Wajo, juga dieja Wajoʼ, Wajok, atau Wajoq,[a] merupakan sebuah kerajaan elektif bersuku Bugis yang berkembang di sisi timur semenanjung Sulawesi Selatan. Wajo didirikan pada abad ke-15 Masehi, dan mencapai puncaknya pada abad ke-18, ketika kerajaan ini menjadi hegemon selama beberapa waktu di Sulawesi Selatan, menggantikan Bone. Wajo mempertahankan kemerdekaannya hingga dipaksa bergabung dengan Hindia Belanda setelah Ekspedisi Sulawesi Selatan pada awal abad ke-20. Kerajaan ini terus bertahan dalam beragam bentuk hingga pertengahan abad ke-20, ketika daerah swapraja Wajo diubah menjadi Kabupaten Wajo yang merupakan bagian dari Republik Indonesia.

Kerajaan Wajo

ᨕᨀᨑᨘᨂᨛ ᨑᨗ ᨓᨍᨚ
Akkarungeng ri Wajoʼ
c. 1400–1957
StatusBagian dari Hindia Belanda (1905–1949)
Bagian dari Indonesia (1949–1957)
Ibu kotaCinnotabiʼ (sekitar 1400–1610)
Tosora (sekitar 1610–1885)
Sengkang (sekitar 1885–1957)[1]
Bahasa yang umum digunakanBugis
PemerintahanMonarki elektif konstitusional[2]
Era SejarahMasa modern awal
• Didirikan
sekitar 1400
1906
• Dibubarkan dan diubah menjadi kabupaten
1957
Didahului oleh
Digantikan oleh
Cinnotabiʼ
Kabupaten Wajo
Sekarang bagian dariIndonesia
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Pemimpin tertinggi Wajo dipilih melalui musyawarah para perwakilan dari daerah-daerah bawahannya. Bersama dengan enam orang pejabat tinggi lainnya, ia bertugas untuk mengurus pemerintahan sehari-hari di Wajo. Dewan tertinggi ini masih disokong lagi oleh 33 orang pejabat dari tiga wilayah utama Wajo, yang mencakup banyak daerah-daerah bawahan dengan penguasa dan adat masing-masing. Jabatan-jabatan pemerintahan ini biasanya dipegang oleh kalangan ningrat; selain mereka, terdapat pula golongan orang merdeka dan budak dengan hak-hak yang lebih sedikit.

Sebagian besar masyarakat diaspora Bugis pada abad ke-18 dan 19 berasal dari Wajo. Perniagaan Wajo maju pesat pada masa ini, hingga mampu mencapai tempat-tempat yang jauh di berbagai pelosok Asia Tenggara Maritim. Kemajuan dalam bidang perdagangan ini disebabkan oleh dukungan politik, legal, dan finansial yang diberikan oleh sesama masyarakat diaspora maupun oleh pemerintah Wajo di tanah air.

Sejarah

Sejarah awal (sekitar 1400–1582)

Para ahli menghubungkan kemunculan Wajo dan negeri-negeri pedalaman lainnya di Sulawesi Selatan dengan intensifikasi pertanian dan pemusatan politis pada sekitar abad ke-14, yang didukung oleh naiknya permintaan luar bagi beras Sulawesi Selatan.[3][4] Populasi naik dengan pesat, dan pertanian berbasis peladangan pun digantikan dengan budidaya padi lahan basah intensif. Di sepanjang Sulawesi Selatan yang secara geografis berbentuk semenanjung ini, hutan-hutan dibuka dan permukiman-permukiman baru didirikan.[5] Orang-orang Wajo sendiri mengaitkan asal usul negeri mereka dengan migrasi dan pendirian permukiman-permukiman baru. Naskah Lontaraʼ Sukkuʼna Wajoʼ (Sejarah Lengkap Wajo), misalnya, meriwayatkan kisah seorang bangsawan Bugis yang menemukan wilayah dengan tanah terbuka, hutan yang berisikan banyak hewan buruan, serta danau-danau dengan ikan yang berlimpah.[6] Ia lalu memutuskan untuk menetap di sana dan mendirikan negeri Cinnotabiʼ,[7] yang bertransformasi menjadi Wajo pada awal abad ke-15.[8][b]

Menurut tradisi, nama "Wajo" merujuk pada pohon bajoʼ[c] tempat penguasa Cinnotabiʼ La Tenribali[d] mengadakan kontrak sosial dengan ketiga pemimpin di daerah yang disebut Boliʼ, yang kemudian menjadi wilayah inti Wajo.[13][14] La Tenribali ditunjuk untuk memimpin Boliʼ dengan gelar batara ('langit').[13] Menurut riwayat lontara, Batara Wajo ketiga, La Pateddungi To Samallangiʼ, dipaksa turun takhta oleh rakyatnya karena kelakuannya yang tidak bermoral. Ia lalu diusir keluar dari Wajo, dan dibunuh dalam perjalanannya oleh seorang bangsawan Wajo.[15] Atas prakarsa seorang tokoh Wajo yang bernama La Tiringeng To Taba,[16] tata negara Wajo kemudian direformasi dengan pendirian sebuah dewan perwakilan. Dewan ini dimpimpin oleh seorang penguasa utama yang diangkat melalui pemilihan, bergelar arung matoa ('raja yang dituakan'[17]). La Paléwo To Palippu dari Béttémpola dipilih oleh dewan sebagai arung matoa pertama Wajo.[18]

Pada masa pemerintahan arung matoa keempat, La Tadampareʼ Puang ri Maggalatung (menjabat sekitar 1491–1521[19]), Wajo menjadi salah satu negeri Bugis yang utama.[20][21] Memasuki abad ke-16, Wajo telah mampu mencapai posisi yang relatif lebih tinggi dalam hubungannya dengan Luwu, salah satu kekuatan utama di Sulawesi Selatan yang mendominasi tanah Wajo pada abad ke-15.[22][23][24] Bersama Luwu, Wajo memenangkan perang melawan Sidenreng di Ajatappareng, hingga memaksa Sidenreng untuk memberikan sebagian wilayahnya di sebelah utara Danau Tempe kepada Wajo.[22][24] Di bawah kepemimpinan La Tadampareʼ, Wajo juga menyerap sisa-sisa wilayah Cina, salah satu negeri Bugis awal yang cukup berpengaruh.[25] Keseimbangan kekuasaan di kawasan timur Sulawesi Selatan bergeser kembali pada awal abad ke-16 ketika Bone, negeri Bugis di selatan Wajo, memenangkan perang melawan Luwu dan menjadi kekuatan paling utama di kawasan tersebut.[20][26][27] Pada saat yang sama Gowa dan Tallo, kerajaan kembar bersuku Makassar di sebelah barat semenanjung, mulai mengembangkan kekuasaannya.[28] Pada awal abad ke-16, Gowa bersekutu dengan Bone dalam perang melawan Luwu dan Wajo,[29] pada pertengahan abad ke-16 Gowa dan Bone menjadi lawan dalam perebutan hegemoni Sulawesi Selatan. Saat itu, Wajo telah jatuh ke dalam lingkup pengaruh Gowa, dan mendukung Gowa dalam perangnya melawan Bone pada tahun 1560-an.[30][31]

Persekutuan Tellumpoccoé dan Gowa-Tallo (1582–1660)

 
Keadaan politik di Sulawesi Selatan pada sekitar akhir abad ke-16

Kemajuan Gowa disertai perlakuan keras terhadap negeri Bugis bawahannya, yaitu Wajo dan Soppeng. Karena itu, dalam sebuah pertemuan yang diprakarsai oleh Bone pada tahun 1582, Wajo dan Soppeng turut menyepakati pakta pertahanan bersama yang dikenal sebagai Perjanjian Timurung.[32] Persekutuan ketiga negeri Bugis ini juga dikenal sebagai Tellumpoccoé ('Tiga Puncak'). Hubungan antara negeri-negeri anggota persekutuan digambarkan serupa kakak-beradik; Bone sebagai si sulung, Wajo sebagai saudara tengah, dan Soppeng sebagai bungsunya. Persekutuan ini bertujuan untuk meraih kembali kedaulatan tanah Bugis, dan menghentikan laju ekspansionisme Gowa.[33][34][35] Persekutuan ini berhasil mematahkan serangan Gowa ke Wajo pada tahun 1582 serta serangan ke Bone pada 1585 dan 1588. Satu lagi serangan Gowa pada tahun 1590 batal di tengah jalan menyusul terbunuhnya penguasa Gowa Tunijalloʼ.[36]

Terlepas dari hambatan ini, pada awal abad ke-17, Gowa dan Tallo berhasil menjadi kekuatan paling utama di semenanjung Sulawesi Selatan dengan menyokong perdagangan internasional serta membantu penyebaran agama Islam.[37] Antara tahun 1608 dan 1611, pasukan Gowa berhasil menaklukkan negeri-negeri di Sulawesi Selatan, mengislamkan Soppeng pada 1609, Wajo pada 1610, dan Bone pada 1611.[38][39] Setelahnya, Tellumpoccoé menyerahkan kendali atas urusan hubungan luar mereka kepada Gowa, walaupun mereka diperbolehkan mempertahankan persekutuan tersebut dan masih diberi kebebasan untuk mengatur urusan dalam negeri mereka.[33][40] Kebijakan ini ternyata cukup berhasil mengambil hati orang-orang Bugis, khususnya Wajo yang menjadi semakin setia kepada Gowa. Arung Matoa To Mappassaungngé (menjabat 1627–1628[41]) bahkan menawarkan untuk menjaga ibu kota Gowa ketika penguasanya sedang pergi berperang, walaupun ia tidak diharuskan untuk melakukannya.[40] Pada masa ini pula orang-orang Wajo mulai merantau ke Makassar untuk berdagang, bersamaan dengan bertumbuhnya jalur pelayaran dari Danau Tempe ke Teluk Bone melalui muara Sungai Cenrana.[42]

Wajo kembali terlibat dalam konflik ketika penguasa Bone La Maddaremmeng (memerintah 1626–1643), entah dengan alasan politis atau agama, menyerang dan menjarah Pénéki, salah satu daerah bawahan Wajo.[33][43][e] Karena La Maddaremmeng menolak untuk memberi ganti rugi akibat penjarahannya di Pénéki, Wajo pun menyatakan perang terhadap Bone.[33] Gowa dan Soppeng memihak Wajo dalam konflik ini, dan pasukan gabungan mereka berhasil mengalahkan Bone pada akhir 1643.[44][45] Bone dihukum keras dengan dijadikan negeri bawahan Gowa,[33] dan penguasanya digantikan oleh wali negeri dari kalangan Bone yang memerintah atas nama bangsawan Makassar. Sebuah pemberontakan lanjutan dari saudara La Maddaremmeng juga berhasil dipadamkan. Status Bone kembali diturunkan menjadi "budak" (jajahan) Gowa, sementara keluarga bangsawannya ditawan serta dibawa paksa ke Gowa.[46][47] Beberapa wilayah sengketa yang dikuasai Bone diambil alih oleh Wajo, dan sejumlah besar rakyat Bone dibawa untuk melakukan kerja paksa di Wajo.[48][49] Kejadian ini menumbuhkan rasa dendam pada rakyat Bone terhadap Gowa dan Wajo.[50][51]

Perang Makassar dan migrasi orang-orang Wajo (1660–1730)

Memasuki perempat kedua abad ke-17, Gowa-Tallo menjadi negeri terkuat di Nusantara bagian timur baik secara politik maupun ekonomi. Akibat upaya kerajaan kembar ini untuk mempertahankan hegemoni, mereka berselisih dengan Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC), yang ingin memonopoli perdagangan rempah di Kepulauan Maluku.[50][52] Pada tahun 1660, VOC menyerang Gowa dan berhasil mengambil alih kendali atas benteng di Paʼnakkukang.[53] Gowa lalu memaksa rakyat dari negeri-negeri bawahannya untuk bekerja membangun konstruksi militer sebagai antisipasi terhadap konflik lanjutan. Kerja paksa ini pada akhirnya menjadi pemicu pemberontakan yang dipimpin oleh bangsawan Bone Arung Palakka.[54] Namun, usaha Arung Palakka untuk menghidupkan kembali persekutuan Tellumpoccoé gagal, karena Wajo menolak untuk memutuskan perjanjiannya dengan Gowa.[50][55] Terlebih lagi, Arung Matoa Wajo kala itu, La Tenrilai To Sengngeng (menjabat 1658–1670), merupakan menantu dari Sultan Gowa Sultan Hasanuddin.[56] Karena tiadanya dukungan yang cukup, pemberontakan ini pun berhasil ditumpas oleh pasukan gabungan Gowa dan Wajo, sehingga memaksa Arung Palakka melarikan diri ke Buton, sebelum kemudian pergi ke Batavia untuk meminta bantuan dari VOC.[57]

Selama Perang Makassar (1666–1669), Wajo memberi dukungan penuh bagi Gowa untuk menghadapi VOC serta pasukan pimpinan Arung Palakka dari Bone dan sekutu-sekutunya. Bahkan ketika istana Gowa di Somba Opu jatuh ke tangan musuh dan Gowa-Tallo menyerah secara resmi, Arung Matoa La Tenrilai To Sengngeng tetap menolak untuk tunduk kepada Perjanjian Bungaya dan terus memberikan perlawanan kepada pasukan Belanda dan Bone.[58][59] Pada pertengahan tahun 1670, Arung Palakka pun melancarkan invasi besar-besaran ke tanah Wajo. Meski pasukan Arung Palakka mendapati perlawanan yang gigih dari orang-orang Wajo, benteng ibu kota Wajo di Tosora akhirnya jatuh ke pihak Bone pada Desember 1670. La Tenrilai gugur di medan pertempuran, dan penerusnya La Paliliʼ To Malu (menjabat 1670–1679) terpaksa menandatangani perjanjian yang membatasi kekuatan politik, niaga, serta militer Wajo, ditambah dengan Perjanjian Bungaya.[60][61] Terlepas dari kekalahannya, Wajo masih mendapati pembalasan yang keras dari Arung Palakka dan orang-orang Bone. Banyak orang Wajo yang diculik, dirampas barangnya, atau dilecehkan; seorang Wajo dapat ditampar atau bahkan dibunuh jika tidak menuruti keinginan orang-orang Bone.[62] Bone juga mencaplok wilayah pesisir di muara Sungai Cenrana, yang merupakan satu-satunya jalur sungai yang menghubungkan pusat Wajo ke laut.[63] Pengaduan Wajo kepada VOC di Makassar mengenai perlakuan semena-mena Bone juga tidak digubris.[64][65][f]

Kesulitan yang dihadapi rakyat Wajo di tanah air menjadi pemicu migrasi keluar.[63] Walaupun tradisi merantau telah menjadi bagian utama dari budaya Wajo sejak masa pendiriannya, tradisi ini semakin menonjol setelah Perang Makassar, ketika sejumlah besar orang Wajo bermigrasi ke luar negeri dan menetap di berbagai wilayah seperti Makassar, Kalimantan bagian timur, Nusa Tenggara, dan kawasan sekitar Selat Malaka.[63][67][68] Komunitas-komunitas rantau ini terhubung baik dengan tanah air mereka maupun kepada sesama komunitas melalui ikatan kekerabatan, niaga, dan hukum.[69] Memasuki abad ke-18, penguasa-penguasa Wajo secara berturut-turut mulai memanfaatkan jaringan ini untuk membangkitkan negeri mereka kembali. Beberapa penguasa, misalnya, memerintahkan rakyat-rakyat Wajo di perantauan untuk membeli senjata demi memperkuat pertahanan Wajo.[69][70] Perhatian yang signifikan juga diberikan kepada perniagaan; Arung Matoa La Tenriwerrung Puanna Sangngaji (menjabat 1711–1713) bahkan menyatakan bahwa hanya dengan mengejar kekayaan-lah orang-orang Wajo dapat "berdiri tegak".[69] Penerusnya, La Saléwangeng To Tenrirua (menjabat 1713–1736), mendukung perdagangan internasional dengan cara-cara yang lebih praktis.[71] Ia mengeruk aliran sungai yang menuju ibu kota Tosora untuk memperlancar akses bagi kapal-kapal besar, memperkuat industri pertanian dan perikanan dengan meminta mereka menunjuk wakil dalam pemerintahan yang disebut sebagai akkajenangngeng, mengadakan jabatan birokrasi baru yang bertugas secara khusus untuk mempromosikan perdagangan, serta mendirikan sebuah institusi yang berperan sebagai bank peminjam modal untuk perniagaan dan pertanian sekaligus sebagai badan jaminan sosial.[70][71][72]

La Maddukelleng dan kemelut di Wajo (1730–1795)

Semenjak kematian Arung Palakka pada 1696, tidak ada penerusnya yang mampu memertahankan hegemoni Bone di kawasan Sulawesi Selatan sebaik dirinya. Kekosongan kekuasaan ini membuat perdagangan Wajo dapat tumbuh dengan pesat tanpa halangan yang berarti.[73] Interaksi antara komunitas rantau Wajo dan tanah air mereka semakin erat, dan memuncak pada tahun 1730-an ketika petualang Wajo La Maddukelleng kembali ke Sulawesi Selatan.[74] Awalnya, ia dan pengikutnya menyerang permukiman-permukiman di bagian barat semenanjung dan pulau-pulau sekitar Makassar.[75] Pada tahun 1736, ia dinobatkan sebagai penguasa Pénéki, dan terlibat dalam sebuah konfrontasi dengan Bone. Serangan balasan yang dilakukan Bone ke Pénéki menyebabkan banyak rakyat Wajo yang menjadi pendukung La Maddukelleng. Tak lama kemudian ia pun ditunjuk menjadi arung matoa (menjabat 1736–1754).[76][g] Dengan dukungan luas dari rakyatnya baik di dalam maupun di luar negeri, ia membawa Wajo memenangkan perang melawan Bone.[77][80][h] Pada pertengahan tahun 1737 keduanya menandatangani perjanjian damai, dan Bone diharuskan untuk menebus segala kerugian yang diderita Wajo akibat penindasan penguasa-penguasa Bone sejak Perang Makassar.[81]

Setelah terbebas dari dominasi Bone, Wajo kini menjadi negeri paling utama di Sulawesi Selatan.[77][82] Lontaraʼ Sukkuʼna Wajoʼ bahkan menyebut bahwa Wajo kala itu diakui sebagai pemimpin Tellumpoccoé.[81] Begitu kuatnya Wajo kala itu, sehingga pada tahun 1739, La Maddukelleng berani menyerukan agar Tellumpoccoé dan Gowa bersatu untuk mengusir Belanda dari Makassar. Akan tetapi, ekspedisi ini berakhir dengan kegagalan akibat desersi yang dilakukan oleh sekutu-sekutu Wajo. Bone bahkan berbalik memihak Belanda.[83][84] Pada awal tahun 1741, Belanda bersama Bone dan sekutunya membalas menyerang Wajo dan mengepung ibu kota Tosora. Hanya saja, cuaca yang tidak mendukung serta keadaan finansial dan moral yang kurang baik menyebabkan Belanda memilih untuk mundur pada bulan Maret 1741.[85]

Pada tahun 1740-an, sebuah konflik baru muncul. La Gau, Datu Pammana (negeri bawahan Wajo), berselisih paham dengan La Maddukkelleng perihal siapa yang berhak mewarisi takhta Sidenreng, yang kala itu dikuasai oleh saudara La Gau.[i] Perang saudara kemudian pecah selama berbulan-bulan antara pihak yang mendukung La Maddukelleng dan pihak yang mendukung La Gau.[87] Walaupun keduanya sempat berdamai, La Maddukelleng kembali menyulut peperangan ketika ia secara sepihak memutuskan bahwa wilayah Mojong yang disengketakan oleh Bélawa (daerah bawahan Wajo) dan Sidenreng merupakan milik Bélawa. Akibat perang berkepanjangan serta kebijakan-kebijakan yang seringkali diputuskan sesuka hati tanpa mengindahkan adat, La Maddukkelleng pun mulai kehilangan dukungan dari rakyatnya, hingga akhirnya ia meletakkan jabatannya pada tahun 1754.[88][89]

La Maddanaca terpilih untuk menggantikan La Maddukelleng, tetapi ia mengundurkan diri satu tahun kemudian, sebelum kemudian terbunuh akibat diamuk di Makassar. Posisinya digantikan oleh La Passaung.[90] Pada masa pemerintahannya Wajo lagi-lagi mengalami konflik. La Maddukelleng yang sudah tak lagi berkuasa berusaha untuk memengaruhi politik Wajo dengan menulis surat ke dewan pemerintahan untuk memperingatkan mereka agar mewaspadai La Gau, yang kala itu masih menjabat sebagai Pilla (salah satu dari tiga panglima besar Wajo).[91] Perpecahan akibat debat antara La Maddukelleng dan La Passaung mengakibatkan keresahan di Wajo sehingga banyak daerah bawahan yang melepaskan diri. La Gau sendiri ditengarai ingin memperkuat negerinya Pammana dan menjadikannya sejajar dengan Wajo. Akibat kejadian-kejadian ini, La Passaung pun mundur dari jabatannya setelah dua tahun memerintah.[92][93]

La Passaung digantikan oleh La Mappajung Puanna Salowo. Belum lama ia dilantik, Bone menyatakan perang terhadap Pénéki,[92] karena La Maddukelleng menolak untuk menyerahkan putranya yang mencuri kuda Arumpone La Temmassongé (memerintah 1749–1775).[94] Pemerintah pusat Wajo memilih untuk tidak terlibat dalam perang ini, dan baru mengirimkan pasukan ke Pénéki ketika La Maddukelleng sudah dalam keadaan terpojok.[95] La Maddukelleng kemudian diadili oleh Tellumpoccoé pada sekitar tahun 1763, tetapi para utusan dari tiap negara anggota tidak bersepakat mengenai hukuman apa yang pantas dijatuhkan kepadanya untuk segala kesalahan yang telah ia lakukan, dan La Maddukelleng pun meninggal sebelum ia sempat mendapatkan hukuman apapun.[96] La Mappajung mengundurkan diri setelah tujuh tahun memimpin; posisinya digantikan oleh La Malliungeng To Alléong, yang juga mengundurkan diri pada tahun 1770 setelah dua tahun memimpin. Selama bertahun-tahun berikutnya, dewan pemerintahan Wajo tidak dapat bersepakat untuk memilih arung matoa yang baru, sehingga posisi tersebut dibiarkan lowong hingga tahun 1795.[92]

Masa akhir kemerdekaan (1795–1905)

Memasuki abad ke-19, agama Islam semakin kuat mengakar di Wajo. Arung Matoa La Mallalengeng (menjabat 1795–1817[78]) memerintahkan agar para pemimpin di pelosok memperbaiki masjid dan surau di daerah masing-masing, serta meramaikannya dengan kajian-kajian Al-Qur'an dan pembacaan barzanji tiap malam Jumat.[92] Di bawah pengaruh ulama yang terinspirasi gerakan pembaharuan Islam di Arab Saudi, La Memmang (atau La Manang[78]) To Appamadeng (menjabat 1821–1825) memerangi adat-adat yang dianggap takhayul, menghancurkan tempat-tempat yang disucikan oleh masyarakat pra-Islam, dan berusaha untuk menerapkan syariat Islam dengan tegas (semisal menerapkan hukum cambuk dan potong tangan, serta mewajibkan penggunaan hijab), walaupun usahanya ini tidak bertahan lama karena penentangan dari rakyatnya.[97]

Sejak awal 1830-an,[98] takhta Sidenreng diperebutkan oleh La Pangnguriseng dan saudara tirinya La Patongi. Sebagian besar bangsawan Wajo memihak La Patongi yang merupakan cucu dari seorang Ranreng (penguasa wilayah) Talotenreng,[99] tetapi sebagian kecil faksi memihak La Pangnguriseng yang juga didukung oleh Bone, Soppeng, dan Belanda. Meski pada awalnya La Patongi kalah dan tersingkir, ia tidak juga melepaskan klaimnya atas takhta Sidenreng.[100] Perselisihan ini menjadikan pemerintahan Wajo tidak stabil, dan selama bertahun-tahun para anggota dewan tidak dapat bersepakat untuk memilih arung matoa yang baru. Pengangkatan La Paddengngeng (menjabat 1839–1845) sebagai arung matoa tidak banyak mengubah keadaan; malah, ia memilih pergi ke luar Wajo akibat perselisihannya dengan para Petta Ennengngé (enam anggota dewan tertinggi Wajo selain arung matoa) dan tidak lagi terlibat dalam politik Wajo hingga akhir hayatnya.[98][99]

Perang perebutan takhta Sidenreng berlanjut pada masa pemerintahan Arung Matoa La Pawellangi Pajumpéroé. Ia kemudian digantikan oleh La Cincing Akil Ali, saudara kandung La Pangnguriseng. Sebagaimana La Paddengngeng, La Cincing lebih banyak mengabaikan tugasnya dan menetap di luar Wajo, sehingga perselisihan dalam pemerintahan Wajo semakin meningkat, bahkan pecah menjadi perang saudara. Akibatnya, pemerintahan dan penegakan hukum tidak lagi berfungsi dengan baik, sehingga aksi kejahatan merajalela di seluruh Wajo.[99] Barulah pada masa pemerintahan La Koro (1885–1891), hukuman keras ditegakkan bagi para pelaku kejahatan, sehingga orang-orang menjadi segan kepadanya. Ia juga melakukan reformasi pada bidang militer dengan mengangkat jenderal, kolonel, serta mayor yang memiliki pasukan tetap.[101]

Pertikaian yang berlarut-larut selama abad ke-19 melemahkan Wajo dan negeri-negeri Bugis lainnya, sehingga posisi Belanda di Sulawesi Selatan semakin kuat.[98] Sepanjang abad ke-19 pula, Belanda beberapa kali memerangi Bone untuk membatasi kekuatan sekutu lamanya tersebut. Puncaknya pada tahun 1860, Bone terpaksa menandatangani perjanjian yang menurunkan statusnya dari sekutu menjadi negara vasal.[102] Mendekati akhir abad ke-19, Belanda mulai melakukan ekspansi untuk menundukkan secara penuh negeri-negeri Nusantara yang masih belum berada di bawah naungan Hindia Belanda, termasuk di antaranya negeri-negeri Sulawesi Selatan.[103] Menyusul takluknya Gowa dan Bone pada tahun 1905, Wajo dan Soppeng pun menuruti keinginan Belanda dan menandatangani Korte Verklaring, yaitu pernyataan pendek yang intinya mengakui bahwa mereka merupakan negara bawahan yang setia kepada Belanda, berjanji untuk menyerahkan segala urusan luar negeri mereka dan menuruti peraturan serta perintah yang diberikan oleh Kerajaan Belanda dan pemerintahan kolonial.[104][105]

Sebagai swapraja di bawah Hindia Belanda dan Indonesia (1905–1960)

 
Sungai Walanae di Sengkang pada masa penjajahan Belanda

Setelah kematian Arung Matoa Ishak Manggabarani (menjabat 1900–1916), Wajo tidak memiliki arung matoa selama satu dekade penuh. Selama masa itu, terjadi beberapa pertikaian yang melibatkan Arung Pénéki sekaligus Datu Larompong La Oddang. Dalam salah satu pertempurannya melawan pasukan Bone, ibu kota Wajo di Sengkang bahkan sempat dibakar oleh musuh.[106] La Oddang naik sebagai arung matoa pada akhir 1926. Pada masa kepemimpinannya, dibuatlah pembagian tugas yang jelas serta kantor-kantor khusus bagi para Petta Ennengngé,[107] sementara jabatan-jabatan dewan perwakilan dihapuskan.[108] Kepala-kepala wanua juga diserahi tugas yang lebih besar untuk mengurus masalah keuangan dan hukum di daerah masing-masing. Untuk memajukan kesehatan, ia juga menempatkan seorang dokter di ibu kota serta pembantu klinik di beberapa wanua.[107] Pada masa ini pula Belanda mulai membangun jalan darat menuju Wajo, karena jalur perairan dari muara Cenrana sudah tidak lagi kondusif untuk dilalui perahu besar akibat pendangkalan.[109]

Pasukan Jepang mendarat di Sulawesi Selatan pada 9 Februari 1942. Selama Perang Pasifik, tenaga Jepang dipusatkan pada usaha untuk memenangkan perang, sehingga Jepang tidak memedulikan pembangunan di Wajo atau negeri Sulawesi Selatan lainnya.[110][111] Meski begitu, pendudukan Jepang di Sulawesi Selatan tidak separah di Jawa; penduduk setempat tidak harus menjadi romusha, walaupun mereka dipaksa untuk menyediakan beras bagi pasukan Jepang.[112] Tidak lama setelah Soekarno dan Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Belanda kembali ke Sulawesi Selatan bersama dengan tentara Sekutu.[113] Opini di kalangan aristokrat Sulsel pun terbelah; sebagian di antaranya mengikuti Arumpone Andi Mappanyukki dengan mendukung pihak pro-republik, sementara sebagian lagi bersedia bekerja sama dengan Belanda terlebih dahulu. Di Wajo, Arung Matoa Andi Mangkonaʼ dan sebagian besar pejabat tinggi Wajo memilih untuk bekerja sama.[114] Sebagian kecil petinggi Wajo, seperti Cakkuridi Andi Makkulau (menantu Andi Mappanyukki) dan Ranreng Tua Andi Ninnong, menentang posisi ini. Andi Makkulau mundur ke hutan dan menjadi gerilyawan hingga tertangkap dan dipenjara.[115][116] Suami Andi Ninnong terbunuh dalam kampanye pasifikasi Westerling, sementara putranya tewas di Jawa saat membantu perjuangan di sana.[117][118]

Pada Desember 1946, Wajo bergabung ke dalam Negara Indonesia Timur sebagai swapraja di bawah Daerah Sulawesi Selatan, yang kemudian menjadi bagian dari Republik Indonesia Serikat setelah Konferensi Meja Bundar tahun 1949.[115] Arung matoa terakhir, Andi Mangkonaʼ, meletakkan jabatannya pada 21 November 1949, walaupun Wajo masih terus bertahan sebagai swapraja selama beberapa tahun berikutnya.[119] Akibat pemberontakan DI/TII yang diprakarsai Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan pada awal 1950-an, banyak orang Wajo yang mengungsi dan merantau ke luar.[120] Daerah pesisir dan pegunungan yang jauh dari Sengkang menerima dampak paling parah dalam konflik ini.[121] Tatanan masyarakat lama Sulawesi Selatan berubah drastis setelah kemerdekaan Indonesia, terutama setelah pemberontakan Kahar Muzakkar.[122] Pada tahun 1957, swapraja Wajo (yang tadinya merupakan bagian dari Daerah Otonom Bone di bawah Provinsi Sulawesi) diubah menjadi daerah otonom tingkat II (setingkat kabupaten), dan Andi Tanjong diangkat sebagai kepala daerah pertamanya.[123] Sistem swapraja baru benar-benar dihapuskan melalui Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959.[124] Setahun kemudian, seluruh 20 wanua bagian Wajo pun dilebur menjadi sepuluh kecamatan, mengikuti sistem pembagian administratif di wilayah Indonesia lainnya.[122][125]

Pemerintahan

Pembagian administratif

 
Wajo dan daerah-daerah bawahannya pada tahun 1906

Sebagaimana banyak negara Bugis lainnya, Wajo merupakan sebuah konfederasi yang terdiri dari gabungan komunitas-komunitas politis dan teritorial lebih kecil yang disebut sebagai wanua.[126] Setiap komunitas kecil ini memiliki otonomi yang lumayan besar, dengan pemimpin serta hukum adat sendiri-sendiri.[127] Ketika bergabung dengan Wajo, baik secara sukarela maupun melalui penaklukan,[128] komunitas-komunitas ini akan berafiliasi dengan salah satu dari tiga limpo atau bagian utama, yaitu Béttémpola, Tua, dan Talotenreng, yang merepresentasikan ketiga komunitas pendiri Wajo.[129][130]

Daerah-daerah Wajo terhubung dengan pemerintahan pusat di Tosora dengan status yang berbeda-beda, mulai dari sebagai negeri jajahan hingga sebagai sekutu junior serupa hubungan kakak-beradik.[126][131] Sebagian wilayah-wilayah ini tidak memiliki perwakilan dalam pemerintahan Wajo, semisal daerah Pitumpanua yang terdiri dari gabungan tujuh negeri. Sebagian lagi hanya direpresentasikan secara tidak langsung, seperti wilayah Paria yang diwakili oleh pemimpin limpo Béttémpola.[132]

Struktur politik

Pemimpin tertinggi Wajo disebut dengan gelar arung matoa.[132] Seorang arung matoa dipilih di antara kalangan "darah putih" atau ningrat.[133] Jabatan arung matoa tidak dapat dirangkap dengan jabatan pemerintahan lainnya.[134] Jabatan ini juga tidak dapat diwariskan mengikut keturunan, dan hanya dapat dipegang seumur hidup sepanjang pemegangnya dianggap layak.[135][136] Arung matoa memiliki kekuasaan yang terbatas; peran utamanya adalah menjadi simbol pemersatu bagi negerinya, sebagai hakim dan panglima perang tertinggi, serta sebagai representasi Wajo dalam urusan luar negeri.[133][137][138] Penguasa Wajo lazimnya diharapkan untuk tunduk kepada negara dan hukum adat yang telah menggariskan otonomi komunitas-komunitas yang dipimpinnya. Jika tidak, maka ia dapat dipecat dari jabatannya. Arung Matoa La Samaléwa To Appakiung (menjabat 1612–1616), misalnya, diturunkan oleh rakyatnya, sebab ia disebut telah bersikap semena-mena. Adat serupa juga dapat ditemukan pada negeri-negeri Sulawesi Selatan lainnya, walaupun mungkin tidak sekuat di Wajo.[127][139] Monarki di Gowa dan Bone menganut sistem keturunan, dan penguasa-penguasa di sana umumnya cenderung lebih otoriter (serupa penguasa zaman feodal di Eropa) bila dibandingkan dengan arung matoa di Wajo.[127][140]

 
Struktur pemerintahan Wajo

Dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari di Wajo, arung matoa dibantu oleh tiga pasang pemimpin sipil dan militer yang dikenal secara kolektif sebagai Petta Ennengngé ('Tuan yang Enam'); setiap pasangnya mewakili masing-masing limpo.[141][142] Pemimpin sipil sebuah limpo disebut ranreng, sementara pemimpin militernya disebut baté lompo.[143] Gelar bagi para baté lompo disesuaikan dengan warna panji yang mereka bawa, yaitu Pilla atau 'Merah' bagi Béttémpola, Patola atau 'Warna-Warni' bagi Talotenreng, dan Cakkuridi atau 'Kuning' bagi Tua.[132][144] Setiap ranreng dan baté lompo dalam Petta Ennengngé memiliki kekuasaan yang setara di antara mereka dan sama besarnya dengan sang arung matoa. Meski begitu, secara tradisi, Pilla Wajo-lah yang dianggap sebagai panglima Petta Ennengngé tertinggi di kala perang, sementara Ranreng Béttémpola dianggap sebagai pejabat Petta Ennengngé tertinggi di kala damai.[132][145] Jika posisi arung matoa sedang lowong, maka Ranreng Bettempola pula yang mengambil alih tugasnya untuk sementara hingga terpilih arung matoa yang baru.[92][146][147] Keseluruhan Petta Ennengngé ditambah dengan arung matoa membentuk dewan pemerintahan tertinggi yang disebut sebagai Petta Wajoʼ ('Tuan di Wajo').[132][143]

Petta Wajoʼ merupakan bagian dari dewan perwakilan lebih besar yang terdiri dari 40 anggota, juga dikenal sebagai Arung Patappuloé ('Empat Puluh Raja'), dengan arung matoa sebagai ketuanya.[141][148] Selain dari ketujuh anggota Petta Wajoʼ, setiap limpo menyumbang seorang suro atau utusan, 4 orang arung mabbicara atau hakim yang memutuskan perkara, serta 6 orang arung paddokki-rokki atau hakim yang hanya bertugas sebagai penasihat;[132][149] setiap perkara dari masyarakat akan diperiksa lebih dahulu oleh mereka sebelum diteruskan ke arung mabbicara.[150] Arung mabbicara juga merangkap jabatan sebagai kepala daerah di bawah limpo, sementara arung paddokki-rokki tidak memegang jabatan lain selain sebagai anggota dewan pemerintahan.[151] Keseluruhan anggota dewan hanya berkumpul dalam masa-masa tertentu saja, termasuk di antaranya saat pemilihan arung matoa yang baru.[152][153]

Kekuatan Arung Patappuloé diimbangi pula oleh tiga orang punggawa, satu dari setiap limpo, sebagai perwakilan non-ningrat yang dipilih di antara para tetua di daerah.[141][142] Para punggawa ini memiliki wewenang yang cukup signifikan. Menurut penjelajah Inggris James Brooke:[154]

Kekuatan para pangawas [sic], atau tribunes of the people [sic], lumayan besar. Hanya mereka yang berhak memanggil anggota dewan empat puluh untuk melakukan rapat. Mereka memiliki hak veto untuk menolak penunjukan aru matoah [sic]. Hanya perintah merekalah yang dapat menjadi panggilan sah untuk berperang, tiada pejabat maupun dewan yang mempunyai hak, atau bahkan kuasa, untuk memanggil rakyat merdeka ke medan pertempuran.[j]

Selain memiliki punggawa sebagai perwakilan permanen resmi di dalam pemerintahan, tetua-tetua (uluanang) dari kalangan rakyat jelata beserta kepala-kepala desa di Wajo dapat pula berkumpul dalam sebuah dewan permusyawaratan luar biasa yang boleh diadakan jika Arung Patappuloé tidak mencapai kata sepakat dalam membahas sebuah masalah. Para rakyat jelata ini dapat bertukar pikiran dan memberi masukan kepada pemerintah mengenai penyelesaian terbaik bagi masalah tersebut, walaupun keputusan akhirnya tetap berada di tangan arung matoa.[147][155][156]

Struktur pemerintahan tiap daerah di Wajo berbeda-beda, tetapi secara garis besar polanya tidak berbeda jauh dengan pemerintahan pusat. Arung Paria, misalnya, hanya bersifat simbolis, sementara wewenang pemerintahan ada pada tangan wakilnya yang disebut arung malolo. Paria juga dibagi menjadi tiga limpo, yang masing-masingnya dipimpin oleh sepasang arung dan arung malolo, serta beberapa pejabat rendah dengan tugas yang berbeda-beda. Wilayah Pammana dipimpin oleh seorang datu, yang diwakili oleh maddanreng dalam urusan luar daerah, perang dan perayaan, atau oleh sulléwatang dalam urusan daerah dan keadaan gawat. Sementara Bélawa memiliki dua orang arung, satu di wilayah barat dan satu di wilayah timur; masing-masingnya dibantu oleh seorang sulléwatang yang bertindak sebagai panglima perang.[157]

Di bawah penjajahan tidak langsung yang diberlakukan oleh Belanda, Wajo masih diperbolehkan untuk memiliki pemerintahan sendiri, walaupun kekuasannya sangatlah terbatas.[105][158] Secara praktis, seluruh jabatan tinggi Wajo dihapuskan oleh Belanda, kecuali jabatan-jabatan di dalam Petta Wajoʼ, yang kini hanya bersifat simbolis.[108] Kekuasaan sebenarnya ada pada kontrolir civiel gezaghebber ('komandan sipil') yang mewakili pemerintah Hindia Belanda.[105][158] Namun, meski kekuasaan (power) kalangan aristokrat Sulawesi Selatan pada masa penjajahan berkurang, ahli ilmu politik Barbara Sillars Harvey berpendapat bahwa mereka masih memiliki wewenang (authority) yang signifikan, sehingga para pamong praja Belanda masih memerlukan kerja sama mereka untuk memastikan kepatuhan masyarakat kepada pemerintah kolonial.[159][k]

Masyarakat dan kebudayaan

Hak-hak dan hierarki sosial

 
Pepatah Wajo mengenai kemerdekaan yang kini dijadikan semboyan Kabupaten Wajo: maradéka to Wajoʼé, adeʼna napopuang ('orang-orang Wajo itu merdeka, [hanya] adatnya yang dipertuan [oleh mereka]').

Sejarawan Anthony Reid berpendapat bahwa Wajo memiliki bukti paling kuat untuk pelembagaan hak-hak kebebasan bila dibandingkan dengan masyarakat pra-modern Asia manapun.[160][l] Naskah-naskah Wajo selalu menekankan bahwa "orang-orang Wajo itu merdeka", dan bahwa tuan mereka hanyalah hukum adat yang didasarkan pada kesepakatan bersama. Konsep "hak-hak kemerdekaan Wajo" mencakup, antara lain: jaminan keselamatan pribadi dan kepemilikan, akses terhadap keadilan, serta kebebasan untuk berpendapat, bergerak, dan membuat kontrak.[161][162][163][164] Dalam sumber-sumber Wajo disebutkan bahwa hak-hak kemerdekaan ini adalah adat turun-temurun yang sudah demikian adanya,[20] sehingga seorang arung matoa sekalipun tidak boleh menentangnya. Ketika seorang arung matoa dilantik, ia juga mesti bersumpah untuk menjaga hak-hak ini.[164][165] Walaupun begitu, hak-hak "kemerdekaan" ini memiliki batasan dan tidak berlaku sepenuhnya bagi seluruh masyarakat Wajo. Kalangan budak tidak memiliki hak yang sama dengan kalangan orang merdeka, apalagi kalangan ningrat.[166][167]

Secara garis besar, masyarakat Bugis dahulu terbagi ke dalam tiga golongan: 1) bangsawan atau ningrat, 2) orang merdeka, dan 3) budak. Golongan-golongan ini bukanlah kasta turun-temurun dengan batas-batas yang jelas, karena pernikahan tidak dibatasi sesama golongan (endogami) saja.[168] Seseorang dapat diperbudak sebagai hukuman akibat kejahatan atau karena tidak mampu membayar utang. Perbudakan dapat bersifat turun-temurun; anak dari sepasang budak akan dianggap budak pula. Seorang budak yang dibebaskan akan menjadi orang merdeka, dan siapapun yang memiliki ayah orang merdeka juga akan dianggap sebagai orang merdeka.[169]

Golongan ningrat secara teori mencakup siapapun yang memiliki "darah putih". Hanya saja, karena pernikahan dapat terjadi lintas golongan, dan nasab diturunkan secara bilateral (dari kedua orang tua), masyarakat Bugis mengembangkan penggolongan sosial yang kompleks, berdasarkan seberapa murni "darah putih" yang dimiliki oleh seseorang.[168][169] Tingkat tertinggi disebut sebagai anaʼmatola ('putra-putri mahkota'), yang mencakup orang-orang dengan kemurnian darah tertinggi, termasuk di antaranya para arung matoa dan anggota Petta Ennengngé. Di bawah mereka, ada golongan anakarung ('anak penguasa'), yang mencakup bangsawan-bangsawan rendah, termasuk di antaranya para arung atau penguasa negeri-negeri bawahan Wajo. Kedua golongan ini dianggap sebagai bagian dari kalangan ningrat. Tingkat berikutnya disebut tau décéng ('orang baik-baik'), yaitu golongan rakyat biasa yang masih memiliki sedikit darah bangsawan, setingkat di atas kalangan tau maradéka ('orang merdeka') atau tau sama ('orang setara'). Golongan ata atau budak, baik yang turun-temurun maupun akibat dihukum, berada di posisi paling bawah.[170][171][m]

Keluarga dan gender

Wanita Bugis di negara-negara Sulawesi Selatan pada masa prakolonial terlibat secara rutin di dalam banyak aspek kemasyarakatan. John Crawfurd, penjelajah Skotlandia dari abad ke-18, menyebutkan bahwa mereka juga seringkali dinobatkan sebagai penguasa, bahkan jikapun posisi tersebut bersifat elektif.[174] Menurut sejarawan Stephen C. Druce, dalam hal representasi wanita dalam pemerintahan, negeri-negeri Bugis kala itu lebih maju dibandingkan dengan negeri-negeri Eropa. Penjelajah Inggris James Brooke (yang kelak menjadi Raja Sarawak) mencatat bahwa seluruh jabatan tinggi di Wajo dapat diduduki oleh wanita.[175][176] Bahkan, Brooke menyatakan bahwa saat ia berada di Wajo pada tahun 1840, empat dari enam anggota Petta Ennengngé merupakan wanita, yang seringkali "tampil di depan publik layaknya para pria; berkuda, memerintah, dan bahkan mengunjungi orang-orang asing, tanpa perlu memberitahu atau meminta izin pada suami-suami mereka."[174][176][n]

Bahasa dan kesusastraan

Bahasa Bugis adalah salah satu penanda utama identitas masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan, walaupun terdapat perbedaan dialek antara tiap-tiap daerah. Penutur dialek Wajo secara umum masih dapat memahami dialek yang digunakan di wilayah inti Soppeng, Bone, dan Sidenreng, walaupun orang Wajo agak kesulitan dalam memahami ragam tertentu, seperti dialek di Tellu Lupu (Bone) dan dialek Sinjai.[177] Sejak awal abad ke-15, bahasa Bugis mulai dipakai untuk mencatat sejarah dan silsilah, menggunakan aksara Lontara yang merupakan turunan Brahmi.[178][179] Namun, meski menggunakan sistem penulisan yang diturunkan dari aksara asal India, Sulawesi Selatan tidak pernah mengalami Indianisasi seperti kebanyakan wilayah lain di Nusantara yang memiliki budaya menulis sebelum masa modern.[180][181] Selama setidaknya dua abad sebelum agama Islam dipeluk secara luas pada sekitar tahun 1600, literatur Sulawesi Selatan secara garis besar terbebas dari pengaruh luar, dan memberikan gambaran masyarakat Austronesia pra-modern yang jarang sekali dapat ditemui.[182]

Wajo merupakan salah satu negeri Bugis yang memiliki tradisi penulisan sejarah yang kaya, dengan beragam versi attoriolong atau kronik. Salah satu sumber sejarah utama Wajo pada masa modern awal, Lontaraʼ Sukkuʼna Wajoʼ, tergolong sangat panjang dan mendetail bila dibandingkan dengan kronik Bugis pada umumnya yang hanya berisi ringkasan riwayat pemerintahan setiap arung matoa. Menurut tradisi, kronik ini disusun berdasarkan kumpulan catatan sejarah semasa oleh Ranreng Bettempola La Sangaji pada masa pemerintahan Arung Matoa La Mappajung (1764–1767), walaupun ada kemungkinan bahwa penyusunan ini baru diselesaikan di kemudian hari.[183]

Agama


Ekonomi dan perniagaan

 
Peta dari pertengahan abad ke-18 yang menggambarkan bagian timur laut semenanjung Sulawesi Selatan, termasuk wilayah Wajo (utara di sebelah kanan).

Sebagian besar rakyat Wajo tinggal di kawasan subur tepi danau di pedalaman semenanjung.[184] Sebagaimana masyarakat Bugis lainnya, kebanyakan dari mereka mencari penghidupan dengan bercocok tanam; beras dan jagung adalah dua jenis tumbuhan utama yang dibudidayakan oleh orang Wajo. Selain menjadi petani, banyak pula orang Wajo yang menjadi nelayan, dengan wilayah operasi di perairan air tawar di pedalaman atau di sekitar wilayah pantai.[185]

Wajo juga memiliki tradisi berniaga yang paling kuat di antara orang-orang Bugis. Wilayah pedalaman subur di pusat Wajo terhubung dengan laut melalui Sungai Cenrana yang dapat dilalui kapal besar (walaupun sejak abad ke-19 sungai ini berangsur-angsur mendangkal[186]). Keadaan geografis ini mendukung keterlibatan aktif orang Wajo dalam perdagangan maritim.[187] Sebagian besar pedagang Bugis rantau sejak akhir abad ke-17 hingga akhir abad ke-19 berasal dari Wajo.[188] Pada masa ini, perantau-perantau Bugis bertindak sebagai perantara bagi pedagang dari negeri-negeri besar dan kecil di kawasan Asia Tenggara Maritim.[68] Perniagaan orang-orang Wajo menjangkau hampir seluruh pusat perdagangan di kawasan ini,[184] baik yang dekat di Sulawesi (seperti Makassar, Mandar, dan Buton) serta Kalimantan (seperti Paser, Banjarmasin, dan Berau), maupun yang jauh di Papua, Sumatra, Semenanjung Malaya, bahkan Kamboja.[68][188][189] Barang yang diperdagangkan oleh orang-orang Wajo mencakup beras, kain, rempah, intan, emas, hingga tembakau. Selain barang, terdapat pula bukti perdagangan hewan ternak terutama dengan Kalimantan Timur, dan perdagangan budak juga tampaknya cukup signifikan.[190]

Praktik-praktik perniagaan Wajo, menurut sejarawan Hans Hägerdal, dapat dianggap sebagai paralel dari konsep "kapitalisme dagang" yang berkembang di Eropa.[191] Jaringan perdagangan Wajo berkembang pesat selama abad ke-18 dan 19 hingga mampu menyaingi perdagangan Belanda;[192][193] perniagaan tekstil VOC bahkan mengalami penurunan tajam akibat "penyelundupan" tekstil India oleh pedagang-pedagang Wajo yang mampu menghindari monopoli Belanda.[194][195] Pedagang-pedagang Wajo juga seringkali berkolaborasi dengan Inggris yang merupakan saingan Belanda. Pada tahun 1820, bandar Inggris di Singapura disinggahi oleh 90 kapal dagang dari Wajo, dan jumlah ini bertambah menjadi 120 pada tahun berikutnya.[195] Menurut laporan John Crawfurd, pada tahun 1820-an saja jumlah perantau Wajo di Singapura telah mencapai sekitar 2.000 hingga 3.000 jiwa.[184] Kehadiran pedagang-pedagang Wajo merupakan salah satu kunci utama keberhasilan komersial Singapura sebagai bandar persinggahan.[195] Ekspansi perdagangan Wajo pada abad ke-18 dan 19 juga berdampak pada meningkatnya kemakmuran di tanah Wajo, serta menyokong pertumbuhan penduduk pada permukiman berbasis niaga di sepanjang jalur pelayaran menuju laut; Lagosi (bandar utama Wajo di pedalaman), misalnya, diperkirakan memiliki lebih dari 15.000 penduduk pada sekitar tahun 1840.[196][o]

Perniagaan Wajo dapat berkembang dengan baik karena dukungan dari pemerintah di Wajo serta komunitas-komunitas Wajo di perantauan.[198] Pemimpin-pemimpin dari komunitas Wajo di perantauan mengadakan pertemuan secara berkala untuk mendiskusikan kepentingan mereka. Salah satu konferensi pemimpin rantau pada sekitar awal abad ke-18 menghasilkan kodifikasi hukum yang mengatur perdagangan dan pelayaran orang-orang Wajo, atau yang lazim dikenal sebagai Undang-Undang Amanna Gappa.[199][p] Hukum ini utamanya ditujukan untuk menetapkan praktik bisnis yang adil: bahasannya mencakup masalah seperti peminjaman modal (uang maupun barang), pembagian untung-rugi, warisan, hak-hak penumpang kapal dagang, hingga perlindungan properti.[201] Aturan-aturan ini menjadi kerangka dasar bagi penyelesaian konflik antar pedagang-pedagang Wajo.[202] Menurut sejarawan Kathryn Anderson Wellen, hukum semacam ini "sangat tidak lazim, kalau tidak dapat dikatakan unik, untuk kawasan kepulauan Asia Tenggara pada masa modern awal".[203][q] Catatan Wajo dari abad ke-18 menyebutkan bahwa para pelanggar hukum ini mendapatkan hukuman yang keras, sehingga tampaknya hukum ini berlaku dengan efektif kala itu.[202]

Pemerintah Wajo memberi dukungan dalam bentuk kebijakan-kebijakan yang mendorong kemajuan ekonomi. Pada awal abad ke-18, misalnya, Arung Matoa La Saléwangeng memerintahkan para petani untuk menyisihkan sebagian beras hasil panen mereka untuk disimpan di dalam lumbung yang dikelola pemerintah. Beras ini kemudian digunakan untuk memberi makan orang-orang yang membutuhkan serta sebagai cadangan pangan dalam masa paceklik. Sebagian pendapatan pajak dalam bentuk uang juga disisihkan sebagai dana yang dimiliki secara bersama. Dana ini dapat digunakan untuk keperluan investasi dalam bidang pertanian dan perdagangan, atau untuk keperluan jaminan sosial.[71] Pemerintah dapat meminjamkan dana tersebut kepada rakyat yang ingin memulai usaha, dengan syarat, pinjaman tersebut dikembalikan berikut sepertiga dari keuntungan mereka. Hasil keuntungan ini kemudian digunakan untuk kepentingan umum, seperti pembangunan gudang senjata serta renovasi masjid negara. Sistem ini memungkinkan rakyat Wajo dengan sumber daya terbatas untuk ikut terlibat dalam perniagaan, sekaligus memanfaatkan kekuatan ekonomi mereka untuk kemaslahatan masyarakat Wajo secara keseluruhan.[72][204][205]

Lihat pula

Keterangan

  1. ^ Hentian glotal dalam bahasa Bugis dan bahasa-bahasa Sulawesi Selatan dieja secara bervariasi dengan ⟨q⟩, ⟨k⟩, ⟨ʼ⟩, atau dibiarkan tidak ditulis. Artikel ini menggunakan ⟨ʼ⟩ untuk merepresentasikan hentian glotal, ⟨e⟩ untuk bunyi pepet, dan ⟨é⟩ untuk [e] dalam bahasa Bugis. Pengecualian diberikan bagi nama yang sudah lazim dikenal dengan ejaan tertentu dalam bahasa Indonesia, misalnya ⟨Wajo⟩ alih-alih ⟨Wajoʼ⟩, dan ⟨Bone⟩ alih-alih ⟨Boné⟩.
  2. ^ Kisah asal-usul Wajo ini kontras dengan mitos pendirian negeri-negeri Sulawesi Selatan lainnya, yang umumnya diawali dengan kedatangan seorang tomanurung.[9][10]
  3. ^ Umumnya diidentifikasi sebagai tumbuhan dari genus Macaranga.[11]
  4. ^ Juga dikenal sebagai La Tenriba atau La Tenribabbareng dalam beberapa naskah.[12]
  5. ^ La Maddaremmeng sebelumnya telah memicu kontroversi, sebab ia disebutkan menerapkan agama Islam dengan lebih tegas kepada rakyatnya. Ia juga menghapuskan perbudakan (kecuali yang berdasarkan keturunan), dan memaksa anggota Tellumpoccoé yang lain untuk mengikuti langkahnya. Upaya Bone untuk menyebarkan pengaruh agamanya kepada negeri Bugis yang lain ditanggapi negatif oleh Gowa, sebab bagi Gowa, ini merupakan penentangan terhadap hegemoninya di Sulawesi Selatan.[33][44][45]
  6. ^ Ketika itu, VOC menghindari untuk berselisih dengan Arung Palakka, sebab ia merupakan sekutu yang terlalu penting. Apalagi, VOC juga memerlukan bantuan militernya dalam Pemberontakan Trunajaya (1678–1680) yang melibatkan VOC di Jawa.[64][66]
  7. ^ Ahli bahasa dan sejarawan Jacobus Noorduyn (1972) menyebut 1737–1754 sebagai masa jabatannya,[77] tetapi menurut sejarawan Andi Zainal Abidin (1985) dan Kathryn Wellen (2014), ia dilantik sebagai arung matoa pada tanggal 6 November 1736.[78][79] Sumber-sumber Wajo menyebut bahwa La Saléwangeng mundur secara sukarela dan menunjuk langsung La Maddukelleng sebagai penerusnya, walaupun surat semasa dari Arung Timurung (Bone) dan Datu Baringeng (Soppeng) kepada VOC menyebut bahwa La Maddukelleng naik takhta dengan mengudeta pendahulunya.[76]
  8. ^ Sumber-sumber Bugis menyebutkan bahwa perantau-perantau Wajo dari segala penjuru, termasuk di antaranya Paser, Sumbawa, dan Makassar, memberikan bantuan keuangan, persenjataan, serta tenaga militer yang signifikan dalam perang ini.[80]
  9. ^ Menurut sumber-sumber Bugis, La Gau bersikeras bahwa sepanjang ia masih hidup, hanya keluarganya saja yang dapat bertakhta di Sidenreng. Mendengar hal ini, La Maddukelleng marah besar dan menitahkan agar penguasa Sidenreng diganti hari itu juga. Alih-alih menerima dan menjalankan perintah La Maddukelleng, Sidenreng menolak untuk menyerah dan balik menantang sang arung matoa.[86]
  10. ^ Terjemahan bebas, kutipan asli sebagai berikut: "The powers of these pangawas, or tribunes of the people, is considerable. With them only it rests to summon a meeting of the council of forty. They possess the right of veto to the appointment of an aru matoah. Their command alone is a legal summons to war, no chief or body having right, or even authority, to call the freemen to the field."[154]
  11. ^ Kutipan asli: "The traditional rulers did not have the power to act on their own initiative without the approval of the Dutch administration; the colonial civil servants lacked authority over the population, and were dependent on the cooperation of the local aristocracy to ensure compliance of the people to government orders."[159]
  12. ^ Kutipan asli: "[Wajo] offers more evidence than any other pre-modern Asian society so far analysed for institutionalised freedoms [...]"[160]
  13. ^ Untuk pembagian tingkatan yang lebih detail, baca artikel Pelras (1971)[172] dan Bab II dalam disertasi Lineton (1975).[173]
  14. ^ Kutipan asli: "All the offices of state [...] are open to women; and they actually fill the important post of government; four out of the six great chiefs of Wajo being at present females. These ladies appear in public like the men; ride, rule, and visit even foreigners, without the knowledge or consent of their husbands."[176]
  15. ^ Sebagai perbandingan, penduduk Makassar dan pulau-pulau kecil di sekitarnya pada tahun 1828 berjumlah sebanyak 19.007 jiwa.[197]
  16. ^ Amanna Gappa sendiri merupakan pemimpin (matoa) komunitas rantau Wajo di Makassar kala itu, menjabat 1697–1723.[200]
  17. ^ Kutipan asli: "Such a law code is highly unusual, if not unique, for early modern insular Southeast Asia".[203]

Rujukan

Sitiran

  1. ^ Duli (2010), hlm. 144.
  2. ^ Abidin (1985), hlm. 498.
  3. ^ Druce (2009), hlm. 34–36.
  4. ^ Pelras (1996), hlm. 100–103.
  5. ^ Pelras (1996), hlm. 98–100.
  6. ^ Wellen (2014), hlm. 27.
  7. ^ Abidin (1985), hlm. 348, 359.
  8. ^ Wellen (2014), hlm. 24.
  9. ^ Pelras (1971), hlm. 178.
  10. ^ Hafid (2016), hlm. 510, 515.
  11. ^ Abidin (1985), hlm. 403.
  12. ^ Abidin (1985), hlm. 399.
  13. ^ a b Abidin (1983), hlm. 477–478.
  14. ^ Wellen (2014), hlm. 25, 114.
  15. ^ Abidin (1983), hlm. 478.
  16. ^ Halim (2016), hlm. 196–197.
  17. ^ Wellen (2014), hlm. 174.
  18. ^ Abidin (1983), hlm. 479–482.
  19. ^ Abidin (1985), hlm. 575.
  20. ^ a b c Wellen (2014), hlm. 28.
  21. ^ Pelras (1996), hlm. 112–113.
  22. ^ a b Druce (2009), hlm. 228.
  23. ^ Andaya (1981), hlm. 21.
  24. ^ a b Pelras (1996), hlm. 113–114.
  25. ^ Caldwell & Wellen (2017), hlm. 306, 319.
  26. ^ Andaya (1981), hlm. 22.
  27. ^ Pelras (1996), hlm. 114.
  28. ^ Andaya (1981), hlm. 24.
  29. ^ Andaya (1981), hlm. 23.
  30. ^ Pelras (1996), hlm. 116, 131–132.
  31. ^ Andaya (1981), hlm. 30.
  32. ^ Pelras (1996), hlm. 132–133.
  33. ^ a b c d e f Wellen (2014), hlm. 29.
  34. ^ Andaya (1981), hlm. 30–31.
  35. ^ Druce (2009), hlm. 249.
  36. ^ Andaya (1981), hlm. 31.
  37. ^ Wellen (2014), hlm. 29, 177.
  38. ^ Andaya (1981), hlm. 33.
  39. ^ Pelras (1996), hlm. 136–137.
  40. ^ a b Andaya (1981), hlm. 37–38.
  41. ^ Abidin (1985), hlm. 576.
  42. ^ Pelras (1996), hlm. 140–141.
  43. ^ Andaya (1981), hlm. 40.
  44. ^ a b Andaya (1981), hlm. 39–40.
  45. ^ a b Pelras (1996), hlm. 142.
  46. ^ Andaya (1981), hlm. 41–42.
  47. ^ Pelras (1996), hlm. 142–143.
  48. ^ Wellen (2014), hlm. 29–30.
  49. ^ Andaya (1981), hlm. 42–43.
  50. ^ a b c Wellen (2014), hlm. 30.
  51. ^ Andaya (1981), hlm. 43.
  52. ^ Andaya (1981), hlm. 45–47.
  53. ^ Andaya (1981), hlm. 49.
  54. ^ Andaya (1981), hlm. 50–52.
  55. ^ Andaya (1981), hlm. 54.
  56. ^ Andaya (1981), hlm. 55.
  57. ^ Andaya (1981), hlm. 56–59, 66.
  58. ^ Wellen (2014), hlm. 31–32.
  59. ^ Andaya (1981), hlm. 37, 124–126, 138.
  60. ^ Wellen (2014), hlm. 33–35.
  61. ^ Andaya (1981), hlm. 140–141.
  62. ^ Wellen (2014), hlm. 36.
  63. ^ a b c Andaya (1981), hlm. 143.
  64. ^ a b Wellen (2014), hlm. 37–38.
  65. ^ Andaya (1981), hlm. 142–143.
  66. ^ Andaya (1981), hlm. 142–143, 190–192, 205.
  67. ^ Wellen (2009), hlm. 38, 82.
  68. ^ a b c Lineton (1975b), hlm. 178.
  69. ^ a b c Wellen (2009), hlm. 82.
  70. ^ a b Duli (2010), hlm. 144–145.
  71. ^ a b c Wellen (2009), hlm. 82–83.
  72. ^ a b Noorduyn (1955), hlm. 126.
  73. ^ Wellen (2014), hlm. 30, 69.
  74. ^ Wellen (2014), hlm. 137.
  75. ^ Wellen (2018), hlm. 55.
  76. ^ a b Wellen (2018), hlm. 56.
  77. ^ a b c Noorduyn (1972), hlm. 61.
  78. ^ a b c Abidin (1985), hlm. 577.
  79. ^ Wellen (2014), hlm. 145.
  80. ^ a b Wellen (2014), hlm. 135–137, 144, 159.
  81. ^ a b Wellen (2018), hlm. 57.
  82. ^ Wellen (2014), hlm. 137, 158–159.
  83. ^ Wellen (2014), hlm. 145–150.
  84. ^ Patunru (1983), hlm. 62–64.
  85. ^ Wellen (2014), hlm. 150–153.
  86. ^ Wellen (2018), hlm. 58–59.
  87. ^ Wellen (2018), hlm. 59–60.
  88. ^ Wellen (2014), hlm. 154.
  89. ^ Patunru (1983), hlm. 64.
  90. ^ Patunru (1983), hlm. 65–66.
  91. ^ Wellen (2018), hlm. 61.
  92. ^ a b c d e Patunru (1983), hlm. 66.
  93. ^ Wellen (2018), hlm. 61–62.
  94. ^ Wellen (2014), hlm. 155.
  95. ^ Wellen (2018), hlm. 66, 69.
  96. ^ Wellen (2018), hlm. 67–69.
  97. ^ Pelras (1993), hlm. 149.
  98. ^ a b c Druce (2020), hlm. 87.
  99. ^ a b c Patunru (1983), hlm. 68.
  100. ^ Druce (2020), hlm. 86–88.
  101. ^ Patunru (1983), hlm. 69.
  102. ^ Harvey (1974), hlm. 46.
  103. ^ Harvey (1974), hlm. 48–50.
  104. ^ Harvey (1974), hlm. 49–50, 52.
  105. ^ a b c Patunru (1983), hlm. 71.
  106. ^ Patunru (1983), hlm. 72–73.
  107. ^ a b Patunru (1983), hlm. 73–75.
  108. ^ a b Lineton (1975a), hlm. 119–120.
  109. ^ Lineton (1975a), hlm. 46–47.
  110. ^ Patunru (1983), hlm. 75.
  111. ^ Harvey (1974), hlm. 110–111.
  112. ^ Harvey (1974), hlm. 116–117, 125–126.
  113. ^ Patunru (1983), hlm. 76.
  114. ^ Harvey (1974), hlm. 139–140, 143–148, 155–157.
  115. ^ a b Patunru (1983), hlm. 77.
  116. ^ Harvey (1974), hlm. 148, 156–157.
  117. ^ Patunru (1983), hlm. 76–77.
  118. ^ Harvey (1974), hlm. 157.
  119. ^ Patunru (1983), hlm. 78.
  120. ^ Lineton (1975a), hlm. 23–24.
  121. ^ Lineton (1975a), hlm. 49.
  122. ^ a b Lineton (1975a), hlm. 116.
  123. ^ Patunru (1983), hlm. 80.
  124. ^ Harvey (1974), hlm. 382.
  125. ^ Patunru (1983), hlm. 82.
  126. ^ a b Pelras (1996), hlm. 176–177.
  127. ^ a b c Wellen (2014), hlm. 22.
  128. ^ Wellen (2018), hlm. 50.
  129. ^ Wellen (2018), hlm. 49–50.
  130. ^ Pelras (1996), hlm. 177–178.
  131. ^ Wellen (2014), hlm. 23–24.
  132. ^ a b c d e f Wellen (2014), hlm. 23.
  133. ^ a b Pelras (1971), hlm. 170.
  134. ^ Patunru (1983), hlm. 17.
  135. ^ Abidin (1985), hlm. 465, 535.
  136. ^ Halim (2016), hlm. 193–194.
  137. ^ Patunru (1983), hlm. 19.
  138. ^ Mundy (1848), hlm. 62.
  139. ^ Abidin (1985), hlm. 385.
  140. ^ Pelras (1971), hlm. 175–176.
  141. ^ a b c Abidin (1983), hlm. 482.
  142. ^ a b Henley & Caldwell (2019), hlm. 245.
  143. ^ a b Pelras (1996), hlm. 178.
  144. ^ Abidin (1985), hlm. 485.
  145. ^ Noorduyn (1955), hlm. 62, 165.
  146. ^ Abidin (2017), hlm. 158.
  147. ^ a b Mundy (1848), hlm. 63.
  148. ^ Wellen (2014), hlm. 23, 165.
  149. ^ Pelras (1971), hlm. 172.
  150. ^ Hafid (2016), hlm. 513, 516.
  151. ^ Abidin (2017), hlm. 151, 153.
  152. ^ Wellen (2014), hlm. 23, 175.
  153. ^ Wellen (2018), hlm. 51.
  154. ^ a b Mundy (1848), hlm. 62–63.
  155. ^ Henley & Caldwell (2019), hlm. 246.
  156. ^ Pelras (1971), hlm. 174.
  157. ^ Pelras (1971), hlm. 173.
  158. ^ a b Harvey (1974), hlm. 64.
  159. ^ a b Harvey (1974), hlm. 99.
  160. ^ a b Reid (2016), hlm. 313.
  161. ^ Reid (1998), hlm. 148.
  162. ^ Abidin (1985), hlm. 433, 447–448.
  163. ^ Henley & Caldwell (2019), hlm. 247.
  164. ^ a b Pelras (1971), hlm. 174–175.
  165. ^ Reid (1998), hlm. 148–149.
  166. ^ Lineton1975a (), hlm. 87, 121.
  167. ^ Pelras (1971), hlm. 185.
  168. ^ a b Lineton (1975a), hlm. 84–85.
  169. ^ a b Pelras (1971), hlm. 184.
  170. ^ Lineton (1975a), hlm. 85–86.
  171. ^ Pelras (1971), hlm. 186.
  172. ^ Pelras (1971).
  173. ^ Lineton (1975a).
  174. ^ a b Henley & Caldwell (2019), hlm. 250.
  175. ^ Druce (2020), hlm. 85–86.
  176. ^ a b c Mundy (1848), hlm. 75.
  177. ^ Wellen (2014), hlm. 109–110.
  178. ^ Caldwell (1988), hlm. 169–171.
  179. ^ Pelras (1996), hlm. 96–97.
  180. ^ Caldwell (1995), hlm. 402–403.
  181. ^ Wellen (2014), hlm. 112.
  182. ^ Wellen (2014), hlm. 13.
  183. ^ Wellen (2014), hlm. 13, 172.
  184. ^ a b c Lineton (1975a), hlm. 17.
  185. ^ Lineton (1975a), hlm. 20.
  186. ^ Lineton (1975a), hlm. 45–46.
  187. ^ Lineton (1975a), hlm. 16–17.
  188. ^ a b Reid (1998), hlm. 147.
  189. ^ Wellen (2014), hlm. 70.
  190. ^ Wellen (2014), hlm. 70–71.
  191. ^ Hägerdal (2015), hlm. 51.
  192. ^ Ammarell (2002), hlm. 57.
  193. ^ Lineton (1975a), hlm. 18.
  194. ^ Wellen (2014), hlm. 85.
  195. ^ a b c Druce (2020), hlm. 82–83.
  196. ^ Lineton (1975a), hlm. 19.
  197. ^ Sutherland (2015), hlm. 143.
  198. ^ Wellen (2014), hlm. 67–68.
  199. ^ Wellen (2014), hlm. 64–65.
  200. ^ Noorduyn (2000), hlm. 476, 479.
  201. ^ Wellen (2009), hlm. 84–90.
  202. ^ a b Wellen (2014), hlm. 71.
  203. ^ a b Wellen (2009), hlm. 84.
  204. ^ Wellen (2009), hlm. 82–83, 97.
  205. ^ Wellen (2014), hlm. 76.

Daftar pustaka