Partai Golongan Karya

partai politik di Indonesia

Partai Golongan Karya (Partai Golkar), sebelumnya bernama Golongan Karya (Golkar)[1] dan Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar), adalah sebuah partai politik di Indonesia. Partai Golkar bermula dengan berdirinya Sekber Golkar pada masa-masa akhir pemerintahan Presiden Soekarno, tepatnya 1964 oleh Angkatan Darat untuk menandingi pengaruh Partai Komunis Indonesia dalam kehidupan politik. Dalam perkembangannya, Sekber Golkar berubah wujud menjadi Golongan Karya yang menjadi salah satu organisasi peserta Pemilu.

Partai Golongan Karya
Ketua umumAirlangga Hartarto
Sekretaris JenderalLodewijk Freidrich Paulus
Dibentuk20 Oktober 1964; 60 tahun lalu (1964-10-20)
Kantor pusatDKI Jakarta
IdeologiPancasila
Konservatisme
Ekonomi liberal
Anti-komunisme
Kursi di DPR
102 / 575
Situs web
http://www.golkar.or.id

Dalam Pemilu 1971 (Pemilu pertama dalam pemerintahan Orde Baru Presiden Soeharto), salah satu pesertanya adalah Golongan Karya dan mereka tampil sebagai pemenang. Kemenangan ini diulangi pada Pemilu-Pemilu pemerintahan Orde Baru lainnya, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Kejadian ini dapat dimungkinkan, karena pemerintahan Soeharto membuat kebijakan-kebijakan yang sangat mendukung kemenangan Golkar, seperti peraturan monoloyalitas PNS, dan sebagainya.

Setelah pemerintahan Soeharto selesai dan reformasi bergulir, Golkar berubah wujud menjadi Partai Golkar, dan untuk pertama kalinya mengikuti Pemilu tanpa ada bantuan kebijakan-kebijakan yang berarti seperti sebelumnya pada masa pemerintahan Soeharto. Pada Pemilu 1999 yang diselenggarakan Presiden Habibie, perolehan suara Partai Golkar turun menjadi peringkat kedua setelah PDI-P.

Ketidakpuasan terhadap pemerintahan Megawati Soekarnoputri menjadi salah satu sebab para pemilih di Pemilu legislatif 2004 untuk kembali memilih Partai Golkar, selain partai-partai lainnya seperti Partai Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa, dan lain-lain. Partai Golkar menjadi pemenang Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif pada tahun 2004 dengan meraih 24.480.757 suara atau 21,58% dari keseluruhan suara sah.

Kemenangan tersebut merupakan prestasi tersendiri bagi Partai Golkar karena pada Pemilu Legislatif 1999, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan mendominasi perolehan suara. Dalam Pemilu 1999, Partai Golkar menduduki peringkat kedua dengan perolehan 23.741.758 suara atau 22,44% dari suara sah. Sekilas Partai Golkar mendapat peningkatan 738.999 suara, tetapi dari prosentase turun sebanyak 0,86%.

Perolehan suara

 
Foto Habibie saat mengkampanyekan Golongan Karya.

Golkar pada pemilu 1999 memperoleh suara 22% suara. Ini merupakan kemerosotan yang jauh sekali daripada pemilu-pemilu sebelumnya. Dalam pemilu 1997 Golkar (belum menjadi partai) memperoleh suara sebanyak 70,2%, sedangkan dalam pemilu-pemilu sebelumnya juga sekitar 60 sampai 70%. Contohnya, dalam pemilu tahun 1987 Golkar dapat menguasai secara mutlak 299 kursi dalam DPR. Selama Orde Baru, DPR betul-betul dikuasai Golkar dan militer.

Pencapaian pada Pemilu Legislatif 2009

Partai Golkar mendapat 107 kursi (19,2%) di DPR hasil Pemilihan Umum Anggota DPR 2009, setelah mendapat sebanyak 15.037.757 suara (14,5%). Perolehan suara dan kursi menempatkannya pada posisi kedua dalam Pemilu ini.

Pencapaian pada Pemilu Legislatif 2014

Partai Golkar mendapat 91 kursi (16,3%) di DPR hasil Pemilihan Umum Anggota DPR 2014, setelah mendapat sebanyak 18.432.312 (14,75%). Perolehan suara dan kursi menempatkannya pada posisi kedua dalam Pemilu ini.

Pencapaian pada Pemilu Legislatif 2019

Partai Golkar mendapat 85 kursi (14,8%) di DPR hasil Pemilihan Umum Anggota DPR 2019, setelah mendapat sebanyak 17.229.789 (12,31%). Perolehan suara menempatkannya pada posisi ketiga dan perolehan kursi menempatkannya pada posisi kedua dalam Pemilu ini.

Pemilu No urut Total kursi Total pemilihan Persentase Perubahan kursi Peringkat Ketua
1971 5
236 / 360
34,348,673 62.80% Partai baru 1 Ali Murtopo
1977 2
232 / 360
39,750,096 62.11%  4 kursi 1 Amir Murtono
1982 2
242 / 360
48,334,724 64.34%  10 kursi 1 Amir Murtono
1987 2
299 / 400
62,783,680 73.11%  57 kursi 1 Sudharmono
1992 2
282 / 400
66,599,331 68.10%  17 kursi 1 Wahono
1997 2
325 / 400
84,187,907 74.51%  43 kursi 1 Harmoko
1999 33
120 / 500
23,741,749 22.46%  205 kursi 2 Akbar Tanjung
2004 20
129 / 550
24,480,757 21.58%  8 kursi 1 Akbar Tanjung
2009 23
106 / 560
15,037,757 14.45%  22 kursi 2 Jusuf Kalla
2014 5
91 / 560
18,432,312 14.75%  15 kursi 2 Aburizal Bakrie
2019 4
85 / 575
17,229,789 12.31%  6 kursi 3 Airlangga Hartarto
Status Koalisi
Periode Status koalisi Partai koalisi
2004–2009 Oposisi
(sampai Des 2004)
PDI-PGolkarPBRPDS
Pemerintah
(sejak Des 2004)
GolkarPKBPPPDemokratPKSPANPBBPKPI
2009–2014 Oposisi
(sampai Okt 2009)
GolkarHanura
Pemerintah
(sejak Okt 2009)
DemokratGolkarPKSPANPPPPKB
2014–2019 Oposisi
(sampai 2016)
GolkarGerindraPANPKSPPPPBB
Pemerintah
(2016–2018)
PDI-PGolkarPANPKBPPPNasDemHanuraPKPI
Pemerintah
(2018–2019)
PDI-PGolkarPKBPPPNasDemHanuraPKPIPSIPerindo
2019–2024 Pemerintah
(2019–2024)
PDI-PGerindraGolkarPKBNasDemPPPPerindoPSIHanuraPBBPKPI

Sejarah

Pada tahun 1964 untuk menghadapi kekuatan PKI (dan Bung Karno), golongan militer, khususnya perwira Angkatan Darat ( seperti Letkol Suhardiman dari SOKSI) menghimpun berpuluh-puluh organisasi pemuda, wanita, sarjana, buruh, tani, dan nelayan dalam Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar).

Sekber Golkar didirikan pada tanggal 20 Oktober 1964. Sekber Golkar ini lahir karena rongrongan dari PKI beserta ormasnya dalam kehidupan politik baik di dalam maupun di luar Front Nasional yang makin meningkat. Sekber Golkar ini merupakan wadah dari golongan fungsional/golongan karya murni yang tidak berada di bawah pengaruh politik tertentu. Jumlah anggota Sekber Golkar ini bertambah dengan pesat, karena golongan fungsional lain yang menjadi anggota Sekber Golkar dalam Front Nasional menyadari bahwa perjuangan dari organisasi fungsional Sekber Golkar adalah untuk menegakkan Pancasila dan UUD 1945. Semula anggotanya berjumlah 61 organisasi yang kemudian berkembang hingga mencapai 291 organisasi.

Dengan adanya pengakuan tentang kehadiran dan legalitas golongan fungsional di MPRS dan Front Nasional maka atas dorongan TNI dibentuklah Sekretariat Bersama Golongan Karya, disingkat Sekber Golkar, pada tanggal 20 Oktober 1964. Terpilih sebagai Ketua Pertama, Brigadir Jenderal (Brigjen) Djuhartono sebelum digantikan Mayor Jenderal (Mayjen) Suprapto Sukowati lewat Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) I, Desember 1965.

Pada awal pertumbuhannya, Sekber Golkar beranggotakan 61 organisasi fungsional yang kemudian berkembang menjadi 291 organisasi fungsional. Ini terjadi karena adanya kesamaan visi di antara masing-masing anggota. Organisasi-organisasi yang terhimpun ke dalam Sekber Golkar ini kemudian dikelompokkan berdasarkan kekaryaannya ke dalam 7 (tujuh) Kelompok Induk Organisasi (KINO), yaitu:

  1. Koperasi Serbaguna Gotong Royong (KOSGORO)
  2. Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI)
  3. Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR)
  4. Organisasi Profesi
  5. Ormas Pertahanan Keamanan (HANKAM)
  6. Gerakan Karya Rakyat Indonesia (GAKARI)
  7. Gerakan Pembangunan

Untuk menghadapi Pemilu 1971, 7 KINO yang merupakan kekuatan inti dari Sekber Golkar tersebut, mengeluarkan keputusan bersama pada tanggal 4 Februari 1970 untuk ikut menjadi peserta Pemilu melalui satu nama dan tanda gambar yaitu Golongan Karya (Golkar). Logo dan nama ini, sejak Pemilu 1971, tetap dipertahankan sampai sekarang.

Pada Pemilu 1971 ini, Sekber Golkar ikut serta menjadi salah satu konsestan. Pihak parpol memandang remeh keikutsertaan Golkar sebagai kontestan Pemilu. Mereka meragukan kemampuan komunikasi politik Golkar kepada grassroot level. NU, PNI dan Parmusi yang mewakili kebesaran dan kejayaan masa lampau sangat yakin keluar sebagai pemenang. Mereka tidak menyadari kalau perpecahan dan kericuhan internal mereka telah membuat tokoh-tokohnya berpindah ke Golkar.

Hasilnya di luar dugaan. Golkar sukses besar dan berhasil menang dengan 34.348.673 suara atau 62,79 % dari total perolehan suara. Perolehan suaranya pun cukup merata di seluruh provinsi, berbeda dengan parpol yang berpegang kepada basis tradisional. NU hanya menang di Jawa Timur dan Kalimantan Selatan, Partai Katholik di Nusa Tenggara Timur, PNI di Jawa Tengah, Parmusi di Sumatra Barat dan Aceh. Sedangkan Murba tidak memperoleh suara signifikan sehingga tidak memperoleh kursi DPR.

Kemudian, sesuai ketentuan dalam ketetapan MPRS mengenai perlunya penataan kembali kehidupan politik Indonesia, pada tanggal 17 Juli 1971 Sekber GOLKAR mengubah dirinya menjadi Golkar. Golkar menyatakan diri bukan parpol karena terminologi ini mengandung pengertian dan pengutamaan politik dengan mengesampingkan pembangunan dan karya.

September 1973, Golkar menyelenggarakan Musyawarah Nasional (Munas) I di Surabaya. Mayjen Amir Murtono terpilih sebagai Ketua Umum. Konsolidasi Golkar pun mulai berjalan seiring dibentuknya wadah-wadah profesi, seperti Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) dan Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI).

Setelah Peristiwa G30S maka Sekber Golkar, dengan dukungan sepenuhnya dari Soeharto sebagai pimpinan militer, melancarkan aksi-aksinya untuk melumpuhkan mula-mula kekuatan PKI, kemudian juga kekuatan Bung Karno.

Pada dasarnya Golkar dan TNI-AD merupakan tulang punggung rezim militer Orde Baru. Semua politik Orde Baru diciptakan dan kemudian dilaksanakan oleh pimpinan militer dan Golkar. Selama puluhan tahun Orde Baru berkuasa, jabatan-jabatan dalam struktur eksekutif, legislatif dan yudikatif, hampir semuanya diduduki oleh kader-kader Golkar.

Keluarga besar Golongan Karya sebagai jaringan konstituen, dibina sejak awal Orde Baru melalui suatu pengaturan informal yaitu jalur A untuk lingkungan militer, jalur B untuk lingkungan birokrasi dan jalur G untuk lingkungan sipil di luar birokrasi. Pemuka ketiga jalur terebut melakukan fungsi pengendalian terhadap Golkar lewat Dewan Pembina yang mempunyai peran strategis.

Setelah Soeharto mengundurkan diri pada 1998, keberadaan Golkar mulai ditentang oleh para aktivis dan mahasiswa.

Peraturan Monoloyalitas

Peraturan Monoloyalitas merupakan kebijakan pemerintahan Orde Baru yang mewajibkan semua pegawai negeri sipil (PNS) untuk menyalurkan aspirasi politiknya kepada Golongan Karya. Setelah Suharto mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998, kebijakan ini dicabut. Sekarang pegawai negeri sipil bebas menentukan wadah aspirasi politiknya.

Kontroversi

Politisasi Sepak bola

Golkar mengklaim penurunan harga tiket pertandingan final Piala AFF 2010 berkat jasa Golkar.[2] Selain itu, pada deklarasi calon gubernur Sulawesi Selatan dari Partai Golkar, Nurdin Halid—ketua umum PSSI sekaligus kader Partai Golkar—mengklaim 'sukses' Tim Nasional di kancah Piala AFF adalah karya Partai Golkar.[3]

Dualisme kepemimpinan

Pada akhir tahun 2014 terjadi dualisme kepengurusan dalam tubuh Golkar, yang dipimpin oleh Aburizal Bakrie hasil munas Bali dan Agung Laksono hasil munas Jakarta. Pada awal Maret 2015, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia mengeluarkan surat keputusan yang mensahkan Golkar yang dipimpin oleh Agung Laksono. Pada bulan April 2015, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta mengeluarkan putusan sela menunda pelaksanaan surat keputusan yang dikeluarkan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly yang mengesahkan kepengurusan Partai Golkar kubu Agung Laksono. Pada tanggal 10 Juli 2015, empat hakim yang mengadili kasus tersebut, yaitu Arif Nurdu'a, Didik Andy Prastowo, Nurnaeni Manurung dan Diah Yulidar memutuskan untuk menolak gugatan yang diajukan oleh Ketua Umum Partai Golkar hasil Munas Bali Aburizal Bakrie terkait dualisme kepengurusan partai. Putusan itu diambil dalam rapat permusyawaratan majelis hakim PTTUN Jakarta. Dengan dibacakannya putusan PTUN itu, kepengurusan Golkar yang kemudian diakui oleh pengadilan adalah hasil Munas Bali yang dipimpin oleh Agung Laksono sebagai ketua umum dan Zainudin Amali sebagai sekjen[4][5]. Namun, pada Oktober 2015, Mahkamah Agung mengabulkan kasasi yang diajukan oleh Golkar hasil Munas Bali pimpinan Aburizal Bakrie. Dualisme kepemimpinan ini mulai berakhir sejak tercapainya kesepakatan untuk rekonsiliasi yang dipimpin oleh mantan Ketua Umum Partai Golkar yang juga Wakil Presiden Jusuf Kalla pada awal tahun 2016. Kedua kubu juga sepakat untuk menyelenggarakan musyawarah nasional luar biasa (Munaslub) pada pertengahan tahun 2016. Dualisme kepemimpinan ini resmi berakhir pada 17 Mei 2016 dimana Setya Novanto terpilih sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar[1] yang baru dalam penyelenggaraan Munaslub Golkar di Nusa Dua, Bali.

Ketua Umum DPP Golkar

Bacaan

  • David Reeve, Robyn Fallick (Editor), Iskandar P. Nugraha (Editor), Lubabun Ni’am (Editor), Gatot Triwira (Translator) (July 2013). Golkar – Sejarah yang Hilang: Akar Pemikiran dan Dinamika. Depok, Jawa Barat: Komunitas Bambu. ISBN 9786029402308. 
  • Ridwan Saidi. Golkar Pascapemilu 1992 Golkar Pascapemilu 1992
  • Akbar Tandjung. The Golkar Way: Survival Partai Golkar di Tengah Turbulensi Politik Era Transisi
  • Nanang Dwi Prasidi. Golkar Retak? Golkar Retak?
  • Dasman Djamaluddin. Golkar as Alternative Party Golkar as Alternative Party
  • Masashi Nishihara. Golkar and the Indonesian Elections of 1971
  • Rully Chairul Azwar. Politik Komunikasi Partai Golkar di Tiga Era
  • Leo Suryadinata. Golkar dan Militer: Studi tentang Budaya Politik
  • Dirk Tomsa. Party Politics and Democratization in Indonesia: Golkar in the Post-Suharto Era
  • Yohanes Krisnawan. Pers Memihak Golkar?: Suara Merdeka Dalam Pemilu 1992
  • Bambang Cipto. Duel Segitiga PPP, Golkar, Pdi Dalam Pemilu 1997
  • Uziar Fauzan, Hairus H. Salim, Umar Ibnu Sholeh. Tujuh Mesin Pendulang Suara: Perkenalan, Prediksi, Harapan Pemilu 1999: PAN, PBB, PDIP, Golkar, PK, PKB, PPP.
  • Source Wikipedia. Golkar Politicians: Suharto, Aburizal Bakrie, Bacharuddin Jusuf Habibie, Try Sutrisno, Jusuf Kalla, Sudharmono, Adam Malik.
  • Umar Ibnu Alkhatab. Dari Beringin Ke Beringin: Sejarah, Kemelut, Resistensi, Dan Daya Tahan Partai Golkar.
  • Hendri F. Isnaeni. Partai Demokrat Antek Pendjajah: Golkar Perubahan Dari Gerindra, Palu Arit ALA Pki Dan Prd, ADA Jepang Di Balik Pks, Jepang Juga Bikin Pkb
  • Leo Suryadinata. Military Ascendancy and Political Culture: A Study of Indonesia's Golkar

Referensi

Pranala luar

  • (Indonesia) Situs web resmi
  • (Indonesia) Akun Twitter official