Yesuit

kelompok tarekat religius Gereja Katolik Roma
Revisi sejak 30 Maret 2019 14.58 oleh Veracious (bicara | kontrib) (←Suntingan VeraciousCupu (bicara) dibatalkan ke versi terakhir oleh Veracious)

Serikat Yesus (Latin: Societas Jesu), biasa dikenal dengan Yesuit atau Jesuit adalah ordo dalam Gereja Katolik Roma yang dikenal dengan kedisiplinannya.[1][2][3][4][5][6][7] Serikat ini didirikan pada tahun 1534 oleh sekelompok mahasiswa pascasarjana dari Universitas Paris yang merupakan teman-teman Iñigo López de Loyola (Ignatius Loyola).[2][8][9][10] Mereka bersumpah untuk melanjutkan persahabatan mereka setelah mereka selesai studi, hidup dalam kemiskinan sesuai Injil dan pergi mengemban perutusan di Yerusalem.[2][10] Mereka menyebut diri mereka amigos en el Señor — sahabat-sahabat di dalam Tuhan.[2]

Logo Serikat Yesus.
IHS: Iesus Hominum Salvator (Yesus Penyelamat Manusia)

Dasar

 
Ignatius Loyola

Pada 15 Agustus 1534, Ignatius Loyola dan enam mahasiswa lainnya (Fransiskus Xaverius, Alfonso Salmeron, Diego Laynez, dan Nicolas Bobadilla, semuanya orang Spanyol, Pierre Favre dari Prancis dan Simão Rodrigues, orang Portugis) bertemu di Montmartre di luar Paris, kemungkinan dekat Kapel St. Denys, Rue Antoinette, pada masa kini.[5][6] Mereka mendirikan Serikat Yesus untuk "mengemban pelayanan dan misi di Yerusalem, atau untuk pergi ke mana pun juga tanpa bertanya, menaati perintah Paus."[2][5][9]

Pada 1537 mereka pergi ke Italia untuk mendapatkan persetujuan Paus atas ordo mereka.[2][4]Paus Paulus III memberikan mereka persetujuan dan mengizinkan mereka untuk ditahbiskan menjadi pastor dalam Gereja Katolik.[2] Mereka menerima tahbisan di Venesia oleh Uskup Arbe (24 Juni).[2][6] Mereka mengabdikan diri untuk menyebarkan agama Katolik dan kerja amal di Italia, karena rencana perjalanan mereka ke Yerusalem terhalang oleh pecahnya kembali perang antara kaisar, Venesia, Paus, dan Kerajaan Ottoman.[2]

 
Regimini militantis Ecclesiae

Bersama Favre dan Laynez, Ignatius pergi ke Roma pada Oktober 1538, untuk mendapatkan persetujuan Paus atas konstitusi ordo baru tersebut.[3][4] Sebuah dewan Kardinal memberikan laporan yang positif bagi usul konstitusi yang diajukan, dan Paus Paulus III mengukuhkan ordo ini melalui Bulla kepausan Regimini militantis Ecclesiae (27 September 1540), tetapi membatasi jumlah anggotanya 60 orang.[4] Batasan ini dihapuskan melalui bulla Injunctum nobis (14 Maret 1543). Ignatius dipilih menjadi pemimpin umum pertama.[4] Dia mengirim para sahabatnya sebagai misionaris ke seluruh Eropa untuk mendirikan sekolah, kolese, dan seminari.[4]

Ignatius menulis Konstitusi Serikat Yesus yang disahkan pada 1554.[3][4] Konstitusi ini menciptakan organisasi dengan kepemimpinan tunggal dan menetapkan penyangkalan diri dan ketaatan mutlak kepada Paus dan para pemimpinnya.[3] Prinsip utamanya menjadi Motto Yesuit: Ad Maiorem Dei Gloriam ("demi lebih besarnya kemuliaan Allah").[2][4][8]

Karya awal

Serikat Yesus didirikan bertepatan dengan Reformasi Katolik (Kontra-Reformasi), gerakan dalam Gereja Katolik yang ditujukan untuk melawan Reformasi Protestan (yang ajarannya menyebar ke seluruh Eropa yang beragama Katolik).[4][8] Mereka melaksanakan ketaatan total kepada Kitab Suci dan doktrin Katolik.[4][8] Ignatius pernah menyatakan dalam Latihan Rohaninya: "Saya percaya bahwa putih yang saya lihat adalah hitam bila hierarki Gereja mendefinisikan begitu."[4]

Ignatius Loyola dan para Yesuit pengikutnya percaya bahwa pembaruan Gereja harus dimulai dengan pertobatan hati.[3][7] Salah satu sarana utama untuk menghasilkannya adalah Latihan Rohani yang disebut retret Ignasian.[3] Selama empat minggu dalam kebisuan orang menjalani meditasi terpimpin mengenai hidup Kristus.[3] Pada masa itu, mereka secara teratur bertemu dengan seorang pembimbing rohani yang menolong mereka memahami panggilan atau pesan Tuhan melalui meditasi mereka.[3] Retret ini mengikuti pola Penyucian-Pencerahan-Kesatuan sesuai dengan tradisi mistik Yohanes Kasianus dan para Bapa Padang Pasir.[3] Ignatius menciptakan inovasi yang membuat mistisisme kontemplatif ini bisa diikuti oleh semua orang, dan menggunakannya sebagai sarana membangun kembali kehidupan rohani Gereja.[3][4]

Yesuit juga mendirikan banyak sekolah, yang menarik anak para elite karena metode pengajaran mereka yang maju dan moral yang tinggi.[4][5] Sekolah Yesuit memainkan peranan penting dalam memenangkan beberapa negara Eropa kembali ke Katolik, setelah beberapa lama didominasi oleh Protestan, terutama Polandia [5][8]

Sesuai dengan tradisi Katolik Roma, mereka mengajarkan penggunaan upacara dan dekorasi di dalam ritual dan Devosi Katolik.[5] Karena itu, banyak Yesuit perdana yang menonjol dalam seni visual dan pertunjukan maupun dalam musik.[5]

Kaum Yesuit berhasil mendapatkan pengaruh yang menonjol pada Periode Modern Awal karena para imam Yesuit sering bertindak sebagai "konfesor" raja-raja pada masa itu.[3][4] Mereka juga berperan penting dalam Reformasi Katolik dan dalam berbagai misi Katolik karena struktur mereka yang kendur (tanpa harus tinggal dalam suatu komunitas, melakukan "doa ofisi" bersama, dan lain-lain) membuat mereka lebih fleksibel untuk memenuhi kebutuhan orang-orang pada masa itu.[3][4]

Pengembangan

Misi awal di Jepang dirasakan positif oleh pemerintah Jepang sehingga pemerintah memberikan kaum Yesuit tanah feudal Nagasaki pada 1580.[3][4][11] Namun hak ini dihapus pada 1587, karena pemerintah Jepang khawatir atas berkembangnya pengaruh Yesuit di sana.[3][4][11]

Dua misionaris Yesuit, Gruber dan D'Orville, mencapai Lhasa di Tibet pada 1661.[3]

Misi Yesuit di Amerika Selatan menimbulkan kehebohan hebat di Eropa, terutama di Spanyol dan Portugal, karena mereka dianggap mengganggu upaya penjajahan pemerintah kerajaan.[3][4] Kaum Yesuit seringkali menjadi satu-satunya kekuatan yang menghalangi perbudakan orang Indian.[3][4] Di banyak tempat di Amerika Selatan terutama wilayah yang kini dikenal sebagai Brasil dan Paraguay mereka membentuk pemerintahan kota Indian-Kristen yang disebut reduksi (bahasa Spanyol: Reducciones).[3][4] Ini adalah masyarakat teokrasi yang dianggap ideal.[3] Salah satu sebab terjadinya tekanan pada kaum Yesuit saat itu adalah bahwa mereka banyak menghalangi perbudakan orang Indian oleh bangsa Spanyol dan Portugis.[3][4]

Para Jesuit, seperti Manoel da Nóbrega dan José de Anchieta membentuk beberapa kota di Brasil pada abad 16, termasuk São Paulo dan Rio de Janeiro, dan sangat berpengaruh dalam pasifikasi, dan pendidikan suku-suku bangsa Indian.[3][4]

Misi Yesuit di Tiongkok menyebabkan munculnya pertikaian ritus di awal abad 18.[3][4][11]

 
Ordo Yesuit di Cina
 
"Hidup dan Karya Confucius, oleh Prospero Intorcetta, 1687

Para sarjana Yesuit yang bekerja dalam misi asing ke masyarakat kafir memainkan peranan penting dalam memahami bahasa mereka yang tidak dikenal.[3][4] Merekapun berusaha untuk memproduksi tata bahasa dan kamus bahasa tersebut dalam huruf Latin, suatu usaha pertama yang terorganisasi dalam linguistik.[3][4] Ini dilakukan, contohnya, untuk bahasa Jepang dan Tupi-Guarani (sebuah bahasa masyarakat pribumi di Amerika Selatan).[3][4][11]

Periode kesulitan

Lihat artikel Tekanan terhadap Yesuit.

Tekanan terhadap Yesuit di Portugal, Prancis dan Kerajaan Dua Sisilia, Parma dan Spanyol pada 1767 adalah masa sulit bagi Serikat ini, Paus Clement XIII.[3][4] Menyusul keputusan yang ditandatangani oleh Paus Clement XIV pada Juli 1773, Yesuit ditekan di semua negara (kecuali Rusia, karena Ortodoks Rusia menolak mengenal otoritas Paus).[3][4] Karena jutaan Katolik (termasuk banyak Yesuit) tinggal di Polandia bagian barat dan Kekaisaran Rusia, Serikat ini berhasil mempertahankan keberadaannya dan menjalankan pekerjaannya dalam masa penekanan.[3][4]

Serikat ini dipulihkan kembali oleh Paus pada 1814, lalu terjadilah pertumbuhan yang luar biasa seperti yang diperlihatkan oleh begitu banyaknya kolese dan universitas Yesuit yang didirikan.[3][4] Meskipun banyak dipertanyakan, kaum Yesuit biasanya mendukung otoritas kepausan dalam Gereja dan beberapa anggotanya terkait dengan gerakan Ultramontanis dan deklarasi Infalibilitas kepausan pada 1870.[4]

Yesuit kini

Yesuit pada masa kini merupakan ordo keagamaan terbesar di Gereja Katolik.[3][4] Anggotanya lebih dari 20.000 orang dan melayani di 112 negara di enam benua.[3][4] Pemimpin Umum Yesuit saat ini adalah Adolfo Nicolás.[4][5] Ciri pelayanan Serikat Yesus adalah bidang misi, hak asasi manusia, keadilan sosial, dan pendidikan tinggi (utama).[3][4][5] Serikat Yesus menyelenggarakan kolese dan universitas di berbagai negara dan di seluruh dunia, seperti Filipina, India, dan Indonesia.[3][4] Di Amerika Serikat, Yesuit mengelola lebih dari 50 kolese, universitas, dan sekolah menengah.[3][4]

Yesuit di Indonesia

Karya Yesuit di Indonesia diawali dengan karya Santo Fransiskus Xaverius dan beberapa imam lainnya di Maluku sejak pertengahan abad ke-16.[1] Tetapi karena perseteruan Portugal dan Spanyol, karya Yesuit ditarik pada pertengahan abad ke-17.[1]

Pada 1859 van den Elzen, SJ dan J.B. Palinckx, SJ tiba di Indonesia, dan memulai kembali karya Yesuit di Indonesia.[1] Pada 1893 W.J. Staal, SJ ditugaskan sebagai Vikaris Apostolik yang berkedudukan di Batavia.[1]

Pada 14 Desember 1904, Van Lith, SJ membaptis 171 orang di Sendangsono, Muntilan, Jawa Tengah, setelah sebelumnya 4 orang dari desa Kalibawang dibaptis pada 20 Mei 1904.[1] Van Lith juga membangun sekolah seminari menengah di Muntilan.[1] Seminari ini akhirnya menghasilkan para imam Yesuit pertama dari Indonesia yang ditahbiskan antara tahun 1926–1928 yaitu F.X. Satiman, SJ, A. Djajasepoetra, SJ, dan Albertus Soegijapranata, SJ. Dengan keputusan Paus Pius XII pada tanggal 1 Agustus 1940 Vikariat Apostolik Semarang didirikan, dengan uskup pertamanya Albertus Soegijapranata, SJ, sebagai uskup pribumi Indonesia pertama.[1] Seorang imam diosesan, Yustinus Darmojuwono, Pr. kemudian menggantikannya sebagai Uskup Agung Semarang sejak 1964 dan kemudian diangkat menjadi kardinal pertama dari Indonesia pada 26 Juni 1967.[1] Yustinus Darmojuwono kemudian digantikan oleh Julius Darmaatmadja, SJ sebagai uskup agung Semarang dan kemudian menjadi uskup agung Jakarta dan diangkat sebagai kardinal kedua dari Indonesia.lalu digantikan oleh Ignatius Suharyo,Pr 29 Juni 2010.[1]

Dewasa ini karya Yesuit Indonesia tersebar di 7 keuskupan di Indonesia sebagai berikut:[1]

Aktivitas Yesuit di Indonesia

Yesuit juga aktif dalam karya komunikasi sosial, pendidikan, pelayanan pastoral, dan sosial kemasyarakatan.[1]

Dalam bidang komunikasi Yesuit berkarya dengan menerbitkan Majalah Hidup, Majalah Basis, penerbitan Cipta Loka Caraka dan Kanisius, studio Sanggar Prativi dan audiovisual Puskat.[1] Dalam bidang sosial kemasyarakatan Yesuit mengupayakan keadilan melalui karya-karya yang sudah dibuatnya antara lain melalui pembinaan para sukarelawan pada Institut Sosial Jakarta dan Jesuit Refugee Service Indonesia.[1]

Di bidang pendidikan Yesuit aktif melalui sekolah-sekolah umum seperti Kolese Kanisius dan Kolese Gonzaga Jakarta, Kolese Loyola Semarang, Kolese de Britto Yogyakarta dan Kolese Le Cocq d'Armandville Nabire-Papua, maupun pendidikan khusus teknik dan pertanian seperti SMK Kolese Mikael Solo, ATMI St. Mikael (Akademi Teknik Mesin Industri) di Solo, SMTIK-PIKA (Sekolah Menengah Teknologi Kayu Atas-Pendidikan Industri Kayu Atas) di Semarang, SPMA di Ambarawa, KPTT (Kursus Pertanian Taman Tani) di Salatiga, AAK (Aksi Agraris Kanisius) di Semarang.[1]

Dalam bidang pendidikan tinggi, Yesuit mengelola Universitas Sanata Dharma di Yogyakarta dan anggotanya mengajar di berbagai perguruan tinggi di Indonesia.[1]

Dalam pelayanan pastoral, Yesuit mengajar agama, membimbing retret, memberi bimbingan rohani, mendirikan pusat riset dan pengembangan di bidang pastoral.[1]

Dalam bidang sosial kemasyarakatan, sejumlah Yesuit aktif dalam bidang sosial budaya dan kemasyarakatan.[1] Petrus Josephus Zoetmulder memiliki pengetahuan mendalam mengenai sastra Jawa dan berhasil menyusun dua jilid kamus Jawa Kuna.[1]

Yesuit memiliki karya pendidikan bagi para anggotanya di tingkat novisiat, filsafat, tahap orientasi kerasulan, teologi dan tersiat.[1] Di Indonesia, pendidikan di tingkat Novisiat ada di Novisiat St Stanislaus, Girisonta.[1] Pendidikan filsafat di Kolese Hermanum, dengan tempat studi di STF Driyarkara, Jakarta.[1] Pendidikan Teologi diadakan di Kolese Ignatius , Kotabaru, Yogyakarta, dengan tempat studi teologi di Fakultas Teologi Wedhabakti Universitas Sanata Dharma.[1]

Beberapa Yesuit Indonesia yang terkenal

Beberapa Yesuit Dunia yang terkenal

Lihat pula

Pranala luar

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w A. Budi Susanto. Harta dan Surga: Perziarahan Jesuit dalam Gereja dan Bangsa Indonesia modern. Yogyakarta: Kanisius, 1990. Hlm 112.
  2. ^ a b c d e f g h i j F. D. Wellem. Kamus Sejarah Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006. Hlm. 145-146.
  3. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag ah (Inggris) Thomas Worcester. The Cambridge Companion to The Jesuits. Cambridge: Cambridge University Press, 2008. Pg. 178-180.
  4. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag ah ai aj ak (Inggris) Jonathan Wright. The Jesuits: Missions, Myths, and Hitories. London: Harper Perennial, 2005. Pg. 87-90.
  5. ^ a b c d e f g h i "Ignatius dari Loyola", dalam Robert. R. Boehlke, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktik Pendidikan Agama Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997. Hlm 178-180.
  6. ^ a b c Mgr. Nicolaas Martinus Schneiders, CICM, Orang Kudus Sepanjang Tahun, disunting oleh: Drs. Michael Benyamin Mali, Penerbit OBOR, cetakan ke-VII, bulan Mei 2004. Hlm. 372-374.
  7. ^ a b (Indonesia) Michael Collins & Matthew A. Price. Millenium The Story of Christianity: Menelusuri Jejak Kristianitas. Yogyakarta: Kanisius, 2006. Hlm. 146-147.
  8. ^ a b c d e H. Berkhof, H. Enklaar. Sejarah Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993. Hlm. 182-184.
  9. ^ a b Tony Lane. Runtut Pijar: Sejarah Pemikiran Kristiani. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007. Hlm. 185-187.
  10. ^ a b F. D. Willem. Riwayat Singkat Tokoh-tokoh Dalam Sejarah Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987. Hlm. 78-79.
  11. ^ a b c d Anne ruck. Sejarah Gereja Asia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008.