Otto Djaya atau lengkapnya Raden Otto Djaya Suntara merupakan pelukis handal asal Indonesia yang berkarya dalam beberapa jaman: Mulai era Pemerintahan Hindia Belanda, Pendudukan Kerajaan Jepang, Revolusi Fisik, Orde Lama, Orde Baru, sampai Jaman Reformasi. Meski ia bersikeras tidak mau terjebak dalam gaya-gaya klasik manapun, Otto adalah pelukis beraliran ekpresionis. Karya-karya lukisannya digemari dan diakui hingga mancanegara. Salah satu pengkoleksi karyanya adalah Presiden Republik Indonesia pertama, Ir. Soekarno. Otto merupakan seniman lukis sekaligus pejuang kemerdekaan[1].

Riwayat Hidup

Otto lahir di Rangkasbitung, Kabupaten Pandeglang tanggal 6 Oktober 1916. Ia adalah anak kedua dari pasangan Raden Wirasandi Natadiningrat-Sarwanah Sunaeni. Di atasnya ada Agus Djaya Suminta (1913 – 1994) dan di bawah Otto adalah adik perempuannya, Neneng Khatidjah (1921-2010). Otto bukan berasal dari kalangan berada bukan juga dari golongan bawah, Ayahnya keturunan keluarga ningrat Banten yang bekerja pada Bupati Wedana (atau kepala wilayah Pandeglang) yang notabene berada di bawah Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda. Tugas ayahnya mengawasi hutan-hutan yang ada di Banten[1].

Otto menikah di usianya yang ke 35 tahun, usia “terlambat” untuk ukuran laki-laki Indonesia apalagi di masa itu. Pada tanggal 4 Juni 1951 ia secara resmi menikahi wanita asal Semarang bernama Titi Hernadi. Resepsi pernikahan menyusul kemudian pada tanggal 14 Juli 1951. Keduanya bertemu saat bekerja di perusahaan percetakan Bisnis Indonesia. Mereka tinggal di rumah sendiri di Jalan Bendo No.5, Candi Baru, Semarang, Jawa Tengah.

Suasana lingkungan rumah Otto memang mendukung profesinya sebagai pelukis: Terletak di atas bukit dengan pemandangan yang indah. Ukurannya pun besar. Selain untuk rumah tinggal, kediaman Otto juga dijadikan guest-house dan galeri untuk menjual lukisan-lukisan karyanya. Otto dan Titi mendapatkan penghasilan yang baik pada masa-masa itu. Mereka dikaruniai empat orang anak. Anak pertama lahir 8 Maret 1952 yang diberi nama Laksmi Hendrastuti. Lalu menyusul Maya Damayanti yang lahir tanggal 6 Juni 1954, Asoka Kusuma Djaya, lahir 14 Juni 1957, dan si bungsu Sinta Dewi Handayani yang lahir pada tanggal 25 Juni 1963.

Pendidikan

Pada tahun 1923 Raden Wirasandi Natadiningrat memasukkan Otto di sekolah Belanda khusus Bumiputera (Hollandsch-Inlandsche School) di Pandeglang. Ketertarikannya terhadap seni lukis dimulai di sekolah tersebut. Tujuh tahun berikutnya Otto pergi ke Bandung untuk melanjutkan pendidikannya  di Meer Vitgebreid Lager Onderwijs, atau sekolah dasar lanjutan selama tiga tahun berikut. Pendidikan formalnya berlanjut di Algemene Middelbare School Bandung pada tahun 1933. Otto lulus ketika ia berusia 20 tahun. Lalu dilanjutkan ke Sekolah Arjuna di Petojo, Jakarta. Diperkirakan selama setahun ia bersekolah disana. Yang jelas Agus Daya sudah menjadi guru di sekolah ini selama periode tahun 1930 –1933[1].

Pada tanggal 9 Maret 1942 Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Dengan demikian secara resmi wilayah Indonesia jatuh ke tangan Jepang[2]. Meski sudah berkuasa penuh, negeri Sakura tersebut memandang perlu dibentuknya pasukan sukarelawan lokal untuk memperkuat kesatuan tentara yang ada. Inisiatif tersebut disambut hangat kaum nasionalis Indonesia. Pada tanggal 3 Oktober 1943 PETA (Pembela Tanah Air) resmi dibentuk. Jepang lalu mengumumkan perekrutan dan pelatihan prajurit bagi orang lokal untuk mengisi posisi perwira (Komandan Kompi) PETA. Beberapa bulan kemudian atau sekitar tahun 1944 Otto mendaftarkan diri. Selama 3 bulan Otto mendapatkan pendidikan militer ala Jepang, untuk kemudian lulus berpangkat Mayor. Ke depan Mayor Raden Otto Djaya Suntara terlibat langsung dalam revolusi fisik.  

Setelah Jepang menyerah kalah dari Pasukan Sekutu dan Republik Indonesia diproklamirkan, Amerika Serikat mengumumkan pengalihan tanggung jawab atas wilayah Indonesia kepada Inggris yang tak lain adalah sekutu Belanda juga. Sebulan setelah pasukan Inggris di Bandara Kemayoran, Jakarta, Gubernur-Jenderal Hubertus van Mook kembali datang ke Pulau Jawa dengan misi kembali membangun pemerintahan kolonial. Pada tanggal 13 Juli 1946 Komando Pasukan Sekutu Asia Tenggara secara resmi menyerahkan Indonesia kepada Belanda (kecuali Pulau Jawa dan Sumatera).

Sjahrir, Perdana Menteri Indonesia, memulai negosiasi dengan Gubernur-Jenderal Hubertus van Mook membentuk negara Republik Indonesia yang baru lewat Konferensi Malino Sulawesi. Singkatnya dibentuklah Republik Indonesia Serikat (RIS). Sebagai tindak lanjut dari itu, van Mook memprakarsai pendanaan atau beasiswa bagi murid-murid Indonesia untuk belajar di universitas-universitas atau akademi-akademi di Belanda.

Pada akhir tahun 1946 Otto keluar dari dinas militer untuk kemudian melanjutkan profesinya sebagai pelukis. Tidak diketahui apa sebab dia keluar dari dinas kemiliterannya. Yang jelas pada awal tahun 1947 Otto beserta Agus Djaya direkomendasikan oleh Ir. Soekarno dan Menteri Pertahanan untuk disertakan dalam Program Malino. Karena sudah menjadi warga sipil, status Otto saat dikirim ke Belanda adalah pelukis, utusan kesenian dan calon mahasiswa seni, bukan sebagai perwira militer.

Setiba di Belanda Otto Djaya dan abangnya belajar di Rijksakademie Van Beeldende Kunsten. Namun tidak diketahui apakah mereka lulus (diwisuda) dari akademi tersebut. Data dari arsip Rijksakademie diketahui bahwa masa studi Otto Djaya berakhir pada tanggal 10 Mei 1950. Otto kembali ke tanah air pada awal tahun 1950.

Pelukis dan Pejuang

Otto adalah veteran perang RI. Sebagai mantan prajurit PETA (terdaftar sebagai NPV 8.20.585) Otto menerima penghargaan jasa tiga bintang emas di era kepemimpinan Presiden Suharto. Meski karir militernya sangat singkat hanya dua tahun (1944-1946), Otto pernah terlibat langsung dalam pertempuran fisik. Yang unik dari dirinya adalah meski berstatus sebagai tentara Otto tetap produktif menghasilkan karya-karya lukisan[1].

Ketika menjadi taruna saat mengikuti pelatihan militer PETA di Bogor, waktu-waktu istirahatnya selalu diisi dengan melukis. Menurutnya, melukis adalah salah satu cara agar dirinya tetap "waras" di kamp pelatihan. Bukannya apa-apa, latihan fisik di PETA itu sangat keras. Selama tiga bulan para kadet digembleng fisiknya siang malam dan terisolasi dari dunia luar. Seusai latihan mereka tidak bisa melakukan apa-apa kecuali istirahat lalu tidur. Namun, Otto memaksakan diri menggunakan waktu-waktu istirahatnya dengan melukis dan melukis. Ternyata para serdadu Jepang meminati karya-karya indah Otto. Semua lukisannya laku terjual. Bahkan ada beberapa yang dibawa ke Jepang untuk kemudian dijual disana.

Pada tanggal 29 Agustus 1945 Mayor Otto Djaya datang ke Asrama Mahasiswa STI (Sekolah Tinggi Islam), Balai Muslimin Indonesia di Jakarta. Tidak diketahui dalam rangka apa ia datang ke sana. Yang jelas, sebelum kedatangannya ada himbauan dari Subianto Djojohadikusumo selaku Ketua Umum PP STI kepada sesama pengurus, A. Karim Halim, agar mahasiswa STI menuliskan berbagai semboyan revolusi di trem, kereta api, bus, tembok-tembok gedung, dan di berbagai tempat strategis lainnya. Singkatnya, mengetahui latar belakang Mayor Otto adalah pelukis, Karim memintanya untuk menuliskan berbagai semboyan revolusi seperti himbauan tadi[3].

Untuk diketahui Subianto Djojohadikusumo adalah salah satu pemuda yang mendatangi dan mendesak Bung Karno dan Bung Hatta pada tanggal 15 Agustus 1945 sore untuk segera memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia pada hari itu juga. Pertemuan dilakukan di halaman belakang Institut Koningin Wilhelmina, Jalan Pegangsaan Timur No. 15. Kelak, Pada tanggal 25 Januari 1946, Taruna Subianto Djojohadikusumo beserta adiknya Sujono Djojohadikusumo dan 35 taruna Akademi Militer Tangerang lainnya gugur dalam insiden perundingan perlucutan senjata dengan tentara Jepang di Hutan Lengkong, Tangerang.

Atas permintaan STI itu Mayor Otto pun lantas setuju. Dilakukanlah aksi corat-coret seperti yang diminta, mulai dari pool trem di belakang Balai Muslimin, Stasiun Senen, Stasiun Gambir, Stasiun Manggarai, dan lain-lain. Penduduk Jakarta dibuat gempar dengan aksi tersebut. Dengan gembira mereka membaca slogan-slogan revolusi ditulis dalam Bahasa Indonesia maupun Inggris. Selanjutnya aksi corat-coret tersebut diikuti dan menyebar cepat ke berbagai kota besar di Pulau Jawa: Bogor, Bandung, Cirebon, dan Semarang.

Keterlibatan Mayor Otto Djaya (beserta Agus Djaya) dalam pertempuran pertama kali ketika ia beserta pasukannya (Resimen III Divisi III plus masyarakat sipil Sukabumi) mendapat tugas menghadang Pasukan Sekutu (Inggris dan Belanda). Bulan Desember 1945, tentara Sekutu memasuki kawasan Sukabumi dalam rangka mengamankan jalan-jalan antara Bogor dan Sukabumi. Tidak berimbang, Sekutu bersenjata lengkap plus tank-tank amphibinya sedangkan pasukan Indonesia hanya menggunakan senjata pampasan dari pasukan Jepang yang telah menyerah. Pasukan Indonesia terjepit. Beruntung, berkat hujan deras dan kabut yang tebal, Resimen III Divisi III berhasil lolos dari kepungan Sekutu. Ribuan orang dinyatakan gugur dalam kontak bersenjata yang kemudian dikenal sebagai pertempuran Bojong Kokosan itu[1].

4 Januari 1946 Sukarno dan Hatta pindah ke Yogyakarta untuk mendirikan pemerintahan sementara. Otto beserta seniman-seniman lainnya, termasuk Agus Djaya, hijrah mengikuti Presiden Sukarno. Misi mereka adalah mendukung revolusi dengan membuat propaganda lewat karya-karya seni. Di kota pelajar itu Otto dan Agus mendirikan Sanggar Pelukis Rakyat (SPR). SPR merupakan ide pelukis senior Affandi dan Hendra Gunawan yang juga mendapatkan sambutan positif dari Presiden Sukarno. Sanggar ini boleh dibilang memegang peranan penting atas perkembangan seni rupa di Indonesia. Banyak pelukis-pelukis SPR melukiskan potret-potret para pejuang revolusi maupun ketika mereka sedang bertempur di medan laga.

Meski dengan keterbatasan alat, Otto dan seniman lain tetap semangat untuk berkarya. Wajar saja, saat itu Indonesia terisolasi dari dunia luar. Berdirinya STR membuat Yogyakarta terkenal sebagai pusat kesenian bangsa. Selepas dari Yogyakarta, Otto lalu berkesempatan mengikuti Bung Karno tur keliling nusantara. Tugas Otto adalah melukis Sukarno ketika berorasi. Hal ini menjadi kebanggaan tersendiri buat seorang Otto Djaya.

Inspirasi

Karakter

Belajar Melukis

Karakter Otto

Idola

Pelukis idolanya

Gaya Lukisan
Aliran

Pameran

6 Mei-6 Juni 1941. Otto Djaya dan 30 anggota Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) menggelar Pameran di Gedung Kunstkring, Menteng, Jakarta Pusat. Mereka memamerkan 61 lukisan bertema pemandangan dan keseharian orang Indonesia. Pameran ini merupakan tonggak sejarah baru bagi seniman gambar Indonesia, khususnya seniman-seniman Persagi. Tidak mudah bagi pelukis Bumiputera untuk berpameran di Kunstkring, bahkan sekedar diundang untuk melihat-lihat pameran. Pertama tentu saja karena politik diskriminasi penjajah, faktor lainnya adalah, kebanyakan pelukis Indonesia otodidak, bukan lulusan akademi. Sebelumnya, proposal Agus Djaya dan S. Sudjojono untuk menggelar pameran berkali-kali ditolak[1].  

Gedung Kunstkring dibuka untuk pertama kali pada 17 April 1914. Gedung ini dijadikan pusat ekshibisi seni dan restoran mewah. Hingga awal 1939 banyak pergelaran seni digelar di Gedung Kunstkring (arti dalam bahasa Indonesianya Lingkaran Seni). Lukisan karya Pablo Picasso dan Vincent van Gogh pernah dipamerkan di sana. Tempat ini sekarang dimiliki Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Kini disewa dan dikelola Grup Hotel Tugu dan Restoran[4].

Gedung Kunstkring didirikan atas prakarsa pecinta seni di Batavia, Nederlandsch-Indische Kunstkring, atau Kelompok Seni Rupa Murni Hindia Belanda. Yang boleh menjadi anggota adalah orang Eropa. Bumiputera boleh menjadi anggota dengan syarat dianggap memiliki pengaruh. Syarat lainnya, seniman itu setidaknya harus memiliki salah satu orang tua yang berkebangsaan Belanda. Setelah di Batavia, Kunstkring-Kunstkring lain bermunculan. Tahun 1942 Jepang menduduki Hindia Belanda, otomatis eksistensi Kunstkring terhenti[1].

20 November 1943. Poetera dan Keimin Bunka Shidosho menggelar empat belas pameran, dimana Otto terlibat di dalamnya. Otto memenangkan Asia Raya Prize pada eksibisi Meijisetsu.

1944. Otto Djaya mengadakan eksibisi tunggal dengan tema “Semangat Keprajuritan dan Patriotisme”. Tema ini dipilih untuk menggambarkan perjuangan prajurit membela tanah air. Pameran digelar di pusat kebudayaan di Jakarta. Pameran ini merupakan salah satu dari sekian banyak pameran yang diselenggarakan oleh Keimin Bunka Shidoshu bagi para seniman Indonesia dan Jepang.

1946. Otto Djaya menggelar eksibisi solo di Museum Nasional Jakarta sekembalinya dari medan perang, atau setelah ia memutuskan berhenti dari dinas kemiliterannya. Otto memamerkan karya-karya lukisnya dari garis depan medan pertempuran.  

10 Oktober 1947  Otto Djaya mengelar pameran tunggal di Belanda yang digelar di Amstelstroom Museum Stedelijk. 81 karyanya dipamerkan, baik yang dibuat di Belanda maupun ketika ia berada di Indonesia. 2 lukisan masing-masing dibuat tahun 1942-1943, 3 lukisan tahun 1944, 3 lukisan 1945, 51 lukisan tahun 1946, dan 22 lukisan yang dibuat tahun 1947.


Akhir Hayat


Referensi

  1. ^ a b c d e f g Holst, Inge-Marie (2016). Dunia Sang Otto Djaya, 1916 - 2002 (edisi ke-3 Dalam Bahasa Indonesia). 
  2. ^ Hutagalung, Batara R. (2010). Serangan Umum 11 Maret 1949 Dalam Kaleidoskop Sejarah Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia (edisi ke-I). Yogyakarta: LkiS. ISBN 979-1283-94-X. 
  3. ^ Hakiem, Lukman (23 Januari 2019). "Henriette Roland Holst dan Misteri Prabowo Baca Sajak". republikaonline. Diakses tanggal 7 April 2019. 
  4. ^ Triana, Neli (21 April 2014). "Kunstkring Jadikan Menteng Lebih Bermakna". kompas online. Diakses tanggal 9 April 2019.