Galai

kapal yang menggunakan dayung sebagai penggerak utama
Revisi sejak 3 Februari 2019 00.26 oleh Philosophical Zombie Bot (bicara | kontrib) (Negara Gereja)

Galai atau Gali (dari bahasa Portugis: Galé) adalah sejenis kapal yang menggunakan dayung sebagai alat penggerak utama. Ciri-ciri yang membedakan galai dari kapal-kapal lain adalah lambungnya yang panjang dan ramping, saratnya yang rendah, serta lambung timbulnya yang pendek. Nyaris semua jenis galai dilengkapi dengan layar yang dapat digunakan bilamana angin mendukung, tetapi tenaga manusia tetap menjadi daya penggerak utama. Penggunaan tenaga manusia ini memungkinkan galai berlayar menentang arah angin maupun arus laut. Galai adalah hasil reka cipta peradaban-peradaban bahari di sekeliling Laut Tengah pada permulaan milenium pertama sebelum Masehi. Berbagai jenis galai tetap dipergunakan sampai dengan permulaan abad ke-19, baik untuk berperang, berniaga, maupun merompak.

Maket galai rancangan Malta yang lazim digunakan pada abad ke-16

Galai dipergunakan sebagai kapal perang oleh bangsa-bangsa bahari kuno di sekeliling Laut Tengah, antara lain bangsa Yunani, bangsa Fenisia, dan bangsa Romawi. Galai tetap menjadi jenis kapal yang paling banyak dipakai untuk berperang dan merompak di perairan Laut Tengah sampai dengan dasawarsa terakhir abad ke-16. Sebagai kapal perang, galai pernah diperlengkapi dengan berbagai macam senjata, antara lain hulu pelantak, katapel tempur, dan meriam, tetapi juga mengandalkan jumlah awaknya yang banyak untuk menundukkan kapal-kapal musuh melalui aksi serbu kapal. Galai merupakan jenis kapal pertama yang memanfaatkan meriam-meriam berat secara efektif sebagai senjata antikapal. Pemanfaatan galai sebagai landasan senjata api berat telah memicu perubahan rancangan benteng-benteng pantai Abad Pertengahan, dan penyempurnaan kapal-kapal perang layar.

Pengerahan galai dalam peperangan mencapai puncaknya pada penghujung abad ke-16, yakni dalam pertempuran-pertempuran laut semisal Pertempuran Lepanto tahun 1571, salah satu pertempuran laut terbesar sepanjang sejarah dunia. Kendati demikian, pada abad ke-17, kapal-kapal layar dan kapal-kapal hibrida seperti sabak menggeser pemanfaatan galai dalam pertempuran laut. Galai adalah kapal perang yang paling lazim digunakan di Samudra Atlantik pada Abad Pertengahan, dan masih digunakan secara terbatas di Karibia, Filipina, dan Samudera Hindia pada permulaan Zaman Modern, pada umumnya sebagai kapal ronda dalam rangka pemberantasan bajak laut. Sejak pertengahan abad ke-16, galai hanya sesekali digunakan di Laut Baltik untuk pelayaran-pelayaran jarak dekat dan pelayaran-pelayaran antarpulau yang berdekatan. Galai sempat muncul kembali di medan tempur pada abad ke-18 dalam perang yang melibatkan Rusia, Swedia, dan Denmark.

Definisi dan terminologi

Istilah "galai" berasal dari kata "galea", sebutan dalam bahasa Yunani Abad Pertengahan bagi dromon ukuran kecil. Dromon adalah jenis kapal perang utama angkatan laut Kekaisaran Bizantin.[1] Asal-usul kata "galea" tidak begitu jelas, namun agaknya berkaitan dengan kata "galeos" yang berarti ikan hiu anjing.[2]

Catatan-catatan sejarah Portugis dan Belanda menyebut-nyebut tentang keberadaan bermacam-macam perahu dayung Nusantara yang setaraf dengan galai-galai buatan Eropa. Perahu-perahu dayung pribumi ini digunakan untuk meronda pantai maupun untuk berperang.[3] Agaknya istilah "galai"[4] atau "gali"[5] (bahasa Makassar: galle) dalam bahasa Indonesia berasal dari lafalan pribumi untuk kata Galé dari bahasa Portugis, atau kata Galei dari bahasa Belanda. Kata "galai" (bahasa Inggris: galley) sudah mulai digunakan dalam bahasa Inggris sejak ca. 1300,[6] dan dalam berbagai bahasa Eropa lainnya sejak ca. 1500, baik sebagai sebutan umum bagi kapal-kapal perang berpenggerak dayung, maupun sebagai sebutan khusus semenjak Abad Pertengahan bagi kapal-kapal khas Laut Tengah.[7] Penggunaan istilah "galai" sebagai sebutan umum bagi segala macam kapal berpenggerak dayung baru dimulai pada abad-16. Sebelum itu, khususnya pada Abad Kuno, setiap jenis galai memiliki sebutan sendiri-sendiri. Dalam khazanah sastra modern, istilah "galai" sesekali digunakan sebagai sebutan umum bagi berbagai macam wahana air berpenggerak dayung yang lebih besar daripada perahu, sementara istilah "galai sejati" digunakan sebagai sebutan khusus bagi kapal-kapal tradisional Laut Tengah.[8]

 
Galai Charles, galai pergata buatan Inggris pada era 1670-an. Kapal ini bukanlah sebuah "galai sejati", tetapi masih dapat disebut galai karena diperlengkapi dengan dayung.

Galai-galai kuno diberi nama berdasarkan jumlah dayung, jumlah jajar dayung, atau jumlah baris pendayungnya. Nama-nama ini berasal dari bahasa pada zaman pembuatannya, ditambah gabungan kata-kata Yunani dan Latin yang lebih mutakhir. Galai-galai perdana buatan Yunani yang hanya diperlengkapi satu jajar dayung diberi nama triakonter (triakontoroi, tiga puluh dayung) dan pentekonter (pentēkontoroi, lima puluh dayung).[9] Nama untuk jenis-jenis galai dari zaman sesudahnya, yang diperlengkapi lebih dari satu jajar dayung, dibentuk dari kata bilangan Latin yang diimbuhi akhiran -remis, dari kata rēmus yang berarti "dayung". Monoremis berarti galai berdayung satu jajar, biremis berarti galai berdayung dua jajar, dan triremis berati galai berdayung tiga jajar. Karena galai hanya dapat diperlengkapi dengan sebanyak-banyaknya tiga jajar dayung, maka nama untuk semua jenis galai yang lebih canggih daripada triremis bukan dibuat berdasarkan banyaknya jajar dayung, melainkan banyaknya jumlah pendayung yang menggerakkan tiap-tiap batang dayung. Quinqueremis (dari kata quinque ditambah rēmus) secara harfiah berarti "lima-dayung", sehingga dapat disalahartikan sebagai galai berdayung lima jajar, tetapi sebenarnya berarti ada penambahan tenaga pendayung pada jajar-jajar dayung tertentu sehingga seluruh tenaga pendayung tertata dalam lima baris. Untuk menyerderhanakannya, banyak akademisi modern menyebutnya dengan istilah "lima", "enam", "delapan", "sebelas", dan seterusnya. Galai-galai berpendayung di atas enam atau tujuh baris memang tidak lazim dibuat orang, tetapi bahkan sebuah galai "empat puluh" yang luar biasa pun dapat dijumpai dalam sumber-sumber sezamannya. Segala macam galai berpendayung di atas tiga atau empat baris seringkali disebut "poliremis".[10]

Arkeolog Lionel Casson pernah menggunakan istilah "galai" sebagai sebutan bagi segala macam kapal yang beroperasi di Eropa Utara pada Awal Abad Pertengahan dan Puncak Abad Pertengahan, bahkan termasuk pula kapal-kapal panjang para saudagar Viking, akan tetapi penggunaan istilah "galai" semacam ini jarang terjadi.[11] Kapal-kapal militer berpenggerak dayung yang dibuat di Kepulauan Britania selama abad ke-11 sampai abad ke-13 sebenarnya mengacu pada rancangan-rancangan kapal Skandinavia, tetapi juga disebut "galai". Banyak di antaranya yang mirip dengan birlin, kerabat dekat dari kkapal panjang semisal snekkja. Pada abad ke-14, kapal-kapal ini tergantikan oleh kapal-kapal balinger di perairan selatan Britania, sementara kapal panjang jenis "galai Irlandia" masih terus digunakan sepanjang Abad Pertengahan di perairan utara Britania.[12]

 
Lukisan cat air kapal-kapal Amerika Serikat dalam Pertempuran Pulau Valcour, memperlihatkan beberapa "galai dayung"; fungsinya sama, tetapi rancangannya jauh berbeda rancangan-rancangan galai Laut Tengah.

Galai-galai Abad Pertengahan dan Awal Zaman Modern menggunakan terminologi yang berbeda dari leluhur-leluhur kunonya. Nama galai-galai ini dibuat berdasarkan perubahan rancangan yang berkembang sesudah skema-skema berdayung kuno terlupakan. Galai-galai terpenting antara lain adalah dromon, leluhur dari gallia sottila buatan Italia. Dromon merupakan tahap awal dalam proses perkembangan menuju bentuk akhir dari galai perang Laut Tengah. Ketika dijadikan bagian integral dari angkatan perang dan tata pemerintahan negara pada permulaan Zaman Modern, galai-galai digolongkan ke dalam semacam jenjang kepangkatan berdasarkan ukuran dan jumlah awaknya. Jenjang kepangkatan yang paling sederhana adalah sebagai berikut: "galai lentera" pengangkut panglima perang yang berukuran besar, separuh-galai, galiot, pusta, brigantin, dan pergata. Sejarawan bahari Jan Glete menyebut tindakan penggolongan galai ini sebagai cikal bakal dari jenjang kepangkatan kapal perang Angkatan Laut Britania Raya dan armada-armada pelayaran lainnya di Eropa Utara.[13]

Angkatan Laut Perancis dan Angkatan Laut Britania Raya membuat sejumlah "galai pergata" selama kurun waktu 1670–1690. Galai pergata adalah kapal-kapal layar jelajah kecil begeladak dua dengan sebaris lubang penumpu dayung pada lambung sepanjang geladak bawah. Tiga galai pergata Inggris juga diberi nama-nama istimewa - Galai James, Galai Charles, dan Galai Mary.[14] Pada penghujung abad ke-18, istilah "galai" dalam beberapa konteks tertentu digunakan sebagai sebutan bagi wahana-wahana air berukuran kecil, berpenggerak dayung, bersenjata meriam, dan yang sama sekali tidak menyerupai satu pun galai-galai klasik Laut Tengah. Semasa Perang Revolusi Amerika, dan perang-perang lain melawan Perancis dan Inggris, Angkatan Laut Amerika Serikat perdana dan angkatan laut negara-negara lainnya membuat kapal-kapal yang disebut "galai" atau "galai dayung", meskipun kapal-kapal ini sebenarnya adalah brigantin atau perahu meriam Baltik.[15] Penyebutan kapal-kapal ini sebagai galai lebih dimaksudkan untuk menonjolkan peran kemiliterannya, dan berkaitan pula dengan urusan administrasi dan pendanaan angkatan laut.[16]

Sejarah

Salah satu wahana air perdana adalah perahu lesung atau kano yang dibuat dengan cara melubangi sebatang pohon sehingga berceruk. Perahu-perahu lesung ini adalah leluhur paling pertama dari galai. Lambungnya yang pendek menyebabkan perahu lesung harus dikayuh dari posisi duduk tertentu sambil menghadap ke arah haluan. Cara kayuh kurang efisien jika dibandingkan dengan cara dayung yang menghadap ke arah buritan. Keberadaan wahana lintas laut yang dikayuh pada Abad Kuno telah dibuktikan dengan penemuan patung-patung maket kapal berbahan lempung dan timbal di kawasan sekitar Laut Aegea yang berasal dari milenium ke-3 SM. Meskipun demikian, para arkeolog meyakini bahwa kolonisasi pada Zaman Batu atas pulau-pulau di Laut Tengah sekitar tahun 8.000 SM hanya mungkin terwujud berkat penggunaan kapal-kapal kayuh yang cukup besar dan laik laut, bahkan mungkin pula telah diperlengkapi dengan layar.[17] Bukti pertama keberadaan wahana air yang lebih canggih dan yang dianggap sebagai prototipe galai di kemudian hari berasal dari Zaman Mesir Kuno pada kurun waktu Kerajaan Lama (ca. 2700–2200 SM). Pada masa pemerintahan Firaun Pepi I (2332–2283 SM), kapal-kapal semacam ini digunakan sebagai alat angkut pasukan Mesir yang dikerahkan untuk menyerang permukiman-permukiman di pesisir kawasan Syam serta untuk berlayar pulang membawa budak-belian dan kayu.[18] pada masa pemerintahan Hatshepsut (ca. 1479–57 SM), galai-galai digunakan dalam perniagaan barang-barang mewah di Laut Merah dengan Negeri Punt yang misterius itu, sebagaimana yang ditampilkan pada lukisan-lukisan dinding makam Hatshepsut di Deir el-Bahari.[19]

 
Kapal perang Asyur, sebuah biremis berhaluan menjorok. 700 SM

Bangsa Fenisia, sebuah bangsa bahari yang mendiami pesisir selatan dan timur Laut Tengah, kemungkinan besar adalah bangsa yang pertama kali membuat galai-galai bergeladak dua, yakni galai-galai yang di kemudian hari dikenal dengan nama Yunaninya, diērēs, atau biremis.[20] Meskipun bangsa Fenisia tergolong sebagai bangsa berperadaban bahari yang paling penting pada permulaan Abad Kuno, hanya sedikit bukti yang telah ditemukan terkait jenis-jenis kapal yang mereka gunakan. Gambar-gambar terbaik dari kapal-kapal Fenisia yang sudah ditemukan sejauh ini adalah gambar-gambar kecil yang sudah sangat distilisasi pada stempel-stempel. Gambar-gambar pada stempel ini menampakkan kapal-kapal berbentuk sabit, bertiang satu, dan diperlengkapi satu jajar dayung. Fresko-fresko beraneka warna di bekas-bekas permukiman masyarakat Minoa di Santorini (ca. 1600 SM) menampilkan gambar-gambar kapal yang lebih teperinci, lengkap dengan tenda-tenda upacara di geladak, dan tampak sedang berlayar beriringan. Beberapa di antaranya didayung, tetapi selebihnya dikayuh oleh orang-orang yang tampak membungkuk dengan penuh semangat di sepanjang bibir kapal. Gambar-gambar kapal yang dikayuh itu ditafsirkan sebagai laku ritual yang memperagakan kembali kegiatan berlayar dengan kapal-kapal kuno, untuk mengingatkan orang pada masa lampau, manakala teknik mendayung belum ditemukan. Meskipun demikian, hanya sedikit yang diketahui mengenai cara pengoperasian dan rancangan kapal-kapal bangsa Minoa.[21]

Pada masa-masa awal keberadaan galai, tidak ada perbedaan yang menonjol antara kapal-kapal niaga dan kapal-kapal perang selain pemanfaatannya. Perahu-perahu sungai hilir-mudik di jalur pelayaran Mesir Kuno pada Zaman Kerajaan Lama (2700–2200 SM) dan kapal-kapal serupa galai tercatat mengangkut barang-barang mewah dari seberang Laut Merah pada masa pemerintahan Firaun Hatshepsut. Pemasangan hulu pelantak pada haluan kapal sekitar abad ke-8 SM menjadikan kapal-kapal perang memiliki ciri khas yang membedakannya dari kapal-kapal niaga, setidaknya bilamana digunakan dalam perang laut. Bangsa Fenisia memanfaatkan galai sebagai alat angkut. Galai buatan Fenisia ini tidak terlampau panjang, jumlah dayungnya lebih sedikit, dan lebih banyak bergantung pada layar. Bangkai galai Kartago dari abad ke-3 atau abad ke-2 SM yang ditemukan di lepas pantai Sisilia memiliki rasio panjang banding lebar sebesar 6:1, sementara pada galai-galai niaga perbandingannya adalah 4:1, dan pada galai-galai perang perbandingannya adalah 8:1 atau 10:1. Galai-galai niaga Laut Tengah pada Abad Kuno dibuat untuk mengangkut muatan berharga atau barang-barang tidak tahan lama yang perlu dikirim secara aman dan selekas mungkin.[22]

 
Dionisos mengendarai sebuah wahana mirip galai kecil dalam lukisan pada cawan Dionisos buatan Eksekias, dari ca. 530 SM[23]

Galai-galai Yunani perdana muncul pada sekitar paruh kedua milenium ke-2 SM. Dalam syair wiracarita Ilias, berlatar belakang abad ke-12 SM, galai-galai dengan satu jajar dayung digunakan secara khusus untuk mengangkut para prajurit ke dan dari berbagai medan pertempuran darat.[24] Pertempuran laut pertama yang tercatat dalam sejarah adalah Pertempuran Delta yang seawal-awalnya terjadi 1175 SM, manakala bala tentara Mesir di bawah pimpinan Ramesses III maju memerangi persekutuan suku-suku bangsa misterius yang dikenal dengan sebutan Bangsa Laut. Pertempuran ini adalah bentrok pertama yang diketahui melibatkan kekuatan-kekuatan tempur dan memanfaatkan kapal-kapal laut sebagai senjata perang, meskipun lebih sebagai landasan untuk bertarung. Pertempuran ini menjadi istimewa karena merupakan suatu aksi perlawanan terhadap sebuah armada yang membuang sauh di dekat pantai dengan bantuan pasukan panah yang berpangkalan di darat.[25]

Galai-galai sejati perdana di Laut Tengah lazimnya memiliki 15 dan 25 pasang dayung, disebut triakonter atau pentekonter, berturut-turut secara harfiah berarti "berdayung tiga puluh" dan "berdayung lima puluh". Tak lama sesudah kemunculannya, baris dayung ketiga ditambahkan melalui penambahan semacam cadik pada biremis, yakni konstruksi menjorok pada bibir kapal yang menyediakan tambahan tempat untuk dipasangi dayung. Galai-galai jenis baru ini disebut triērēs ("tiga serangkai") dalam bahasa Yunani. Bangsa Romawi kelak menyebut rancangan ini triremis, yakni nama yang paling dikenal sekarang ini. Pernah dihipotesiskan bahwa jenis-jenis triremis perdana sudah muncul sedari awal 700 SM, akan tetapi peninggalan tertulis paling tua mengenai triremis berasal dari 542 SM.[26] Dengan berkembangnya triremis, kapal-kapal pentekonter pun sepenuhnya menghilang dari pelayaran. Triakonter masih tetap digunakan, tetapi hanya untuk kegiatan pemantauan dan urusan-urusan kilat.[27]

Kapal-kapal perang perdana

 
Rekonstruksi sebuah skuadron galai Yunani kuno berdasarkan gambar-gambar Olympias, sebuah replika galai yang dibuat pada Zaman Modern

Mula-mula galai digunakan dalam peperangan untuk mengangkut para pejuang dari satu tempat ke tempat lain, dan sampai dengan pertengahan milenium ke-2 SM tidak berbeda wujudnya dari kapal-kapal niaga. Sekitar abad ke-14 SM, muncul kapal-kapal pertama yang dibuat khusus untuk keperluan tempur, lebih ramping dan bersahaja dibanding kapal-kapal niaga yang gempal. Kapal-kapal ini digunakan dalam aksi penyerangan, perebutan kapal-kapal niaga, dan dalam urusan-urusan kilat.[28] Kala itu perompakan merupakan bentuk utama kekerasan terorganisasi di kawasan Laut Tengah. Sejarawan klasik di bidang bahari, Lionel Casson, merujuk pada contoh-contoh dalam karya-karya tulis Homeros untuk memperlihatkan bahwa aksi penyerangan di laut dianggap sebagai pekerjaan halal oleh bangsa-bangsa bahari kuno. Sejarawan Athena era akhir, Thoukudídēs mendeskripsikan penyerangan terhadap kapal-kapal niaga sebagai kegiatan yang "tanpa stigma" sedari zaman sebelum ia lahir.[29]

Pengembangan hulu pelantak kira-kira sebelum abad ke-8 SM mengubah tata-cara berperang di laut, yang sampai saat itu masih berupa kegiatan mengerubuti kapal musuh dan bertarung satu lawan satu. Dengan tonjolan berat yang terpasang pada pangkal haluan dan dilapisi logam, biasanya perunggu, sebuah kapal dapat melumpuhkan kapal musuh dengan menghantamkan hulu pelantak pada lambung kapal musuh hingga berlubang. Laju dan kegesitan nisbi kapal-kapal menjadi penting, karena kapal yang lamban akan dapat disalip dan dilumpuhkan oleh kapal yang laju. Rancangan-rancangan awal hanya menempatkan sebaris pendayung di lambung kapal yang tidak bergeladak, untuk menggerakkan batang dayung yang terpasang pada keliti di sepanjang bibir kapal. Agar mampu bergerak laju dan gesit dalam peperangan, sebuah kapal kayu harus diperlengkapi dengan sebanyak-banyaknya 25 sampai 30 batang dayung pada kedua belah sisinya. Penambahan sebaris dayung lagi sebelum ca. 750 SM, memungkinkan badan galai dibuat lebih pendek tanpa mengurangi jumlah pendayung, sehingga menjadikannya cukup kokoh sebagai alat penubruk yang efektif.[30]

Munculnya negara-negara yang lebih maju dan timbulnya persaingan di antara negara-negara itu mendorong pengembangan galai menjadi lebih canggih dengan jumlah baris pendayung berlipat ganda. Sepanjang pertengahan milenium pertama SM, kekuatan-kekuatan Laut Tengah mengembangkan kapal-kapal yang kian lama kian besar dan kian rumit. Hasil karya mereka yang tercanggih adalah triremis klasik berpenggerak 170 orang pendayung. Triremis-triremis dikerahkan dalam beberapa pertempuran laut selama Perang Yunani-Persia (502–449 SM) dan Perang Peloponnesos (431-404 SM), termasuk pula Pertempuran Aegospotamos pada 405 SM, yang memeteraikan kekalahan Athena dari Sparta dan sekutu-sekutunya. Triremis adalah kapal canggih yang sangat menguras dana, baik untuk pembuatan maupun perawatannya, disebabkan oleh jumlah awaknya yang banyak. Pada abad ke-5, telah dikembangkan galai-galai perang canggih, yang bergantung pada keberadaan negara-negara besar dengan perekonomian maju untuk membuat dan merawatnya. Galai dihubung-hubungkan dengan kemutakhiran teknologi kapal perang sekitar abad ke-4 SM, dan hanya dapat dimiliki oleh negara maju dengan perekonomian dan administrasi yang maju pula. Pengoperasian galai membutuhkan tenaga pendayung dengan tingkat kemahiran yang memadai. Kebanyakan pendayung adalah warga negara merdeka yang berpengalaman kerja bertahun-tahun sebagai pendayung.[31]

Zaman Helenistis dan kebangkitan Republik

 
Biremis Angkatan Laut Romawi pada sebuah relief dari Kuil Fortuna Primigenia di Praeneste (Palestrina)[32] yang dibangun ca. 120 SM;[33] pajangan Museo Pio-Clementino di Museum Vatikan.
 
Odiseus dan Siren, mosaik Ulises di Museum Nasional Bardo, Tunis, Tunisia, abad ke-2 M.

Seiring dengan semakin besar dan semakin rumitnya peradaban-peradaban di sekeliling Laut Tengah, baik kekuatan tempur laut maupun ukuran galai-galai dalam kekuatan tempur laut yang mereka miliki juga menjadi semakin besar. Rancangan dasar galai berdayung dua atau tiga baris masih tetap sama, tetapi terjadi peningkatan jumlah pendayung yang menangani masing-masing dayung. Alasan tepatnya tidak diketahui, tetapi diyakini disebabkan oleh penambahan jumlah pasukan serta pemasangan senjata-senjata jarak jauh yang lebih canggih di atas kapal, misalnya katapel tempur. Besarnya kekuatan tempur laut juga menimbulkan kesukaran untuk mendapatkan cukup banyak tenaga pendayung mahir, karena adanya penerapan sistem satu-orang-satu-dayung pada triremis-triremis perdana. Dengan menempatkan lebih dari satu orang pada masing-masing dayung, satu pendayung tunggal dapat menjadi patokan berolah-gerak bagi rekan-rekannya, dengan demikian orang-orang yang tidak berpengalaman dapat pula dipekerjakan sebagai pendayung.[34]

Negara-negara yang bermunculan menggantikan kekaisaran Aleksander Agung membuat galai-galai yang serupa dengan triremis atau biremis dalam hal tata-letak dayungnya, tetapi masing-masing dayung digerakkan oleh lebih dari satu orang pendayung. Dionisios I dari Sirakusa (ca. 432–367 SM) dihargai sebagai perintis galai "lima" dan "enam", artinya lima atau enam baris pendayung menangani dua atau tiga baris dayung. Ptolemaios II (283-46 SM) diketahui pernah membangun sebuah armada besar, terdiri atas galai-galai besar yang mencakup pula beberapa galai rancangan eksperimental berpendayung 12 sampai 40 baris, meskipun sebagian besar galai-galai ini dianggap tidak terlalu praktis. Armada-armada dengan galai-galai besar dikerahkan dalam konflik-konflik seperti Perang Punisia (246-146 SM) antara Republik Romawi dan Kartago, yang menimbulkan beberapa pertempuran laut besar-besaran dengan pengerahan beratus-ratus kapal dan berlaksa-laksa prajurit, pelaut, serta pendayung.[35]

Sebagian besar bukti tertulis yang tersisa mengenai galai-galai ini berasal dari dunia usaha pengapalan barang Yunani dan Romawi, akan tetapi agaknya galai-galai niaga di seluruh Laut Tengah sangat mirip satu sama lain. Dalam bahasa Yunani, galai-galai ini disebut histiokopos ("pe-layar-dayung"), nama ini mencerminkan ketergantungannya pada kedua macam propulsi itu. Dalam bahasa Latin, sebutannya adalah actuaria (navis) ("kapal yang bergerak"), nama ini mengacu pada kemampuannya untuk mengarungi laut tanpa bergantung pada kondisi cuaca. Sebagai contoh dari laju dan keandalan galai-galai ini, dalam pidatonya yang terkenal "Carthago delenda est", Cato Sang Pengetua mendemonstrasikan betapa dekatnya Kartago, musuh besar Romawi, dengan memperlihatkan kepada khalayak pendengarnya sebutir ara segar yang ia katakan baru dipetik dari pohon tiga hari lepas di Afrika Utara. Barang-barang muatan lain yang diangkut dengan galai adalah madu, keju, daging, dan binatang hidup untuk pertarungan gladiator. Orang-orang Romawi memiliki beberapa jenis galai niaga yang diperuntukkan untuk berbagai keperluan khusus, antara lain actuaria yang berpendayung sampai 50 orang dan yang paling banyak digunakan untuk berbagai keperluan, phaselus (secara harfiah berarti "polong" atau kulit kacang) yang dikhususkan untuk mengangkut penumpang, serta lembus, alat angkut cepat berukuran kecil. Banyak dari rancangan-rancangan ini terus dipergunakan sampai dengan Abad Pertengahan.[36]

Zaman Imperium Romawi

 
Penggambaran dua liburna yang digunakan orang-orang Romawi dalam perang melawan orang-orang Dacia pada permulaan abad ke-2 M; relief dari Kolom Trayanus, ca. 113 M.

Pertempuran Actium pada 31 SM antara pasukan Augustus melawan pasukan Markus Antonius menjadi puncak pencapaian armada Romawi. Seusai kemenangan Augustus di Actium, sebagian besar armada Romawi dibongkar dan dibakar. Sebagian besar pertempuran dalam perang saudara Romawi melibatkan kekuatan-kekuatan tempur darat, dan sejak kurun waktu 160-an hingga abad ke-4 M, tidak ada catatan apa pun mengenai aksi-aksi yang dilakukan oleh armada berukuran besar. Selama kurun waktu ini, sebagian besar awak galai dibebastugaskan atau dikaryakan dalam dunia hiburan untuk pertunjukan perang-perangan atau untuk menangani tenda-tenda peneduh yang serupa dengan layar-layar kapal di arena-arena Romawi yang lebih besar. Apa saja yang tersisa dari armada Romawi diperlakukan semata-mata sebagai barisan cadangan guna mendukung kekuatan-kekuatan tempur darat. Awak kapal pun menyebut dirinya milites (para prajurit), bukan lagi nautae (para pelaut).[37]

Armada galai Romawi dijadikan satuan-satuan ronda provinsi yang lebih kecil dan sangat bergantung pada liburna, kapal-kapal biremis sempit berdayung 25 pasang. Kapal-kapal ini dinamakan demikian mengikuti nama dari salah satu suku Iliria yang dikenal orang-orang Romawi sebagai suku pengembara laut. Kapal-kapal kecil ini meniru, atau terinsprasi oleh, kapal-kapal yang digunakan suku itu. Liburna dan galai-galai kecil lainnya meronda sungai-sungai benua Eropa, dan berlayar hingga ke kawasan Baltik, tempat kapal-kapal ini digunakan untuk memadamkan pemberontakan-pemberontakan rakyat setempat. Orang-orang Romawi memiliki banyak pangkalan di seluruh wilayah kekaisaran mereka: pelabuhan-pelabuhan di sepanjang sungai-sungai Eropa Tengah, serta jaringan pelabuhan di sepanjang pesisir Eropa Utara dan Kepulauan Britania, Mesopotamia dan Afrika Utara, termasuk yang ada di Trabzon, Wina, Beograd, Dover, Seleukia, dan Aleksandria. Hanya sedikit saja pertempuran melibatkan galai di tingkat provinsi yang tercatat dalam sejarah. Satu aksi pada 70 M pada lokasi yang tidak diketahui di "Pulau orang-orang Batavia" manakala pecah Pemberontakan Batavia tercatat dalam sejarah, melibatkan penggunaan sebuah triremis sebagai kapal bendera pihak Romawi.[38] Armada provinsi terakhir, classis Britannica, dirampingkan menjelang akhir kurun waktu 200-an M, meskipun sempat sedikit diperbesar pada masa pemerintahan Konstantinus (272–337). Pada masa pemerintahan Konstantinus, pecah pertempuran laut berskala besar terakhir yang dilalui Kekaisaran Romawi bersatu (sebelum pecah permanen menjadi Kekaisaran Romawi Barat dan Kekaisaran Romawi Timur yang kelak disebut Bizantium), pertempuran Hellespontus pada 324 M. Tak lama seusai pertempuran Hellespontus, triremis klasik menghilang dari lalu-lintas pelayaran, dan rancangannya pun terlupakan.[39]

 
Perarakan agung Poseidon dan Amfitrit memperlihatkan pasangan itu dalam iring-iringan, detail dari sebuah mosaik yang lebar dari Cirta, Afrika Romawi (ca. 315–325 M, sekarang di Museum Louvre)

Zaman Pertengahan

Peralihan dari galai ke kapal-kapal layar sebagai jenis kapal perang yang paling lazim digunakan bermula pada Puncak Abad Pertengahan (ca. abad ke-11). Kapal-kapal layar berlambung tinggi senantiasa menjadi rintangan yang menciutkan nyali bagi galai-galai. Bagi wahana-wahana dayung berlambung bebas rendah itu, kapal-kapal layar yang berbadan lebih gempal, koga dan kerakah, terlihat nyaris laksana benteng-benteng terapung, sukar dikerubuti dan bahkan lebih sukar lagi untuk direbut. Galai tetap dimanfaatkan sebagai kapal perang sepanjang seluruh Abad Pertengahan karena kemampuannya berolah-gerak. Kapal-kapal layar kala itu hanya bertiang satu, yang biasanya dipasangi selembar saja layar persegi. Hal ini menjadikan kapal-kapal itu berat dikemudikan dan nyaris tidak mungkin berlayar menentang arah angin. Oleh karena itu galai tetap merupakan satu-satunya jenis kapal yang dapat digunakan dalam aksi penyerangan di perairan pesisir dan dalam aksi pendaratan satuan-satuan tempur, kedua aksi ini adalah unsur-unsur kunci dari peperangan pada Abad Pertengahan.[40]

Kawasan timur Mediterania

Di kawasan timur Laut Tengah, Kekaisaran Bizantium disibukkan oleh serbuan-serbuan dadakan dari bangsa Arab Muslim sejak abad ke-7, yang menimbulkan persaingan sengit, pembesaran armada, dan pembuatan galai-galai perang yang semakin lama semakin besar ukurannya. Segera sesudah menaklukkan Mesir dan Levant, para pemimpin Arab membuat kapal-kapal yang sangat mirip kapal-kapal dromon Bizantium dengan bantuan para undagi Koptik dari bekas pangkalan-pangkalan laut Bizantium.[41] Pada abad ke-9, perseteruan antara Bizantium dan Arab telah menjadikan kawasan timur Laut Tengah sebagai wilayah tak bertuan bagi kegiatan niaga. Dalam kurun waktu 820-an, Kreta direbut kaum Muslim Andalusia yang tersingkir dari negerinya usai gagal memberontak melawan Emirat Kordoba. Kaum Muslim Andalusia mengubah Kreta menjadi sebuah pangkalan untuk melancarkan serangan-serangan (menggunakan galai) terhadap usaha pengapalan barang orang-orang Kristen sampai Bizantium merebut kembali pulau itu pada 960.[42]

Kawasan barat Mediterania

Di kawasan barat Laut Tengah dan Atlantik, tercerai-berainya Kekaisaran Karoling pada penghujung abad ke-9 mengakibatkan kurun waktu sesudahnya menjadi penuh pergolakan. Perompakan dan penyerangan di Laut Tengah meningkat, terutama oleh kaum Muslim yang merupakan pendatang baru di kawasan itu. Keadaan semakin diperparah oleh kedatangan orang-orang Viking dari Skandinavia yang melakukan penyerangan-penyerangan dengan menggunakan kapal-kapal panjang, yakni kapal-kapal yang sangat mendekati galai dari segi rancangan dan pemanfaatannya, serta menggunakan siasat-siasat tempur yang sama. Untuk menanggulangi ancaman ini, para petinggi pribumi mulai membuat kapal-kapal dayung berukuran besar. Beberapa di antara kapal-kapal itu diperlengkapi dengan dayung sampai 30 pasang banyaknya, yakni kapal-kapal yang jauh lebih besar, lebih cepat, dan berlambung lebih tinggi dari pada kapal-kapal Viking.[43] Gerak ekspansi bangsa Skandinavia, termasuk aksi-aksi serangan mereka di Laut Tengah, baik terhadap kaum Muslim Iberia maupun terhadap Konstantinopel, mereda pada pertengahan abad ke-11. Pada waktu itu, lalu-lintas niaga sudah menjadi jauh lebih stabil berkat kebangkitan kerajaan-kerajaan Kristen seperti Perancis, Hongaria, dan Polandia. Sekitar waktu yang sama, bandar-bandar dan negara-negara kota Italia, seperti Venesia, Pisa, dan Amalfi, bangkit di pinggiran wilayah Kekaisaran Bizantium ketika kekaisaran itu justru sedang sibuk berkutat dengan ancaman-ancaman dari timur.[44]

Sesudah kemunculan Islam dan aksi-aksi penaklukan kaum Muslim pada abad ke-7 dan ke-8, perekonomian Laut Tengah yang telah terbina selama berabad-abad itu mengalami keruntuhan, dan volume perniagaan merosot tajam.[45] Kekaisaran Romawi Timur (Bizantium) mengabaikan peluang untuk menghidupkan kembali jalur-jalur niaga darat, dan terus berupaya mempertahankan keterbukaan jalur-jalur pelayaran yang menjadi andalan mereka untuk mempertahankan keutuhan kekaisaran. Perniagaan komoditas curah terpuruk pada kurun waktu 600-750, sementara perniagaan komoditas mewah mengalami peningkatan. Galai-galai masih tetap dioperasikan, terutama dalam kegiatan niaga barang-barang mewah, dengan maksud agar laba yang diperoleh cukup besar untuk menutupi biaya perawatannya yang tinggi.[46] Pada abad ke-10, aksi pembajakan meningkat pesat sehingga orang mulai membuat kapal-kapal yang lebih besar dan berawak lebih banyak. Sebagian besar kapal-kapal jenis baru ini dibuat oleh negara-negara kota Italia yang tumbuh sebagai kekuatan-kekuatan bahari dominan, di antaranya termasuk Venesia, Genova, dan Pisa. Mengikuti rancangan kapal warisan Bizantium, galai-galai niaga jenis baru ini serupa bangunnya dengan dromon, hanya saja mampu berlayar lebih cepat, lebih lebar, dan tidak diperlengkapi dengan senjata-senjata berat. Kapal-kapal ini dapat diawaki sampai 1.000 orang banyaknya, dan dimanfaatkan baik untuk niaga maupun untuk perang. Faktor selanjutnya yang mendorong pengembangan galai-galai niaga ukuran besar adalah lonjakan jumlah peziarah Eropa Barat ke Tanah Suci.[47]

 
Galai agung Venesia dengan tiga layar mengangkut para peziarah menuju Yerusalem (Conrad Grünenberg 1486/7).

Di Eropa Utara, kapal-kapal panjang Viking berikut turunannya, kapal-kapal knorr, mendominasi perdagangan dan pengiriman barang, meskipun berkembang sendiri di luar lingkup tradisi galai Laut Tengah. Di Eropa Selatan, galai-galai tetap dimanfaatkan untuk kepentingan niaga meskipun kapal-kapal layar kala itu sudah memiliki lambung dan perangkat abah-abah yang lebih efisien. Galai masih sangat diandalkan karena dapat menepi ke pantai dan tetap mampu berlayar sekalipun tanpa dukungan angin. Titik zenit dalam rancang-bangun galai niaga ditandai oleh kemunculan galai-galai agung milik negara di Republik Venesia, yang pertama kali dibuat pada kurun waktu 1290-an. Kapal-kapal ini digunakan dalam kegiatan niaga komoditas mewah yang berlaba besar dari dunia Timur semisal rempah-rempah, sutra, dan ratna mutu manikam. Kapal-kapal ini dalam segala hal jauh lebih besar dari pada galai-galai perang sezamannya (mencapai 46 m), saratnya lebih besar, dan memiliki ruang yang lebih luas untuk menampung kargo (140-250 ton). Dengan jumlah pendayung berkisar dari 150 sampai 180 orang, yang semuanya mampu mempertahankan kapal bilamana diserang, galai-galai agung ini juga merupakan moda angkutan laut yang paling aman. Keistimewaan ini menciptakan peluang usaha angkutan cepat bagi para peziarah yang mengalir deras ke Tanah Suci, dengan tempo perjalanan paling cepat 29 hari untuk rute Venesia-Jaffa, meskipun harus menepi berulang kali untuk istirahat dan mengisi kembali cadangan air atau pun untuk menunggu sampai cuaca buruk berlalu.[48]

Perkembangan galai sejati

Medan perang laut pada Akhir Abad Pertengahan terbagi menjadi dua kawasan. Di Laut Tengah, galai-galai digunakan dalam kegiatan-kegiatan penyerangan di sepanjang pantai, dan dalam pertarungan konstan memperebutkan pangkalan-pangkalan laut. Di kawasan Atlantik dan Baltik, orang lebih berfokus pada kapal-kapal layar yang sebagian besar digunakan untuk mengangkut pasukan, sementara galai-galai dimanfaatkan sebagai sarana pendukung pertempuran.[49] Galai-galai masih luas digunakan di daerah utara dan merupakan jenis kapal perang terbanyak yang digunakan oleh kekuatan-kekuatan Laut Tengah yang memiliki kepentingan di daerah utara, teristimewa Kerajaan Perancis dan Kerajaan Iberia.[50]

Selama abad ke-13 dan ke-14, galai berkembang dalam bentuk rancangan yang pada dasarnya masih tetap sama sampai tidak dipergunakan lagi pada permulaan abad ke-19. Jenis baru ini diturunkan dari jenis-jenis kapal yang digunakan oleh armada Bizantium dan armada Muslim pada Awal Abad Pertengahan. Kapal-kapal ini merupakan tulang punggung dari semua kekuatan-kekuatan Kristen sampai dengan abad ke-14, termasuk republik-republik bahari di Genova dan Venesia, negara-Negara Gereja, Ksatria Hospitaller, Aragon, Kastilia, dan juga oleh banyak lanun dan korsario. Istilah umum untuk menyebut kapal-kapal jenis baru ini adalah gallia sottila ("galai ramping"). Angkatan Laut Utsmaniyah di kemudian hari menggunakan rancangan serupa, tetapi umumnya lebih cepat bila berlayar dengan mengandalkan layar, dan lebih kecil ukurannya, tetapi lebih lambat bila berlayar dengan mengandalkan dayung.[51] Rancangan-rancangan galai semata-mata dimaksudkan untuk memfasilitasi aksi jarak dekat dengan senjata-senjata genggam dan senjata-senjata lontar seperti busur panah dan busur silang. Pada abad ke-13, Kerajaan Aragon di semenanjung Iberia membuat beberapa armada galai yang diperlengkapi puri pertahanan, diawaki para pemanah silang Katalan, dan secara teratur mengalahkan kekuatan tempur Angevin yang jauh lebih besar jumlahnya.[52]

Sejak paruh pertama abad ke-14th, galere da mercato ("galai-galai saudagar") Venesia dibuat di galangan-galangan kapal milik Arsenal yang dikelola oleh negara sebagai suatu "kerja sama operasi badan usaha milik negara dan asosiasi pengusaha swasta, asosiasi pengusaha swasta adalah suatu konsorsium para saudagar ekspor", sebagaimana yang dideskripsikan oleh Fernand Braudel.[53] Kapal-kapal ini berlayar secara konvoi, dikawal oleh para prajurit pemanah dan para awak katapel tempur (ballestieri) di atas kapal, dan kelak diperlengkapi pula dengan meriam-meriam. Di Genova, kekuatan bahari besar lainnya di masa itu, galai-galai dan kapal-kapal pada umumnya lebih banyak yang dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan swasta kecil.

 
Model 3 dimensi dari struktur dasar lambung sebuah "Galai Orang Flandria" Venesia, kapal niaga berukuran besar dari abad ke-15. Rekonstruksi yang dibuat oleh arkeolog Courtney Higgins didasarkan pada ukuran yang terdapat dalam risalah-risalah perkapalan abad ke-15.[54]
 
Ilustrasi sebuah galai niaga abad ke-15 dari sebuah naskah yang ditulis oleh Mikhael dari Rodos (1401–1445) pada 1434.

Pada abad ke-14 dan ke-15, galai-galai niaga digunakan dalam kegiatan perdagangan barang-barang bernilai tinggi dan untuk mengangkut penumpang. Rute-rute utama pada permulaan Zaman Perang Salib merupakan jalur-jalur pengangkutan para peziarah menuju Tanah Suci. Di kemudian hari ada pula rute-rute yang menghubungkan pelabuhan-pelabuhan di sekeliling Laut Tengah, menghubungkan Laut Tengah dengan Laut Hitam (jalur perniagaan gandum curah yang tak lama kemudian terputus akibat jatuhnya Konstantinopel ke tangan Turki pada 1453), dan menghubungkan Laut Tengah dengan Brugge —galai Gonova pertama berlabuh di Sluis pada 1277, galere Venesia pertama pada 1314— dan Southampton. Meskipun merupakan kapal-kapal layar, kapal-kapal ini memanfaatkan dayung ketika memasuki dan meninggalkan pelabuhan-pelabuhan yang disinggahinya. Olah gerak kapal dengan dayung juga merupakan cara paling efektif untuk masuk dan keluar Laguna Venesia. Galera Venesia, yang awalnya dibuat dengan bobot 100 ton dan kelak dibuat hingga mencapai 300 ton, bukanlah kapal niaga pada zamannya, karena kerakah Genova abad ke-15 dibuat mencapai bobot yang mungkin lebih dari 1000 ton.[55] Pada 1447, misalnya, galai-galai Firenze dijadwalkan untuk menyinggahi 14 pelabuhan dalam pelayaran pulang-pergi ke dan dari Aleksandria.[56] Ketersediaan dayung memungkinkan kapal-kapal ini untuk dikemudikan dekat dengan pantai sehingga dapat memanfaatkan tiupan angin dari darat dan laut serta arus gelombang pantai untuk dapat berlayar secepat mungkin melawan arah angin yang paling kencang bertiup. Jumlah awak yang besar juga berguna untuk melindungi kapal dari pembajakan. Kapal-kapal ini sangat laik laut; sebuah galai agung Firenze bertolak dari Southampton pada 23 Februari 1430 dan kembali ke pangkalannya di pelabuhan Pisa dalam 32 hari. Kapal-kapal ini juga sangat aman sehingga barang-barang dagangan yang diangkutnya seringkali tidak diasuransikan.[57] Ukurannya pun kian lama kian membesar sepanjang kurun waktu ini, dan kelak dijadikan pola acuan dalam pengembangan galias.

Transisi ke kapal layar

Sejak 1304, jenis kapal wajib bagi organisasi pertahanan Denmark sudah beralih dari galai ke koga, sejenis kapal layar berdasar datar.[58]

Pada permulaan abad ke-15, kapal-kapal layar mulai dominan digunakan dalam perang-perang laut di kawasan perairan utara benua Eropa. Meskipun galai masih tetap merupakan kapal perang utama di kawasan perairan selatan, transisi yang sama mulai pula dilakukan oleh kekuatan-kekuatan bahari di Laut Tengah. Peristiwa penyerangan kapal yang dilakukan oleh orang-orang Kastilia di Pulau Jersey pada 1405 tercatat dalam sejarah sebagai pertempuran pertama yang dilakukan oleh sebuah kekuatan bahari Laut Tengah dengan mengerahkan armada tempur yang sebagian besar terdiri atas kapal-kapal koga atau nau, bukannya galai-galai berpenggerak dayung. Pertempuran Gibraltar antara Kastilia dan Portugal pada 1476 adalah peristiwa penting lainnya yang juga memperlihatkan transisi dari galai ke kapal layar; pertempuran ini tercatat dalam sejarah sebagai pertempuran pertama yang melibatkan petarung-petarung utama berupa kapal-kapal berperangkat layar lengkap yang dipersenjatai dengan senjata-senjata api dari besi tempa di area tengah geladak-geladak teratas, pertanda awal dari masa surut penggunaan galai untuk kepentingan perang.[59]

Transisi dari galai perang Laut Tengah ke kapal layar sebagai jenis kapal yang lebih disukai di Laut Tengah berkaitan erat dengan perkembangan teknologi dan karakteristik penanganan kedua jenis kapal tersebut. Faktor-faktor utama penyebab transisi tersebut adalah perubahan dalam rancangan layar, diperkenalkannya meriam sebagai bagian dari persenjataan kapal, dan karakteristik-karakteristik yang terdapat dalam penanganan kapal-kapal itu.

Kapal-kapal layar bergantung pada angin sebagai daya penggerak, bahkan kapal-kapal layar yang diperlengkapi dengan dayung juga bergantung pada angin karena tidak dirancang untuk menggunakan dayung, malah dayung justru menjadi kerugian. Galai memang memiliki kekurangan jika dibandingkan dengan kapal layar. Lambungnya yang sempit tidak mampu menampung banyak muatan sehingga jarak tempuhnya menjadi terbatas karena awak kapal harus lebih sering menepi untuk mengisi kembali perbekalan.[60] Lambung timbul galai yang rendah menyebabkan galai kalah unggul dari kapal layar dalam aksi jarak dekat karena para prajurit di atas kapal layar diuntungkan oleh posisi menyerang yang lebih tinggi. Kapal layar juga lebih efektif digunakan untuk bertempur di laut lepas dan ketika angin berhembus kencang karena lambung timbulnya yang tinggi.[61]

Sebuah kapal perang berpenggerak dayung lebih berisiko tenggelam jika melaju dengan hanya menggunakan layar, karena letak lubang-lubang tempat menjulurkan batang dayung harus berada dekat dengan garis air sehingga kapal berisiko dimasuki air bilamana sedang oleng ke salah satu sisinya. Kelebihan dan kekurangan ini menyebabkan galai tetap diutamakan pemanfaatannya sebagai kapal penyusur pantai. Peralihan ke kapal-kapal layar di kawasan Laut Tengah adalah akibat dari pengabaian atas kelebihan-kelebihan galai serta mulai dimanfaatkannya senjata-senjata dengan serbuk mesiu dalam skala yang jauh lebih besar. Kapal layar digerakkan dengan cara yang berbeda dari pada galai tetapi tetap menggunakan siasat tempur yang sama sampai dengan abad ke-16. Besarnya sumber daya yang dikucurkan bagi kapal layar agar dapat diperlengkapi dengan meriam-meriam yang lebih besar dan persenjataan lainnya tidak banyak bepengaruh karena senjata-senjata dengan serbuk mesiu mula-mula memiliki jarak tembak yang terbatas dan tinggi biaya pembuatannya. Penciptaan meriam-meriam dari besi tuang akhirnya memungkinkan kapal-kapal dan bala tentara dipersenjatai dengan biaya yang lebih murah. Harga perolehan serbuk mesiu juga merosot pada kurun waktu ini.[62]

Persenjataan pada kedua jenis kapal ini berkisar antara senjata-senjata api berukuran besar seperti bombarde sampai lela yang lebih kecil ukurannya. Untuk kepentingan logistik, pihak-pihak yang memiliki pangkalan-pangkalan angkatan laut yang lebih besar memutuskan lebih baik jika mereka menetapkan ukuran baku bagi meriam-meriam ukuran tertentu. Bangsa Inggris di kawasan Eropa Utara dan orang-orang Venesia di Laut Tengah secara tradisional dianggap termasuk pihak-pihak yang paling awal melakukan tindakan tersebut. Penyempurnaan perangkat-perangkat layar pada kapal-kapal Eropa Utara juga memungkinkan kapal-kapal itu untuk melayari perairan pantai di kawasan Laut Tengah dengan jauh lebih baik dari pada sebelumnya.[63] Di luar dari kapal-kapal perang, penurunan harga perolehan senjata-senjata serbuk mesiu juga menjadi penyebab dipersenjatainya kapal-kapal niaga. Kapal-kapal Eropa Utara yang lebih besar ukurannya terus mengalami penyempurnaan sementara galai terus mempertahankan karakteristik-karakteristik khas yang dimilikinya. Berbagai upaya sudah dilakukan demi mendobrak kebuntuan perkembangan galai ini, misalnya dengan menambahkan bangunan puri pertahanan di haluannya, tetapi penambahan-penambahan yang dimaksudkan untuk menanggulangi ancaman kapal-kapal layar yang lebih besar ukurannya seringkali justru mengorbankan kelebihan-kelebihan yang dimiliki galai.[64]

Pengenalan senjata api

 
Lukisan Pertempuran Haarlemmermeer pada 1573, karya Hendrick Cornelisz Vroom. Cermati penggunaan kapal-kapal layar kecil dan galai-galai oleh kedua belah pihak.

Sejak sekitar 1450, tiga kekuatan laut utama telah menegakkan dominasinya atas kawasan-kawasan yang berbeda di Laut Tengah dengan menggunakan galai sebagai senjata utama di laut: Kekaisaran Osmanli di kawasan timur, Venesia di kawasan tengah, dan Spanyol Habsburg di kawasan barat.[65] Kekuatan inti dari armada-armada mereka dipusatkan di tiga pangkalan laut andal di Laut Tengah: Konstantinopel, Venesia, dan Barcelona.[66] Perang laut Mediterania pada abad ke-16 sebagian besar berlangsung dalam skala kecil, didominasi oleh penyergapan kapal dan aksi-aksi tempur kecil-kecilan. Hanya ada tiga pertarungan besar-besaran antar armada yang terjadi pada abad ke-16: Pertempuran Preveza pada 1538, Pertempuran Djerba pada 1560, dan Pertempuran Lepanto pada 1571. Pertempuran Lepanto adalah pertempuran besar terakhir yang sepenuhnya menggunakan galai, dan juga merupakan salah satu pertempuran terbesar dari segi jumlah peserta perang yang berlangsung pada permulaan Zaman Modern di Eropa sebelum pecahnya perang-perang Napoleon.[67]

Pada kesempatan-kesempatan tertentu, kekuatan-kekuatan Laut Tengah mengerahkan armada-armada galai sebagai kekuatan tempur untuk menangani konflik-konflik di luar kawasan Laut Tengah. Spanyol mengirim skuadron-skuadron galai ke negeri Belanda pada tahap-tahap akhir dari Perang Delapan Puluh Tahun yang berhasil menundukkan kekuatan tempur Belanda di perairan pantai Belanda yang dangkal dan terkungkung pulau-pulau. Semenjak penghujung era 1560-an, galai-galai juga dimanfaatkan untuk mengangkut perak kepada para bankir Genova guna mendanai pasukan-pasukan Spanyol dalam rangka memadamkan pemberontakan rakyat Belanda.[68] Galias dan galai turut dikerahkan menyertai bala tempur berkekuatan 16.000 prajurit yang berhasil menaklukkan Azores pada 1583. Ada sekitar 2.000 pendayung galai yang ikut serta di atas kapal-kapal Armada Spanyol 1588 yang termasyhur itu, meskipun hanya segelintir dari mereka yang akhirnya benar-benar terlibat dalam pertempuran.[69] Di luar perairan Eropa dan Timur Tengah, Spanyol juga membuat galai-galai untuk mengatasi gangguan gerombolan bajak laut dan kapal-kapal swasta di Karibia dan Filipina.[70] Galai-galai Osmanli berusaha menghambat masuknya kapal-kapal Portugis ke Samudra Hindia pada abad ke-16, tetapi gagal menghadapi kerakah-kerakah Portugis yang berlambung tinggi dan berukuran besar di perairan terbuka.[71]

Meskipun mengalami kerugian besar, baik nyawa maupun harta akibat kekalahan Armada Spanyol pada 1588, Spanyol mempertahankan empat skuadron galai permanen. Keempat skuadron ini menjadi sebuah kekuatan laut di kawasan Laut Tengah pada permulaan abad ke-17, tulang punggung dari armada tempur Spanyol, dan digunakan untuk mengangkut pasukan, perbekalan, kuda, dan senjata ke wilayah-wilayah kekuasan Spanyol di Semenanjung Italia dan Benua Afrika.[72] Kaum Turki Osmanli berusaha menghambat peningkatan kekuatan Portugis di Samudra Hindia pada abad ke-16 dengan kekuatan galai-galai ala Laut Tengah, namun dapat digagalkan oleh kerakah-kerakah Portugis yang perkasa. Sekalipun kerakah sendiri tak lama kemudian tersaingi oleh berbagai jenis kapal layar lainnya, jarak tempuhnya yang lebih jauh, ukurannya yang besar, dan strukturnya yang begitu tinggi, dipersenjatai dengan sejumlah besar senjata api dari besi tempa, dengan mudahnya mengungguli galai-galai Turki yang berjarak tempuh pendek dan berlambung timbul rendah.[71] Spanyol lebih berhasil dalam memanfaatkan galai di wilayah-wilayah jajahannya di Karibia dan Filipina untuk memburu bajak laut,[73] serta secara sporadis di negeri Belanda dan Teluk Biscay.[74]

 
Galai-galai Osmanli bertempur melawan perahu-perahu penyerang di Laut Hitam; naskah Sloane 3584, ca. 1636

Galai sudah sinonim dengan kapal perang di Laut Tengah selama sekurang-kurangnya 2.000 tahun, dan terus-menerus menjalankan peran itu seiring dengan ditemukannya serbuk mesiu dan artileri berat. Meskipun para sejarawan pada permulaan abad ke-20 seringkali menganggap galai menjadi kalah saing seiring kemunculan perdana artileri laut pada kapal-kapal layar,[75] sesungguhnya galailah yang menjadi pilihan utama ketika senjata-senjata api laut yang berat pertama kali diperkenalkan. Galai merupakan teknologi yang lebih "dewasa", berbekal siasat-siasat dan tradisi-tradisi yang sudah lama berakar dari lembaga-lembaga sosial dan organisasi-organisasi bahari. Dikombinasikan dengan konflik yang semakin intens, kenyataan ini mendorong terjadinya peningkatan substansial pada ukuran armada-armada galai semenjak ca. 1520–80, teristimewa di kawasan Laut Tengah, tetapi juga di pentas-pentas lain di Eropa.[76] Galai-galai dan kapal-kapal dayung serupa tetap tak tertandingi sebagai kapal-kapal perang bersenjata api yang paling efektif secara teoretis sampai pada era 1560-an, dan secara praktis sampai satu dasawarsa lagi, serta dianggap sebagai ancaman besar bagi keselamatan kapal-kapal perang layar.[77] Galai-galai bersenjata api dapat digunakan secara efektif untuk menghadapi galai-galai musuh, menyerang kapal-kapal layar bila cuaca teduh atau arah angin tidak mendukung (atau bila perlu melumpuhkan daya serang kapal-kapal itu), dan dapat pula digunakan baterai tempur terapung dalam pengepungan di laut. Galai-galai ini juga tak tertandingi kemampuan amfibinya, bahkan dapat dikerahkan untuk berlayar dengan jarak tempuh yang sangat jauh, sebagaimana yang dilakukan oleh Perancis ketika melakukan intervensi-intervensi ke wilayah utara hingga sejauh Skotlandia pada pertengahan abad ke-16.[78]

Artileri berat di atas galai dipasang pada haluan, sejalan dengan siasat tempur galai yang sudah lama mentradisi yakni menyerang secara langsung dari haluan kapal. Persenjataan di atas galai memiliki bobot yang besar sedari awalnya pada era 1480-an, dan berkemampuan menghancurkan dengan cepat tembok batu Abad Pertengahan yang tinggi dan tipis yang masih tegak pada abad ke-16. Kenyataan ini untuk sementara waktu mengakhiri kedigdayaan benteng-benteng pertahanan pantai yang dibangun pada masa lampau, sehingga harus dibangun kembali dengan daya tahan yang lebih tinggi terhadap gempuran senjata-senjata yang menggunakan serbuk mesiu. Penambahan senjata-senjata api pada galai juga meningkatkan kemampuan tempur amfibinya, karena galai kini mampu melancarkan serang-serangan yang didukung oleh kekuatan senjata-senjata api berat, dan bahkan lebih mudah dipertahankan jika didaratkan dengan buritan menghadap ke darat.[79] Akumulasi serta generalisasi meriam perunggu dan senjata-senjata api jinjing ukuran kecil di Laut Tengah pada abad ke-16 menyebabkan ongkos perang meningkat, tetapi juga menyebabkan pihak-pihak yang mengandalkannya lebih mampu menghindari kerugian nyawa prajurit. Penggunaan senjata-senjata jarak jauh yang lama, seperti busur panah atau bahkan busur silang, memerlukan kemahiran yang memadai, kadang kala perlu berlatih seumur hidup, sementara penggunaan senjata-senjata dengan serbuk mesiu tidak memerlukan banyak latihan.[80] Menurut sebuah kajian berpengaruh yang dihasilkan oleh sejarawan militer, John F. Guilmartin, transisi ke penggunaan senjata api dalam peperangan, seiring dengan kemunculan senjata-senjata api dari besi tuang yang lebih murah harganya pada era 1580-an, menjadi "dentang lonceng kematian" bagi galai perang sebagai sebuah kapal militer yang penting.[81] Senjata-senjata yang menggunakan serbuk mesiu mulai menggeser tenaga manusia sebagai kekuatan tempur dalam satuan-satuan pasukan bersenjata, sehingga membuat masing-masing prajurit menjadi lebih mematikan dan efektif. Sebagai sarana untuk mempertahankan diri, senjata-senjata api jinjing dapat disimpan selama bertahun-tahun dengan sedikit saja perawatan, dan tidak banyak memakan ongkos yang lazimnya harus dikeluarkan untuk menyewa tenaga prajurit. Dengan demikian tenaga manusia pun tergantikan dengan investasi-investasi modal, hal yang merupakan keuntungan bagi kapal-kapal layar karena memang sudah jauh lebih ekonomis dalam pemanfaatan tanaga manusia. Senjata api juga berguna meningkatkan jangkauan stategis kapal-kapal layar sehingga mampu mengungguli galai sebagai kapal tempur.[82]

Kemunduran galai di kawasan Laut Tengah

 
Pertempuran Lepanto pada 1571, pertempuran laut antara armada persekutuan negara-negara Kristen dan armada bangsa Turki Osmanli.

Peperangan ala Atlantik yang mengandalkan penggunaan kapal-kapal layar bersenjata lengkap mulai mengubah hakikat dari perang laut di Laut Tengah pada abad ke-17. Pada 1616, sebuah skuadron kapal tempur Spanyol yang terdiri atas lima galiung dan satu patas yang digunakan untuk menjelajahi kawasan timur Laut Tengah dan mengalahkan satu armada yang terdiri atas 55 galai dalam Pertempuran Tanjung Kelidonia. Pada 1650, galai-galai perang terutama digunakan dalam peperangan antara Venesia dan Kekaisaran Osmanli dalam rangka perebutan pulau dan pangkalan-pangkalan niaga pesisir yang strategis, dan sampai dengan era 1720-an oleh Perancis dan Spanyol tetapi lebih sering untuk operasi-operasi amfibi dan penjelajahan atau dikombinasikan dengan kapal-kapal layar berbobot tinggi dalam pertempuran yang besar, dengan tugas-tugas yang khusus. Contohnya, dalam Pertempuran Tarragona kali kedua pada 1641, sebuah pertempuran laut dikombinasikan dengan pertempuran darat (pertempuran amfibi), Armada Spayol mengerahkan galai-galai miliknya untuk menerobos blokade laut Perancis serta mendaratkan pasukan dan perbekalan.[83] Bahkan kekuatan yang semata-mata berpusat di Laut Tengah seperti Venesia sekalipun mulai membuat kapal-kapal perang yang berpenggerak layar saja pada paruh akhir dari abad itu. Para lanun Kristen dan Muslim sudah sejak lama menggunakan galai untuk berkelana di laut serta untuk berpartisipasi mendukung negara-negara adikuasa di masa-masa perang, namun sebagian besar dari galai-galai itu akhirnya mereka tinggalkan dan beralih menggunakan kapal-kapal sabak, berbagai macam kapal hibrida yang mengkombinasikan layar dan dayung, dan beberapa galai ringan pada permulaan abad ke-17.[84]

Tidak ada lagi pertempuran besar yang seluruhnya menggunakan galai sesudah peristiwa bentrok besar-besaran di Lepanto pada 1571, dan galai pun menjadi lebih sering dimanfaatkan sebagai kapal jelajah atau untuk mendukung kapal-kapal perang layar sebagai barisan pertahanan belakang dalam aksi-aksi armada tempur, mirip dengan peran kapal-kapal pergata di luar kawasan Laut Tengah.[84] Galai-galai dapat menolong kapal-kapal yang menderita kerusakan untuk mundur dari barisan tempur, tetapi umumnya hanya jika cuaca benar-benar teduh, sebagaimana yang terjadi dalam Pertempuran Málaga pada 1704.[85] Bagi negara-negara dan wilayah-wilayah kepangeranan yang kecil, serta kelompok-kelompok saudagar swasta, galai lebih terjangkau ketimbang kapal-kapal perang layar yang besar dan rumit, dan digunakan untuk mempertahankan diri terhadap perompakan. Galai membutuhkan lebih sedikit kayu, rancangannya relatif sederhana, dan membawa lebih sedikit senjata api. Galai luwes secara taktis, dan dapat digunakan baik untuk aksi penyergapan di laut maupun untuk operasi-operasi amfibi. Galai hanya memerlukan sedikit awak kapal yang mahir, dan sukar ditangkap oleh kapal-kapal layar, tetapi sangat berguna untuk memburu galai-galai lain serta kapal-kapal penyerbu yang digerakkan dengan dayung.[86]

Armada-armada galai terbesar pada abad ke-17 dimiliki oleh dua kekuatan utama di Laut Tengah, Perancis dan Spanyol. Perancis pada era 1650-an telah menjadi negara terkuat di Eropa, dan memperbesar armada galainya pada masa pemerintahan Sang "Raja Matahari" yang berkuasa mutlak, Louis XIV. Pada era 1690-an, Korps Galai Perancis (corps des galères) mencapai puncak kebesarannya dengan memiliki lebih dari 50 kapal yang diawaki oleh lebih dari 15.000 perwira dan anak buah kapal, kepemilikan galai yang terbesar di dunia kala itu.[87] Meskipun ada persaingan sengit antara Perancis dan Spanyol, tidak pernah timbul perang galai di antara kedua adikuasa itu, dan nyaris tidak pernah pula timbul perang galai antar bangsa-bangsa lain.[88] Pada Perang Suksesi Spanyol, galai-galai Perancis dilibatkan dalam aksi-aksi tempur menghadapi Antwerpen dan Harwich,[89] namun akibat kerumitan politik aliansi tidak pernah pecah bentrok galai Perancis-Spanyol. Pada paruh pertama abad ke-18, kekuatan-kekuatan besar lain di Laut Tengah, Ordo Santo Yohanes yang berpangkalan di Malta serta negara-negara Kepausan di kawasan tengah Italia, memangkas secara drastis kekuatan tempur galai mereka.[90] Sekalipun jarang beraksi, Korps Galai Perancis didanai secara berlimpah (25-50% dari belanja Angkatan Laut Perancis) sepanjang era 1660-an.[91] Korps galai disiagakan sebagai sebuah kekuatan tempur fungsional sampai dengan dibubarkan pada 1748, meskipun fungsi utamanya semata-mata sebagai simbol ambisi-ambisi absolutis Louis XIV.[92]

Pertempuran Laut Tengah terakhir dalam catatan sejarah yang melibatkan galai sebagai bagian penting dari kekuatan tempur adalah Pertempuran Matapan pada 1717, antara Kekaisaran Osmanli dan Venesia bersama sekutu-sekutunya, meskipun pengerahan galai hanya berpengaruh kecil terhadap hasil akhir pertempuran itu. Sejumlah kecil pertempuran laut berskala besar pernah pecah di Laut Tengah sepanjang sisa abad ke-18. Armada galai Toskana ditiadakan sekitar 1718, Napoli hanya memiliki empat galai tua pada 1734, dan Korps Galai Perancis dibubarkan sebagai sebuah kesatuan yang berdiri sendiri pada 1748. Venesia, negara-negara Kepausan, dan para Kesatria Malta adalah negara-negara tersisa yang masih memanfaatkan galai, meskipun tidak lagi dalam jumlah yang besar seperti di masa-masa terdahulu.[93] Pada 1790, hanya kurang dari 50 galai dari seluruh kekuatan di Laut Tengah yang masih dimanfaatkan, setengah dari jumlah itu dimiliki oleh Venesia.[94]

Penggunaan galai di Eropa Utara

 
Kapal-kapal belanda menubruk galai-galai Spanyol dalam Pertempuran Laut Sempit, Oktober 1602.

Kapal-kapal dayung masih tetap digunakan di perairan Eropa Utara dalam kurun waktu yang panjang, meskipun hanya sebagai sarana penunjang dan dalam keadaan tertentu. Dalam Peperangan Italia, galai-galai Perancis yang didatangkan dari Laut Tengah ke perairan Samudra Atlantik menjadi ancaman serius bagi Angkatan Laut Tudor selama operasi-operasi pantai. Untuk menanggulangi ancaman itu, Inggris membangun sebuah armada besar yang terdiri atas kapal-kapal dayung, termasuk pula kapal-kapal hibrida bertiang tiga dengan perangkat layar lengkap, serta galai-galai bergaya Laut Tengah (yang bahkan diusahakan agar diawaki oleh orang-orang hukuman dan budak belian).[95] Pada masa pemerintahan Raja Henry VIII, Angkatan Laut Inggris menggunakan beberapa jenis kapal yang disesuaikan dengan keperluan-keperluan mereka. Galias-galias Inggris (jauh berbeda dari galias Laut Tengah) digunakan untuk mengawal sisi-sisi kekuatan tempur laut yang lebih besar sementara kapal-kapal penes dan tongkang dayung digunakan untuk pelayaran penjajakan, bahkan sebagai bala cadangan di belakang perahu-perahu panjang dan kapal-kapal penunjang bagi kapal-kapal layar yang lebih besar.[96] Semasa Pemberontakan Belanda (1566–1609), baik Belanda maupun Spanyol mendapati bahwa galai sangat berguna untuk operasi-operasi amfibi di banyak perairan dangkal di sekitar Negeri-Negeri Dataran Rendah yang tidak dapat dilayari oleh kapal-kapal layar yang tinggi saratnya.[89]

Meskipun terlalu rapuh untuk digunakan dalam jumlah yang banyak di perairan terbuka Samudra Atlantik, galai sangat cocok untuk digunakan di perairan Laut Baltik oleh Denmark, Swedia, Rusia, dan beberapa kekuatan Eropa Tengah yang memiliki pelabuhan-pelabuhan di kawasan pesisir Eropa Utara. Ada dua macam medan pertempuran laut di kawasan Baltik. Yang pertama adalah laut lepas, yang cocok bagi armada-armada kapal layar; yang kedua adalah kawasan pesisir dan khususnya gugusan pulau dan kepulauan kecil yang nyaris tanpa terputus berjajar dari Stockholm sampai ke Teluk Finlandia. Di kawasan ini, kondisi perairan seringkali terlalu teduh, sempit, dan dangkal bagi kapal-kapal layar, tetapi sangat bagus bagi galai dan alat-alat angkut berdayung lainnya.[97] Galai jenis Laut Tengah pertama kali diperkenalkan di Laut Baltik sekitar pertengahan abad ke-16 tatkala persaingan antar negara Skandinavia, Denmark dan Swedia, makin meningkat. Armada galai Swedia adalah yang terbesar di luar kawasan Laut Tengah, dan digunakan sebagai cabang pembantu dari kekuatan Angkatan Darat Swedia. Sangat sedikit yang diketahui tentang rancangan galai-galai Laut Baltik, selain bahwa ukurannya rata-rata lebih kecil dari pada galai-galai Laut Tengah dan didayung oleh prajurit-prajurit angkatan darat, bukannya orang-orang hukuman atau pun budak belian.[98]

Kebangkitan kembali dan kemunduran galai di kawasan Baltik

 
Sebuah lukisan Pertempuran Grengam pada 1720 karya Ferdinand Perrot (1808–41) memperlihatkan sebuah galai Rusia berukuran besar berhadapan dengan pergata-pergata Swedia dalam jarak dekat. Perhatikan landasan tempur (rambat) yang padat di haluan kapal.

Galai diperkenalkan di Laut Baltik pada abad ke-16 tetapi rincian mengenai rancangannya sangat jarang ditemui karena langkanya peninggalan tertulis. Mungkin saja galai-galai ini dibuat dengan gaya yang lebih regional, tetapi satu-satunya gambar yang diketahui dari masa itu justru menampilkan sebuah kendaraan air khas Laut Tengah. Ada bukti konklusif bahwa Denmark adalah kekuatan Baltik pertama yang membuat galai-galai bergaya Laut Tengah klasik pada era 1660-an, meskipun galai-galai itu terbukti rata-rata terlalu besar untuk dapat digunakan di perairan-perairan dangkal kepulauan Baltik. Swedia dan teristimewa Rusia mulai meluncurkan galai-galai dan berbagai macam kapal dayung dalam jumlah besar semasa Perang Utara Raya pada dua dawasarsa pertama abad ke-18.[99] Swedia terlambat ikut bermain ketika akhirnya membangun sebuah armada kapal dayung tempur yang efektif, sementara galai Rusia pada masa pemerintahan Tsar Pyotr I berkembang menjadi sebuah cabang penunjang bagi armada kapal layar Angkatan Laut Rusia dan pembantu Angkatan Darat yang berfungsi dengan baik, yang menginfiltrasi dan beberapa kali menyerang daerah pesisir timur Swedia pada era 1710-an.[100]

Swedia dan Rusia menjadi dua pesaing utama dalam perebutan kekuasaan di Baltik pada abad ke-18, dan membangun armada-armada galai yang paling besar di dunia kala itu. Galai-galai ini digunakan untuk operasi-operasi amfibi dalam peperangan antara Rusia dan Swedia pada 1741–43 dan 1788–90. Galai-galai paling terakhir adalah yang dibuat oleh Rusia pada 1796, dan tetap dipergunakan sampai pada abad ke-19, tetapi hanya sedikit dilibatkan dalam aksi tempur.[101] Terakhir kali galai-galai dilibatkan dalam aksi tempur adalah ketika Angkatan Laut Rusia diserang di Åbo (Turku) pada 1854 ketika Perang Krimea tengah berlangsung.[102] Pada paruh kedua abad ke-18, peranan galai-galai Baltik dalam armada-armada pesisir tergantikan pertama-tama oleh kapal-kapal hibrida "pergata kepulauan" (seperti turuma atau pojama) serta kapal-kapal sabak, dan selepas era 1790-an oleh berbagai macam perahu bersenjata api.[103]

Galai Asia Tenggara

Berkas:Galley from Banten 1598.jpg
Galai dari Banten

Maryarakat di kawasan Asia Tenggara memiliki beberapa macam kapal yang mirip dengan galai, yakni lancaran, penjajap, kelulus, lanong, garay, kora-kora, dan karakoa. Pada abad ke-16, kesultanan-kesultanan di Nusantara mulai menerima pengaruh-pengaruh kawasan Laut Tengah melalui Kekaisaran Turki Osmanli. Sekitar tahun 1453, Kesultanan Malaka membuat sebuah galai raja atau gali kenaikan raja yang diberi nama Mendam Berahi. Galai sepanjang 60 gaz (54,6 m) dan selebar 6 depa (11 m) ini konon pernah digunakan untuk meminang putri Majapahit. Mendam Berahi bertiang tiga, dan mampu mengangkut 400 orang, 200 orang di antaranya adalah pendayung dalam 50 baris dayung. Selain hulu pelantak, galai ini juga dipersenjatai dengan 5 laras rentaka.[104]

Ketika menyerang bangsa Portugis di Malaka pada tahun 1568, Kesultanan Aceh mengerahkan 4 galai besar dengan panjang 40–50 m, yang masing-masing bertiang tiga dan berpendayung 190 orang, dipersenjatai dengan 12 camelo besar (3 di kiri dan kanan haluan, serta 4 di buritan), 1 basilisk (di ujung haluan), 12 falcon, dan 40 laras meriam putar. Saat itu meriam, senjata api, dan peralatan perang lainnya datang secara rutin dari Jeddah, dan orang Turki juga mengirimkan ahli militer, ahli galai, dan teknisi.[105] Pada serangan tahun 1575, Aceh menggunakan 40 galai 2 tiang dengan kapten Turki membawa 200-300 tentara yang berasal dari Turki, Arab, Deccani, dan Aceh. Galai milik Aceh, Daya, dan Pedir dikatakan membawa 10 meriam, 50 lela, dan 120 cecorong (tidak termasuk ispinggar). Galai yang lebih kecil membawa 5 meriam, 20 lela, dan 50 cecorong.[106] Sumber lokal dan sumber Barat menyebutkan bahwa Aceh memiliki 100-120 galai yang siaga kapanpun (tidak termasuk fusta dan galiot yang lebih kecil), tersebar dari Daya (pesisir Barat) ke Pedir (pesisir Timur). Sebuah galai yang ditangkap Portugis pada 1629 sangat besar, dan dilaporkan Aceh memiliki 47 buah totalnya. Panjangnya 100 dan lebarnya 17 m, memiliki 3 tiang dengan layar persegi dan layar atas, digerakkan oleh 35 dayung dan dapat membawa 700 orang. Dipersenjatai 18 meriam besar (lima buah 55-pounder di haluan, satu 25-pounder di buritan, sisanya 17 dan 18-pounder), 80 falcon dan banyak meriam putar. Kapal ini disebut "Espanto do Mundo", yang mungkin merupakan terjemahan dari kata Cakradonya (Cakra Dunia). Orang Portugis melaporkan bahwa galai-galai ini jauh lebih besar daripada segala macam kapal yang pernah dibuat di Dunia Kristen, dan bahkan kastilnya (bagian belakangnya) memiliki tinggi menyamai kastil galiung.[104]

Dua gambar dari Belanda tahun 1598 dan 1601 menggambarkan galai Banten dan galai Madura. Masing-masing bertiang 2 dan bertiang 1. Berbeda dari galai-galai Laut Tengah, galai-galai Nusantara memiliki panggung tempat bertempur yang disebut "balai", tempat berdiri para prajurit. Balai merupakan salah satu bagian yang lazim dijumpati pada kapal-kapal perang di Nusantara.[107] Pada pertengahan abad ke-17, Kesultanan Goa memiliki galle sepanjang 40 m dan selebar 6 m, yang mampu menampung 200-400 orang. Galle Kesultanan Goa lainnya memiliki panjang 23–35 m.[104]

Konstruksi

 
Ilustrasi sebuah kapal dayung Mesir dari ca. 1250 SM. Kapal ini tidak memiliki lunas yang layak, sehingga diperkuat dengan semacam rangka yang terbentuk dari tambang tebal di sepanjang struktur kapal untuk mengikat dan mempertahankan bentuknya.

Semenjak awal kemunculannya pada Abad Kuno, Galai sudah dirancang sedemikian rupa agar mampu berolah-gerak dengan gesit, bebas dari ketergantungan pada angin melalui penggunaan dayung sebagai alat penggerak, dan lazimnya diusahakan agar mampu melaju dengan cepat jika menggunakan dayung saja. Oleh karena itu lunasnya dibuat lebih panjang dengan rasio lebar banding panjang sekurang-kurangnya 1:5 bila diukur pada titik yang sejajar dengan permukaan air. Pada galai-galai Laut Tengah Abad Kuno, rasio ini mencapai 1:10 dengan sarat (ukuran yang menunjukkan seberapa banyak bangun kapal terbenam dalam air) yang kecil. Agar galai dapat didayung secara efisien, lambung timbul (jarak vertikal dari permukaan air sampai ke bibir kapal) perlu diusahakan rendah. Lambung timbul yang rendah memang memungkinkan para mendayung untuk mendayung secara efisien, tetapi juga membuat galai tidak laik laut. Karakteristik-karakteristik rancangan yang demikian menjadikan galai laju dan mampu berolah-gerak, tetapi rentan terhadap kecelakaan bilamana laut bergelora.

Bukti dokumenter mengenai pembuatan galai-galai kuno hanya tersisa remah-remahnya saja, khususnya yang berasal dari kurun waktu pra-Romawi. Denah dan skema dalam arti modern baru dikenal pada abad ke-17, dan tidak ada peninggalan serupa yang menyintas dari Abad Kuno. Oleh karena itu cara-cara pembuatan galai hanya dapat diketahui melalui kajian atas bukti-bukti tidak langsung yang terdapat dalam karya sastra, seni rupa, gambar pada uang logam, dan monumen-monumen yang memuat citra kapal-kapal, beberapa di antaranya digambar dalam ukuran yang sesungguhnya. Karena galai-galai perang mampu tetap mengapung dengan lambung jebol dan nyaris tidak pernah diisi tolak-bara maupun kargo berat yang dapat menenggelamkannya, tak satu pun bangkai galai pernah ditemukan. Satu-satunya yang terkecuali adalah Kapal Marsala, yakni sebagian dari bangkai sebuah liburna Fenisia yang berasal dari Zaman Imperium Romawi.[108]

Pada monumen pemakaman Raja Mesir Sahure (2487–2475 SM) di Abusir, terdapat relief citra-citra kapal dengan lengkung geladak (kurva yang mengarah ke atas pada haluan dan buritan) yang tampak jelas dan tujuh pasang dayung di sepanjang lambung, jumlah yang diperkirakan hanya sekadar simbol, serta kemudi-kemudi sepak di buritan. Kapal-kapal ini bertiang satu, semua tiang dalam posisi direbahkan, dan memiliki bilah tegak di haluan dan buritan, tonggak haluan dihiasi Mata Horus, contoh pertama dari jenis hiasan ini. Mata Horus kelak digunakan oleh peradaban-peradaban Laut Tengah lainnya untuk menghiasi alat-alat transportasi laut dengan keyakinan bahwa hiasan ini mampu menuntun kapal berlayar ke tujuannya dengan selamat. Galai-galai perdana ini tampaknya tidak memiliki lunas sehingga sepanjang bujurnya tidak kokoh. Oleh karena itu, kapal-kapal ini diperlengkapi dengan tambang-tambang tebal yang menghubungkan haluan dengan buritan disangga tonggak-tonggak penopang di atas geladak. Tambang-tambang ini dijaga tetap regang untuk mencegah badan kapal meleding, atau melengkung ke atas pada bagian tengahnya, ketika berada di laut.[18] Pada abad ke-15 SM, galai-galai Mesir masih digambar dengan cekung geladak ekstrimnya yang khas, tetapi kala itu bentuk hiasan buritannya sudah berkembang mencapai bentuk yang melengkung ke arah haluan dengan ornamen berbentuk bunga seroja.[109] Kapal-kapal masa itu agaknya sudah mengembangkan sejenis lunas primitif, tetapi masih saja mempertahankan tambang-tambang tebal guna mencegah badan kapal meleding.[19]

 
Sebuah skema teknik purus dan lubang yang lazim digunakan dalam pembuatan kapal-kapal Laut Tengah sampai dengan abad ke-7 Masehi.[110]

Rancangan kapal-kapal dayung perdana sebagian besar tidak diketahui dan hanya didasarkan pada perkiraan. Agaknya kapal-kapal ini dikerjakan dengan menggunakan teknik lubang purus, tetapi disatukan dengan jahitan bukannya dengan paku dan pasak. Karena sepenuhnya tidak beratap, kapal-kapal ini didayung (atau bahkan dikayuh) dari geladak yang terbuka, dan agaknya dilengkapi "hulu pelantak", bagian yang menjorok pada haluan yang mengurangi gaya tolak air bilamana kapal berlayar, sehingga menjadikan kapal sedikit lebih hidrodinamis. Galai-galai sejati perdana, triakonter (secara harfiah berarti "berdayung tiga puluh") dan pentekonter ("berdayung lima puluh") dikembangkan dari rancangan-rancangan galai perdana ini dan menjadi tolok ukur bagi rancangan-rancangan kapal yang lebih besar di kemudian hari. Galai-galai sejati perdana ini hanya memiliki sesusun dayung, sehingga lajunya rendah, agaknya cuma 5-5,5 knot. Pada abad ke-8 SM, galai-galai pertama yang memiliki dua susun dayung telah dikembangkan, yang terawal di antaranya adalah kapal-kapal pentekonter dua-susun yang jauh lebih pendek dari pada kapal-kapal pentekonter satu-susun, dan oleh karena itu jauh lebih gesit berolah-gerak. Kapal-kapal ini diperkirakan memiliki panjang 25 m dan tolak-bara sebesar 15 ton dengan 25 pasang dayung. Kapal-kapal ini diperkirakan mampu mencapai laju setinggi-tingginya 7,5 knot, sehingga menjadikannya sebagai kapal-kapal pertama yang dapat dimanfaatkan sebagai kapal-kapal perang bilamana diperlengkapi dengan hulu pelantak pada haluannya. Kapal-kapal ini diperlengkapi pula dengan selembar layar persegi tunggal pada tiang kapal yang letaknya kira-kira pada pertengahan panjang lambung kapal.[111]

Triremis

 
Buritan dari replika triremis modern Olympias dengan kemudi sepak kembar pada kedua sisinya

Pada abad ke-5 SM, kapal-kapal triremis perdana sudah digunakan oleh berbagai kekuatan di kawasan timur Laut Tengah. Kala itu triremis sudah mencapai tahap perkembangannya yang penuh, menjadi kapal yang benar-benar dirancang khusus untuk digunakan berperang, mampu melaju dengan kecepatan tinggi dan mampu melakukan olah-gerak yang rumit. Dengan panjang hampir 40 m dan tolak-bara hampir 50 ton, triremis menjadi tiga kali lipat lebih mahal dari pada sebuah pentekonter dua tingkat. Sebuah triremis juga memiliki sebuah tiang tambahan dengan selembar layar persegi yang lebih kecil ukurannya di dekat haluan.[112] Pendayung dalam jumlah yang mencapai 170 orang didudukkan pada tiga tingkat, masing-masing menangani satu batang dayung dengan panjang yang sedikit bervariasi. Untuk mengakomodasi tiga tingkat dayung, para pendayung duduk terombang-ambing pada tiga tingkat. Pengaturan tiga tingkat diyakini berbeda-beda, tetapi rancangan yang paling baik terdokumentasikan memperlihatkan memanfaatkan sebuah struktur yang menjorok ke samping, atau cadik, tempat keliti dipancangkan. Penataan semacam ini memungkinkan baris pendayung terluar memiliki gaya ungkit yang cukup untuk merengkuh dayung secara penuh sehingga dayung-dayung mereka termanfaatkan secara efisien.[113]

 
Hulu pelantak Atlit, sebuah hulu pelantak kapal perang asli dari ca. 530–270 SM. Beratnya mencapai hampir setengah ton dan kemungkinan besar dipasang pada sebuah kapal "lima" atau "empat".[114]

Galai-galai pertama yang dikhususkan untuk keperluan perang dipasangi hulu pelantak dengan menggunakan teknik purus dan lubang, yang disebut pula metode lambung-dahulu. Dengan metode ini, dinding lambung dibuat cukup kuat untuk menahan keseluruhan badan kapal, dan juga tidak tertembus air tanpa perlu didempul. Dasar Lambung dibuat melancip tanpa lunas dalam dengan tujuan untuk menyangga badan kapal dan diperkuat dengan kerangka melintang yang dirangkai dengan paku. Untuk mencegah lambung meleding terdapat sebuah hipozoma, seutas tambang tebal yang menghubungkan haluan dengan buritan. Hipozoma dijaga tetap regang untuk memperkokoh sepenjulat badan kapal, akan tetapi rancangan persisnya atau metode peregangannya tidak diketahui.[115] Hulu pelantak, senjata utama galai-galai kuno dari sekitar abad ke-8 sampai abad ke-4 SM, tidak langsung dipasang pada haluan tetapi pada sebuah struktur yang dibangun menjorok dari haluan. Dengan demikian hulu pelantak dapat ditanggalkan jika tersangkut sesudah digunakan mendobrak tanpa mengganggu keutuhan lambung. Hulu pelantak yang dipasang terdiri atas sebatang balok raksasa yang menjorok ke depan beserta hulu pelantak itu sendiri, terbuat dari perunggu tuangan yang tebal dengan bilah-bilah melintang yang berat berkisar dari 400 kg sampai dengan 2 ton.[112]

Zaman Imperium Romawi

Galai-galai dari abad ke-4 SM sampai dengan permulaan Zaman Imperium Romawi pada abad pertama Masehi semakin lama dibuat semakin besar. Dayung bertingkat tiga adalah batas atas praktis, tetapi batas ini ditingkatkan dengan membuat kapal lebih panjang, lebih lebar, dan lebih berat, serta menempatkan lebih dari satu pendayung pada tiap dayung. Konflik di laut bertambah sengit serta semakin meluas, dan pada 100 SM galai-galai dengan empat, lima, atau enam baris pendayung menjadi lazim berlalu-lintas serta digunakan mengangkut sejumlah besar prajurit dan katapel tempur. Dengan lambung timbul yang tinggi (sampai dengan 3 m) dan tambahan bangunan-bangunan menara tempat misil ditembakkan ke geladak kapal-kapal musuh, kapal-kapal ini dibuat dengan maksud untuk dijadikan benteng-benteng terapung.[116] Galai-galai yang dirancang berpendayung sampai delapan baris ke atas memang pernah dibuat, tetapi diyakini sebagian besar dimaksudkan untuk pamer belaka dan tida pernah dipergunakan dalam peperangan.[117] Ptolemaios IV, Firaun Mesir berkebangsaan Yunani (221–205 SM), tercatat pernah membuat sebuah kapal raksasa dengan empat puluh baris pendayung, meskipun tidak ada rincian mengenai rancangannya yang tersisa. Salah satu rancangan menurut perkiraan adalah sebuah triremis katamaran raksasa berpendayung sampai 14 orang per dayung yang diduga dibuat dengan tujuan pamer dan bukan untuk digunakan berperang.[118]

Dengan terkonsolidasinya kekuatan Kekaisaran Romawi, baik ukuran armada maupun ukuran galai meningkat pesat. Kapal-kapal poliremis raksasa menghilang dan armada lebih banyak diperkuat oleh barisan triremis dan liburna, biremis ringkas dengan 25 pasang dayung yang cocok untuk digunakan meronda dan memburu para penyerang dan bajak laut.[119] Di provinsi-provinsi utara, perahu-perahu dayung untuk ronda digunakan dalam rangka mengawasi dan mengendalikan suku-suku pribumi di sepanjang tepian sungai-sungai seperti Rhein dan Donau.[120] Seiring sirnanya kebutuhan akan kapal-kapal perang berukuran besar, rancangan triremis, pencapaian tertinggi dalam rancangan kapal perang kuno, menjadi terabaikan dan akhirnya terlupakan. Rujukan terakhir yang diketahui mengenai penggunaan triremis untuk bertempur berpenanggalan 324 yakni dalam Pertempuran Hellespontus. Pada penghujung abad ke-5, sejarawan Bizantium, Zosimus, mencatat bahwa ilmu pengetahuan mengenai pembuatan kapal-kapal itu sudah lama terlupakan.[121]

Zaman Pertengahan

Spesifikasi galai Abad Pertengahan terawal diketahui dari ukuran kapal pesanan Carlo I dari Sisilia, pada 1275 M.[122] Panjang keseluruhan mencapai 39,30 meter, panjang lunas mencapai 28,03 meter, kedalaman kapal setinggi 2,08 meter. Jarak antar lambung selebar 3,67 meter. Jarak antar cadik selebar 4,45 meter. 108 batang dayung, sebagian besar sepanjang 6,81 meter, beberapa sepanjang 7,86 meter, 2 batang kemudi sepak sepanjang 6,03 meter. Tiang topang dan tiang agung masing-masing setinggi 16,08 meter dan 11,00 meter; panjang keliling mencapai 0,79 meter, dan kedua andang-andang masing-masing sepanjang 26,72 meter dan 17,29 meter. Bobot mati keseluruhan diperkirakan mencapai 80 metrik ton. Pada kapal semacam ini, satu pulangan (tempat duduk pendayung) diisi dua dan kelak tiga orang yang masing-masing menangani satu batang dayung. Dayung-dayung kapal ini lebih panjang dari pada dayung-dayung triremis buatan Athena yang mencapai 4,41 meter dan 4,66 meter.[123] Kapal perang semacam ini disebut gallia sottila.[124]

Dromon dan galea

 
Gambar sebuah galai perang abad ke-13 pada sebuah fresko bergaya Bizantium.

Kapal perang utama dalam Angkatan Laut Bizantium sampai dengan abad ke-12 adalah dromon dan jenis-jenis kapal lainnya yang serupa. Dromon dipercaya sebagai hasil evolusi dari Liburna Romawi. Istilah dromon pertama kali muncul pada penghujung abad ke-5, dan lazim digunakan sebagai sebutan untuk sejenis galai perang tertentu pada abad ke-6.[125] Istilah dromōn (secara harfiah berarti "pelari") sendiri berasal dari akar kata Yunani drom-(áō), "lari", dan para pujangga abad ke-6 seperti Procopius dengan jelas memaparkan tentang laju kapal-kapal ini.[126] Beberapa abad berikutnya, seiring bertambah sengitnya pertikaian antara Angkatan Laut Bizantium dan bangsa Arab, dikembangkan dromon-dromon versi yang lebih berat dengan dua atau mungkin bahkan tiga baris dayung.[127]

Umumnya para ahli beranggapan bahwa penyempurpurnaan-penyempurnaan utama yang membedakan dromon-dromon perdana dari liburna, dan yang sejak saat itu menjadi ciri khas galai-galai Laut Tengah, adalah geladaknya yang utuh, penggantian hulu pelantak di haluan dengan taji letaknya lebih tinggi dari permukaan air, dan pemakaian layar latin.[128] Sebab-musabab dihentikannya penggunaan hulu pelantak tidak diketahui secara jelas. Gambar paruh-paruh yang menjorok ke atas dalam naskah Vatican Vergil dari abad ke-4 dengan jelas menunjukkan bahwa menjelang akhir Zaman Imperium Romawi, hulu pelantak pada galai telah tergantikan oleh taji.[129] Mungkin saja perubahan ini terjadi sedikit demi sedikit seiring dengan peralihan dari metode kuno pembuatan kapal lambung-dahulu, yang dirancang menggunakan hulu pelantak, ke metode kerangka-dahulu, yang menghasilkan lambung yang lebih kokoh dan luwes sehingga lebih tahan terhadap hujaman hulu pelantak.[130] Sekurang-kurangnya pada permulaan abad ke-7, fungsi mula-mula dari hulu pelantak telah dilupakan orang.[131]

Dromon-dromon yang diuraikan oleh Procopius adalah kapal-kapal dengan sebaris dayung yang besar kemungkinan diperlengkapi 25 dayung pada tiap sisi. Tidak seperti pada kendaraan-kendaraan air kuno yang bercadik, dayung-dayung dromon terpasang pada lambung.[132] Pada dromon-dromon biremis yang dibuat lebih kemudian pada abad ke-9 dan ke-10, dua baris dayung dipisahkan oleh geladak, baris dayung pertama ditempatkan di bawah geladak dan baris dayung kedua ditempatkan di atas geladak; para pendayungnya juga dipersiapkan untuk bertempur bersama-sama para marinir dalam aksi-aksi serbu kapal.[133] Panjang keseluruhan kapal-kapal ini kemungkinan besar sekitar 32 meter.[134] Buritannya (prymnē) menampung sebuah tenda sebagai bilik nakhoda;[135] perahu ini memiliki semacam kubu pertahanan yang digunakan landasan untuk ditempati bertarung dan dapat menampung satu atau lebih pembuluh untuk menyemburkan api Yunani;[136] dan pada dromon-dromon yang lebih besar, terdapat puri-puri kayu pada kedua sisi di antara tiang-tiang kapal, sebagai landasan yang tinggi untuk ditempati pasukan pemanah.[137] Taji di haluan dimaksudkan untuk meretas batang-batang dayung kapal musuh sehingga tidak berdaya menghindari lontaran api dan aksi serbu kapal.[138]

Standarisasi

Sejak abad ke-12, rancangan galai-galai perang berkembang hingga mencapai wujud yang kelak nyaris tidak berubah sampai dengan pembuatan galai-galai perang terakhir pada penghujung abad ke18. Rasio panjang banding lebar minimum adalah 8:1. Telaro, semacam cadik, adalah struktur persegi panjang yang ditambahkan sebagai penopang dayung dan pulangan yang ditata membentuk pola tulang ikan haring atau tulang daun menyirip, membentuk sudut lancip ke arah buritan pada kedua sisi jalur tengah sepanjang geladak, atau corsia.[139] Rancangan galai ini didasarkan atas bentuk galea, galai-galai Bizantium yang lebih kecil ukurannya, dan kelak lebih dikenal dengan nama Italianya, gallia sottila (secara harfiah berarti "galai ramping"). Sebatang tiang kapal kedua yang lebih kecil ukurannya ditambahkan sekitar abad ke-13 dan jumlah standar pendayung meningkat dari dua menjadi tiga orang per pulangan sejak penghujung abad ke-13 hingga permulaan abad ke-14.[140] Kapal-kapal gallia sottila kelak mendominasi barisan utama armada-armada tempur dari kekuatan-kekuatan bahari di Laut Tengah, dibantu kapal-kapal galiotte yang lebih kecil, serta armada-armada korsario Kristen maupun Muslim. Galai-galai Osmanli serupa rancangannya, namun umumnya lebih kecil ukurannya, lebih laju jika menggunakan layar saja, tetapi lebih lamban jika menggunakan dayung saja.[141] Ukuran standar galai bertahan tanpa perubahan sejak abad ke-14 sampai dengan permulaan abad ke-16, ketika kemunculan artileri laut mulai berdampak pada rancangan dan siasat tempurnya.[142]

 
Sebuah gallia sottila Venesia pada akhir abad ke-15 dari lukisan Kembalinya Para Duta karya Vittore Carpaccio dalam rangkaian lukisan Legenda Santa Ursula (1497–1498). Cermati dayung-dayung yang ditata berkelompok tiga-tiga sesuai dengan metode mendayung alla sensile.

Dua kemudi sepak tradisional kemudian ditambahi dengan sebatang kemudi belok kira-kira sesudah ca. 1400 dan akhirnya kemudi-kemudi sepak sepenuhnya menghilang.[143] Pada abad ke-15 pula potongan-potongan artileri besar untuk pertama kalinya dipasang pada galai-galai. Catatan-catatan Burgundi dari pertengahan abad ke-15 mendeskripsikan galai-galai bersama dengan beberapa bentuk senjata api, tetapi tidak merinci ukurannya. Bukti paling jelas tentang keberadaan meriam besar yang dipasang di atas galai, berasal dari ukiran kayu yang menggambarkan sebuah galai Venesia pada 1486.[144] Senjata-senjata api pertama kali dipasang secara langsung pada balok-balok kapal di bagian haluan dan larasnya diarahkan ke depan, tata-letak ini nyaris tidak berubah sampai galai menghilang dari aktivitas pelayaran pada abad ke-19.[145]

 
Landasan tempur (rambat) yang lazim dijumpai di galai-galai pada permulaan Zaman Modern. Model kapal ini adalah miniatur dari sebuah galai Swedia tahun 1715, sedikit lebih kecil dari pada galai perang standar Laut Tengah, tetapi dibuat berdasarkan rancangan yang sama.

Seiring munculnya kebiasaan memasang senjata api di haluan galai, diperkenalkan pula kebiasaan memasang sebuah bangunan dari kayu yang disebut rambat (bahasa Perancis: rambade; bahasa Italia: rambata; bahasa Spanyol: arrumbada). Rambat menjadi bagian standar pada hampir semua galai pada permulaan abad ke-16. Ada beberapa variasi yang digunakan dalam angkatan-angkatan laut dari negara-negara di kawasan Laut Tengah, tetapi tata-letaknya secara keseluruhan sama saja. Hulu pelantak yang menjorok ke depan ditutupi dengan sebuah panggung kayu yang memberikan perlindungan minimum kepada para awak meriam. Panggung kayu ini juga difungsikan baik sebagai tempat berancang-ancang dalam rangka melaksanakan aksi serbu kapal maupun sebagai landasan tembak bagi para prajurit yang berada di atas kapal.[146] Sesudah dikenal, rambat menjadi bagian standar pada setiap galai tempur sampai akhir zaman galai pada permulaan abad ke-19.[147]

Pada pertengahan abad ke-17, galai telah mencapai "wujud akhirnya".[148] Tampilan galai terlihat kurang lebih sama selama lebih dari empat abad dan sebuah sistem klasifikasi standar untuk berbagai ukuran galai telah dikembangkan oleh birokrasi-birokrasi Laut Tengah, sebagian besar didasarkan pada banyaknya pulangan pada sebuah galai.[13] Sebuah galai Laut Tengah memiliki 25-26 pasang dayung dengan lima orang pada tiap dayung (ca. 250 pendayung), 50-100 pelaut, dan 50-100 prajurit sehingga jumlah awak kapal dapat mencapai 500 orang. Pengecualiannya adalah "kapal-kapal bendera" berukuran besar (seringkali disebut lanterna, "galai lentera") yang memiliki 30 pasang dayung dan jumlah pendayung sampai tujuh orang pada tiap dayung. Persenjataannya meliputi selaras senjata api pelontar peluru berbobot 24 atau 36 pon di haluan diapit dua sampai empat laras senjata api pelontar peluru berbobot 4 sampai 12 pon. Barisan-barisan lela ringan seringkali ditempatkan di sepanjang bibir galai sebagai sarana bertahan dalam pertempuran jarak dekat. Rasio panjang banding lebar dari kapal-kapal ini mencapai sekitar 8:1, dengan dua tiang yang masing-masing menopang selembar layar latin. Di kawasan Baltik, ukuran galai pada umumnya lebih pendek dengan rasio panjang banding lebar berkisar antara 5:1 sampai 7:1, yang merupakan hasil adaptasi terhadap lingkungan perairan yang sempit di kepulauan Baltik.[149]

Sebatang tiang tunggal adalah wujud standar pada sebagian besar galai perang sampai dengan ca. 1600. Sebatang tiang kedua yang lebih pendek dapat pula ditegakkan untuk sementara waktu di haluan, tetapi kelak menjadi bagian permanen dari galai pada permulaan abad ke-17. Tiang ini sedikit digeser ke samping untuk memberi ruang bagi hentakan senjata-senjata api berat; tiang yang lain ditempatkan kira-kira di tengah-tengah kapal. Sebatang tiang ketiga yang lebih kecil di buritan, sama fungsinya dengan tiang penggawa, juga diperkenalkan pada galai-galai besar, kemungkinan besar pada permulaan abad ke-17, tetapi baru menjadi standar sekurang-kurangnya pada permulaan abad ke-18.[150] Galai memiliki ruang yang terbatas untuk menampung perbekalan dan bergantung pada pengisian kembali perbekalan secara acap kali dan kerap berlabuh pada malam hari untuk mengistirahatkan awak kapal dan untuk memasak. Tempat masak-memasak di atas galai adalah sebuah kotak berlapis lempung berisi tungku api atau alat masak-memasak serupa yang diletakkan di tempat salah satu pulangan, biasanya pada sisi kiri kapal (dilihat pada posisi menghadap ke haluan).[151]

Propulsi

Sepanjang sejarahnya, galai mengandalkan dayung sebagai sarana propulsi utama. Tata letak para pendayung sepanjang milenium ke-1 SM berkembang sedikit demi sedikit, mulai dari satu baris sampai menjadi tiga baris pendayung dalam suatu tananan posisi duduk yang benar-benar rumit. Akan tetapi tananan yang melebihi tiga baris dayung terbukti tidak praktis secara fisik. Mula-mula hanya ada satu pendayung untuk tiap dayung, tetapi jumlah ini terus bertambah sehingga menghasilkan bermacam-macam kombinasi antara jumlah pendayung per dayung dan jumlah baris dayung. Istilah-istilah kuno untuk menyebut jenis-jenis galai dibuat berdasarkan banyaknya baris pendayung atau banyaknya pendayung yang menggerakkan dayung-dayung itu, bukan berdasarkan jumlah baris dayungnya. Sekarang ini istilah-istilah untuk jenis-jenis galai menggunakan terminologi Latin termodernisasi berdasarkan bilangan diimbuhi akhiran "-remis", dari kata rēmus yang berarti "dayung". Triremis berarti galai berpendayung tiga baris, Quadriremis berarti galai berpendayung empat baris, Hexaremis berarti galai berpendayung enam baris, dan seterusnya. Ada kapal-kapal perang yang digerakkan oleh sepuluh bahkan sebelas baris pendayung, tetapi kapal-kapal berpendayung di atas enam baris sangat langka. Sebuah kapal berpendayung empat puluh baris pernah dibuat pada masa pemerintahan Ptolemaios IV di Mesir. Hanya sedikit yang diketahui tentang rancangannya, tetapi diduga kapal ini tidak praktis dan hanya dibuat sekadar untuk mengangkat wibawa kerajaan.

Dayung

 
Rekonstruksi modern penampang sebuah triremis Yunani kuno, memperlihatkan tiga tataran pendayung.

Mendayung kapal pada Abad Kuno dilakukan dari posisi yang tetap, yakni posisi mendayung yang paling efektif, dengan pendayung menghadap ke ke arah buritan. Para sejarawan terdahulu memperkirakan bahwa galai didayung dengan gerakan merengkuh yang mengandalkan kekuatan baik dari otot kaki maupun otot lengan, namun tidak ada bukti konklusif yang mendukung perkiraan ini. Eksperimen-eksperimen praktis yang dilakukan pada galai rekonstruksi berskala penuh, Olympias, justru menunjukkan adanya keterbatasan ruang gerak, sementara pulangan yang dapat bergerak atau beringsut sangat tidak praktis untuk dibuat dengan metode-metode kuno.[152] Para pendayung galai-galai perang kuno didudukkan di geladak utama dengan keleluasaan yang terbatas untuk meninjau keadaan sekelilingnya. Oleh karena itu keselarasan gerak dayung diatur oleh para pengawas dengan menggunakan peluit atau aba-aba berlagu ritmis.[153] Galai sangat gesit berolah gerak, dapat berputar haluan pada porosnya dan bahkan didayung mundur, tetapi olah gerak yang sedemikian gesitnya memerlukan awak yang mahir dan berpengalaman.[154] Di galai-galai dengan tatanan tiga orang tiap dayung, seluruh pendayung bekerja pada posisi duduk, tetapi pendayung yang terjauh dari lambung kapal harus melakukan gerak merengkuh sambil berdiri dan duduk, yaitu bangkit berdiri untuk mendorong batang dayung ke muka dan kemudian duduk kembali untuk melakukan gerakan merengkuh.[154]

Semakin cepat sebuah kapal meluncur, semakin besar pula daya yang digunakannya. Untuk mencapai kecepatan yang tinggi diperlukan daya yang tidak dapat dihasilkan oleh kapal bertenaga manusia. Sistem dayung menghasilkan daya yang sangat rendah untuk propulsi (hanya sekitar 70 W per pendayung) dan ambang batas untuk mendayung dalam posisi tetap adalah sekitar 10 knot.[155] Menurut para sejarawan, jenis galai perang kuno yang digunakan bangsa Yunani pada Abad Kuno adalah jenis galai yang paling hemat daya dan yang paling cepat dari antara seluruh rancangan galai yang pernah ada sepanjang sejarah. Replika berskala penuh dari sebuah triremis abad ke-5 SM, Olympias, dibuat pada 1985–87 dan beberapa kali diuji coba guna mengukur kinerjanya. Hasil uji coba mebuktikan bahwa laju jelajah sebesar 7-8 knot dapat dipertahankan selama sehari penuh. Laju tercepat sampai dengan 10 knot dapat saja dicapai, tetapi hanya mampu bertahan selama beberapa menit dan akan menguras tenaga para awak dengan cepat.[156] Galai-galai kuno dibuat sangat ringan dan galai-galai triremis yang asli diperkirakan tak terkalahkan dalam soal laju.[157] Galai-galai Abad Pertengahan diyakini lebih lamban, terutama sejak galai tidak lagi dibuat dengan memperhitungkan siasat-siasat penubrukan. Laju jelajah telah diperkirakan tidak lebih dari 2-3 knot. Laju tercepat sampai dengan 7 knot dapat saja dicapai dan dipertahankan selama 20–30 menit, tetapi berisiko menguras seluruh tenaga para pendayung.[158]

Mendayung galai menentang arah angin atau ketika laut sedikit bergelora cukup sukar dan melelahkan.[159] Di laut lepas, galai-galai kuno dapat membentangkan layar sehingga mampu melaju mengikuti arah angin. Galai-galai ini sangat rentan terhadap gelombang tinggi, dan dapat saja tak terkendali jika kerangka dayung (apostis) lepas dan hanyut. Dalam keadaan yang cukup layak, galai-galai Abad Kuno dan Abad Pertengahan diperkirakan hanya mampu berlayar dengan laju 8-9 knot pada saat arah angin kurang lebih mengarah ke buritan.[160]

Budak galai

 
Model sebuah galai Venesia berdayung tiga baris, alla sensile, dengan tiga pendayung duduk sejajar pada satu pulangan tetapi masing-masing menangani satu batang dayung

Bertentangan dengan anggapan umum bahwa para pendayung dirantai pada tangkai dayung, sebagaimana yang diperlihatkan dalam film-film seperti Ben Hur, tidak ada bukti bahwa angkatan laut pada Abad Kuno mengaryakan para pelaku kejahatan atau pun budak belian sebagai pendayung, kecuali mungkin Kerajaan Mesir pada masa pemerintahan Wangsa Ptolemaios.[161] Peninggalan-peninggalan tertulis membuktikan bahwa Angkatan Laut Yunani dan Romawi mengandalkan tenaga buruh bayaran atau prajurit biasa untuk menjalankan kapal-kapal mereka.[162][163] Budak belian dikaryakan sebagai pendayung hanya pada saat-saat krisis memuncak. Dalam beberapa kasus, budak-budak belian ini kelak dianugerahi kemerdekaan selepas masa tugasnya di kapal, sementara dalam kasus-kasus lain mereka mulai bekerja sebagai pendayung galai sesudah terlebih dahulu dimerdekakan. Kapal-kapal niaga Romawi (biasanya kapal-kapal layar) dijalankan oleh budak-budak belian, kadang-kadang nakhodanya pun adalah seorang budak belian, namun kasus yang demikian jarang dijumpai di galai-galai niaga.[164]

Baru pada permulaan abad ke-16, gagasan modern tentang budak galai menjadi umum. Ukuran armada-armada galai maupun ukuran kapal-kapal itu sendiri semakin lama semakin besar sehingga memerlukan tambahan tenaga pendayung. Jumlah pulangan tidak dapat ditambah tanpa memperlebar lambung kapal melampaui batas-batas strukturalnya, sementara penataan tiga dayung pada tiap pulangan tidak dapat berfungsi dengan baik. Kebutuhan akan tenaga pendayung tambahan juga berarti bahwa jumlah pendayung mahir yang relatif terbatas tidak dapat memenuhi kebutuhan armada-armada galai yang besar. Semakin lama semakin lazim pula untuk mengawaki galai dengan orang-orang hukuman atau budak-budak belian, sehingga diperlukan adanya suatu metode mendayung yang lebih sederhana. Cara lama yang memanfaatkan tenaga pendayung profesional dengan metode dayung alla sensile (satu orang satu dayung, dengan dua-tiga orang pada satu pulangan) sedikit demi sedikit tergeser oleh metode dayung a scaloccio, yang tidak membutuhkan kemahiran tingkat tinggi.[165] Tiap pulangan dipasangi satu batang dayung besar yang digerakkan secara serentak oleh beberapa orang pendayung, dan jumlah tenaga pendayung untuk tiap dayung meningkat dari tiga menjadi lima orang. Pada beberapa galai panglima yang berukuran sangat besar, jumlah pendayung dapat saja bertambah hingga mencapai tujuh orang tiap dayung.[166]

 
Sebuah ilustrasi dari tahun 1643 memperlihatkan tata-letak pulangan-pulangan dan batang-batang dayung pada sebuah galai berdayung 16 pasang. Ilustrasi ini juga memperlihatkan seorang pendayung pada pangkal batang dayung menggunakan teknik dayung-berdiri yang merupakan ciri khas metode dayung a scaloccio.

Semua kekuatan utama di Laut Tengah menjatuhkan hukuman bekerja di galai bagi para kriminal, tetapi awalnya hanya pada masa perang. Kekuatan-kekuatan bahari Kristen seperti Spanyol seringkali mengaryakan para tahanan Muslim dan tawanan perang. Angkatan Laut Utsmaniyah dan para sekutunya, lanun-lanun Afrika Utara, kerap mengaryakan para tahanan Kristen sebagai pendayung galai, bersama-sama dengan para sukarelawan. Spanyol sangat bergantung pada tenaga budak pendayung, penyebab utamanya adalah struktur organisasinya yang memang diarahkan untuk memanfaatkan tenaga para budak belian dan para terpidana.[167] Venesia adalah salah satu dari kekuatan-kekuatan bahari utama yang hampir seluruh pendayungnya adalah orang-orang merdeka, sebagai dampak dari ketergantungan mereka terhadap metode dayung alla sensile yang membutuhkan tenaga-tenaga pendayung profesional. Para Kesatria Santo Yohanes mengaryakan budak-budak belian secara ekstensif, demikian pula negara-Negara Gereja, Firenze, dan Genova. Para lanun ghazi dari Afrika Utara nyaris sepenuhnya bergantung pada budak-budak belian Kristen sebagai pendayung.[168]

Layar

Pada galai-galai kuno yang menggunakan layar, sebagian besar tenaga penggeraknya dihasilkan oleh selembar layar terbang yang terpasang pada sebatang tiang yang tegak agak ke haluan dari titik tengah kapal, dan dibantu selembar layar terbang sebagai layar haluan pada sebatang tiang yang lebih kecil di haluan kapal. Layar-layar latin berbentuk segitiga diketahui telah digunakan sejak abad ke-2 Masehi, dan perlahan-lahan menjadi layar pilihan utama bagi galai-galai. Pada abad ke-9, layar-layar latin sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perlengkapan standar sebuah galai. Jika dibandingkan dengan perangkat layar persegi, seperangkat layar latin jauh lebih rumit dan harus ditangani oleh lebih banyak orang, akan tetapi hal itu bukanlah perkara sulit bagi galai-galai yang diawaki dengan sejumlah besar tenaga kerja.[169] Armada serang Bizantium Belisarius, yang terdiri atas 533 galai, paling kurang setengahnya diperlengkapi dengan layar-layar latin, sehingga menyiratkan kemungkinan bahwa kala itu layar latin telah menjadi perangkat standar bagi dromon,[170] sementara layar terbang persegi yang sebelumnya digunakan turun-temurun pun tak lagi digunakan dalam kegiatan pelayaran di Laut Tengah pada Abad Pertengahan.[171] Tidak seperti pada perangkat layar persegi, dulang-dulang penyangga layar latin tidak berputar mengitari tiang kapal. Bilamana kapal akan cikar, dulang-dulang harus dipindahkan dengan cara diangkat melewati ujung tiang kapal ke sisi sebelahnya. Panjang dulang-dulang pun seringkali melebihi tinggi tiang kapal, dan tidak jauh lebih pendek dibanding panjang badan kapal itu sendiri, sehingga kegiatan cikar pun menjadi olah-gerak yang rumit dan makan waktu.[172]

Persenjataan dan siasat tempur

Pada perang-perang laut yang terdahulu, aksi serbu kapal adalah satu-satunya cara untuk mengalahkan musuh, tetapi siasat-siasat tempur yang digunakan dalam aksi serbu kapal nyaris tidak diketahui. Pada pertempuran laut pertama yang tercatat dalam sejarah, Pertempuran Delta, bala tentara Mesir pada masa pemerintahan Firaun Ramses III meraih kemenangan telak atas sekumpulan bala tentara misterius yang dikenal dengan sebutan Orang laut. Sebagaimana yang ditampilkan pada relief-relief untuk mengabadikan pertempuran itu, pasukan pemanah Mesir di atas kapal-kapal dan di sepanjang pantai yang berdekatan menghujani kapal-kapal musuh dengan tembakan anak panah. Pada saat yang sama, galai-galai Mesir melaksanakan aksi serbu kapal dan menjungkirkan kapal-kapal Orang Laut dengan menggunakan tambang-tambang dengan kait pada ujungnya yang disangkutkan pada bibir kapal-kapal itu.[173]

Penambahan hulu pelantak

 
Hulu pelantak pada Triremis Olympias, sebuah rekonstruksi triremis Yunani klasik.

Sekitar abad ke-8 SM, aksi pendobrakan kapal mulai dipergunakan begitu galai-galai perang diperlengkapi dengan hulu pelantak yang berat dan terbuat dari perunggu. Catatan-catatan mengenai perang-perang Persia pada permulaan abad ke-5 SM yang ditulis oleh sejarawan kuno Herodotus (ca. 484-25 SM) menunjukkan bahwa kala itu siasat pendobrakan kapal sudah lazim dipergunakan oleh orang-orang Yunani. Formasi-formasi tempur yang digunakan dalam aksi pendobrakan kapal dapat berupa formasi baris (satu kapal berlayar di belakang yang lain) atau pun formasi banjar (satu kapal berlayar di samping yang lain), tergantung situasi taktis dan keadaan lingkungan alam di sekitarnya. Metode-metode penyerangan yang utama dapat berupa penerobosan ataupun penyalipan formasi kapal musuh.[174] Aksi pendobrakan itu sendiri dilakukan dengan cara menggasakkan hulu pelantak pada pada buritan atau lambung kapal musuh sehingga membolongi dinding kapal. Tindakan pendobrakan tidak dapat serta-merta menenggelamkan sebuah galai kuno kecuali jika galai itu disarati dengan kargo dan perbekalan sampai memenuhi seluruh kapasitasnya. Dengan beban muatan yang normal, sebuah galai kuno masih mampu mengapung dengan lambung bolong. Mematahkan dayung kapal adalah cara lain untuk menghentikan pergerakan kapal musuh, sehingga menjadikannya lebih mudah ditaklukkan. Jika tindakan pendobrakan tidak mungkin dilaksanakan atau gagal mencapai tujuannya, maka prajurit-prajurit yang disiagakan di atas kapal akan berusaha menyeberang ke geladak kapal musuh dan menaklukkannya dengan pertama-tama mengamankannya dengan tambang dan kait besi, diiringi hujan anak panah atau lembing. Membakar kapal musuh dengan hujan panah api atau dengan menumpahkan isi perapian yang dipasang pada galah-galah panjang diduga pula telah digunakan, terutama karena asap di bawah geladak dapat melumpuhkan para pendayung dengan mudah.[175] Rodos adalah kekuatan bahari pertama yang mempergunakan senjata ini, pada sekitar abad ke-3, baik untuk melawan serangan langsung maupun untuk menakut-nakuti kapal musuh agar berputar haluan dan menampakkan lambungnya sehingga dapat ditubruk.[176]

Keberhasilan aksi penubrukan sukar untuk dicapai; perlu laju yang memadai dan olah-gerak yang jitu. Armada-armada yang tidak memiliki pendayung-pendayung berpengalaman dan panglima-panglima cakap yang terlatih dengan baik lebih mengandalkan aksi serbu kapal dengan pasukan pejalan kaki yang unggul (misalnya dengan menambah jumlah prajurit yang disiagakan di atas kapal hingga mencapai 40 orang). Upaya-upaya penubrukan dapat dihindari dengan cara menjaga agar haluan kapal terus berada di hadapan kapal musuh sampai awaknya kelelahan, dan selanjutnya melancarkan aksi serbu kapal secepat mungkin. Formasi baris ganda dapat digunakan untuk mencapai suatu terobosan dalam pertempuran dengan cara menyerang dengan barisan pertama dan kemudian mengerahkan barisan belakang untuk memanfaatkan titik-titik lemah pada pertahanan musuh. Meskipun demikian, aksi semacam ini memerlukan keunggulan dalam jumlah, karena barisan depan yang lebih pendek berisiko tersalip atau terkepung.[177]

Bertahannya siasat serbu kapal

 
Armada Bizantium menghalau serangan Orang Rus atas Konstantinopel pada 941. Dromon-dromon Biantium dikerahkan menyerempet kapal-kapal Rus dan meremukkan dayung-dayungnya dengan taji.

Meskipun terus mencari cara untuk menghadapi kapal-kapal yang semakin besar ukurannya, siasat penubrukan perlahan-lahan ditinggalkan pada abad-abad terakhir dari kurun waktu Sebelum Masehi oleh bangsa Makedonia dan bangsa Romawi, dua kekuatan yang lebih berbasis di darat. Pertarungan satu lawan satu yang dilakukan oleh sepasukan besar prajurit pejalan kaki yang didukung oleh katapel-katapel tempur di atas kapal mendominasi gaya bertempur pada era Romawi. Penggunaan gaya bertempur semacam ini merupakan langkah yang diambil seiring peralihan ke penggunaan kapal-kapal yang lebih berbobot dengan tambahan tenaga pendayung untuk tiap dayung. Meskipun efektif mengurangi mobilitas galai, ukuran yang semakin besar juga berarti bahwa para pendayung tidak lagi diwajibkan memiliki tingkat kemahiran yang tinggi. Dengan demikian armada-armada tidak lagi sepenuhnya bergantung pada tenaga-tenaga yang paling berpengalaman untuk mendayung galai.[34]

Menjelang akhir Abad Kuno, pada abad pertama Masehi, siasat-siasat penubrukan sudah sepenuhnya hilang bersama dengan ilmu merancang triremis kuno. Galai-galai Abad Pertengahan justru menggunakan semacam hulu peretas, atau "taji", di haluan yang dirancang untuk meretas batang-batang dayung dan dapat digunakan sebagai landasan pijak untuk menerjang kapal-kapal musuh dengan aksi serbu kapal. Satu-satunya yang masih tersisa dari siasat-siasat penubrukan adalah upaya penabrakan kapal musuh untuk membuatnya oleng atau terjungkir.[178]

 
Kapal Bizantium menyerang dengan semburan api Yunani. naskah Skilitzes Madrid, abad ke-11 M.

Angkatan Laut Biantium, armada perang Laut Tengah terbesar hampir sepanjang permulaan Abad Pertengahan, menggunakan formasi-formasi sabit dengan kapal bendera di tengah-tengah dan kapal-kapal berat pada kedua ujung tanduk formasi, dengan tujuan untuk menyalip sayap formasi armada musuh. Siasat-siasat serupa diyakini telah digunakan oleh armada-armada Arab dalam pertempuran semenjak abad ke-7 M. Orang-orang Bizantiumlah yang pertama kali menggunakan api Yunani, sejenis cairan pencetus api yang sangat efektif, sebagai senjata laut. Api Yunani disemburkan melalui sebuah pipa logam, atau sifon yang dipasang pada haluan kapal, mirip dengan alat pelontar api modern. Sifat-sifat api Yunani sangat mirip dengan sifat-sifat napalm dan merupakan kunci kemenangan Bizantium dalam beberapa pertempuran. Pada 835, senjata ini telah menyebar sampai ke kalangan orang-orang Arab, yang memperlengkapi harraqa, "kapal berapi", milik mereka dengannya. Pertempuran-pertempuran laut diawali dengan aksi saling tembak, mulai dari saling lontar proyektil-proyektil pembakar hingga saling menghujani dengan anak-anak panah, ranjau dan lembing. Aksi ini tidak bertujuan untuk menenggelamkan kapal, tetapi untuk mengurangi jumlah awak kapal musuh sebelum melancarkan aksi serbu kapal yang akan menjadi penentu hasil akhir pertempuran. Begitu kekuatan musuh dinilai sudah cukup berkurang, armada-armada akan saling merapat dan berdesak-desakan, selanjutnya para prajurit laut dan pendayung di tingkat atas akan menyeberang beramai-ramai ke kapal musuh untuk bertarung satu lawan satu.[178] Dromon-dromon Bizantium diperlengkapi dengan tabir terpal berkerangka yang dipasang pada sepanjang bibir kapal, tempat para prajurit laut menggantungkan perisai-perisai mereka. Tabir ini memberikan perlindungan bagi para awak geladak.[179] Kapal-kapal yang lebih besar juga diperlengkapi dengan puri-puri kayu di antara tiang-tiang kapal, yang memungkinkan para pemanah untuk melesatkan anak panah dari posisi tembak yang lebih tinggi dari geladak utama.[137]

 
Pertempuran antara armada Venesia dan armada Kekaisaran Romawi Suci; detail dari fresko karya Spinello Aretino 1407–1408.

Angkatan laut Abad Pertengahan kelak terus menggunakan sisat-siasat serupa, dengan formasi berbanjar sebagai formasi tempur yang standar, karena galai dirancang untuk menghadapi gempuran dari arah haluan, dan sangat lemah di bagian lambung, terutama pada bagian tengahnya. Formasi sabit ala Bizantium terus dipergunakan sepanjang Abad Pertengahan. Formasi ini memungkinkan sayap-sayap armada menabrakkan haluannya tepat pada lambung kapal-kapal yang terletak di ujung formasi tempur musuh.[180]

Rugerius dari Lauria (ca. 1245–1305) adalah seorang ahli siasat perang laut pada Abad Pertengahan yang bertempur di pihak Angkatan Laut Aragon melawan armada-armada Angevin dalam Perang Vesper Sisilia. Dalam Pertempuran Malta pada Juli 1283, ia berhasil memancing keluar galai-galai Angevin yang sedang didaratkan dengan buritan menghadap ke darat, dengan cara menyerukan tantangan secara terbuka terhadap mereka. Menyerang mereka dalam posisi bertahan yang kuat secara langsung akan sangat berbahaya karena posisi semacam itu merupakan barisan rapat yang kokoh, sehingga memungkinkan para pendayung untuk meloloskan diri ke pantai dan memungkinkan pengerahan pasukan pejalan kaki dari pantai untuk memperkuat titik-titik lemah. Ia juga mengerahkan para pemanah silang dan para almogavar, prajurit-prajurit pejalan kaki bersenjata ringan, yang lebih lincah bergerak dalam aksi-aksi dari kapal ke kapal dibandingkan dengan prajurit-prajurit Perancis yang berbaju zirah dan bersenjata lengkap.[181] Dalam Pertempuran Teluk Napoli pada 1284, bala tentaranya melontarkan guci-guci tanah liat berisi sabun sebelum menyerang; guci-guci itu pecah ketika membentur geladak kapal musuh dan menjadikannya sangat licin sehingga pasukan pejalan kaki yang bersenjata lengkap harus mati-matian bersusah-payah untuk dapat berdiri tegak.[182]

Galai bersenjata api

Senjata-senjata api perdana berkaliber besar, dan mula-mula terbuat dari besi tempa sehingga tidak sekuat senjata-senjata api dari perunggu tuang yang kelak menjadi senjata api standar pada abad ke-16. Senjata-senjata api ini mula-mula dipasang pada balok-balok kayu di haluan kapal dengan laras mengarah lurus ke depan. Tata-letak semacam ini nyaris bertahan tanpa perubahan sampai galai menghilang dari aktivitas pelayaran pada abad ke-19.[145] Kemunculan senjata-senjata api berat dan senjata-senjata api jinjing tidak sepenuhnya mengubah siasat-siasat tempur terdahulu. Andaikata berubah sekalipun, galai tetap memanfaatkan haluan sebagai sarana penyerang, baik sebagai tempat pasukan berancang-ancang sebelum mengerubuti kapal musuh maupun sebagai tempat meletakkan senjata-senjata api jinjing dan meriam-meriam. Galai bersenjata api mampu melampaui kinerja kapal layar dalam pertempuran-pertempuran laut yang terdahulu. Galai ini tetap menyimpan keuntungan taktis khusus, bahkan sesudah kemunculan perdana artileri laut, karena dengan mudah dapat berolah-gerak untuk menubruk kapal musuh.[183]

 
Lukisan semasa dari Pertempuran Lepanto pada 1571, memperlihatkan formasi-formasi kaku dari kedua armada yang berhadap-hadapan. Fresko di the Galeri Peta Museum Vatikan.

Dalam pertarungan-pertarungan galai lawan galai yang berskala besar, siasat-siasat tempur pada dasarnya tetap sama sampai akhir abad ke-16. Meriam-meriam dan senjata-senjata api jinjing diperkenalkan sekitar abad ke-14, tetapi tidak serta-merta mempengaruhi siasat-siasat tempur; formasi dasar yakni kapal berbanjar membentuk sabit, sebagaimana yang digunakan dalam Pertempuran Lepanto pada 1571, telah digunakan oleh armada Bizantium hampir satu milenium lebih awal.[184] Artileri pada galai-galai bersenjata api perdana tidak digunakan sebagai senjata tembak jarak jauh untuk menyasar kapal-kapal bersenjata api lainnya. Jarak tembak maksimal meriam-meriam kala itu efektif, yakni ca. 500 m (1600 ft), dapat ditangani sebuah galai dalam dua menit, jauh lebih cepat dari pada waktu yang diperlukan untuk isi ulang segala macam artileri berat. Dengan demikian awak bersenjata api dapat menahan tembakan mereka sampai kesempatan terakhir, agak mirip dengan siasat prajurit pejalan kaki pada era praindustri senjata api jinjing berjarak tembak dekat.[185] Titik-titik lemah sebuah galai tetap saja berada pada kedua kedua sisi lambung dan terutama buritannya, pusat komando. Terkecuali salah satu pihak berhasil menyalip pihak lain, pertempuran akan dipenuhi aksi saling tubruk antar kapal, haluan dihadang haluan. Begitu pertempuran dimulai dengan kapal-kapal saling mengunci, haluan beradu haluan, pertarungan akan berlangsung pada barisan kapal terdepan. Kecuali sebuah galai benar-benar kewalahan dikerubuti pasukan musuh, pasokan segar prajurit-prajurit tambahan masih dapat dikerahkan memasuki pertempuran dari kapal-kapal cadangan di barisan belakang.[186]

Simbolisme seremonial

 
Galley Subtle (Galai Subtil), salah satu di antara segelintir galai bergaya Laut Tengah yang digunakan Inggris. Gambar ini terdapat dalam Gulungan Anthony (ca. 1546) dan dibuat sebagai bagian terpenting dari gulungan itu.

Galai digunakan semata-mata untuk keperluan-keperluan seremonial oleh banyak penguasa dan negara. Di Eropa pada permulaan Abad Pertengahan, galai mendapatkan muruah besar yang tidak dimiliki kapal-kapal lain. Sejak awal keberadaannya, galai dikemudikan mengikuti perintah para panglima bala tentara darat, dan digunakan dalam pertempuran mengikuti siasat-siasat tempur yang diadaptasi dari peperangan di darat. Karena itulah galai mendapatkan kedudukan terhormat dalam kaitannya dengan pertempuran-pertempuran darat, yakni pencapaian tertinggi seorang bangsawan terkemuka atau seorang raja. Di kawasan Baltik, Raja Gustav I dari Swedia, pendiri negara Swedia modern, menunjukkan ketertarikan khusus pada galai, selayaknya seorang penguasa Abad Pembaharuan di Eropa. Kapan pun melakukan kunjungan dengan berlayar, Gustav, para pembesar istana, para birokrat kerajaan, dan para garda pribadi raja akan menggunakan galai.[187] Sekitar masa yang sama, Raja Henry VIII dari Inggris yang sangat berambisi untuk menyamai reputasi sang pemimpin besar pada Abad Pembaharuan itu, juga memerintahkan pembuatan beberapa buah galai bergaya Laut Tengah (dan bahkan mengawaki galai-galai itu dengan budak-budak belian), meskipun Angkatan Laut Inggris kala itu lebih banyak mengandalkan kapal-kapal layar.[96]

Meskipun kapal perang layar semakin lama semakin penting, galai tetap lebih erat hubungannya dengan peperangan di darat, dan dengan muruah yang terkait dengannya. Sejarawan bahari Inggris Nicholas Rodger mendeskripsikannya sebagai pameran "lambang tertinggi kuasa kerajaan ... yang berasal dari hubungannya yang erat dengan angkatan darat, dan oleh karena itu dengan para penguasa".[188] Pemahaman dan pemanfaatan galai seperti ini mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Sang "Raja Matahari" Perancis, Louis XIV, dalam bentuk suatu korps galai yang berdedikasi. Louis dan negara Perancis menciptakan sebuah sarana dan lambang kuasa kerajaan yang kecil manfaatnya dalam pertempuran, tetapi sangat berguna dalam menyebarluaskan ambisi-ambisi absolutis. Galai-galai dibuat hingga jumlahnya mencukupi untuk membentuk satu flotilla (armada kecil) kerajaan yang mengapung di Terusan Agung Istana Versailles sebagai wahana hiburan bagi kalangan istana.[189] Galai-galai kerajaan berpatroli di Laut Tengah, memaksa kapal-kapal negara lain untuk memberikan penghormatan kepada panji-panji raja, sebagai iring-iringan duta-duta besar dan para kardinal, serta dengan patuh berpartisipasi dalam parade angkatan laut atau arak-arakan pamer kemewahan yang diselenggarakan kerajaan. Sejarawan Paul Bamford mendeskripsikan galai-galai itu sebagai kapal-kapal yang "tentunya sangat memikat bagi orang-orang dari kalangan militer dan bagi para perwira bangsawan ... yang terbiasa dipatuhi dan dilayani".[190]

 
Lukisan gouache dari sebuah Galai Kerajaan Perancis pada penghujung abad ke-17. Kapal ini dihiasi secara berlimpah dengan damask, brokat, dan beledu untuk kanopi di buritan dan bendera-bendera, dan dengan ukiran-ukiran hias bersalut emas pada pagar, cadik, dan lambungnya.

Dikaryakannya para terpidana pelaku kriminal, para pembangkang politik, dan para penyimpang agama sebagai pendayung-pendayung galai turut membuat korps galai menjadi besar, disegani, dan merupakan sistem penahanan yang hemat biaya.[191] Para pendayung dari kaum Protestan Perancis secara khusus diperlakukan dengan buruk, dan sekalipun jumlah mereka sangat minoritas, pengalaman-pengalaman mereka kelak mendominasi warisan sejarah galai-galai raja. Pada 1909, penulis Perancis Albert Savine (1859–1927) menulis bahwa "[se]habis Bastille, galai-galai adalah kengerian terbesar dari rezim lama".[192] Lama sesudah para terpidana tidak lagi dikaryakan di galai-galai, dan bahkan sesudah masa pemerintahan Napoleon, istilah galérien ("pendayung galai") terus menjadi istilah umum simbolis yang digunakan sebagai sebutan untuk para pekerja rodi dan para terpidana yang menjalani hukuman-hukuman berat.[193]

Galai-galai yang masih ada

 
La Liberté, sebuah replika berskala penuh dari sebuah galai abad ke-17 di Swiss, meskipun tanpa pulangan

Galai asli

Museum bahari di Istambul menyimpan galai Kadirga (bahasa Turki untuk "galai", dari kata Yunani Bizantium katergon), yang berasal dari masa pemerintahan Mehmed IV (1648–1687). Kapal ini merupakan galai pribadi sultan, dan dipergunakan sampai dengan 1839. Diduga Kadırga adalah satu-satunya galai asli yang tersisa di dunia,[194] sekalipun sudah kehilangan tiang-tiangnya. Kapal ini memiliki panjang 37 m, lebar 5,7 m, sarat setinggi 2 m, bobot sekitar 140 ton, dan diperlengkapi 48 batang dayung yang dikayuh oleh 144 tenaga pendayung.[194]

Galai rekonstruksi

Sebuah rekonstruksi 1971 dari galai Real, kapal bendera Don Juan de Austria dalam Pertempuran Lepanto, kini tersimpan di Museu Marítim di Barcelona. Kapal ini memiliki panjang 60 m, lebar 6,2 m, sarat setinggi 2,1 m, bobot mati seberat 239 ton, dikayuh oleh 290 tenaga pendayung, dan mengangkut sekitar 400 awak dan prajurit pada Pertempuran Lepanto. Real berukuran lebih besar daripada galai-galai yang lazim dibuat pada zamannya.

Sebuah oraganisasi bernama "The Trireme Trust", bekerja sama dengan Angkatan Laut Yunani, mengoperasikan sebuah rekonstruksi triremis Yunani kuno yang diberi nama Olympias.[195]

Ivlia adalah sebuah replika biremis Yunani yang dibuat pada 1989 di Sochi, Laut Hitam, yang melakukan pelayaran keliling Eropa diawaki para sukarelawan selama enam musim.

Temuan arkeologi

Pada 1965, sisa-sisa sebuah galai Venesia ukuran kecil yang karam pada 1509 ditemukan di Danau Garda, Italia. Kapal ini telah terbakar dan hanya lambung bawahnya yang tersisa.[196] Pada pertengahan 1990-an, sebuah galai karam ditemukan di dekat Pulau San Marco in Boccalama, di Laguna Venesia.[197] Bangkai kapal ini masih cukup utuh namun tidak diangkat dari dasar laut karena terkendala keterbatasan dana.

Catatan

  1. ^ Pryor (2002), hlmn. 86–87; Anderson (1962), hlmn. 37–39
  2. ^ Henry George Liddell & Robert Scott Galeos, Daftar Istilah Yunani-Inggris
  3. ^ Poesponegoro, Marwati Djoened, Sejarah nasional Indonesia III: Zaman pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia (Ed. Pemutakhiran), PT Balai Pustaka, 2008.[1] hlmn. 91–108
  4. ^ "arti kata galai dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia versi daring". Diakses tanggal 9 Juli 2017. 
  5. ^ "arti kata gali dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia versi daring". Diakses tanggal 9 Juli 2017. 
  6. ^ Oxford English Dictionary (Ed. ke-2, 1989), "galley"
  7. ^ Sebagai contohnya lihat Svenska Akademiens ordbok, "galeja" atau "galär " dan Woordenboek der Nederlandsche Taal, "galeye"
  8. ^ Anderson (1962), hlmn. 1, 42; Lehmann (1984), hlm. 12
  9. ^ Casson (1971), hlmn. 53—56
  10. ^ Murray (2012), hlm. 3
  11. ^ Casson (1995), hlm. 123
  12. ^ Rodger (1997), hlm. 66—68
  13. ^ a b Glete (1993), hlm. 81
  14. ^ Winfield (2009), hlmn. 116—118
  15. ^ Karl Heinz Marquardt, "The Fore and Aft Rigged Warship" in Gardiner & Lavery (1992), hlm. 64
  16. ^ Mooney (1969), hlm. 516
  17. ^ Wachsmann (1995), hlm. 10
  18. ^ a b Wachsmann (1995), hlmn. 11–12
  19. ^ a b Wachsmann (1995), hlmn. 21–23
  20. ^ Casson (1995), hlmn. 57–58
  21. ^ Wachsmann (1995), hlmn. 13–18
  22. ^ Casson (1995), hlmn. 117–121
  23. ^ Casson (1971), hlmn. 68–69
  24. ^ Morrison, Coates & Rankov (2000), hlm. 25
  25. ^ Wachsmann (1995), hlmn. 28–34
  26. ^ Morrison, Coates & Rankov, hlmn. 32–35
  27. ^ Casson (1991), hlm. 87
  28. ^ Casson (1991), hlmn. 30–31
  29. ^ Casson (1991), hlmn. 44–46
  30. ^ Morrison, Coates & Rankov, (2000), hlmn. 27–32
  31. ^ Morrison, Coates & Rankov (2000), hlmn. 38–41
  32. ^ D.B. Saddington (2011) [2007]. "the Evolution of the Roman Imperial Fleets," in Paul Erdkamp (ed), A Companion to the Roman Army, 201-217. Malden, Oxford, Chichester: Wiley-Blackwell. ISBN 978-1-4051-2153-8. Plate 12.2 di hlm. 204.
  33. ^ Coarelli, Filippo (1987), I Santuari del Lazio in età repubblicana. NIS, Rome, hal 35-84.
  34. ^ a b Morrison, Coates & Rankov (2000), hlmn. 48–49
  35. ^ Morrison (1995), hlmn. 66–67
  36. ^ Casson (1995), hlmn. 119–123
  37. ^ Rankov (1995), hlmn. 78–80
  38. ^ Rankov (1995), hlmn. 80–81
  39. ^ Rankov (1995), hlmn. 82–85
  40. ^ Rodger, (1997), hlmn. 64–65
  41. ^ Unger (1980), hlmn. 53–55.
  42. ^ Unger (1980), hlmn. 96–97
  43. ^ Unger (1980), hlm. 80
  44. ^ Unger (1980), hlmn. 75–76
  45. ^ Pirenne, Mohammed and Charlemagne; tesis ini muncul dalam bab 1–2 dari Medieval Cities (1925)
  46. ^ Unger (1980), hlmn. 40, 47
  47. ^ Unger (1980), hlmn. 102–104
  48. ^ Casson (1995), hlmn. 123–126
  49. ^ Glete (2000), hlm. 2
  50. ^ Mott (2003), hlmn. 105–106
  51. ^ Pryor (1992), hlmn. 64–69
  52. ^ Mott (2003), hlm. 107
  53. ^ Braudel, The Perspective of the World, Jilid III dari Civilization and Capitalism (1979) 1984:126
  54. ^ Higgins, Courtney Rosali (2012) The Venetian Galley of Flanders: From Medieval (2-Dimensional) Treatises to 21st Century (3-Dimensional) Model. Tesis Magister, Texas A&M University [2]
  55. ^ Fernand Braudel, The Mediterranean in the Age of Philip II I, 302.
  56. ^ Pryor (1992), hlm. 57
  57. ^ Mallett (1967)
  58. ^ Bass, hlm. 191
  59. ^ Mott (2003), hlmn. 109–111
  60. ^ Hattendorf dan Unger (2003) hal, 70
  61. ^ Glete (2000) hal 18
  62. ^ Glete, (2000) hlm. 23
  63. ^ Glete, (2000) hlm. 28
  64. ^ Guilmartin (1974) hlm. 252
  65. ^ Glete (1993), hlm. 114
  66. ^ Guilmartin (1974), hlm. 101
  67. ^ Glete (1993), hlmn. 114–115
  68. ^ Glete (2000), hlmn. 154, 163
  69. ^ Glete (2000), hlmn., 156, 158-159
  70. ^ Bamford (1973), hlmn. 12; Mott, 113-114
  71. ^ a b Mott (2003), hlm. 112
  72. ^ Goodman (1997), hlm. 11–13
  73. ^ Bamford (1973), hlm. 12
  74. ^ Mott (2003), hlmn. 113–114
  75. ^ Khususnya Rodger (1996)
  76. ^ Glete (2003), hlm. 27
  77. ^ Sejarawan bahari Inggris, Nicholas Rodger, menggambarkan kenyataan ini sebagai seuatu "krisis dalam peperangan laut" yang akhirnya menyebabkan dikembangkannya galiung, yang memadukan kemampuan tembak dari haluan, penataan senjata-senjata api berat pada lambungnya, dan peningkatan pesat dalam kemampuan berolah-gerak berkat diperkenalkannya perangkat layar yang lebih canggih; Rodger (2003), hlm. 245. Untuk argumen-argumen yang lebih rinci mengenai perkembangan persenjataan pada lambung kapal, lihat Rodger (1996).
  78. ^ Glete (2003), hlm. 144
  79. ^ Guilmartin (1974), hlmn. 264–266
  80. ^ Guilmartin (1974), hlm. 254
  81. ^ Guilmartin (1974), hlm. 57
  82. ^ Glete (2003), hlmn. 32–33
  83. ^ Glete (2000), hlm. 183
  84. ^ a b Jan Glete, "The Oared Warship" in Gardiner & Lavery (1992), hlm. 99
  85. ^ Rodger (2003), hlm. 170
  86. ^ Bamford (1974), hlm. 14–18
  87. ^ Bamford (1974), hlml. 52
  88. ^ Bamford (1974), hlm. 45
  89. ^ a b Lehmann (1984), hlm. 12
  90. ^ Bamford (1974), hlmn. 272–273
  91. ^ Bamford (1974), hlm. 23–25
  92. ^ Bamford (1974), hlmn. 277–278
  93. ^ Bamford, (1974), hlmn. 272–273; Anderson, (1962), hlmn. 71–73
  94. ^ Glete (1992), hlm. 99
  95. ^ Rodger (1997), hlmn. 208–212
  96. ^ a b John Bennel, "The Oared Vessels" in Knighton & Loades (2000), hlm. 35–37.
  97. ^ Rodger (2003), hlmn. 230–230; lihat pula R. C. Anderson, Naval Wars in the Baltic, hlmn. 177–178
  98. ^ Glete (2003), hlmn. 224–225
  99. ^ Anderson (1962), hlmn. 91–93; Berg, "Skärgårdsflottans fartyg" dalam bahasa Norman (2000) hlm. 51
  100. ^ Glete, "Den ryska skärgårdsflottan" dalam bahasa Norman (2000), hlm. 81
  101. ^ Anderson (1962), hlm. 95
  102. ^ Bondioli, Burlet & Zysberg (1995), hlm. 205
  103. ^ Jan Glete, "Den ryska skärgårdsflottan: Myt och verklighet" dalam bahasa Norman (2000), hlmn. 86–88
  104. ^ a b c Reid, Anthony (2012). Anthony Reid and the Study of the Southeast Asian Past. Institute of Southeast Asian Studies. ISBN 978-981-4311-96-0. 
  105. ^ Boxer. The Acehnese attack on Malacca in 1629. hlm. 119–121. 
  106. ^ Iskandar, Teuku (1958). De Hikajat Atjeh. Gravenhage: KITLV. hlm. 175. 
  107. ^ Lode (1601). Tweede Boek. Amsterdam. hlm. 17. 
  108. ^ Coates (1995), hlm. 127
  109. ^ Detail buritan yang terilhami bentuk bunga ini kelak menjadi lazim digunakan baik oleh kapal-kapal Yunani maupun kapal-kapal Romawi.
  110. ^ Unger (1980), hlmn. 41–42
  111. ^ Coates (1995), hlmn. 136–137
  112. ^ a b Coates (1995), hlmn. 133–134; Morrison, Coates & Rankov (2000), hlmn. 165–167
  113. ^ Coates (1995), hlmn. 137–138
  114. ^ Casson (1991), hlmn. 135–136
  115. ^ Coates (1995), hlmn. 131–132
  116. ^ Coates (1995), hlmn. 138–140
  117. ^ Morrison, Coates & Rankov (2000), hlm. 77
  118. ^ Shaw(1995), hlmn. 164–165
  119. ^ Hocker (1995), hlm. 88
  120. ^ Rankov (1995), hlmn. 80–83
  121. ^ Rankov (1995), hlm. 85
  122. ^ Lihat baik Bass maupun Pryor
  123. ^ Morrison hlm. 269
  124. ^ Landström
  125. ^ Pryor & Jeffreys (2006), hlmn. 123–125
  126. ^ Pryor & Jeffreys (2006), hlmn. 125–126
  127. ^ Pryor (1995), hlm. 102
  128. ^ Pryor & Jeffreys (2006), hlm. 127
  129. ^ Pryor & Jeffreys (2006), hlmn. 138–140
  130. ^ Pryor & Jeffreys (2006), hlmn. 145–147, 152
  131. ^ Pryor & Jeffreys (2006), hlmn. 134–135
  132. ^ Pryor (1995), hlmn. 103–104
  133. ^ Pryor & Jeffreys (2006), hlmn. 232, 255, 276
  134. ^ Pryor & Jeffreys (2006), hlmn. 205, 291
  135. ^ Pryor & Jeffreys (2006), hlm. 215
  136. ^ Pryor & Jeffreys (2006), hlm. 203
  137. ^ a b Pryor (1995), hlm. 104
  138. ^ Pryor & Jeffreys (2006), hlmn. 143–144
  139. ^ Anderson (1962), hlmn. 52, 54–55
  140. ^ Pryor (1992), hlm. 64
  141. ^ Pryor (1992), hlmn. 66–69
  142. ^ Anderson (1962), hlmn. 55–56
  143. ^ Pryor mengacu pada klaim-klaim bahwa kemudi belok dikembangkan oleh orang-orang Bizantium dan Arab seawal abad ke-9, tetapi menafikannya karena kurang bukti. Anderson (1962), hlmn. 59–60; Pryor (1992), hlm. 61.
  144. ^ Lehmann (1984), hlm. 31
  145. ^ a b Guilmartin (1974), hlm. 216
  146. ^ Guilmartin (1974), hlm. 200
  147. ^ Lehmann (1984), hlmn. 32–33
  148. ^ Jan Glete, "The Oared Warship" dalam Gardiner & Lavery (1992), hlm. 98
  149. ^ Jan Glete, "The Oared Warship" dalam Gardiner & Lavery (1992), hlmn. 98–100
  150. ^ Anderson (1962), hlm. 17
  151. ^ Lehmann (1984), hlm. 22
  152. ^ Morrison, Coates & Rankov, The Athenian Trireme, hlmn. 246–247; Shaw (1995), hlmn. 168–169
  153. ^ Morrison, Coates & Rankov, The Athenian Trireme, hlmn. 249–252
  154. ^ a b Morrison, Coates & Rankov, The Athenian Trireme, hlmn. 246–247
  155. ^ Coates 1995, hlmn. 127–128
  156. ^ Shaw (1995), hlm. 169
  157. ^ Shaw (1995), hlm. 163
  158. ^ Guilmartin (1974), hlmn. 210–211
  159. ^ Morrison, Coates & Rankov, The Athenian Trireme, hlm. 248
  160. ^ Pryor (1992), hlm. 71–75
  161. ^ Casson (1995), hlmn. 325–326
  162. ^ Rachel L. Sargent, "The Use of Slaves by the Athenians in Warfare", Classical Philology, Jld. 22, No. 3 (Jul., 1927), hlmn. 264–279
  163. ^ Lionel Casson, "Galley Slaves", Transactions and Proceedings of the American Philological Association, Jld. 97 (1966), hlmn. 35–44
  164. ^ Unger (1980), hlm. 36
  165. ^ Dari bahasa Italia remo di scaloccio dari kata scala, "tangga; undakan"; Anderson (1962), hlm. 69
  166. ^ Guilmartin (1974), hlmn. 226–227
  167. ^ Guilmartin (1974), hlmn. 109–112
  168. ^ Guilmartin (1974), hlmn. 114–119
  169. ^ Unger (1980), hlmn. 47–49.
  170. ^ Basch (2001), hlm. 64
  171. ^ Pryor & Jeffreys (2006), hlmn. 153–159
  172. ^ Pryor (1992), hlm. 42
  173. ^ Wachsmann (1995), hlmn. 28–34, 72
  174. ^ Morrison, Coates & Rankov (2000), hlmn. 42–43, 92–93
  175. ^ John Coates (1995), hlmn. 133–135
  176. ^ Casson (1991), hlm. 139
  177. ^ Casson (1991), hlmn. 90–91
  178. ^ a b Hocker (1995), hlmn. 95, 98–99.
  179. ^ Pryor & Jeffreys (2006), hlm. 282
  180. ^ Pryor (1983), hlmn. 193–194
  181. ^ Pryor (1983), hlmn. 184–188
  182. ^ Pryor (1983), hlm. 194
  183. ^ Rose (2002), hlm. 133
  184. ^ Guilmartin (1974), hlmn. 157–158
  185. ^ Guilmartin (1974), hlmn. 199–200
  186. ^ Guilmartin (1974), hlmn. 248–249
  187. ^ Jan Glete, "Vasatidens galärflottor" in Norman (2000), hlmn. 39, 42
  188. ^ Rodger (2003), hlm. 237
  189. ^ Untuk lebih banyak informasi mengenai flotilla kerajaan Louis XIV, lihat Amélie Halna du Fretay, "La flottille du Grand Canal de Versailles à l'époque de Louis XIV : diversité, technicité et prestige" (Prancis)
  190. ^ Bamford (1974), hlmn. 24–25
  191. ^ Bamford (1974), hlmn. 275–278
  192. ^ Bamford (1973), hlmn. 11–12
  193. ^ Bamford (1973), hlm. 282
  194. ^ a b Recep Efe & Munir Ozturk (penyunting) (2014). Environment and Ecology in the Mediterranean Region II. Newcastle Upon Tyne, Britania Raya: Cambridge Scholars Publishing. hlm. 39–48. ISBN 9781443855389. 
  195. ^ The Trireme Trust
  196. ^ Scandurro (1972), hal 209–10
  197. ^ AA.VV., 2003, La galea di San Marco in Boccalama. Valutazioni scientifiche per un progetto di recupero (ADA - Saggi 1), Venice

Referensi

  • Anderson, Roger Charles, Oared fighting ships: From classical times to the coming of steam. London. 1962.
  • Bamford, Paul W., Fighting ships and prisons: the Mediterranean Galleys of France in the Age of Louis XIV. Cambridge University Press, London. 1974. ISBN 0-8166-0655-2
  • Basch, L. & Frost, H. "Another Punic wreck off Sicily: its ram" dalam International journal of Nautical Archaeology Jld. 4.2, 1975. hlmn. 201–228
  • Bass, George F. (editor), A History of Seafaring, Thames & Hudson, 1972
    • Scandurro, Enrico, Bab 9 The Maritime Republics: Medieval and Renaissance ships in Italy hlmn. 205–224
  • Capulli, Massimo: Le Navi della Serenissima - La Galea Veneziana di Lazise. Marsilio Editore, Venezia, 2003.
  • Gardiner, Robert & Lavery, Brian (editor), The Line of Battle: Sailing Warships 1650–1840. Conway Maritime Press, London. 1992. ISBN 0-85177-561-6
  • Casson, Lionel, "Galley Slaves" in Transactions and Proceedings of the American Philological Association, Jld. 97 (1966), hlmn. 35–44
  • Casson, Lionel, Ships and Seamanship in the Ancient World, Princeton University Press, 1971
  • Casson, Lionel, The Ancient Mariners: Seafarers and Sea Fighters of the Mediterranean in Ancient Times Princeton University Press, Princeton, NJ. 1991. ISBN 0-691-06836-4
  • Casson, Lionel, "The Age of the Supergalleys" in Ships and Seafaring in Ancient Times, University of Texas Press, 1994. ISBN 0-292-71162-X [3], hlmn. 78–95
  • Glete, Jan, Navies and nations: Warships, navies and state building in Europe and America, 1500–1860. Almqvist & Wiksell International, Stockholm. 1993. ISBN 91-22-01565-5
  • Glete, Jan, Warfare at Sea, 1500–1650: Maritime Conflicts and the Transformation of Europe. Routledge, London. 2000. ISBN 0-415-21455-6
  • Guilmartin, John Francis, Gunpowder and Galleys: Changing Technology and Mediterranean Warfare at Sea in the Sixteenth Century. Cambridge University Press, London. 1974. ISBN 0-521-20272-8
  • Guilmartin, John Francis,"Galleons and Galleys", Cassell & Co., London, 2002 ISBN 0-304-35263-2
  • Hattendorf, John B. & Unger, Richard W. (editors), War at Sea in the Middle Ages and the Renaissance. Woodbridge, Suffolk. 2003. ISBN 0-85115-903-6 [4]
    • Balard, Michel, "Genoese Naval Forces in the Mediterranean During the Fifteenth and Sixteenth Centuries", hlmn. 137–149
    • Bill, Jan, "Scandinavian Warships and Naval Power in the Thirteenth and Fourteenth Centuries", hlmn. 35–51
    • Doumerc, Bernard, "An Exemplary Maritime Republic: Venice at the End of the Middle Ages", hlmn. 151–65
    • Friel, Ian, "Oars, Sails and Guns: the English and War at Sea c. 1200-c. 1500", hlmn. 69–79
    • Glete, Jan, "Naval Power and Control of the Sea in the Baltic in the Sixteenth Century", hlmn. 215–232
    • Hattendorf, John B., "Theories of Naval Power: A. T. Mahan and the Naval History of Medieval and Renaissance Europe", hlmn. 1–22
    • Hattendorf, John B.and Richard W. Unger, eds. War At Sea In The Middle Ages and the Renaissance. The Boydell Press, Woodbridge. 2003.
    • Mott, Lawrence V., "Iberian Naval Power, 1000–1650", hlmn. 103–118
    • Pryor, John H., "Byzantium and the Sea: Byzantine Fleets and the History of the Empire in the Age of the Macedonian Emperors, c. 900-1025 CE", hlmn. 83–104
    • Rodger, Nicholas A. M., "The New Atlantic: Naval Warfare in the Sixteenth Century", hlmn. 231–247
    • Runyan, Timothy J., "Naval Power and Maritime Technology During the Hundred Years' War", hlmn. 53–67
  • Hutchinson, Gillian, Medieval Ships and Shipping. Leicester University Press, London. 1997. ISBN 0-7185-0117-9
  • Knighton, C. S. and Loades, David M., The Anthony Roll of Henry VIII's Navy: Pepys Library 2991 and British Library Additional MS 22047 with related documents. Ashgate Publishing, Aldershot. 2000. ISBN 0-7546-0094-7
  • Lehmann, L. Th., Galleys in the Netherlands. Meulenhoff, Amsterdam. 1984. ISBN 90-290-1854-2
  • Morrison, John S. & Gardiner, Robert (editors), The Age of the Galley: Mediterranean Oared Vessels Since Pre-Classical Times. Conway Maritime, London, 1995. ISBN 0-85177-554-3
    • Alertz, Ulrich, "The Naval Architecture and Oar Systems of Medieval and Later Galleys", hlmn. 142–162
    • Bondioli, Mauro, Burlet, René & Zysberg, André, "Oar Mechanics and Oar Power in Medieval and Later Galleys", hlmn. 142–163
    • Casson, Lionel, "Merchant Galleys", hlmn. 117–126
    • Coates, John, "The Naval Architecture and Oar Systems of Ancient Galleys", hlmn. 127–141
    • Dotson, John E, "Economics and Logistics of Galley Warfare", hlmn. 217–223
    • Hocker, Frederick M., "Late Roman, Byzantine, and Islamic Galleys and Fleets", hlmn. 86–100
    • Morrison, John, "Hellenistic Oared Warships 399-31 BC", hlmn. 66–77
    • Pryor, John H."From dromon to galea: Mediterranean bireme galleys AD 500-1300", hlmn. 101–116.
    • Rankov, Boris, "Fleets of the Early Roman Empire, 31 BC-AD 324", hlmn. 78–85
    • Shaw, J. T., "Oar Mechanics and Oar Power in Ancient Galleys", hlmn. 163–171
    • Wachsmann, Shelley, "Paddled and Oared Ships Before the Iron Age", hlmn. 10–25
  • Mallett, Michael E. (1967) The Florentine Galleys in the Fifteenth Century with the Diary of Luca di Maso degli Albizzi, Captain of the Galleys 1429–1430. Clarendon Press, Oxford. 1967
  • Mooney, James L. (editor), Dictionary of American Naval Fighting Ships: Volume 4. Naval Historical Center, Washington. 1969.
  • Morrison, John S., Coates, John F. & Rankov, Boris,The Athenian Trireme: the History and Reconstruction of An Ancient Greek Warship. Cambridge University Press, Cambridge. 2000. ISBN 0-521-56456-5
  • Murray, William (2012) The Age of Titans: The Rise and Fall of the Great Hellenistic Navies. Oxford University Press, Oxford. ISBN 978-0-19-538864-0
  • (Swedia) Norman, Hans (editor), Skärgårdsflottan: uppbyggnad, militär användning och förankring i det svenska samhället 1700–1824. Historiska media, Lund. 2000. ISBN 91-88930-50-5
  • Pryor, John H., "The naval battles of Roger of Lauria" in Journal of Medieval History 9. Amsterdam. 1983; hlmn. 179–216
  • Pryor, John H., Geography, technology and war: Studies in the maritime history of the Mediterranean 649-1571. Cambridge University Press, Cambridge. 1992. 0-521-42892-0 [5]
  • Rodger, Nicholas A. M., "The Development of Broadside Gunnery, 1450–1650." Mariner's Mirror 82 (1996), hlmn. 301–324.
  • Rodger, Nicholas A. M., The Safeguard of the Sea: A Naval History of Britain 660–1649. W.W. Norton & Company, New York. 1997. ISBN 0-393-04579-X
  • Rose, Susan, Medieval Naval Warfare, 1000–1500. Routledge. London. 2002.
  • Rodgers, William Ledyard, Naval Warfare Under Oars: 4th to 16th Centuries, Naval Institute Press, 1940.
  • Poesponegoro, Marwati Djoened, Sejarah nasional Indonesia III: Zaman pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia (Ed. Pemutakhiran), PT Balai Pustaka, 2008.
  • Tenenti, Alberto Piracy and the Decline of Venice 1580–1615 (Terjemahan bahasa Inggris). 1967
  • Unger, Richard W. The Ship in Medieval Economy 600-1600 Croom Helm, London. 1980. ISBN 0-85664-949-X
  • Winfield, Rif (2009) British Warships in the Age of Sail, 1603–1714: Design, Construction, Careers and Fates. Seaforth, Barnsley. ISBN 978-1-84832-040-6

Pranala luar