Mazhab Hambali

salah satu mazhab fikih Islam Sunni
Revisi sejak 28 September 2020 13.17 oleh Langley16 (bicara | kontrib)

Mazhab Hambali atau Al-Hanabilah (bahasa Arab: الحنابلة, translit. al-ḥanābilah) adalah mazhab fikih dalam Islam yang dikemukakan dan dikembangkan oleh Ahmad Ibn Hanbal Ibn Hilal Ibn Asad Asj Sjaibany Al-Maruzy atau Imam Hambali.[1]

Metodologi

Pada dasarnya prinsip-prinsip dasar dalam mazhab Hambali hampir sama dengan mazhab Syafi'i, hal ini dikarenakan Imam Hambali berguru pada Imam Syafi'i. Mazhab Hambali memiliki 5 dasar yang utama, yaitu:[2]

  1. Nash Al-Qur'an dan Hadis marfu'.[3][4] Bila Imam Hambali mendapatkan suatu hadis, beliau kemudian berfatwa (beriftâ) dengan tidak memperdulikan keterangan-keterangan yang menyalahinya. Hal tersebut dilakukan Imam Hambali karena beliau memilih untuk mengabaikan perbuatan-perbuatan yang menyalahi hadis. Imam Hambali juga tidak mendahulukan suatu pendapat, baik qiyas ataupun perkataan sahabat diatas kedudukan hadis yang shahih.[2]
  2. Fatwa Sahabat. Bila Imam Hambali mendapat fatwa atau perkataan dari seorang sahabat Rasul, dan beliau tidak mengetahui pendapat sahabat lain yang bertentangan dengannya, maka beliau jadikan fatwa sahabat itu sebagai hujjah.[2]
  3. Pendapat Sahabat. Bila Imam Hambali mendapati adanya pendapat dari para sahabat Rasul, maka beliau memilahnya dengan mempertimbangkan mana yang lebih dekat dengan Al-Qur'an dan Hadis. Imam Hambali juga tidak meninggalkan perkataan para Sahabat untuk membuat ijtihad sendiri. Jika ada pendapat para Sahabat yang tidak sesuai atau kurang sesuai dengan Al-Qur'an dan Hadis, maka Imam Hambali akan menerangkan kekhilafan atau kekeliruan dengan tidak menegaskan pendapat mana yang akan diambil.[2]
  4. Hadis mursal dan hadis dhaif.[5][6] Imam Hambali tetap mempertimbangkan hadis mursal dan hadis dhaif apabila tidak didapati keterangan-keterangan yang menolak hadis tersebut. Bagi Imam Hambali berhujjah dengan hadis dhaif tidak masalah, selama hadis dhaif tersebut tidak bathil, tidak munkar, dan tidak ada perawi-perawinya yang dituduh dusta. Bagi Imam Hambali melihat dan merujuk pada hadis mursal dan hadis dhaif lebih utama dari qiyas.[2]
  5. Qiyas. Imam Hambali menggunakan qiyas bila dalam keadaan mendesak atau darurat saja. Kondisi darurat yang dimaksud adalah ketika beliau tidak mendapati hadis (baik hadis shahi, hadis mursal, dan hadis dhaif) atau perkataan sahabat yang bisa dipakai. Imam Hambali juga tidak menggunakan qiyas bila dalil-dalil yang didapatnya saling bertentangan satu sama lain.[7]

Perkembangan

Mazhab Hambali pertama kali berkembang di Bagdad, Irak yang mana disanalah tempat asal Imam Hambali. Pada awal abad ke-4 mazhab Hambali mulai menyebar ke kawasan Nejd, lalu kemudian ke Mesir.[1]

Menurut Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy yang mengutip dari para ulama-ulama sejarah Tasjrie', mazhab Hambali kurang banyak pengikutnya dan kurang luas persebarannya. Hal ini dikarenakan Imam Hambali begitu tegas bepegang tegus pada riwayat dan tidak mau berfatwa jika tidak berlandaskan pada nash Al-Qur'an dan Hadis marfu'. Selain itu, Imam Hambali juga sangat sedikit melakukan ijtihad, beliau juga menggunakan qiyas hanya ketika terpaksa saja.[8]

Murid-Murid Imam Hambali

Meskipun tidak berkembang di wilayah yang luas, Imam Hambali tetap memiliki banyak murid. Beberapa murid Imam Hambali yang termahsyur antara lain:[1]

  1. Ishâq At-Tamimy, yang terkenal dengan nama Abu Ya'kub Al-Kausadj.
  2. Muhammad Ibn 'Abdullah Al-Baghdady, yang terkenal dengan nama Hamdan.
  3. Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hani 'Ath Thâiy, yang terkenal dengan nama Abu Bakar Al-Atsram.
  4. Ahmad Ibn Muhammad Ibn Al-Hadjdjadj Al-Mawarzy.
  5. Ishâq Ibn Ibrahim, yang terkenal dengan nama Ibn Rahawaih Al-Mawarzy.
 
Sampul depan kitab Al-Musnad karya Imam Hambali yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Urdu, dipublikasikan oleh penerbit Maktabae Rehmania di Lahore, Pakistan.

Para murid Imam Hambali juga memiliki murid-murid yang tersohor, dua diantaranya adalah; 'Umar Ibn Al-Husain atau yang dikenal dengan nama Abul Qâsim Al-Chiraqy dan Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hârun yang dikenal juga dengan nama Abu Bakr Al-Challâal.[1]

Kitab-Kitab

Sebenarnya Imam Hambali melarang murid-muridnya untuk mencatat fatwa-fatwa yang beliau katakan, hal ini dikarenakan Imam Hambali khawatir fatwanya akan menjadi panduan fikih yang umum dan tetap untuk segala zaman. Imam Hambali juga khawatir jika diantara fatwa-fatwa beliau ada yang keliru dan sudah diubah dengan fatwa-fatwa yang lain.

Meskipun melarang muridnya untuk mencatat perkataannya, Imam Hambali tetap menulis kitab hadis yang diberinama Al-Musnad atau yang dikenal juga dengan nama Musnad Ahmad. Kitab tersebut berisi 40.000 hadis.[9] Imam Hambali berkata dalam musnadnya:

"Aku telah kumpulkan dalam Musnad ini segala hadis Nabi. Tidak ada di dalam kitabku, hadis yang tidak dapat dijadikan hujjah."[9]

Al-Musnad ini adalah kitab hadis yang terbesar diantara kitab-kitab fikih mazhab lainnya. Selain itu kitab Al-Musnad ini juga adalah kitab hadis terbesar yang masuk dalam percetakan modern.[9]

Catatan Kaki

  1. ^ a b c d Ash' Shiddieqy 1962, hlm. 67.
  2. ^ a b c d e Ash' Shiddieqy 1962, hlm. 84.
  3. ^ Al-Qaththan 2013, hlm. 171. : "Al-Marfu' menurut bahasa: isim maf'ul dari kata rafa'a (mengangkat), dan ia sendiri berarti "yang diangkat". Dinamakan demikian karena disandarkannya ia kepada yang memiliki kedudukan tinggi, yaitu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.".
  4. ^ Al-Qaththan 2013, hlm. 172. : "Hadits marfu' menurut istilah adalah "sabda, atau perbuatan, atau taqrir (penetapan), atau sifat yang disandarkan kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, baik yang bersifat jelas ataupun secara hukum, baik yang menyandarkan itu sahabat atau bukan, baik sanadnya muttashil (bersambung) atau munqathi' (terputus).".
  5. ^ Al-Qaththan 2013, hlm. 129. : "Dhaif menurut bahasa adalah lawan dari kuat. Dhaif ada dua macam yaitu lahiriah dan maknawiyah. Sedangkan yang dimaksud di sini adalah dhaif maknawiyah.".
  6. ^ Al-Qaththan 2013, hlm. 129. : "Hadits Dhaif menurut istilah adalah "hadits yang didalamnya tidak didapati syarat hadits shahih dan tidak pula didapati syarat hadits hasan.".
  7. ^ Ash' Shiddieqy 1962, hlm. 85.
  8. ^ Ash' Shiddieqy 1962, hlm. 67. : "Adapun sebab kekurangan pemeluknya, kurang luas sebarnya, ialah: lantaran Imam Ahmad keras benar berpegang kepada riwayat dan keras benar menahan diri dari berfatwa dengan yang bukan nash.".
  9. ^ a b c Ash' Shiddieqy 1962, hlm. 77.

Daftar Pustaka

  • Ash' Shiddieqy, M. Hasbi. Hukum Islam. Jakarta: Pustaka Islam. 1962.
  • Al-Qaththan, Syaikh Manna'. Pengantar Studi Ilmu Hadits. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2013.