunakan kemampuan berubah wujudnya untuk bertarung dan menghancurkan Set dan para pengikutnya.[59]

Beberapa cerita tentang Isis muncul sebagai historiolae, yaitu prolog teks-teks sihir yang mendeskripsikan peristiwa-peristiwa mitos terkait dengan apa yang ingin dicapai oleh suatu mantra.[18] Dalam salah satu mantra, Isis menciptakan seekor ular yang menggigit Ra (yang lebih tua dan besar dari Isis), dan racunnya membuat Ra sakit. Isis hanya akan memberikan obatnya jika Ra memberitahukan nama aslinya yang dirahasiakan (dan orang yang mengetahui nama asli Ra akan memperoleh kekuatan yang tak tertandingi). Ra akhirnya terpaksa memberitahu nama aslinya, dan kemudian Isis memberitahukan nama tersebut kepada Horus dan memperkuat wewenang kerajaannya.[58] Cerita tersebut mungkin dimaksudkan sebagai penjelasan mengapa kemampuan sihir Isis melampaui dewa-dewi lainnya, namun ia memakai sihir tersebut untuk menundukkan Ra, sehingga cerita tersebutnya tampaknya sudah mengasumsikan bahwa Isis memiliki kemampuan semacam itu sebelum mengetahui nama asli Ra.[60]

Dewi langit

Banyak peran yang dimiliki oleh Isis yang berkaitan dengan langit.[61] Beberapa bagian dari Teks Piramida mengaitkan Isis dengan Sopdet. Sopdet adalah seorang dewi yang melambangkan bintang Sirius. Ia menjalin hubungan dengan suaminya, dewa Sah, yang merupakan lambang rasi bintang Orion, dan mereka memiliki seorang putra yang bernama Sopdu. Hubungan ini serupa dengan hubungan Isis dengan Osiris dan Horus. Terbitnya bintang Sirius seperti matahari sebelum dimulainya banjir Sungai Nil menghasilkan hubungan yang kuat antara Sopdet dengan banjir dan pertumbuhan benih yang dihasilkan.[62] Isis juga dikaitkan dengan banjir salah satunya akibat hubungannya dengan Sopdet,[63] walaupun banjir kadang-kadang dianggap sebagai air mata yang ditumpahkan oleh Isis untuk Osiris.[64] Pada zaman Ptolemaik, Isis dikaitkan dengan hujan yang disebut "Sungai Nil di langit" oleh teks-teks Mesir. Isis juga dikaitkan dengan matahari yang berfungsi sebagai pelindung kapal Ra,[65] dan juga dengan bulan, kemungkinan karena ia dihubungkan dengan dewi bulan Yunani Artemis melalui hubungan keduanya dengan dewi kesuburan Mesir, Bastet.[66] Dalam himne yang ditulis di Philae, ia disebut "Bunda Surgawi" yang menguasai langit seperti Osiris yang mengendalikan Duat dan Horus yang bertahta di bumi.[67]

Dewi alam semesta

Pada zaman Ptolemaik, lingkup pengaruh Isis dapat mencakup seluruh alam semesta.[67] Sebagai dewi yang melindungi Mesir dan mendukung firaun-firaunnya, ia berkuasa atas segala bangsa, dan sebagai pemberi hujan, ia menghidupkan dunia.[68] Himne Philae yang awalnya menyebutnya sebagai penguasa langit kemudian memperluas lingkup kekuasaannya, sehingga pada puncaknya, Isis berkuasa atas langit, bumi dan Duat. Kekuasaannya atas alam dikatakan dapat memelihara manusia, orang mati yang terberkati, dan para dewa.[67] Himne-himne berbahasa Yunani lainnya yang berasal dari Mesir pada masa Ptolemaik menyebutnya sebagai "esensi yang indah dari segala dewa".[69] Sepanjang sejarah Mesir, banyak dewa, baik yang besar maupun kecil, yang digambarkan dengan istilah kebesaran yang serupa. Amun sangat sering dideskripsikan seperti ini pada zaman Kerajaan Baru, sementara di Mesir Romawi, istilah semacam itu cenderung diberikan kepada Isis.[70] Teks-teks semacam itu tak menyangkal keberadaan dewa lain, tetapi menganggap mereka sebagai aspek-aspek dari dewi tertinggi, dan teologi semacam ini terkadang disebut "summodeisme".[71]

Pada Periode Akhir, Ptolemaik dan Romawi, banyak kuil yang memiliki mitos penciptaan yang mengadaptasi gagasan yang sudah ada sejak lama dan memberikan peran-peran utama kepada para dewa setempat.[72] Di Philae, Isis dideskripsikan sebagai pencipta sebagaimana teks-teks yang lebih tua membahas karya dewa Ptah.[67] Ptah dikatakan merancang dunia dengan kecerdasannya dan dengan memahatnya sedemikian rupa,[73] sementara Isis membentuk alam semesta "melalui apa yang dikehendaki hatinya dan yang diciptakan tangannya".[67]

Seperti dewa-dewi lain dalam sejarah Mesir, Isis memiliki banyak wujud di pusat-pusat pemujaannya, dan setiap pusat pemujaan menonjolkan aspek-aspek yang berbeda. Pemujaan Isis di daerah tertentu lebih berfokus kepada bagaimana Isis memiliki sifat yang khusus daripada aspek keuniversalannya, sementara beberapa himne Mesir yang dipersembahkan untuk Isis memperlakukan dewi lainnya di pusat-pusat pemujaan dari seluruh belahan Mesir dan Laut Tengah sebagai perwujudan darinya. Sebuah teks di kuil Isis di Dendera berkata, "di setiap nome, ia berada di setiap kota, di setiap nome dengan putranya Horus."[74]

Ikonografi

Dalam seni rupa Mesir, Isis paling sering digambarkan sebagai seorang wanita dengan atribut khas seorang dewi: sebuah busana bersarung, tongkat dari papirus di satu tangannya, dan sebuah ankh di tangannya yang lain. Hiasan kepala aslinya adalah bentuk tahta yang dipakai untuk menulis namanya. Ia dan Nephthys sering muncul bersama, terutama saat berkabung atas kematian Osiris, mendukungnya di tahtanya, atau melindungi sarkofagus orang mati. Dalam situasi tersebut, tangan mereka seringkali diangkat ke hadapan wajah mereka sebagai tanda berkabung, atau terulur di sekeliling Osiris atau orang mati sebagai lambang perlindungan mereka.[75] Dalam keadaan tersebut, mereka seringkali digambarkan sebagai burung elang atau wanita dengan sayap burung tersebut. Wujud ini mungkin terinspirasi dengan kemiripan antara panggilan burung elang dan tangisan wanita,[76] atau didasarkan pada metafor yang menyamakan upaya burung elang untuk mencari bangkai dengan para dewi tersebut yang mencari saudara mereka yang mati.[75] Isis terkadang muncul dalam wujud hewan lain: sebagai babi betina, yang melambangkan karakter keibuannya; sebagai seekor sapi, terutama saat dikaitkan dengan Apis; atau sebagai kalajengking.[75] Ia juga berwujud pohon atau wanita yang muncul dari pohon, terkadang menawarkan makanan dan air kepada jiwa-jiwa orang mati. Wujud tersebut menunjukkan sifat keibuan yang ia miliki.[77]

Pada permulaan zaman Kerajaan Baru, berkat kaitan yang erat antara Isis dan Hathor, Isis mulai menggunakan atribut dewi lainnya, seperti sistrum dan hiasan kepala tanduk sapi mengelilingi piringan surya. Terkadang kedua hiasan kepala Isis dipadukan, sehingga simbol glif tahta ditempatkan di atas piringan surya.[75] Pada masa yang sama, ia mulai mengenakan lambang ratu manusia, seperti mahkota berbentuk burung hering di kepalanya dan uraeus kerajaan, atau seekor kobra di dahinya.[53] Pada zaman Ptolemaik dan Romawi, patung dan arca Isis sering menggambarkannya dengan gaya pahatan Yunani, dengan atribut yang diambil dari tradisi Mesir dan Yunani.[78][79] Beberapa wujud tersebut menunjukkan hubungannya dengan para dewi lain dengan cara-cara yang baru. Isis-Thermuthis, sebuah perpaduan antara Isis dan Renenutet yang melambangkan kesuburan pertanian, digambarkan sebagai wanita dengan tubuh bagian bawah berbentuk ular. Arca-arca wanita yang mengenakan hiasan kepala dan menunjukkan kelaminnya mungkin melambangkan Isis-Afrodit.[80][Note 2]

Simbol tyet yang mirip ankh dianggap sebagai lambang khusus Isis paling tidak dari zaman Kerajaan Baru, meskipun mungkin sudah ada dari masa-masa sebelumnya.[82] Simbol ini seringkali terbuat dari jasper merah dan diibaratkan sebagai darah Isis. Tyet digunakan sebagai jimat pemakaman dan konon akan memberikan perlindungan kepada orang yang mengenakannya.[83]

Pemujaan

Hubungan dengan kerajaan

Meskipun berperan penting dalam mitos Osiris, Isis pada mulanya adalah seorang dewi kecil di dalam ideologi yang terkait dengan firaun yang hidup. Contohnya, ia hanya memainkan peran yang remeh-temeh dalam Papirus Ramesseum Dramatik, yaitu naskah upacara pemahkotaan yang diadakan saat kenaikan tahta Senusret I pada zaman Kerajaan Pertengahan.[84] Pengaruh Isis menguat pada zaman Kerajaan Baru,[85] saat ia semakin dikaitkan dengan dewi Hathor dan ratu manusia.[86]

Pada awal milenium pertama SM, popularitas Isis membludak dan semakin banyak yang mementingkan hubungan antara Osiris, Isis, dan Horus. Pada abad keempat SM, Firaun Nectanebo I dari Dinasti Ketiga Belas mengklaim Isis sebagai dewi pelindungnya dan mengaitkannya dengan kekuatan politik.[87] Kerajaan Kush, yang memerintah wilayah Nubia dari abad kedelapan SM sampai abad keempat M, mengambil dan mengadaptasi ideologi Mesir terkait pangkat raja. Mereka menyetarakan Isis dengan kandake, yaitu ratu atau ibu suri raja Kush.[88]

Raja-raja Yunani dari Dinasti Ptolemaik, yang memerintah Mesir sebagai firaun dari tahun 305 sampai 30 SM, mengembangkan sebuah ideologi yang mengaitkan diri mereka dengan dewa-dewi Mesir dan Yunani untuk memperkuat klaim mereka atas tahta di mata bawahan mereka. Selama berabad-abad sebelumnya, para kolonis dan pengunjung Yunani di Mesir membuat persamaan antara dewa-dewi Mesir dan dewa-dewi mereka sendiri, dalam sebuah proses yang dikenal dengan sebutan interpretatio graeca.[89] Herodotus, orang Yunani yang menulis tentang Mesir pada abad kelima SM, menghubungkan Isis dengan Demeter, dan cerita Demeter yang mencoba menemukan putrinya, Persephone, mirip dengan kisah Isis yang mencari Osiris. Demeter adalah salah satu dari beberapa dewa-dewi Yunani yang banyak diadopsi oleh bangsa Mesir pada zaman Ptolemaik, sehingga kemiripan antara dirinya dan Isis menjembatani kedua kebudayaan tersebut.[90] Dalam kasus lainnya, Isis dikaitkan dengan Afrodit melalui aspek-aspek seksual.[91] Dengan menggunakan tradisi-tradisi tersebut, dua firaun Ptolemaik pertama menggalakkan pemujaan dewa baru Serapis, yang memadukan aspek-aspek Osiris dan Apis dengan dewa-dewa Yunani seperti Zeus dan Dionysus. Isis, yang digambarkan dalam bentuk yang di-Helenisasi-kan, dianggap sebagai pasangan Serapis serta Osiris. Ptolemeus II dan saudari dan istrinya Arsinoe II mengembangkan pemujaan diri mereka sendiri, sehingga mereka disembah di kuil-kuil yang sama dengan Serapis dan Isis, dan Arsinoe diserupakan dengan Isis dan Aphrodite.[92] Beberapa ratu Ptolemaik pada masa berikutnya menganggap diri mereka memiliki kaitan dengan Isis. Kleopatra III pada abad kedua SM memakai nama Isis sebagai pengganti namanya sendiri di dalam inskripsi-inskripsi, sementara Kleopatra VII, penguasa terakhir Mesir sebelum negara tersebut jatuh ke tangan Romawi, menggunakan julukan "Isis yang baru".[93]

Kuil dan perayaan

 
Pemandangan Philae dari Pulau Bigeh, lukisan karya David Roberts dari tahun 1838

Menjelang akhir zaman Kerajaan Baru, pemujaan Isis semakin dikaitkan dengan para dewa laki-laki seperti Osiris, Min, atau Amun. Ia seringkali disembah bersama dengan mereka sebagai ibu atau pasangan mereka, dan Isis juga disembah secara luas sebagai ibunda Horus.[94] Selain itu, ia memiliki imamnya tersendiri di beberapa tempat,[95] dan setidaknya satu kuil yang dipersembahkan untuknya di pusat pemujaan Osiris di Abydos pada akhir Kerajaan Baru.[96]

Kuil-kuil besar pertama untuk Isis yang diketahui keberadaannya adalah Iseion di Behbeit el-Hagar, Mesir utara, dan Philae di ujung selatan. Keduanya mulai dibangun pada masa Dinasti Ketiga Belas dan diselesaikan atau diperbesar oleh para firaun Ptolemaik.[75] Berkat ketenaran Isis, Philae didatangi peziarah dari berbagai wilayah di Laut Tengah.[97] Banyak kuil Isis lainnya yang bermunculan pada zaman Ptolemaik di wilayah yang terbentang dari Alexandria dan Canopus di pesisir Laut Tengah hingga perbatasan Mesir dengan Nubia.[98] Kuil-kuil tersebut menjadi tempat ibadah bangsa Mesir dan Nubia.[99] Bangsa Nubia dari Kush juga membangun kuil-kuil mereka sendiri untuk Isis di berbagai tempat hingga mencapai Wad ban Naqa di ujung selatan,[100] termasuk satu kuil di ibu kota mereka, Meroe.[101]

Ritus kuil yang paling sering dilakukan untuk para dewa adalah ritus persembahan harian, dan selama ritus tersebut para imam memakaikan baju kepada objek kultus yang menggambarkan dewa atau dewi dan menawarkan makanan kepadanya.[102] Pada zaman Romawi, kuil-kuil untuk Isis di Mesir dibangun dengan gaya Mesir (dan di situ objek kultus disimpan di dalam ruangan yang hanya dapat dimasuki oleh para imam) dan dengan gaya Yunani-Romawi (yang mengizinkan umat melihat objek kultus).[103] Budaya Yunani dan Mesir saling bertumpang tindih pada masa itu, dan mungkin tidak terdapat pemisahan etnis di antara para pengikut Isis.[104] Orang yang sama mungkin berdoa kepada Isis di luar kuil-kuil bergaya Mesir dan di hadapan patung Isis di dalam kuil-kuil bergaya Yunani.[103]

Kuil-kuil juga mengadakan banyak perayaan sepanjang tahun, baik perayaan nasional maupun lokal.[105] Sejumlah ritus diadakan di seluruh Mesir untuk Osiris pada bulan Khoiak,[106] dan Isis dan Nephthys menjadi sosok yang menonjol dalam ritus-ritus tersebut paling tidak dari masa Kerajaan Baru.[107] Pada zaman Ptolemaik, dua wanita berperan sebagai Isis dan Nephthys pada bulan Khoiak, dan mereka bernyanyi untuk berkabung atas kematian saudara mereka. Nyanyian mereka diabadikan di dalam karya sastra Lagu-lagu Perayaan Isis dan Nephthys dan Ratapan Isis dan Nephthys.[107][108]

Pada akhirnya, Isis memiliki perayaannya tersendiri. Pada zaman Romawi, bangsa Mesir merayakan hari ulang tahunnya yang disebut "Amesysia" dengan membawa patung kultus Isis melewati ladang-ladang mereka, kemungkinan untuk merayakan kekuatan kesuburannya.[109] Para imam di Philae mengadakan sebuah perayaan setiap sepuluh hari saat patung kultus Isis dibawa ke pulau tetangga Bigeh, yang konon merupakan tempat penguburan Osiris, dan para pendeta melakukan upacara pemakaman untuk Osiris. Patung kultus tersebut juga dibawa ke kuil-kuil tetangga di wilayah selatan, termasuk pada masa-masa akhir kegiatan di Philae saat kuil-kuil tersebut jatuh ke tangan suku bangsa Nubia di luar kekuasaan Romawi.[110]

Pada abad keempat dan kelima Masehi, agama Kristen menjadi agama dominan di Kekaisaran Romawi, termasuk di Mesir. Pemujaan kuil-kuil Mesir ditinggalkan secara bertahap akibat kurangnya pendanaan dan permusuhan dari kelompok Kristen.[111] Kuil Isis di Philae, yang didukung oleh para pengikutnya dari Nubia, masih memiliki imam yang terorganisir dan perayaan secara berkala setidaknya hingga pertengahan abad kelima M, menjadikannya kuil terakhir yang berfungsi secara penuh di Mesir.[112][Note 3]

Pemakaman

 
Isis (di sebelah kiri) dan Nephthys sebagai burung elang di dekat peti mumi, ilustrasi dari abad ke-13 SM.

Di dalam mantra-mantra Teks Piramida, Isis dan Nephthys membantu firaun yang sudah meninggal memasuki akhirat. Isis juga semakin sering muncul di dalam Teks Peti Mati dari masa Kerajaan Pertengahan, meskipun di dalam teks tersebut Osiris lebih sering dianggap sebagai dewa yang membangkitkan orang mati daripada Isis. Sumber-sumber dari periode Kerajaan Baru seperti Buku Orang Mati mendeskripsikan Isis sebagai pelindung jiwa-jiwa orang mati saat mereka menghadapi bahaya di Duat. Karya tersebut juga menyebut Isis sebagai anggota dewan ilahi yang menghakimi kebajikan moral para roh sebelum menerima mereka di akhirat, dan ia digambarkan berdiri di samping Osiris saat Osiris memimpin pengadilan tersebut.[114]

Isis dan Nephthys ikut serta dalam upacara pemakaman, dan selama upacara tersebut terdapat dua wanita yang meratapi orang mati sebagaimana kedua dewi tersebut berkabung atas kematian Osiris.[115] Semenjak itu, Isis sering digambarkan dalam berbagai benda yang terkait dengan pemakaman: di sarkofagus dan peti kanopik sebagai salah satu dari empat dewi yang melindungi Empat Putra Horus, di hiasan makam sebagai dewi yang menawarkan susu kehidupan kepada orang mati, dan di jimat tyet yang seringkali ditempatkan di atas mumi agar kekuatan Isis melindungi mereka dari bahaya.[116] Teks-teks pemakaman pada masa berikutnya menampilkan ia berkabung atas kematian Osiris, dan salah satu Buku Pernapasan konon ditulis oleh Isis sendiri demi Osiris.[117] Sementara itu, dalam agama Nubia, Isis dianggap lebih penting daripada suaminya, karena ia merupakan dewi yang aktif sementara Osiris hanya menerima persembahan dari Isis secara pasif untuk bertahan di akhirat.[118]

Pemujaan oleh rakyat

Tak seperti kebanyakan dewa-dewi Mesir, Isis jarang disebutkan di dalam doa-doa[119] atau dalam nama pribadi sebelum penghujung periode Kerajaan Baru.[120] Semenjak Periode Akhir Mesir Kuno, ia menjadi salah satu dewa-dewi yang paling sering disebutkan dalam sumber-sumber tersebut, yang seringkali merujuk kepada sifatnya yang baik hati dan kemauannya untuk menjawab orang-orang yang meminta pertolongannya.[121] Ratusan ribu jimat dan arca Isis yang sedang menyusu Horus dibuat pada milenium pertama SM,[122] dan pada zaman Romawi, ia menjadi salah satu dewa-dewi yang paling umum digambarkan dalam seni rupa keagamaan di rumah-rumah, seperti arca dan lukisan dinding.[123]

Isis adalah tokoh yang penting dalam teks-teks sihir dari Kerajaan Pertengahan. Bahaya yang dihadapi oleh Horus pada masa kecilnya menjadi tema yang sering muncul dalam mantra-mantra penyembuhan ajaib, dan upaya Isis untuk menyembuhkan Horus juga berlaku untuk orang sakit. Dalam mantra-mantra tersebut, Isis memaksa Ra membantu Horus dengan menyatakan bahwa ia akan menghentikan matahari pada tempatnya di langit jika putranya tidak disembuhkan.[124] Mantra lainnya menyetarakan ibu hamil dengan Isis untuk memastikan agar mereka akan melahirkan dengan selamat.[125]

Sihir Mesir mulai memasukkan konsep-konsep Kristen saat agama Kristen diperkenalkan di Mesir, namun dewa-dewi Mesir dan Yunani masih muncul dalam mantra-mantra bahkan setelah mereka tidak lagi dipuja di kuil-kuil.[126] Sebagai contoh, mantra-mantra dari abad keenam, ketujuh, atau kedelapan M mencantumkan nama Isis bersama dengan figur-figur Kristen.[127]

Di dunia Yunani-Romawi

Penyebaran

 
Sisa-sisa kuil Isis di Delos

Kultus-kultus yang berbasis di kota atau negara tertentu merupakan hal yang lumrah pada zaman kuno sampai pertengahan atau akhir milenium pertama SM, ketika peningkatan hubungan antara kebudayaan-kebudayaan yang berbeda mengakibatkan penyebaran beberapa kultus secara lebih luas. Bangsa Yunani sudah mengetahui keberadaan dewa-dewi Yunani, termasuk Isis, setidaknya dari Zaman Arkais (sekitar 700–480 SM), sementara kuil pertama Isis yang diketahui keberadaannya di Yunani dibangun saat atau sebelum abad keempat SM oleh orang-orang Mesir yang tinggal di Athena. Penaklukan-penaklukan oleh Aleksander Agung yang berlangsung pada abad tersebut menghasilkan kerajaan-kerajaan Helenistik di sekitar Laut Tengah dan Timur Dekat, termasuk Mesir Ptolemaik, dan semakin meningkatkan interaksi antara agama-agama Yunani dengan non-Yunani. Difusi budaya yang dihasilkan membuat beberapa tradisi agama menyebar ke peradaban Helenistik selama tiga abad terakhir pada masa Sebelum Masehi. Kultus-kultus baru yang muncul menarik minat banyak orang dari berbagai latar belakang budaya. Kultus Isis dan Serapis (dalam bentuk-bentuk yang di-Helenisasi-kan dan diciptakan pada masa pemerintahan Dinasti Ptolemaik) adalah salah satu kultus yang menyebar dengan cara ini.[128]

Kultus Isis dan Serapis disebarkan oleh para pedagang dan penjelajah di Laut Tengah dan kemudian dibentuk di kota-kota pelabuhan Yunani pada akhir abad keempat SM dan menyebar ke seluruh wilayah Yunani dan Asia Kecil pada abad ketiga dan kedua SM. Pulau Delos di Yunani adalah pusat kultus awal untuk kedua dewi tersebut, dan statusnya sebagai pusat perdagangan menjadikan tempat tersebut sebagai batu loncatan bagi kultus-kultus Mesir untuk memasuki wilayah Italia.[129] Isis dan Serapis juga disembah di berbagai tempat yang tersebar di Kekaisaran Seleukia, yaitu sebuah kerajaan Helenistik di Timur Tengah yang terbentang sampai wilayah Iran, meskipun kultus-kultus ini lenyap dari wilayah tersebut setelah wilayah timur Seleukia direbut oleh Kekaisaran Parthia.[130]

Bangsa Yunani menganggap agama Mesir sebagai agama yang eksotis dan terkadang aneh, tetapi penuh dengan kebijaksanaan kuno.[131] Seperti kultus-kultus lainnya dari wilayah timur Laut Tengah, kultus Isis menarik minat orang-orang Yunani dan Romawi dengan memanfaatkan asal muasalnya yang eksotis,[132] namun pada akhirnya bentuk yang diambil setelah mencapai Yunani sangatlah ter-Helenisasi.[133]

Kultus Isis mencapai Italia dan daerah yang berada di bawah lingkup pengaruh Romawi pada abad kedua SM.[134] Kultus ini adalah salah satu dari beberapa kultus yang diperkenalkan di Roma saat wilayah Republik Romawi diperluas selama abad-abad terakhir pada masa Sebelum Masehi. Pemerintah Republik mencoba menentukan kultus-kultus mana yang dapat diterima dan yang patut ditolak, dan ini merupakan cara untuk menetapkan identitas budaya Romawi di tengah perubahan budaya yang sedang terjadi akibat perluasan wilayah Romawi.[135] Dalam kasus Isis, kuil-kuil dan altar-altar untuknya didirikan di Bukit Capitolino yang terletak di jantung kota Roma oleh orang-orang non-pemerintah pada awal abad pertama SM.[134] Pemerintah Romawi merasa cemas karena kultus Isis terbebas dari kendali mereka.[136] Pada tahun 50-an dan 40-an SM, saat krisis Republik Romawi membuat beberapa orang Romawi khawatir bahwa perdamaian di antara dewa-dewi akan terganggu, Senat Romawi menghancurkan kuil-kuil tersebut,[137][138] meskipun tak melarang Isis di kota tersebut.[134]

Kultus-kultus Isis terus menghadapi permusuhan pada masa Perang Republik Romawi Akhir (32–30 SM), saat Romawi yang dipimpin oleh Oktavianus (kelak menjadi Kaisar Augustus) menyerang Mesir yang dikuasai oleh Kleopatra VII.[139] Setelah Oktavianus menang, ia melarang kuil-kuil Isis dan Serapis di pomerium (batas paling dalam kota Roma yang dianggap suci), tetapi masih mengizinkannya di luar batas tersebut, sehingga dewa-dewi Mesir dianggap sebagai dewa-dewi non-Romawi yang dapat diterima oleh Roma.[140] Meskipun sempat diusir dari Roma pada masa pemerintahan Tiberius (14–37 M),[Note 4] kultus-kultus Mesir secara bertahap diterima sebagai bagian dari keanekaragaman agama di Romawi. Kaisar-kaisar dari Dinasti Flavianus pada akhir abad pertama M menganggap Serapis dan Isis sebagai pelindung pemerintahan mereka selayaknya dewa-dewi Romawi tradisional seperti Yupiter dan Minerva.[142] Pada akhirnya, meskipun kultus ini telah berintegrasi ke dalam budaya Romawi, pemujaaan Isis mengembangkan ciri-ciri baru yang masih menonjolkan latar belakang Mesirnya.[143][144]

Kultus-kultus Isis juga menyebar ke provinsi-provinsi barat Romawi, mula-mula di sepanjang pesisir Laut Tengah pada awal zaman kekaisaran. Pada puncaknya pada akhir abad kedua dan awal abad ketiga M, Isis dan Serapis disembah di sebagian besar kota di kekaisaran barat, meskipun tidak terlalu terlihat di daerah pedesaan.[145] Secara keseluruhan, kuil-kuil dewi-dewi ini tersebar di wilayah yang terbentang dari Petra dan Palmyra di provinsi Arabia dan Siria hingga Italica di Spanyol dan Londinium di Britania.[146] Pada masa itu, kedua dewi ini telah memiliki posisi yang setara dengan dewa-dewi Romawi asli.[147]

Peran

 
Patung Isis buatan Romawi dari abad pertama atau kedua M. Ia memegang sebuah sistrum dan sebuah kendi, meskipun atribut tersebut ditambahkan selama renovasi pada abad ke-17.[148]

Seperti kultus-kultus lainnya di peradaban Yunani-Romawi, kultus Isis tak memiliki dogma tetap, dan hanya terdapat sedikit kemiripan dalam keyakinan-keyakinan dan praktik-praktik ibadah yang tersebar di wilayah tersebut, dan keyakinan dan praktik ini berubah-ubah seiring berjalannya waktu.[149][150] Meskipun begitu, aretalogi-aretalogi Yunani yang memuji Isis memberikan banyak informasi tentang kepercayaan-kepercayaan ini. Sebagian dari aretalogi ini sangat menyerupai gagasan dalam himne-himne Mesir akhir seperti yang ditemukan di Philae, sementara unsur-unsur lainnya murni merupakan unsur Yunani.[151] Informasi lainnya berasal dari Plutarkhos (sekitar tahun 46–120 M), dan bukunya yang berjudul Tentang Isis dan Osiris menafsirkan dewa-dewi Mesir berdasarkan filsafat Platonis Pertengahan-nya.[152] Beberapa karya kesusastraan Yunani dan Latin yang menyebut pemujaan Isis juga menjadi sumber informasi mengenai kepercayaan tersebut, khususnya sebuah novel karya Apuleius (sekitar tahun 125–180 M) yang disebut sebagai Metamorfosis atau Keledai Emas, dengan bagian akhir yang mendeskripsikan bagaimana tokoh utamanya melihat sang dewi dan menjadi pengikutnya.[153]

Dalam upaya untuk merincikan peran Isis sebagai istri dan ibu dalam mitos Osiris, aretalogi-aretalogi menyebutnya sebagai pencipta pernikahan dan keorangtuaan. Namanya disebut untuk melindungi perempuan yang melahirkan, dan dalam novel-novel Yunani kuno seperti Kisah Efesus untuk melindungi keperawanan mereka.[154] Beberapa teks kuno menunjukkan bahwa ia adalah pelindung kaum perempuan secara umum.[155][156] Kultusnya mungkin telah meningkatkan otonomi perempuan dalam ranah tertentu dan kekuatan dan wewenang Isis berfungsi sebagai preseden, namun dalam mitos-mitos ia berbakti kepada suami dan anaknya dan tidak pernah sepenuhnya mandiri. Aretalogi-aretalogi sendiri menunjukkan sikap yang ambigu terhadap kemandirian wanita: satu sumber menyatakan bahwa Isis membuat wanita setara dengan pria, sementara sumber lainnya menyatakan bahwa ia menundukkan perempuan di bawah suami mereka.[157][158]

Isis seringkali digambarkan sebagai dewi bulan, serupa dengan hubungan Serapis dengan matahari.[159] Ia juga dipandang sebagai dewi kosmik secara lebih umum. Berbagai teks mengklaim bahwa ia mengatur perilaku matahari, bulan, dan bintang-bintang, serta menentukan jalannya waktu dan musim-musim, sehingga ia menjamin kesuburan di Bumi.[160] Teks-teks tersebut juga menyebutkan bahwa ia menciptakan pertanian, menetapkan hukum, dan merancang atau mendorong unsur-unsur lain dalam masyarakat manusia. Gagasan tersebut berasal dari tradisi Yunani yang lebih tua tentang peranan berbagai dewa-dewi dan pahlawan-pahlawan budaya Yunani (termasuk Demeter) dalam mendirikan peradaban.[161]

Ia juga menjaga lautan dan pelabuhan. Para pelaut meninggalkan inskripsi-inskripsi yang memohon kepadanya untuk menjamin keselamatan dan nasib baik perjalanan mereka. Dalam konteks ini, ia disebut Isis Pelagia, "Isis dari Laut", atau Isis Pharia, yang mengacu kepada layar atau mungkin pulau Pharos, tempat berdirinya Mercusuar Alexandria.[162] Wujud Isis yang ini, yang muncul pada zaman Helenistik, terinspirasi oleh penggambaran Isis di atas kapal oleh orang-orang Mesir Kuno, serta dari dewa-dewi Yunani yang melindungi pelayaran, seperti Afrodit.[163][164] Isis Pelagia menjadi semakin penting di Roma. Persediaan pangan Roma bergantung pada pengiriman gandum dari provinsi-provinsinya, khususnya Mesir. Maka dari itu, Isis menjamin panen yang subur dan melindungi kapal-kapal yang mengarungi lautan untuk membawa makanan yang dihasilkan, sehingga memastikan kesejahteraan rakyat kekaisaran secara keseluruhan.[165] Perlindungannya terhadap negara tersebut dikatakan juga berlaku untuk angkatan darat Roma, terutama yang berada di Mesir Ptolemaik, dan ia terkadang disebut Isis Invicta atau "Isis yang Tak Tertaklukkan".[166] Ia memiliki banyak sekali peranan, sehingga ia disebut mirionimos yang berarti "ia dengan nama yang tak terhingga" dan panthea yang bermakna "segala dewi".[167] Plutarkhos dan filsuf pada masa berikutnya, Proclus, menyebut keberadaan patung berselubung kain dewi Mesir Neith yang mereka salahtafsirkan sebagai Isis, dan mereka mengutipnya sebagai contoh keuniversalan dan kebijaksanaannya yang sulit dipahami. Di patung itu terdapat kalimat "Akulah seluruh hal yang sudah ada dan yang saat ini ada dan yang akan ada; dan tak ada satu pun orang yang pernah melepaskan selubung kainku."[168][Note 5]

Isis juga dikatakan akan memberkahi para pengikutnya di akhirat, dan unsur semacam ini biasanya tidak terlalu ditekankan dalam agama Yunani dan Romawi.[171] Keledai Emas dan inskripsi-inskripsi yang ditinggalkan oleh para pengikut Isis menunjukkan bahwa banyak pengikutnya yang menganggap bahwa ia akan memberikan kepada mereka kehidupan yang lebih baik di akhirat sebagai balasan atas pengabdian mereka. Namun, "kehidupan di akhirat" ini tidak dijelaskan secara konsisten. Beberapa mengatakan bahwa mereka akan dirahmati oleh air Osiris yang menghidupkan, sementara yang lainnya percaya bahwa mereka akan dibawa ke Pulau Keberkahan dalam tradisi Yunani.[172]

Seperti di Mesir, Isis dianggap memiliki kekuasaan atas takdir, dan dalam agama tradisional Yunani takdir adalah sesuatu yang bahkan tidak dapat dilawan oleh dewa-dewi. Valentino Gasparini berkata bahwa kendali atas takdir menyatukan sifat-sifat Isis yang berbeda-beda. Ia mengatur alam semesta, tetapi ia juga memulihkan orang-orang dari ketidakberuntungan yang hanya seperti butiran debu bila dibandingkan dengan hal tersebut, dan pengaruhnya juga merasuki dunia orang mati yang dianggap bersifat "individual dan universal secara bersamaan".[173]

Hubungan dengan dewa-dewi lainnya

 
Isis menyambut Io di Mesir, dari sebuah lukisan dinding di Pompeii, abad pertama M.

Lebih dari puluhan dewa-dewi Mesir disembah di luar Mesir pada zaman Helenistik dan Romawi dalam sejumlah kultus yang saling terkait, meskipun banyak yang relatif kecil.[174] Di antara dewa-dewi yang paling penting, Serapis memiliki kaitan yang erat dengan Isis dan sering muncul dengannya dalam seni rupa, namun Osiris masih menjadi pemeran utama dalam mitosnya dan berperan penting dalam ritual-ritualnya.[175] Kuil-kuil untuk Isis dan Serapis terkadang berdiri bersebelahan satu sama lain, namun jarang ada satu kuil yang dipersembahkan untuk keduanya secara bersamaan.[176] Sebagai dewa mati yang tak seperti dewa-dewi abadi Yunani, Osiris dipandang aneh oleh bangsa Yunani dan hanya memainkan peran kecil dalam kultus-kultus Mesir pada zaman Helenistik. Pada zaman Romawi, ia menjadi simbol kebahagiaan di akhirat seperti Dionysus, dan kultus Isis makin berfokus padanya.[177] Horus, yang seringkali diberi nama Harpokrates,[Note 6] juga munculnya di kuil-kuil Isis sebagai putranya dari hubungannya dengan Osiris atau Serapis. Ia memperoleh sifat-sifat dewa-dewi Yunani seperti Apollo dan Eros dan menjadi dewa matahari dan tanaman.[179] Anggota lain dari dewa-dewi Mesir yang masuk ke dunia Yunani-Romawi adalah Anubis, yang dikaitkan dengan dewi Yunani Hermes dalam bentuknya yang telah ter-Helenisasi, Hermanubis.[180] Isis juga terkadang dikatakan telah memperoleh kebijaksanaan dari Thoth, dewa tulisan dan pengetahuan Mesir yang dikenal di dunia Yunani-Romawi dengan nama Hermes Trismegistus; ia bahkan juga dikatakan sebagai putrinya.[181][182]

Isis juga memiliki banyak kaitan dengan dewa-dewi Yunani dan Romawi, serta beberapa dewa-dewi dari kebudayaan lainnya. Ia tak sepenuhnya terintegrasi ke dalam panteon Yunani, namun pada masa tertentu ia disetarakan dengan berbagai figur mitologi Yunani, yang meliputi Demeter, Afrodit, atau Io, seorang wanita yang berubah menjadi sapi dan dibawa oleh dewi Hera dari Yunani ke Mesir.[183] Kultus Demeter sangat memengaruhi pemujaan Isis setelah kultus Isis menyebar di wilayah Yunani.[184] Hubungan Isis dengan kaum perempuan dipengaruhi oleh penyetaraannya dengan Artemis, yang memiliki peran ganda sebagai dewi perawan dan pendorong kesuburan.[185] Isis juga berkuasa atas takdir, sehingga ia dikaitkan dengan personifikasi keberuntungan di Yunani dan Romawi, yaitu Tyche dan Fortuna.[186] Di Byblos, Fenisia, pada milenium kedua SM, Hathor disembah sebagai salah satu bentuk dewi lokal Baalat Gebal; Isis secara bertahap menggantikan Hathor di sana sepanjang milenium pertama SM.[187] Di Norikum, Eropa Tengah, Isis disinkretkan dengan dewi pelindung setempat, Noreia,[188] dan di Petra, ia dihubungkan dengan dewi Arab al-Uzza.[189] Penulis Romawi Tacitus berkata bahwa Isis disembah oleh orang Suebi, sebuah suku bangsa Jermanik yang tinggal di luar wilayah Romawi, namun ia mungkin telah membuat kesalahan dengan menyamakan salah satu dewi Jermanik dengan Isis karena dewi tersebut juga dilambangkan oleh sebuah kapal seperti Isis.[190]

Banyak aretalogi yang mencantumkan daftar panjang dewi-dewi yang dihubungkan dengan Isis. Teks-teks tersebut menganggap semua dewi-dewi yang mereka sebutkan sebagai wujud-wujud Isis, yang menyiratkan bahwa menurut sudut pandang penulisnya, ia adalah sosok "sumodeistik": satu dewi untuk semua peradaban.[191][192] Di dunia keagamaan Romawi, banyak dewa-dewi yang disebut "satu" atau "wahid" dalam teks-teks keagamaan seperti ini. Pada saat yang bersamaan, para filsuf Helenistik kemudian memercayai prinsip kosmos yang ilahi, banyak dari mereka yang menafsirkan ulang agama-agama tradisional agar sesuai dengan konsep mereka mengenai "pengada" yang tertinggi, seperti yang dilakukan Plutarkhos terhadap Isis dan Osiris.[193] Dalam buku Keledai Emas, Isis berkata "diriku menunjukkan aspek seluruh dewa dan dewi" dan bahwa ia "disembah oleh seluruh dunia dengan bentuk-bentuk berbeda, dengan berbagai ritus dan dengan berbagai macam nama," meskipun bangsa Mesir dan Nubia memakai namanya yang sebenarnya, yaitu Isis.[194][195] Namun saat ia menyebutkan wujud-wujudnya yang disembah oleh orang-orang di kawasan Laut Tengah, ia hanya menyebutkan dewi-dewi.[196] Dewa-dewi Yunani-Romawi memiliki pemisahan gender yang kuat, sehingga membatasi ranah yang dipegang Isis. Salah satu aretalogi menyelesaikan masalah ini dengan menyebut Isis dan Serapis, yang seringkali dikatakan menyerap banyak dewa laki-laki, sebagai dua dewa-dewi yang "satu".[197][198] Sementara itu, Plutarkhos dan Apuleius membatasi pengaruh Isis dengan menganggapnya sebagai bawahan dari Osiris.[199] Klaim bahwa ia merupakan dewi yang wahid dimaksudkan untuk menegaskan kebesarannya dan bukan sebagai pernyataan teologis.[197][198]

Ikonografi

 
Arca perunggu Romawi yang menggambarkan Isis-Fortuna dengan sebuah cornucopia dan sebuah kemudi, berasal abad pertama M

Gambar-gambar Isis yang dibuat di luar Mesir bergaya Helenistik, dan begitu pula gambar-gambar Isis di Mesir pada zaman Helenistik dan Romawi. Atribut yang ia kenakan sangat beragam.[200] Ia terkadang mengenakan hiasan kepala bertanduk sapi seperti Hathor, namun bangsa Yunani dan Romawi mengecilkan ukurannya dan seringkali menafsirkannya sebagai bulan sabit.[201] Ia juga mengenakan hiasan-hiasan kepala yang menampilkan dedaunan, bunga-bungaan atau bulir gandum.[202] Ciri umum lainnya meliputi anak rambut yang seperti ujung kotrek dan mantel yang diikat dengan simpul yang besar di bagian dada, yang bermula dari gaya busana Mesir namun kemudian dianggap sebagai simbol dewi di luar Mesir.[203][Note 7] Di tangannya, ia memegang sebuah uraeus atau sistrum, keduanya berasal dari ikonografi Mesir-nya,[205] atau situla, sebuah bejana yang dipakai untuk persembahan air atau susu yang dalam kultus Isis.[206]

Sebagai Isis-Fortuna atau Isis-Tyche, ia memegang sebuah kemudi yang melambangkan kendali atas takdir di tangan kanannya dan sebuah cornucopia yang merupakan simbol kelimpahan di tangan kirinya.[207] Sebagai Isis Pharia, ia mengenakan sebuah jubah yang mengembang di bagian belakang seperti sebuah layar,[162] dan sebagai Isis Lactans, ia menyusu anaknya, Harpocrates.[207] Pencitraan yang beraneka ragam tersebut berakar dari peran-perannya; seperti yang dikatakan oleh Robert Steven Bianchi, "Isis dapat melambangkan hal apapun dan dapat digambarkan dengan cara apapun."[208]

Pemujaan

Pengikut dan imam

Seperti kebanyakan kultus pada masa itu, kultus Isis tak mewajibkan para pengikutnya untuk menyembah Isis secara eksklusif, dan tingkat pengabdian mereka mungkin sangat beragam.[209] Beberapa pengikut Isis menjabat sebagai imam dalam berbagai kultus dan melalui proses inisiasi yang dipersembahkan untuk dewa-dewi yang berbeda-beda.[210] Namun begitu, banyak pengikut Isis yang sangat taat kepadanya, dan beberapa pengikutnya menganggapnya sebagai fokus kehidupan mereka.[211] Mereka adalah salah satu dari segelintir kelompok agama di dunia Yunani-Romawi yang memiliki nama yang terpisah untuk diri mereka sendiri, setara dengan "Yahudi" atau "Kristen", yang mungkin menyiratkan bahwa mereka mendefinisikan diri mereka sesuai dengan afiliasi keagamaan mereka. Nama tersebut adalah Isiakus atau "Isiak", namun nama ini jarang digunakan.[209]

Jumlah anggota kelompok Isiak sangat kecil bila dibandingkan dengan jumlah penduduk Kekaisaran Romawi,[212] namun mereka berasal dari setiap golongan masyarakat, dari kaum budak dan orang merdeka sampai pejabat tinggi dan anggota keluarga kekaisaran.[213] Catatan sejarah kuno menyiratkan bahwa Isis populer di kalangan rakyat kecil, sehingga mungkin menjadi alasan mengapa pemerintah Romawi mencurigai kultus Isis di tengah kesulitan mereka dalam menghadapi pertentangan antar kelas.[214] Kaum wanita jauh lebih terwakili di dalam kultus Isis bila dibandingkan dengan kebanyakan kultus Yunani-Romawi, dan pada zaman kekaisaran, mereka dapat menjadi seorang imam selayaknya kaum laki-laki.[215] Namun, menurut inskripsi-inskripsi, proporsi wanita di dalam kelompok Isiak tidak mencapai setengahnya, dan mereka juga jarang disebutkan dalam daftar imam dengan pangkat tinggi.[216] Meskipun begitu, kaum perempuan biasanya tidak cukup terwakili dalam inskripsi-inskripsi Romawi, sehingga keterlibatan mereka mungkin lebih besar daripada yang tercatat dalam sejarah.[217] Beberapa penulis Romawi menuduh kultus Isis mendorong kaum wanita melakukan pergaulan bebas. Jaime Alvar menduga bahwa kultus tersebut dicurigai oleh laki-laki karena memberikan sebuah wadah kepada kaum wanita untuk bertindak di luar kendali suami mereka.[218]

Para imam Isis dikenal akan kepala mereka yang digunduli dan busana linen putih mereka, dan kedua karakteristik ini berakar dari kebiasaan imam-imam di Mesir dan kewajiban mereka untuk memastikan kemurnian ritual.[219] Di dalam sebuah kuil Isis biasanya terdapat beberapa peringkat imam, serta berbagai asosiasi kultus dan tugas-tugas khusus untuk para umat.[220] Tak ada bukti yang menunjukkan keberadaan hierarki atas beberapa kuil, dan setiap kuil mungkin dijalankan secara terpisah.[221]

Kuil dan upacara harian

 
Lukisan dinding yang menggambarkan pertemuan Isiak, berasal dari abad pertama M. Seorang imam menjaga api sementara yang lainnya memegang bejana air suci di pintu kuil yang dihias oleh patung sphinx di sebelah kiri dan kanannya.[222]

Kuil-kuil yang dipersembahkan untuk dewa-dewi Mesir di luar Mesir, seperti Basilika Merah di Pergamon, Kuil Isis di Pompeii, atau Iseum Campense di Roma, sebagian besar dibangun dengan gaya Yunani-Romawi, tetapi pada saat yang sama juga dikelilingi lapangan besar yang tertutup oleh dinding, seperti yang biasa ditemukan pada kuil-kuil Mesir. Kuil-kuil ini dihias dengan karya seni bertema Mesir, terkadang dengan memakai barang-barang antik yang diimpor dari Mesir. Tata letaknya lebih rumit ketimbang kuil-kuil Romawi tradisional dan terdapat ruangan-ruangan yang dijadikan tempat tinggal para imam dan juga untuk berbagai fungsi ritual, sementara patung sang dewi berada di dalam ruangan yang terpisah.[223][224] Tak seperti gambar-gambar dalam kultus Mesir, patung-patung Isis yang bergaya Helenistik dan Romawi berukuran seperti manusia atau lebih besar. Ritual hariannya masih mirip dengan ritual di Mesir, yaitu memakaikan busana kepada patung tersebut dan menawarkannya persembahan; namun, tidak seperti dalam tradisi Mesir, para imam mengizinkan para umat melihat patung kultus selama ritual pagi, berdoa kepadanya secara langsung, dan menyanyikan himne-himne di hadapannya.[225]

Objek pemujaan lainnya di kuil-kuil tersebut adalah air, yang dipandang sebagai simbol perairan Sungai Nil. Kuil-kuil Isis yang dibangun pada zaman Helenistik seringkali memiliki ruang bawah tanah yang menyimpan air suci tersebut, dan permukaan airnya dinaikkan atau diturunkan untuk meniru banjir di Sungai Nil. Sementara itu, banyak kuil Romawi yang memakai kendi air yang kemudian disembah sebagai objek kultus atau perwujudan Osiris.[226]

Pemujaan personal

Lararia Romawi, atau altar rumah tangga, berisi arca-arca penates, yaitu sekelompok dewa-dewi pelindung yang dipilih berdasarkan pada preferensi anggota keluarga.[227] Isis dan dewa-dewi Mesir lainnya ditemukan dalam lararia di Italia dari akhir abad pertama SM[228] sampai permulaan abad keempat M.[229]

Kultus semacam ini mewajibkan kemurnian ritual dan moral di dalam pribadi para pengikutnya, dan secara berkala juga mengharuskan ritual pemandian atau pantang hubungan seks selama berhari-hari. Kelompok Isiak kadang-kadang juga menunjukkan kesalehan mereka dengan menyanyikan puji-pujian Isis di jalanan atau mendeklarasikan kesalahan-kesalahan mereka di muka umum sebagai bentuk penitensi.[230]

Beberapa kuil yang dipersembahkan untuk dewa-dewi Yunani, termasuk Serapis, mempraktikkan inkubasi, yaitu ritual ketika para jemaat berbaring di kuil dengan harapan agar dewa akan muncul di dalam mimpi mereka dan memberikan mereka nasihat atau menyembuhkan penyakit mereka. Beberapa teks menyiratkan bahwa praktik tersebut juga terjadi di kuil-kuil Isis, tetapi tidak cukup bukti yang menunjukkan hal tersebut.[231] Namun begitu, Isis dianggap dapat berkomunikasi melalui mimpi, termasuk untuk memanggil para pengikutnya untuk melakukan inisiasi.[232]

Inisiasi

Beberapa kuil Isis mengadakan ritus-ritus misteri untuk menginisiasikan para anggota baru. Meskipun ritus tersebut adalah salah satu unsur yang paling dikenal dari kultus Isis pada masa Yunani-Romawi, sebenarnya ritus tersebut hanya dilakukan di Italia, Yunani, dan Asia Kecil.[233][Note 8] Dengan memberikan kepada pengikutnya pengalaman mistis dan dramatis, proses inisiasi menambahkan unsur intensitas emosional ke dalam benak anggota-anggota yang baru bergabung.[241]

Keledai Emas mendeskrispikan bagaimana tokoh utama bergabung dengan kultus Isis, dan ini adalah satu-satunya penjelasan proses inisiasi Isiak yang diberikan secara mendetil.[242] Alasan Apuleius menulis tentang kultus tersebut dan keakuratan deskripsinya yang difiksionalisasi telah memicu perdebatan. Meskipun begitu, teks ini kurang lebih selaras dengan bukti-bukti lain yang ditemukan mengenai proses inisiasi, dan para ahli sangat bergantung kepada teks Keledai Emas saat mengkaji subjek tersebut.[243]

Ritus-ritus misteri kuno melibatkan berbagai pengalaman yang intens, seperti kegelapan pada malam hari yang diganggu oleh sinar terang dan musik yang kencang dan bunyi-bunyian, dengan tujuan untuk "membanjiri" indera mereka dan memberikan mereka pengalaman keagamaan yang mendalam yang terasa seperti kontak langsung dengan dewa atau dewi yang mereka puja.[244] Tokoh utama dalam kisah Keledai Emas, yaitu Lucius, melalui serangkaian inisiasi, meskipun hanya yang pertama yang dideskripsikan secara rinci. Setelah memasuki bagian dari kuil Isis yang paling dalam pada malam hari, ia berkata, "Aku tiba di batas kematian dan, setelah menapaki batas Proserpina, aku melalui semuanya dan kembali. Pada tengah malam, aku melihat matahari sekejap bersinar dengan terang, aku bertatap muka dengan dewa-dewi di dunia bawah dan di dunia atas, dan menghormati mereka dari dekat."[245] Deskripsi yang bersifat misterius tersebut menunjukkan bahwa perjalanan simbolis ke dunia orang mati ini disamakan dengan peristiwa kelahiran kembali Osiris, serta perjalanan Ra di dunia bawah dalam mitos Mesir,[246] mungkin menyiratkan bahwa Isis membawa orang yang melalui inisiasi kembali dari kematian seperti yang ia lakukan kepada suaminya.[247]

Perayaan

Kalender-kalender Romawi mencantumkan dua perayaan Isis yang paling penting paling tidak dari abad pertama M. Perayaan yang pertama adalah perayaan Navigium Isidis pada bulan Maret, yang memuliakan pengaruh Isis atas lautan dan berperan sebagai doa untuk keselamatan para pelaut, dan kelak juga mendoakan bangsa Romawi dan para pemimpin mereka.[248] Perayaan ini terdiri dari serangkaian prosesi yang rumit; para imam dan pengikut Isis dengan berbagai macam kostum dan lambang suci mengangkut model kapal dari kuil Isis setempat ke laut[249] atau ke sungai terdekat.[250] Perayaan lainnya adalah perayaan Isia pada akhir Oktober dan awal November. Seperti perayaan Khoiak di Mesir, perayaan Isia meliputi perekaan ulang kisah Isis yang sedang mencari Osiris, yang disusul oleh sorak kegirangan saat jasad dewa tersebut ditemukan.[251] Terdapat pula beberapa perayaan yang lebih kecil yang dipersembahkan untuk Isis, seperti perayaan Pelusia pada akhir Maret yang memperingati kelahiran Harpokrates, dan Liknapsia, atau perayaan lentera, yang merayakan kelahiran Isis pada tanggal 12 Agustus.[248]

Perayaan-perayaan Isis dan dewa-dewi politeistik lainnya dirayakan sepanjang abad keempat M, meskipun menjelang akhir abad tersebut agama Kristen sedang mengalami pertumbuhan yang pesat dan kaum pagan mengalami penindasan.[252] Isia dirayakan paling tidak hingga tahun 417 M,[253] dan perayaan Navigium Isidis masih bertahan hingga abad keenam.[254] Sementara itu, makna keagamaan dalam perayaan-perayaan Romawi semakin dilupakan atau diabaikan meskipun kebiasaan tersebut masih diteruskan. Bahkan ada beberapa kebiasaan yang kemudian dipadukan dengan budaya Kristen pada Abad Pertengahan Awal.[255]

Kemungkinan pengaruh pada agama Kristen

 
Isis Lactans menggendong Harpokrates dalam sebuah lukisan dinding Mesir dari abad ke-4 M

Dalam kajian sejarah kultus Isis, sebuah pertanyaan yang menimbulkan banyak perdebatan adalah perihal pengaruh kultus Isis terhadap agama Kristen.[256] Beberapa kebiasaan orang Isiak mungkin termasuk dalam berbagai praktik keagamaan Pagan yang meresap ke dalam tradisi-tradisi Kristen ketika agama Kristen menyebar di Kekaisaran Romawi. Contohnya, Andreas Alföldi berpendapat pada tahun 1930-an bahwa perayaan Karnaval abad pertengahan (yang melibatkan model perahu) dikembangkan dari perayaan Navigium Isidis.[257]

Dalam konteks ini, salah satu isu yang paling banyak menarik perhatian adalah isu mengenai apakah unsur-unsur agama Kristen berasal dari kultus misteri Pagan, termasuk Isis.[258] Anggota kultus Isis yang paling setia membuat komitmen pribadi kepada sang dewi yang mereka anggap lebih tinggi ketimbang dewa-dewi lainnya, seperti halnya umat Kristen saat ini.[259] Baik agama Kristen maupun kultus Isis memiliki ritus inisiasi, yaitu misteri-misteri untuk Isis dan pembaptisan untuk agama Kristen.[260] Salah satu tema yang juga muncul dalam kultus-kultus misteri adalah kematian dan kebangkitan seorang dewa yang akan merahmati para pengikutnya di akhirat, dan ini mirip dengan tema utama dalam agama Kristen. Klaim bahwa kepercayaan dasar agama Kristen diambil dari kultus-kultus misteri telah menimbulkan perdebatan yang sengit selama lebih dari 200 tahun.[261] Dalam menanggapi kontroversi tersebut, Hugh Bowden dan Jaime Alvar, para ahli yang mengkaji kultus-kultus misteri kuno, menyatakan bahwa kemiripan antara agama Kristen dan kultus-kultus misteri bukan disebabkan oleh sekadar mengambil gagasan secara langsung, tetapi dari latar belakang mereka yang sama: kepercayaan-kepercayaan ini dikembangkan dalam konteks budaya Yunani-Romawi.[260][262]

Kemiripan Isis dengan Bunda Maria juga telah diteliti. Topik ini telah mengakibatkan pertikaian di antara kelompok Kristen Protestan dengan Gereja Katolik, karena banyak orang Protestan yang menyatakan bahwa penghormatan Bunda Maria dalam agama Katolik merupakan sisa-sisa kepercayaan paganisme.[263] Ahli sejarah klasik R. E. Witt menganggap Isis sebagai pendahulu Maria. Ia berpendapat bahwa orang-orang yang pindah ke agama Kristen yang dulunya menyembah Isis akan menganggap Maria seperti dewi-dewi tradisional mereka. Ia mengatakan bahwa keduanya memiliki berbagai lingkup pengaruh yang sama, seperti pertanian dan perlindungan para pelaut. Ia membandingkan gelar "Bunda Allah" yang disematkan kepada Maria dengan julukan "ibu dewa" untuk Isis, serta gelar "ratu surgawi" untuk Maria dengan "ratu surga" untuk Isis.[264] Stephen Benko, seorang sejarawan gereja, berpendapat bahwa penghormatan kepada Maria sangat dipengaruhi oleh pemujaan beberapa dewi pagan, tidak hanya Isis.[265] Sebaliknya, John McGuckin, seorang sejarawan gereja yang lain, menyatakan bahwa tokoh Bunda Maria hanya menyerap unsur-unsur luaran dewi-dewi tersebut, seperti misalnya ikonografi, tetapi unsur-unsur yang mendasar pada penghormatan Bunda Maria sepenuhnya bersifat Kristen.[266]

Gambar-gambar Isis dengan Horus di pangkuannya seringkali diklaim telah mempengaruhi ikonografi Maria, terutama gambar-gambar Bunda Maria yang sedang menyusui, karena gambar-gambar perempuan menyusui adalah sesuatu langka di wilayah Laut Tengah kuno di luar Mesir.[267] Vincent Tran Tam Tinh menyatakan bahwa gambar-gambar Isis yang menyusui Horus yang paling terkini berasal dari abad keempat M, sementara gambar-gambar terawal yang menunjukkan Maria sedang menyusui Yesus berasal dari abad ketujuh. Sabrina Higgins menggunakan kajian Tran Tam Tinh dan kemudian berpendapat bahwa jika terdapat hubungan antara ikonografi Isis dengan Maria, hubungan ini hanya terbatas pada gambar-gambar Bunda Maria Menyusui yang berasal dari Mesir.[268] Sebaliknya, Thomas F. Mathews dan Norman Muller merasa bahwa pose Isis dalam lukisan-lukisan dinding zaman kuno akhir mempengaruhi beberapa jenis ikon Maria, baik di dalam maupun di luar Mesir.[269] Elizabeth Bolman mengatakan bahwa gambar-gambar awal Maria menyusui Yesus yang berasal dari Mesir dimaksudkan untuk menegaskan keilahian Yesus, selayaknya gambar dewi-dewi yang menyusui dalam ikonografi Mesir kuno.[270] Sementara itu, Higgins berpendapat bahwa kemiripan semacam ini membuktikan bahwa gambar-gambar Isis mempengaruhi gambar-gambar Maria, namun bukan berarti umat Kristen secara sengaja mengadopsi ikonografi Isis atau unsur-unsur lain dari kultusnya.[271]

Catatan dan kutipan

Catatan
  1. ^ Kultus terhadap dewa tertentu, seperti Isis, dalam agama Mesir kuno disebut "kultus".[10] Hal yang sama berlaku untuk kultus dewa-dewi tertentu dalam agama Yunani atau Romawi. Para ahli klasik terkadang merujuk kepada pemuliaan Isis, atau dewa-dewi lainnya yang tersebar ke peradaban Yunani-Romawi, sebagai sebuah "agama" karena mereka sangat berbeda dari budaya di sekitaran mereka ketimbang kultus para dewa Yunani atau Romawi.[11] Namun, kultus tersebut tak membentuk komunitas independen dengan sudut pandangan dunia yang terpisah seperti yang terjadi pada kelompok Yahudi dan Kristen di Kekaisaran Romawi.[12] Françoise Dunand dan Jaime Alvar sama-sama berpendapat bahwa pemujaan Isis sebaiknya disebut "kultus", karena merupakan bagian dari sistem yang lebih besar di dalam agama Yunani dan Romawi, dan bukan sebuah sistem kepercayaan independen yang mencakup semua seperti Yudaisme atau Kristen.[11][13]
  2. ^ Arca-arca tersebut, yang merupakan hal yang umum di Mesir Romawi, seringkali dianggap menggambarkan Isis atau Hathor yang dipadukan dengan Afrodit, namun tidak diketahui secara pasti apakah arca tersebut melambangkan seorang dewi.[81] Kelamin yang ditunjukkan mungkin merupakan lambang kesuburan[80] atau menandakan bahwa ia mengusir kejahatan.[81]
  3. ^ Para ahli sebelumnya meyakini (berdasarkan tulisan-tulisan Procopius) bahwa Philae ditutup sekitar tahun 535 M oleh ekspedisi militer pimpinan Yustinianus I. Jitse Dijkstra berpendapat bahwa catatan Procopius tentang penutupan kuil tersebut tidak akurat dan bahwa kegiatan ibadah di sana terhenti tak lama setelah tahun terakhir yang ditulis di dalam kuil tersebut pada tahun 456 atau 457 M.[112] Eugene Cruz-Uribe menyatakan bahwa pada abad kelima dan keenam, kuil tersebut seringkali mengalami kekosongan, namun orang-orang Nubia yang tinggal di dekatnya masih mengadakan perayaan-perayaan secara periodik di sana hingga abad keenam.[113]
  4. ^ Pengusiran kultus-kultus Mesir oleh Tiberius adalah bagian dari reaksi terhadap praktik-praktik keagamaan yang dianggap sebagai ancaman terhadap tatanan dan tradisi, termasuk Yudaisme dan astrologi. Yosefus, seorang sejarawan Romawi-Yunani yang memberikan catatan paling mendetil mengenai pengusiran tersebut, berkata bahwa kultus-kultus Mesir menjadi sasaran akibat sebuah skandal yang melibatkan seorang pria yang menyamar menjadi Anubis dengan bantuan dari para imam Isis dalam upaya untuk menggoda seorang bangsawati Romawi. Sarolta Takács meragukan catatan Yosefus, berpendapat bahwa ini adalah cerita fiksi yang dibuat dalam rangka menyampaikan pesan moral.[141]
  5. ^ Patung tersebut berada di sebuah kuil di Sais, pusat kultus Neith. Ia seringkali disalahtafsirkan sebagai Isis pada zaman Plutarkhos, dan ia berkata bahwa patung tersebut adalah patung "Athena [Neith], yang dianggap [oleh bangsa Mesir] sebagai Isis". Sementara itu, menurut Proclus kutipan di patung tersebut berkata bahwa "tak ada seorangpun yang pernah melepaskan selubung kainku," yang menyiratkan bahwa dewi tersebut masih perawan.[169] Klaim ini kadang-kadang disematkan kepada Isis pada masa Yunani-Romawi, walaupun sebenarnya hal ini bertentangan dengan keyakinan yang menyebarluas pada masa itu bahwa Horus dihasilkan dari hubungan Isis dengan Osiris.[170] Proclus juga menambahkan "Buah dari rahimku adalah matahari", yang menyiratkan bahwa sang dewi melahirkan matahari tanpa keterlibatan dewa laki-laki, tetapi pernyataan ini sebenarnya merujuk kepada mitos-mitos Mesir mengenai Neith sebagai ibu kandung Ra.[169]
  6. ^ Nama "Harpokrates" merupakan Helenisasi dari salah satu nama Horus: ḥr-pꜣ-ẖrd, "Horus si Anak".[178]
  7. ^ Simpul tersebut terkadang disebut "simpul Isis", tetapi simpul ini tak sama dengan simbol tyet, yang terkadang juga disebut "simpul Isis".[204]
  8. ^ Ritus-ritus misteri dilakukan sebagai bagian dari proses Helenisasi Isis pada masa dinasti Ptolemaik pada abad ketiga SM,[234] di Yunani di bawah pengaruh kultus Demeter pada abad pertama SM,[235] atau setidaknya dari abad pertama atau kedua M.[236] Ritus-ritus ini diklaim berasal dari Mesir dan mereka mungkin tertarik dengan kecenderungan beberapa kultus Mesir untuk merahasiakan kegiatan ritusnya, yang dilakukan oleh para imam di dalam suatu ruangan yang tertutup.[237] Namun, ritus-ritus ini sebenarnya didasarkan pada berbagai berbagai kultus misteri Yunani, terutama misteri-misteri Eleusinia yang dipersembahkan untuk Demeter, dan dalam konteks Isis ritual semacam ini diwarnai dengan unsur-unsur mitos dan ritual Mesir.[238][239] Bahkan setelah upacara inisiasi dikembangkan, tidak banyak teks di Mesir yang menyebutkannya.[240]
Kutipan
  1. ^ Hart 2005, hlm. 79
  2. ^ R.E Witt, "Isis in the Ancient World", hlm. 7, 1997, ISBN 0-8018-5642-6
  3. ^ Veronica Ions, Egyptian Mythology, Paul Hamlyn, 1968, ISBN 978-0-600-02365-4
  4. ^ Henry Chadwick, The Church in Ancient Society: From Galilee to Gregory the Great, Oxford University Press, 2003, p. 526, ISBN 978-0-19-926577-0
  5. ^ Wilkinson 2003, hlm. 12–15, 146
  6. ^ Griffiths 1980, hlm. 41
  7. ^ Münster 1968, hlm. 159
  8. ^ Pinch 2004, hlm. 9–11
  9. ^ Münster 1968, hlm. 158
  10. ^ Teeter 2001, hlm. 340
  11. ^ a b Alvar 2008, hlm. 2–4
  12. ^ Burkert 1987, hlm. 51–53
  13. ^ Dunand 2010, hlm. 40–41, 50–51
  14. ^ a b Griffiths 1980, hlm. 91, 95–97
  15. ^ Frankfort 1978, hlm. 43–44, 108
  16. ^ Kuhlmann 2011, hlm. 2
  17. ^ Wilkinson 2003, hlm. 119
  18. ^ a b Vinson 2008, hlm. 313–316
  19. ^ Dunand & Zivie-Coche 2004, hlm. 235–237
  20. ^ Pinch 2004, hlm. 66, 68, 76–78
  21. ^ a b Pinch 2004, hlm. 79–80, 178–179
  22. ^ Pinch 2004, hlm. 80, 150
  23. ^ Assmann 2005, hlm. 32–36, 115–118
  24. ^ Smith 2009, hlm. 54–55, 97–99
  25. ^ Assmann 2001, hlm. 129–131, 144–145
  26. ^ a b Cooney 2010, hlm. 227–228
  27. ^ Assmann 2005, hlm. 151–154
  28. ^ Cooney 2010, hlm. 235–236
  29. ^ Smith 2009, hlm. 119, 141
  30. ^ Venit 2010, hlm. 98, 107
  31. ^ Smith 2017, hlm. 386
  32. ^ Lesko 1999, hlm. 158–159
  33. ^ a b Griffiths 1980, hlm. 14–17
  34. ^ Griffiths 1970, hlm. 300–301
  35. ^ Pinch 2004, hlm. 149
  36. ^ Pinch 2004, hlm. 80–81, 146
  37. ^ Meeks & Favard-Meeks 1996, hlm. 82, 86–87
  38. ^ Lesko 1999, hlm. 182
  39. ^ Lesko 1999, hlm. 176
  40. ^ Griffiths 2001, hlm. 189
  41. ^ Pinch 2004, hlm. 145
  42. ^ Wilkinson 2003, hlm. 115
  43. ^ Traunecker 2001, hlm. 221–222
  44. ^ a b Münster 1968, hlm. 134–135
  45. ^ Griffiths 1960, hlm. 48–50
  46. ^ Meeks & Favard-Meeks 1996, hlm. 67
  47. ^ Smith 2017, hlm. 393
  48. ^ a b c Lesko 1999, hlm. 180–181
  49. ^ Meeks & Favard-Meeks 1996, hlm. 185–186
  50. ^ a b Vanderlip 1972, hlm. 93–96
  51. ^ Lesko 1999, hlm. 159, 170
  52. ^ Assmann 2001, hlm. 134
  53. ^ a b Troy 1986, hlm. 68–70
  54. ^ a b Žabkar 1988, hlm. 60–62, 72
  55. ^ Žabkar 1988, hlm. 73–74, 81–82
  56. ^ Pinch 2004, hlm. 151
  57. ^ Meeks & Favard-Meeks 1996, hlm. 98
  58. ^ a b c Hart 2005, hlm. 81–82
  59. ^ Pinch 2004, hlm. 151
  60. ^ Baines 1996, hlm. 371
  61. ^ Wilkinson 2003, hlm. 147
  62. ^ Griffiths 1980, hlm. 12–14, 157–158
  63. ^ Žabkar 1988, hlm. 114
  64. ^ Tobin 2001, hlm. 466
  65. ^ Žabkar 1988, hlm. 43–44, 81–82
  66. ^ Delia 1998, hlm. 546–547
  67. ^ a b c d e Žabkar 1988, hlm. 52–53
  68. ^ Žabkar 1988, hlm. 42–44, 67
  69. ^ Assmann 1997, hlm. 49–50
  70. ^ Assmann 2001, hlm. 237–243
  71. ^ Wente 2001, hlm. 433–434
  72. ^ McClain 2011, hlm. 3–4
  73. ^ Pinch 2004, hlm. 61–62
  74. ^ Frankfurter 1998, hlm. 99–102
  75. ^ a b c d e Wilkinson 2003, hlm. 148–149, 160
  76. ^ Griffiths 1980, hlm. 49–50
  77. ^ Wilkinson 2003, hlm. 168–169
  78. ^ Frankfurter 1998, hlm. 102–103
  79. ^ Bianchi 2007, hlm. 493–494
  80. ^ a b Frankfurter 1998, hlm. 104
  81. ^ a b Sandri 2012, hlm. 637–638
  82. ^ Hart 2005, hlm. 80
  83. ^ Andrews 2001, hlm. 80
  84. ^ Frankfort 1978, hlm. 43–44, 123, 137
  85. ^ Lesko 1999, hlm. 170
  86. ^ Troy 1986, hlm. 70
  87. ^ Bricault & Versluys 2014, hlm. 30–31
  88. ^ Morkot 2012, hlm. 121–122, 124
  89. ^ Pfeiffer 2008, hlm. 387–388
  90. ^ Thompson 1998, hlm. 699, 704–707
  91. ^ Solmsen 1979, hlm. 56–57
  92. ^ Pfeiffer 2008, hlm. 387–396, 400–403
  93. ^ Plantzos 2011, hlm. 389–396
  94. ^ Münster 1968, hlm. 189–190
  95. ^ Lesko 1999, hlm. 169
  96. ^ Münster 1968, hlm. 165–166
  97. ^ Dijkstra 2008, hlm. 186–187
  98. ^ Dunand & Zivie-Coche 2004, hlm. 236–237, 242
  99. ^ Dijkstra 2008, hlm. 133, 137, 206–208
  100. ^ Yellin 2012a, hlm. 245
  101. ^ Yellin 2012b, hlm. 133
  102. ^ Dunand & Zivie-Coche 2004, hlm. 89–91
  103. ^ a b Dunand & Zivie-Coche 2004, hlm. 300–301
  104. ^ Naerebout 2007, hlm. 541, 547
  105. ^ Dunand & Zivie-Coche 2004, hlm. 93
  106. ^ Meeks & Favard-Meeks 1996, hlm. 167–173
  107. ^ a b Lesko 1999, hlm. 172–174
  108. ^ Smith 2009, hlm. 96–98, 103
  109. ^ Frankfurter 1998, hlm. 56, 61, 103–104
  110. ^ Dijkstra 2008, hlm. 202–210
  111. ^ Frankfurter 1998, hlm. 18–20, 26–27
  112. ^ a b Dijkstra 2008, hlm. 342–347
  113. ^ Cruz-Uribe 2010, hlm. 504–506
  114. ^ Lesko 1999, hlm. 163–164, 166–168
  115. ^ Hays 2010, hlm. 4–5
  116. ^ Lesko 1999, hlm. 175, 177–179
  117. ^ Smith 2009, hlm. 54–55, 462
  118. ^ Yellin 2012b, hlm. 137
  119. ^ Dunand & Zivie-Coche 2004, hlm. 137
  120. ^ Kockelmann 2008, hlm. 73
  121. ^ Kockelmann 2008, hlm. 38–40, 81
  122. ^ Wilkinson 2003, hlm. 146
  123. ^ Mathews & Muller 2005, hlm. 5–6
  124. ^ Pinch 2006, hlm. 29, 144–146
  125. ^ Pinch 2006, hlm. 128–129
  126. ^ Meyer 1994, hlm. 27–29
  127. ^ Frankfurter 2009, hlm. 230–231
  128. ^ Woolf 2014, hlm. 73–79
  129. ^ Bommas 2012, hlm. 428–429
  130. ^ Ma 2014, hlm. 133–134
  131. ^ Hornung 2001, hlm. 19–25
  132. ^ Bremmer 2014, hlm. 140–141
  133. ^ Bommas 2012, hlm. 431–432
  134. ^ a b c Versluys 2004, hlm. 443–447
  135. ^ Orlin 2010, hlm. 3–7
  136. ^ Beard, North & Price 1998, hlm. 161
  137. ^ Takács 1995, hlm. 57, 64–67, 69
  138. ^ Orlin 2010, hlm. 204–207
  139. ^ Donalson 2003, hlm. 124–125
  140. ^ Orlin 2010, hlm. 211
  141. ^ Takács 1995, hlm. 83–86
  142. ^ Donalson 2003, hlm. 138–139, 159–162
  143. ^ Wild 1981, hlm. 149–151
  144. ^ Bommas 2012, hlm. 431
  145. ^ Bricault 2000, hlm. 206
  146. ^ Bricault 2001, hlm. 174–179
  147. ^ Donalson 2003, hlm. 177, 180–182
  148. ^ Tiradritti 2005, hlm. 21, 212
  149. ^ Beard, North & Price 1998, hlm. 248–249, 301–303
  150. ^ Alvar 2008, hlm. 216–217
  151. ^ Žabkar 1988, hlm. 135–137, 159–160
  152. ^ Alvar 2008, hlm. 39–40
  153. ^ Donalson 2003, hlm. 17–18
  154. ^ Heyob 1975, hlm. 48–50, 66–73
  155. ^ Heyob 1975, hlm. 53
  156. ^ Kraemer 1992, hlm. 74
  157. ^ Kraemer 1992, hlm. 76–77
  158. ^ Alvar 2008, hlm. 190–192
  159. ^ Sfameni Gasparro 2007, hlm. 43
  160. ^ Pachis 2010, hlm. 307–313
  161. ^ Solmsen 1979, hlm. 34–35, 40–43
  162. ^ a b Donalson 2003, hlm. 68, 74–75
  163. ^ Alvar 2008, hlm. 296–300
  164. ^ Legras 2014, hlm. 96–97
  165. ^ Pachis 2010, hlm. 283–290
  166. ^ Donalson 2003, hlm. 177–178
  167. ^ Donalson 2003, hlm. 10
  168. ^ Griffiths 1970, hlm. 131, 284–285
  169. ^ a b Assmann 1997, hlm. 118–119
  170. ^ Griffiths 1970, hlm. 284
  171. ^ Beard, North & Price 1998, hlm. 289–290
  172. ^ Gasparini 2016, hlm. 135–137
  173. ^ Gasparini 2011, hlm. 700, 716–717
  174. ^ Versluys 2007, hlm. 3–4
  175. ^ Takács 1995, hlm. 28–29
  176. ^ Renberg 2017, hlm. 331
  177. ^ Bommas 2012, hlm. 425, 430–431
  178. ^ Hart 2005, hlm. 70
  179. ^ Witt 1997, hlm. 200, 210–215
  180. ^ Witt 1997, hlm. 198–203
  181. ^ Witt 1997, hlm. 206–207
  182. ^ Griffiths 1970, hlm. 263
  183. ^ Solmsen 1979, hlm. 16–19, 53–57
  184. ^ Pakkanen 1996, hlm. 91, 94–100
  185. ^ Heyob 1975, hlm. 72–73
  186. ^ Donalson 2003, hlm. 8
  187. ^ Hollis 2009, hlm. 3–5
  188. ^ Woolf 2014, hlm. 84
  189. ^ Lahelma & Fiema 2008, hlm. 209–211
  190. ^ Rives 1999, hlm. 80, 162
  191. ^ Sfameni Gasparro 2007, hlm. 54–56
  192. ^ Smith 2010, hlm. 243–246
  193. ^ Van Nuffelen 2010, hlm. 17–21, 26–27
  194. ^ Hanson 1996, hlm. 299
  195. ^ Griffiths 1975, hlm. 154–155
  196. ^ Griffiths 1975, hlm. 143–144
  197. ^ a b Versnel 2011, hlm. 299–301
  198. ^ a b Belayche 2010, hlm. 151–152
  199. ^ Gasparini 2011, hlm. 706–708
  200. ^ Bianchi 2007, hlm. 480–482, 494
  201. ^ Delia 1998, hlm. 542–543
  202. ^ Griffiths 1975, hlm. 124–126
  203. ^ Walters 1988, hlm. 5–7
  204. ^ Bianchi 1980, hlm. 10
  205. ^ Griffiths 1975, hlm. 132–135
  206. ^ Walters 1988, hlm. 20–25
  207. ^ a b Donalson 2003, hlm. 6–7
  208. ^ Bianchi 2007, hlm. 494
  209. ^ a b Beard, North & Price 1998, hlm. 236, 307–309
  210. ^ Burkert 1987, hlm. 46–50
  211. ^ Bøgh 2015, hlm. 279–282
  212. ^ Alvar 2008, hlm. 32–33
  213. ^ Takács 1995, hlm. 5–6
  214. ^ Orlin 2010, hlm. 206
  215. ^ Heyob 1975, hlm. 87
  216. ^ Heyob 1975, hlm. 95–96
  217. ^ Kraemer 1992, hlm. 76
  218. ^ Alvar 2008, hlm. 183–184
  219. ^ Donalson 2003, hlm. 49
  220. ^ Heyob 1975, hlm. 93–94, 103–105
  221. ^ Bowden 2010, hlm. 177
  222. ^ Witt 1997, hlm. 117
  223. ^ Bommas 2012, hlm. 430
  224. ^ Turcan 1996, hlm. 104–109
  225. ^ Donalson 2003, hlm. 34–35, 39
  226. ^ Wild 1981, hlm. 60–61, 154–157
  227. ^ Bodel 2008, hlm. 258, 261–262
  228. ^ Alvar 2008, hlm. 192
  229. ^ Bodel 2008, hlm. 261
  230. ^ Bøgh 2015, hlm. 281–282
  231. ^ Renberg 2017, hlm. 392–393
  232. ^ Bøgh 2015, hlm. 278
  233. ^ Bremmer 2014, hlm. 113–114
  234. ^ Alvar 2008, hlm. 58–61
  235. ^ Pakkanen 1996, hlm. 78–82
  236. ^ Bremmer 2014, hlm. 113–114
  237. ^ Griffiths 1970, hlm. 42–43
  238. ^ Burkert 1987, hlm. 41
  239. ^ Bremmer 2014, hlm. 116
  240. ^ Venit 2010, hlm. 90
  241. ^ Bøgh 2015, hlm. 278
  242. ^ Burkert 1987, hlm. 97
  243. ^ Bowden 2010, hlm. 165–167, 179–180
  244. ^ Bowden 2010, hlm. 14–24, 212–216
  245. ^ Hanson 1996, hlm. 341
  246. ^ Griffiths 1975, hlm. 315–317
  247. ^ Turcan 1996, hlm. 121
  248. ^ a b Salzman 1990, hlm. 169–175
  249. ^ Donalson 2003, hlm. 68–73
  250. ^ Alvar 2008, hlm. 299
  251. ^ Alvar 2008, hlm. 300–302
  252. ^ Salzman 1990, hlm. 232–236
  253. ^ Turcan 1996, hlm. 128
  254. ^ Salzman 1990, hlm. 239
  255. ^ Salzman 1990, hlm. 240–246
  256. ^ Alvar 2008, hlm. 30
  257. ^ Salzman 1990, hlm. 240
  258. ^ Alvar 2008, hlm. 383–385
  259. ^ Beard, North & Price 1998, hlm. 286
  260. ^ a b Bowden 2010, hlm. 207–210
  261. ^ Alvar 2008, hlm. 390–394
  262. ^ Alvar 2008, hlm. 419–421
  263. ^ Benko 1993, hlm. 1–4
  264. ^ Witt 1997, hlm. 272–274, 277
  265. ^ Benko 1993, hlm. 263–265
  266. ^ McGuckin 2008, hlm. 17–18
  267. ^ Heyob 1975, hlm. 74–76
  268. ^ Higgins 2012, hlm. 72–74
  269. ^ Mathews & Muller 2005, hlm. 6–9
  270. ^ Bolman 2005, hlm. 17–18
  271. ^ Higgins 2012, hlm. 78–79

Karya yang dikutip

  • Adler, Margot (1986). Drawing Down the Moon: Witches, Druids, Goddess-Worshippers, and Other Pagans in America Today, Revised and Expanded Edition. Beacon Press. ISBN 978-0-8070-3253-4. 
  • Alvar, Jaime (2008) [2001]. Romanising Oriental Gods: Myth, Salvation, and Ethics in the Cults of Cybele, Isis, and Mithras. Translated and edited by Richard Gordon. Brill. ISBN 978-90-04-13293-1. 
  • Andrews, Carol A.R. (2001). "Amulets". Dalam Redford, Donald B. The Oxford Encyclopedia of Ancient Egypt. 1. Oxford University Press. ISBN 978-0-19-510234-5. 
  • Assmann, Jan (1997). Moses the Egyptian: The Memory of Egypt in Western Monotheism. Harvard University Press. ISBN 978-0-674-58738-0. 
  • Assmann, Jan (2001) [1984]. The Search for God in Ancient Egypt. Diterjemahkan oleh David Lorton. Cornell University Press. ISBN 978-0-8014-3786-1. 
  • Assmann, Jan (2005) [2001]. Death and Salvation in Ancient Egypt. Diterjemahkan oleh David Lorton. Cornell University Press. ISBN 978-0-8014-4241-4. 
  • Baines, John (1996). "Myth and Literature". Dalam Loprieno, Antonio. Ancient Egyptian Literature: History and Forms. Cornell University Press. ISBN 978-90-04-09925-8. 
  • Beard, Mary; North, John; Price, Simon (1998). Religions of Rome, Volume I: A History. Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-31682-8. 
  • Belayche, Nicole (2010). "Deus deum ... summorum maximus (Apuleius): Ritual Expressions of Distinction in the Divine World in the Imperial Period". Dalam Mitchell, Stephen; Van Nuffelen, Peter. One God: Pagan Monotheism in the Roman Empire. Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-19416-7. 
  • Benko, Stephen (1993). The Virgin Goddess: Studies in the Pagan and Christian Roots of Mariology. Brill. ISBN 978-90-04-09747-6. 
  • Bianchi, Robert S. (1980). "Not the Isis-Knot". Bulletin of the Egyptological Seminar. 2: 9–31. 
  • Bianchi, Robert S. (2007). "Images of Isis and Her Cultic Shrines Reconsidered: Towards an Egyptian Understanding of the Interpretatio Graeca". Dalam Bricault, Laurent; Versluys, Miguel John; Meyboom, Paul G. P. Nile into Tiber: Egypt in the Roman World. Proceedings of the IIIrd International Conference of Isis Studies, Faculty of Archaeology, Leiden University, May 11–14 2005 (dalam bahasa French and English). Brill. ISBN 978-90-04-15420-9. 
  • Bodel, John (2008). "Cicero's Minerva, Penates, and the Mother of the Lares: An Outline of Roman Domestic Religion". Dalam Bodel, John; Olyan, Saul M. Household and Family Religion in Antiquity. Blackwell Publishing. ISBN 978-1-405-17579-1. 
  • Bøgh, Birgitte (2015). "Beyond Nock: From Adhesion to Conversion in the Mystery Cults". History of Religions. 54 (3): 260–287. JSTOR 678994. 
  • Bolman, Elizabeth (2005). "The Enigmatic Coptic Galaktotrophousa and the Cult of the Virgin Mary in Egypt". Dalam Vassilaki, Maria. Images of the Mother of God: Perceptions of the Theotokos in Byzantium. Ashgate Publishing. ISBN 978-0-7546-3603-8. 
  • Bommas, Martin (2012). "Isis, Osiris, and Serapis". Dalam Riggs, Christina. The Oxford Handbook of Roman Egypt. Oxford University Press. ISBN 978-0-19-957145-1. 
  • Bowden, Hugh (2010). Mystery Cults of the Ancient World. Princeton University Press. ISBN 978-0-691-14638-6. 
  • Bremmer, Jan N. (2014). Initiation into the Mysteries of the Ancient World. Walter de Gruyter. ISBN 978-3-11-029955-7. 
  • Bricault, Laurent (2000). "Études isiaques: perspectives". Dalam Bricault, Laurent. De Memphis à Rome: Actes du Ier Colloque international sur les études isiaques, Poitiers – Futuroscope, 8–10 avril 1999 (dalam bahasa French and English). Brill. ISBN 978-90-04-11736-5. 
  • Bricault, Laurent (2001). Atlas de la diffusion des cultes isiaques (dalam bahasa French). Diffusion de Boccard. ISBN 978-2-87754-123-7. 
  • Bricault, Laurent; Versluys, Miguel John (2014). "Isis and Empires". Dalam Bricault, Laurent; Versluys, Miguel John. Power, Politics and the Cults of Isis. Proceedings of the Vth International Conference of Isis Studies, Boulogne-sur-Mer, October 13–15, 2011 (dalam bahasa French and English). Brill. ISBN 978-90-04-27718-2. 
  • Burkert, Walter (1987). Ancient Mystery Cults. Harvard University Press. ISBN 978-0-674-03387-0. 
  • Cooney, Kathlyn M. (December 2010). "Gender Transformation in Death: A Case Study of Coffins from Ramesside Period Egypt". Near Eastern Archaeology. 73 (4): 224–237. JSTOR 41103940. 
  • Cruz-Uribe, Eugene (2010). "The Death of Demotic Redux: Pilgrimage, Nubia, and the Preservation of Egyptian Culture". Dalam Knuf, Hermann; Leitz, Christian; von Recklinghausen, Daniel. Honi soit qui mal y pense: Studien zum pharaonischen, griechisch-römischen und spätantiken Ägypten zu Ehren von Heinz-Josef Thissen. Peeters. ISBN 978-90-429-2323-2. 
  • Delia, Diana (1998). "Isis, or the Moon". Dalam Clarysse, Willy; Schoors, Anton; Willems, Harco. Egyptian Religion: The Last Thousand Years. Studies Dedicated to the Memory of Jan Quaegebeur. Peeters. ISBN 978-90-429-0669-3. 
  • Dijkstra, Jitse H.F. (2008). Philae and the End of Ancient Egyptian Religion. Peeters. ISBN 978-90-429-2031-6. 
  • Donalson, Malcolm Drew (2003). The Cult of Isis in the Roman Empire: Isis Invicta. The Edwin Mellen Press. ISBN 978-0-7734-6894-8. 
  • Dunand, Françoise; Zivie-Coche, Christiane (2004) [1991]. Gods and Men in Egypt: 3000 BCE to 395 CE. Diterjemahkan oleh David Lorton. Cornell University Press. ISBN 978-0-8014-8853-5. 
  • Dunand, Françoise (2010). "Culte d'Isis ou religion Isiaque?". Dalam Bricault, Laurent; Versluys, Miguel John. Isis on the Nile: Egyptian Gods in Hellenistic and Roman Egypt. Proceedings of the IVth International Conference of Isis Studies, Liège, November 27–29, 2008 (dalam bahasa French, English, and German). Brill. ISBN 978-90-04-18882-2. 
  • Forrest, M. Isidora (2001). Isis Magic: Cultivating a Relationship with the Goddess of 10,000 Names. Llewellyn Worldwide. ISBN 978-1-56718-286-6. 
  • Frankfort, Henri (1978) [1948]. Kingship and the Gods: A Study of Ancient Near Eastern Religion as the Integration of Society & Nature. University of Chicago Press. ISBN 978-0-226-26011-2. 
  • Frankfurter, David (1998). Religion in Roman Egypt: Assimilation and Resistance. Princeton University Press. ISBN 978-0-8014-3847-9. 
  • Frankfurter, David (2009). "The Laments of Horus in Coptic: Myth, Folklore, and Syncretism in Late Antique Egypt". Dalam Dill, Ueli; Walde, Christine John. Antike Mythen: Medien, Transformationen und Konstruktionen. Walter de Gruyter. ISBN 978-3-11-020909-9. 
  • Gasparini, Valentino (2011). "Isis and Osiris: Demonology vs. Henotheism?". Numen. 58 (5/6): 697–728. JSTOR 23046225. 
  • Gasparini, Valentino (2016). "'I will not be thirsty. My lips will not be dry': Individual Strategies of Re-constructing the Afterlife in the Isiac Cults". Dalam Waldner, Katharina; Gordon, Richard; Spickermann, Wolfgang. Burial Rituals, Ideas of Afterlife, and the Individual in the Hellenistic World and the Roman Empire. Franz Steiner Verlag. ISBN 978-3-515-11550-6. 
  • Griffiths, J. Gwyn (1960). The Conflict of Horus and Seth. Liverpool University Press. OCLC 473891027. 
  • Griffiths, J. Gwyn, ed. (1970). Plutarch's De Iside et Osiride. University of Wales Press. OCLC 101107. 
  • Griffiths, J. Gwyn, ed. (1975). Apuleius, the Isis-book (Metamorphoses, book XI). Brill. ISBN 978-90-04-04270-4. 
  • Griffiths, J. Gwyn (1980). The Origins of Osiris and His Cult. Brill. ISBN 978-90-04-06096-8. 
  • Griffiths, J. Gwyn (2001). "Isis". Dalam Redford, Donald B. The Oxford Encyclopedia of Ancient Egypt. 2. Oxford University Press. ISBN 978-0-19-510234-5. 
  • Hadot, Pierre (2006) [2004]. The Veil of Isis: An Essay on the History of the Idea of Nature. Diterjemahkan oleh Michael Chase. The Belknap Press of Harvard University Press. ISBN 978-0-674-02316-1. 
  • Haage, Bernard D. (2006). "Alchemy II: Antiquity–12th Century". Dalam Hanegraaff, Wouter J.; Faivre, Antoine; van den Broek, Roelof; Brach, Jean-Pierre. Dictionary of Gnosis & Western Esotericism. Brill. ISBN 978-90-04-15231-1. 
  • Hanson, J. Arthur, ed. (1996). Metamorphoses (The Golden Ass), Volume II: Books 7–11. Harvard University Press. ISBN 978-0-674-99498-0. 
  • Hart, George (2005). The Routledge Dictionary of Egyptian Gods and Goddesses, Second Edition. Routledge. ISBN 978-0-203-02362-4. 
  • Hays, Harold M. (2010). Wendrich, Willeke, ed. "Funerary Rituals (Pharaonic Period)". UCLA Encyclopedia of Egyptology. Department of Near Eastern Languages and Cultures, UC Los Angeles. Diakses tanggal 10 December 2017. 
  • Heyob, Sharon Kelly (1975). The Cult of Isis among Women in the Graeco-Roman World. Brill. ISBN 978-90-04-04368-8. 
  • Higgins, Sabrina (2012). "Divine Mothers: The Influence of Isis on the Virgin Mary in Egyptian Lactans-Iconography". Journal of the Canadian Society for Coptic Studies. 3 (4): 71–90. 
  • Hollis, Susan Tower (2009). "Hathor and Isis in Byblos in the Second and First Millennia BCE". Journal of Ancient Egyptian Interconnections. 1 (2): 1–8. 
  • Hornung, Erik (2001) [1999]. The Secret Lore of Egypt: Its Impact on the West. Diterjemahkan oleh David Lorton. Cornell University Press. ISBN 978-0-8014-3847-9. 
  • Humbert, Jean-Marcel (2000). "Les nouveaux mystères d'Isis, ou les avatars d'un mythe du XVIe au XXe siècle". Dalam Bricault, Laurent. De Memphis à Rome: Actes du Ier Colloque international sur les études isiaques, Poitiers – Futuroscope, 8–10 avril 1999 (dalam bahasa French and English). Brill. ISBN 978-90-04-11736-5. 
  • Hutton, Ronald (1999). The Triumph of the Moon: A History of Modern Pagan Witchcraft. Oxford University Press. ISBN 978-0-19-820744-3. 
  • Khazan, Olga (22 September 2014). "ISIS Has Recently Become a Popular Girls' Name". The Atlantic. Diakses tanggal 10 December 2017. 
  • Kockelmann, Holger (2008). Praising the Goddess: A Comparative and Annotated Re-Edition of Six Demotic Hymns and Praises Addressed to Isis. Walter de Gruyter. ISBN 978-3-11-021224-2. 
  • Kraemer, Ross Shepard (1992). Her Share of the Blessings: Women's Religions among Pagans, Jews, and Christians in the Greco-Roman World. Oxford University Press. ISBN 978-0-19-506686-9. 
  • Kuhlmann, Klaus P. (2011). Wendrich, Willeke, ed. "Throne". UCLA Encyclopedia of Egyptology. Department of Near Eastern Languages and Cultures, UC Los Angeles. Diakses tanggal 10 December 2017. 
  • Lahelma, Antti; Fiema, Zbigniew T. (2008). "From Goddess to Prophet: 2000 Years of Continuity on the Mountain of Aaron near Petra, Jordan". Temenos: Nordic Journal of Comparative Religion. 44 (2): 191–222. 
  • Legras, Bernard (2014). "Sarapis, Isis et le pouvoir lagide". Dalam Bricault, Laurent; Versluys, Miguel John. Power, Politics and the Cults of Isis. Proceedings of the Vth International Conference of Isis Studies, Boulogne-sur-Mer, October 13–15, 2011 (dalam bahasa French and English). Brill. ISBN 978-90-04-27718-2. 
  • Lesko, Barbara S. (1999). The Great Goddesses of Egypt. University of Oklahoma Press. ISBN 978-0-8061-3202-0. 
  • Ma, John (2014). "Les cultes isiaques en l'espace seleucide". Dalam Bricault, Laurent; Versluys, Miguel John. Power, Politics and the Cults of Isis. Proceedings of the Vth International Conference of Isis Studies, Boulogne-sur-Mer, October 13–15, 2011 (dalam bahasa French and English). Brill. ISBN 978-90-04-27718-2. 
  • Macpherson, Jay (2004). "The Travels of Sethos". Lumen: Selected Proceedings from the Canadian Society for Eighteenth-Century Studies. 23: 235–254. 
  • Mathews, Thomas F.; Muller, Norman (2005). "Isis and Mary in Early Icons". Dalam Vassilaki, Maria. Images of the Mother of God: Perceptions of the Theotokos in Byzantium. Ashgate Publishing. ISBN 978-0-7546-3603-8. 
  • McClain, Brett (2011). Wendrich, Willeke, ed. "Cosmogony (Late to Ptolemaic and Roman Periods)". UCLA Encyclopedia of Egyptology. Department of Near Eastern Languages and Cultures, UC Los Angeles. Diakses tanggal 10 December 2017. 
  • McGuckin, John (2008). "The Early Cult of Mary and Inter-Religious Contexts in the Fifth-Century Church". Dalam Maunder, Chris. The Origins of the Cult of the Virgin Mary. Burns and Oates. ISBN 978-0860-12456-6. 
  • Meeks, Dimitri; Favard-Meeks, Christine (1996) [1993]. Daily Life of the Egyptian Gods. Diterjemahkan oleh G. M. Goshgarian. Cornell University Press. ISBN 978-0-8014-8248-9. 
  • Meyer, Marvin (1994). "Greek Texts of Ritual Power from Christian Egypt". Dalam Meyer, Marvin; Smith, Richard. Ancient Christian Magic: Coptic Texts of Ritual Power. HarperSanFrancisco. ISBN 978-0-06-065578-5. 
  • Morkot, Robert G. (2012). "Kings and Kingship in Ancient Nubia". Dalam Fisher, Marjorie M.; Lacovara, Peter; Ikram, Salima; D'Auria, Sue. Ancient Nubia: African Kingdoms on the Nile. The American University in Cairo Press. ISBN 978-977-416-478-1. 
  • Münster, Maria (1968). Untersuchungen zur Göttin Isis vom Alten Reich bis zum Ende des Neuen Reiches (dalam bahasa German). Verlag Bruno Hessling. OCLC 925981274. 
  • Naerebout, Frederick (2007). "The Temple at Ras el-Soda. Is It an Isis Temple? Is It Greek, Roman, Egyptian, or Neither? And So What?". Dalam Bricault, Laurent; Versluys, Miguel John; Meyboom, Paul G. P. Nile into Tiber: Egypt in the Roman World. Proceedings of the IIIrd International Conference of Isis Studies, Faculty of Archaeology, Leiden University, May 11–14 2005 (dalam bahasa French and English). Brill. ISBN 978-90-04-15420-9. 
  • Orlin, Eric M. (2010). Foreign Cults in Rome: Creating a Roman Empire. Oxford University Press. ISBN 978-0-19-973155-8. 
  • Pachis, Panayotis (2010). Religion and Politics in the Graeco-Roman World: Redescribing the Isis-Sarapis Cult. Barbounakis Publications. ISBN 978-960-267-140-5. 
  • Pakkanen, Petra (1996). Interpreting Early Hellenistic Religion: A Study Based on the Mystery Cult of Demeter and the Cult of Isis. Foundation of the Finnish Institute at Athens. ISBN 978-951-95295-4-7. 
  • Pfeiffer, Stephan (2008). "The God Serapis, his Cult and the Beginnings of the Ruler Cult in Ptolemaic Egypt". Dalam McKechnie, Paul; Guillaume, Philippe. Ptolemy II Philadelphus and His World. Brill. ISBN 978-90-04-17089-6. 
  • Pinch, Geraldine (2004) [2002]. Egyptian Mythology: A Guide to the Gods, Goddesses, and Traditions of Ancient Egypt. Oxford University Press. ISBN 978-0-19-517024-5. 
  • Pinch, Geraldine (2006). Magic in Ancient Egypt, Revised Edition. University of Texas Press/British Museum Press. ISBN 978-0-292-72262-0. 
  • Plantzos, Dimitris (2011). "The Iconography of Assimilation: Isis and Royal Imagery on Ptolemaic Seal Impressions". Dalam Iossif, Panagiotis; Chankowski, Andrzej S.; Lorber, Catherine C. More Than Men, Less Than Gods: On Royal Cult and Imperial Worship. Proceedings of the International Colloquium Organized by the Belgian School at Athens (November 1–2, 2007). Peeters. ISBN 978-90-429-2470-3. 
  • Quentin, Florence (2012). Isis l'Éternelle: Biographie d'une mythe féminin (dalam bahasa French). Albin Michel. ISBN 978-2-226-24022-4. 
  • Renberg, Gil H. (2017). Where Dreams May Come: Incubation Sanctuaries in the Greco-Roman World. Brill. ISBN 978-90-04-29976-4. 
  • Rives, J. B., ed. (1999). Tacitus: Germania. Clarendon Press. ISBN 978-0-19-815050-3. 
  • Salzman, Michele Renee (1990). On Roman Time: The Codex-Calendar of 354 and the Rhythms of Urban Life in Late Antiquity. University of California Press. ISBN 978-0-520-06566-6. 
  • Sandri, Sandra (2012). "Terracottas". Dalam Riggs, Christina. The Oxford Handbook of Roman Egypt. Oxford University Press. ISBN 978-0-19-957145-1. 
  • Sfameni Gasparro, Giulia (2007). "The Hellenistic Face of Isis: Cosmic and Saviour Goddess". Dalam Bricault, Laurent; Versluys, Miguel John; Meyboom, Paul G. P. Nile into Tiber: Egypt in the Roman World. Proceedings of the IIIrd International Conference of Isis Studies, Faculty of Archaeology, Leiden University, May 11–14 2005 (dalam bahasa French and English). Brill. ISBN 978-90-04-15420-9. 
  • Smith, Mark (2009). Traversing Eternity: Texts for the Afterlife from Ptolemaic and Roman Egypt. Oxford University Press. ISBN 978-0-19-815464-8. 
  • Smith, Mark (2017). Following Osiris: Perspectives on the Osirian Afterlife from Four Millennia. Oxford University Press. ISBN 978-0-19-958222-8. 
  • Smith, Mark S. (2010) [2008]. God in Translation: Deities in Cross-Cultural Discourse in the Biblical World. Eerdmans. ISBN 978-0-8028-6433-8. 
  • Solmsen, Friedrich (1979). Isis among the Greeks and Romans. Harvard University Press. ISBN 978-0-674-46775-0. 
  • Spieth, Darius A. (2007). Napoleon's Sorcerers: The Sophisians. University of Delaware Press. ISBN 978-0-87413-957-0. 
  • Takács, Sarolta A. (1995). Isis and Sarapis in the Roman World. Brill. ISBN 978-90-04-10121-0. 
  • Teeter, Emily (2001). "Cults: Divine Cults". Dalam Redford, Donald B. The Oxford Encyclopedia of Ancient Egypt. 1. Oxford University Press. ISBN 978-0-19-510234-5. 
  • Thompson, Dorothy (1998). "Demeter in Graeco-Roman Egypt". Dalam Clarysse, Willy; Schoors, Anton; Willems, Harco. Egyptian Religion: The Last Thousand Years. Studies Dedicated to the Memory of Jan Quaegebeur. Peeters. ISBN 978-90-429-0669-3. 
  • Tiradritti, Francesco (2005). "The Return of Isis in Egypt: Remarks on Some Statues of Isis and on the Diffusion of Her Cult in the Greco-Roman World". Dalam Hoffmann, Adolf. Ägyptische Kulte und ihre Heiligtümer im Osten des Römischen Reiches. Internationales Kolloquium 5./6. September 2003 in Bergama (Türkei). Ege Yayınları. ISBN 978-1-55540-549-6. 
  • Tobin, Vincent Arieh (2001). "Myths: An Overview". Dalam Redford, Donald B. The Oxford Encyclopedia of Ancient Egypt. 2. Oxford University Press. ISBN 978-0-19-510234-5. 
  • Traunecker, Claude (2001). "Kamutef". Dalam Redford, Donald B. The Oxford Encyclopedia of Ancient Egypt. 2. Oxford University Press. ISBN 978-0-19-510234-5. 
  • Troy, Lana (1986). Patterns of Queenship in Ancient Egyptian Myth and History. Acta Universitatis Upsaliensis. ISBN 978-91-554-1919-6. 
  • Turcan, Robert (1996) [1992]. The Cults of the Roman Empire. Diterjemahkan oleh Antonia Nevill. Blackwell. ISBN 978-0-631-20046-8. 
  • van den Broek, Roelof (2006). "Hermes Trismegistus I: Antiquity". Dalam Hanegraaff, Wouter J.; Faivre, Antoine; van den Broek, Roelof; Brach, Jean-Pierre. Dictionary of Gnosis & Western Esotericism. Brill. ISBN 978-90-04-15231-1. 
  • Vanderlip, Vera Frederika (1972). The Four Greek Hymns of Isidorus and the Cult of Isis. A.M. Hakkert. ISBN 978-0-89130-699-3. 
  • Van Nuffelen, Peter (2010). "Pagan Monotheism as a Religious Phenomenon". Dalam Mitchell, Stephen; Van Nuffelen, Peter. One God: Pagan Monotheism in the Roman Empire. Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-19416-7. 
  • Venit, Marjorie S. (2010). "Referencing Isis in Tombs of Graeco-Roman Egypt: Tradition and Innovation". Dalam Bricault, Laurent; Versluys, Miguel John. Isis on the Nile: Egyptian Gods in Hellenistic and Roman Egypt. Proceedings of the IVth International Conference of Isis Studies, Liège, November 27–29, 2008 (dalam bahasa French, English, and German). Brill. ISBN 978-90-04-18882-2. 
  • Versluys, Miguel John (2004). "Isis Capitolina and the Egyptian Cults in Late Republican Rome". Dalam Bricault, Laurent. Isis en Occident: Actes du IIème Colloque international sur les études isiaques, Lyon III 16-17 mai 2002 (dalam bahasa French, German, English, and Italian). Brill. ISBN 978-90-04-13263-4. 
  • Versluys, Miguel John (2007). "Aegyptiaca Romana: The Widening Debate". Dalam Bricault, Laurent; Versluys, Miguel John; Meyboom, Paul G. P. Nile into Tiber: Egypt in the Roman World. Proceedings of the IIIrd International Conference of Isis Studies, Faculty of Archaeology, Leiden University, May 11–14 2005 (dalam bahasa French and English). Brill. ISBN 978-90-04-15420-9. 
  • Versnel, H. S. (2011). Coping with the Gods: Wayward Readings in Greek Theology. Brill. ISBN 978-90-04-20490-4. 
  • Vinson, Steve (2008). "Through a Woman's Eyes, and in a Woman's Voice: Ihweret as Focalizor in the First Tale of Setna Khaemwas". Dalam McKechnie, Paul; Guillaume, Philippe. Ptolemy II Philadelphus and His World. Brill. ISBN 978-90-04-17089-6. 
  • Walters, Elizabeth J. (1988). Attic Grave Reliefs that Represent Women in the Dress of Isis. American School of Classical Studies at Athens. ISBN 978-90-04-06331-0. 
  • Wente, Edward F. (2001). "Monotheism". Dalam Redford, Donald B. The Oxford Encyclopedia of Ancient Egypt. 2. Oxford University Press. ISBN 978-0-19-510234-5. 
  • Wild, Robert A. (1981). Water in the Cultic Worship of Isis and Serapis. Brill. ISBN 978-90-04-06331-0. 
  • Wilkinson, Richard H. (2003). The Complete Gods and Goddesses of Ancient Egypt. Thames & Hudson. ISBN 978-0-500-05120-7. 
  • Witt, R.E. (1997) [1971]. Isis in the Ancient World. Johns Hopkins University Press. ISBN 978-0-8018-5642-6. 
  • Woolf, Greg (2014). "Isis and the Evolution of Religions". Dalam Bricault, Laurent; Versluys, Miguel John. Power, Politics and the Cults of Isis. Proceedings of the Vth International Conference of Isis Studies, Boulogne-sur-Mer, October 13–15, 2011 (dalam bahasa French and English). Brill. ISBN 978-90-04-27718-2. 
  • Yellin, Janice W. (2012a). "Wad ban Naqa". Dalam Fisher, Marjorie M.; Lacovara, Peter; Ikram, Salima; D'Auria, Sue. Ancient Nubia: African Kingdoms on the Nile. The American University in Cairo Press. ISBN 978-977-416-478-1. 
  • Yellin, Janice W. (2012b). "Nubian Religion". Dalam Fisher, Marjorie M.; Lacovara, Peter; Ikram; D'Auria, Sue. Ancient Nubia: African Kingdoms on the Nile. The American University in Cairo Press. ISBN 978-977-416-478-1. 
  • Žabkar, Louis V. (1988). Hymns to Isis in Her Temple at Philae. Brandeis University Press. ISBN 978-0-87451-395-0. 
  • Ziolkowski, Theodore (Summer 2008). "The Veil as Metaphor and Myth". Religion & Literature. 40 (2): 61–81. 

Bacaan tambahan

  • Berger, Catherine; Clerc, Gisèle; Grimal, Nicolas, ed. (1994). Hommages à Jean Leclant, Volume 3: Études isiaques. Institut français d'archéologie orientale. ISBN 978-2-7247-0138-8. 
  • Bricault, Laurent (2013). Les Cultes Isiaques Dans Le Monde Gréco-romain (dalam bahasa French). Les Belles Lettres. ISBN 978-2-251-33969-6. 
  • Bricault, Laurent; Veymiers, Richard, ed. (2008–2014). Bibliotheca Isiaca. Ausonius Éditions.  Vol. I: ISBN 978-2-910023-99-7; Vol. II: ISBN 978-2-356-13053-2; Vol. III: ISBN 978-2-356-13121-8.
  • Dunand, Françoise (1973). Le culte d'Isis dans le bassin oriental de la méditerranée (dalam bahasa French). Brill.  Vol. I: ISBN 978-90-04-03581-2; Vol. II: ISBN 978-90-04-03582-9; Vol. III: ISBN 978-90-04-03583-6.
  • Leclant, Jean; Clerc, Gisèle (1972–1991). Inventaire bibliographique des Isiaca. Répertoire bibliographique des travaux relatifs à la diffusion des cultes isiaques 1940–1969 (dalam bahasa French). Brill.  A–D: ISBN 978-90-04-29481-3; E–K: ISBN 978-90-04-03981-0; L–Q: ISBN 978-90-04-07061-5; R–Z: ISBN 978-90-04-09247-1.
  • Tran Tam Tinh, V. (1973). Isis lactans: Corpus des monuments gréco-romains d’Isis allaitant Harpocrate (dalam bahasa French). Brill. ISBN 978-90-04-03746-5. 
  • Vidman, Ladislav (1970). Isis und Serapis bei den Griechen und Römern (dalam bahasa German). Walter de Gruyter. ISBN 978-3-11-176823-6. 

Pranala luar