Sejarah awal Gowa dan Tallo
Kerajaan bersuku Makassar di Gowa muncul sekitar tahun 1300 sebagai salah satu dari sekian banyak chiefdom[a] agraris di jazirah Sulawesi Selatan. Sejak abad ke-16 hingga seterusnya, Gowa dan sekutu pesisirnya, Tallo[b] menjadi kekuatan besar pertama yang mendominasi sebagian besar daerah semenanjung tersebut.[4] Pencapaian politik ini dimungkinkan dengan reformasi pemerintahan dan militer secara besar-besaran, termasuk pembentukan birokrasi pertama di Sulawesi Selatan. Oleh sejarawan William P. Cummings, Gowa pada abad ke-16 dicirikan sebagai sebuah imperium,[5] sementara masa-masa awal kerajaan telah dianalisis sebagai contoh pembentukan negara.
Bukti genealogis dan arkeologis menyiratkan bahwa dinasti Gowa bermula pada sekitar tahun 1300 dengan perkawinan antara seorang wanita setempat dan kepala suku Bajau, sebuah suku laut yang hidup secara nomaden. Pendirian Gowa merupakan bagian dari restrukturisasi besar-besaran masyarakat Sulawesi Selatan, yang memicu percepatan intensifikasi pertanian padi lahan basah. Gowa pada masa awal merupakan negara agraris tanpa akses langsung ke tepi laut. Tallo didirikan dua abad kemudian ketika seorang pangeran Gowa melarikan diri ke pesisir setelah kekalahannya dalam sebuah konflik perebutan takhta. Lokasi pinggir laut memungkinkan negara baru ini untuk mengambil keuntungan lebih besar dalam perdagangan maritim dibandingkan Gowa.
Awal abad ke-16 merupakan titik balik dalam sejarah kedua negara. Karaeng (penguasa daerah) Gowa Tumaparisi Kallonna menguasai daerah pesisir dan memaksa Tallo untuk menjadi sekutu muda Gowa. Penerusnya, Tunipalangga, menjalankan serangkaian pembaharuan untuk memperkuat otoritas kerajaan dan mendominasi perdagangan di Sulawesi Selatan. Perang-perang penaklukan Tunipalangga didukung dengan adopsi senjata api dan inovasi dalam pembuatan senjata lokal. Pengaruh Gowa melingkupi jangkauan wilayah yang belum pernah ada tandingannya dalam sejarah Sulawesi; kekuasaan sang raja dapat dirasakan mulai dari Toli-Toli di utara hingga Selayar sebelah selatan. Walaupun menjelang akhir abad ke-16 kampanye militer Gowa demi menetapkan hegemoni mengalami kemunduran, kerajaan ini terus bertumbuh dalam hal kesejahteraan ekonomi dan kompleksitas pemerintahan. Fase awal sejarah Gowa dan Tallo dianggap berakhir pada tahun 1593, ketika seorang Karaeng Gowa yang bertindak sewenang-wenang digulingkan dan mangkubumi Karaeng Matoaya menjadi penguasa de facto Gowa.[6]
Perubahan demografis dan kultural juga terjadi pada masa awal sejarah Gowa dan Tallo. Hutan-hutan hijau dibabat untuk dijadikan persawahan. Populasi diperkirakan bertumbuh sepuluh kali lipat antara abad ke-14 dan ke-16, bersamaan dengan masuknya jenis-jenis tanaman, pakaian, dan perabot baru dalam kehidupan sehari-hari. Besarnya cakupan perubahan wilayah, pemerintahan, dan kependudukan ini membuat banyak ahli menyimpulkan bahwa Gowa mengalami transformasi dari sebuah chiefdom kompleks menjadi masyarakat bernegara pada abad ke-16, walaupun pendapat ini belum disepakati secara bulat.
Latar belakang
Jazirah Sulawesi Selatan dihuni oleh empat kelompok etnis utama: suku Mandar di bagian pesisir barat laut, suku Toraja di daerah pegunungan di utara, suku Bugis di dataran rendah dan perbukitan sebelah selatan tanah Mandar dan Toraja, serta suku Makassar yang mendiami bagian paling selatan semenanjung (termasuk wilayah Gowa dan Tallo).[7] Keempat suku ini merupakan penutur bahasa-bahasa Austronesia dari subkelompok Sulawesi Selatan.[7] Sejak sekitar awal abad ke-13, masyarakat di semenanjung Sulawesi Selatan mulai mengelompok menjadi chiefdom-chiefdom berbasiskan pertanian ladang berpindah[8] yang batas-batasnya ditentukan oleh ragam dialek atau bahasa.[9]
Meskipun kerajaan-kerajaan pesisir mendapat pengaruh terbatas dari imperium Jawa Majapahit[10][11] dan dikenalkan dengan aksara Brahmik pada abad ke-15,[12] sejarawan Ian Caldwell berpendapat bahwa perkembangan peradaban awal Sulawesi Selatan "secara garis besar tidak terhubung dengan teknologi dan ide-ide asing."[c][13] Seperti chiefdom-chiefdom Filipina[14] dan masyarakat Polinesia,[15] Gowa pra-Islam dan jiran-jirannya merupakan peradaban yang berdasarkan "pada kelompok pemikiran sosial dan politik asli 'bangsa Austronesia'"[d] dan dapat dikontraskan dengan masyarakat Nusantara bagian barat lainnya yang memperoleh pengaruh budaya India secara ekstensif.[16][17]
Sumber sejarah
Kajian sejarah mengenai masa prakolonial wilayah Makassar amat bergantung pada naskah-naskah patturioloang ("perihal orang-orang terdahulu") atau kronik dari Gowa dan Tallo,[18] yang diperkirakan mulai ditulis sejak akhir abad ke-16.[19] Naskah kronik Sejarah Gowa dan Sejarah Tallo memberikan gambaran umum mengenai pertumbuhan Gowa-Tallo mulai dari pembentukan dinasti hingga menjadi persekutuan kerajaan paling berpengaruh di bagian timur Nusantara pada awal abad ke-17.[18] Menurut beberapa ahli yang mendalami sejarah Nusantara, narasi sejarah dalam kronik-kronik Makassar tergolong "waras" dan "faktual" jika dibandingkan dengan narasi dalam naskah-naskah babad dari Jawa.[20][21] Walaupun begitu, menurut Cummings, naskah-naskah ini tetaplah tidak sama dengan kajian historiografi modern yang memandang penulisan sejarah sebagai usaha untuk memahami masa lampau. Naskah-naskah patturioloang, sebagaimana namanya, lebih seperti semacam silsilah yang berpusat pada para penguasa dan keturunannya. Setiap bab dalam kronik-kronik Gowa dan Tallo pun disusun secara tematis mengikuti kehidupan seorang penguasa tanpa menghiraukan urutan kronologis.[22]
Selain kronik, langgam tulisan sejarah Makassar lainnya adalah lontaraq bilang, yang sering diterjemahkan menjadi "buku harian kerajaan" atau "tawarikh".[23][24] Berbeda dengan patturioloang, catatan lontaraq bilang disusun secara kronologis, menggunakan penanggalan Islam dan Kristen, dengan nama-nama bulan yang diserap dari bahasa Portugis; kemungkinan tradisi menulis tawarikh ini sendiri merupakan pengaruh bangsa Eropa.[23][25] Naskah-naskah dalam langgam ini mendaftar kejadian-kejadian penting semisal kelahiran dan kematian para bangsawan, proyek-proyek pembangunan, kedatangan utusan asing, bencana alam, hingga kejadian tak biasa seperti gerhana dan melintasnya komet.[26] Tradisi menulis lontaraq bilang kemungkinan baru dikukuhkan pada tahun 1630-an; catatan kejadian sebelum masa tersebut memiliki frekuensi yang jarang dan topik yang terbatas.[23][25]
Hanya sedikit catatan eksternal yang membahas Sulawesi Selatan sebelum abad ke-16, salah satunya adalah naskah Jawa Nagarakretagama dari abad ke-14, yang menyebut beberapa nama tempat di Sulawesi Selatan.[27] Laporan Tomé Pires dari awal abad ke-16 memberikan gambaran yang agak rancu mengenai sebuah "negeri dengan banyak pulau" yang ia namai "Macaçar".[28] Laporan-laporan lain yang dituliskan antara abad ke-16 dan abad ke-17 terbatas dalam hal cakupan geografi. Barulah setelah kebangkitan Makassar pada awal abad ke-17, rekaman sejarah pihak luar mengenai wilayah tersebut menjadi lebih lengkap dan terperinci.[27]
Awal mula Gowa dan Tallo
Dinasti-dinasti utama di Sulawesi Selatan mengaitkan asal-usul mereka dengan para tumanurung, sebuah ras makhluk langit berdarah putih yang muncul secara misterius untuk menikahi penguasa-penguasa fana dan memerintah umat manusia,[30] tak terkecuali Gowa. Sejarah Gowa dari abad ke-17 secara spesifik menyebutkan bahwa orang tua Karaeng Gowa pertama adalah seorang raja asing[31] yang dipanggil Karaeng Bayo dan wanita tumanurung yang turun ke wilayah Kale Gowa atas permintaan dari pemimpin-pemimpin setempat.[32] Pemerintahan Gowa terlahir ketika pemimpin-pemimpin setempat yang dikenal secara kolektif sebagai Bate Salapang (secara harfiah bermakna "Sembilan Panji") bersumpah setia kepada Karaeng Bayo dan sang tumanurung sebagai ganti pengakuan mereka atas hak-hak adat Bate Salapang.[31]
Legenda tumanurung umumnya dipandang oleh para arkeolog (antara lain Francis David Bulbeck) sebagai interpretasi mitologis dari sebuah kejadian sejarah, yaitu perkawinan antara seorang penguasa Bajau dengan wanita bangsawan setempat yang keturunannya kelak menjadi wangsa yang berkuasa di Gowa.[33][34] Pada saat itu, suku Bajau merupakan komunitas utama yang membawa barang dagangan dari Laut Sulu hingga Sulawesi Selatan.[e][36] Perkiraan berdasarkan catatan genealogis dinasti menyiratkan bahwa masyarakat berpemerintahan di Gowa terbentuk pada sekitar tahun 1300.[37] Hipotesis ini didukung oleh bukti-bukti arkeologis semasa yang mengisyaratkan kemunculan elit penguasa di daerah Kale Gowa, di antaranya temuan sejumlah besar keramik asing impor.[38][39]
Pendirian Gowa pada sekitar tahun 1300 merupakan bagian dari perubahan dramatis di Sulawesi Selatan yang mengantarkan pada zaman yang disebut "Periode Sejarah Awal" oleh Bulbeck and Caldwell.[40] Di sepanjang semenanjung, perniagaan dengan wilayah lain di Nusantara berkembang pesat. Hal ini berakibat pada naiknya permintaan beras dari Sulawesi Selatan yang mendorong sentralisasi politis serta intensifikasi pertanian padi.[41] Kepadatan penduduk melonjak tajam sejak praktik pertanian ladang berpindah digantikan dengan budi daya padi lahan basah intensif yang bergantung pada alat bajak yang baru dikenalkan dari Nusantara bagian barat. Pemukiman-pemukiman baru bermunculan dalam jumlah besar di pedalaman semenanjung yang semakin gundul.[42] Meningkatnya budi daya padi memungkinkan bahan pangan yang sebelumnya langka ini menjadi makanan pokok di Sulawesi Selatan,[43] menggantikan hasil tani lama semisal sagu atau jali.[42] Perubahan-perubahan ini disertai dengan tumbuhnya negara-negara baru yang berbasis pertanian padi lahan basah di pedalaman, seperti negara Bugis di Bone dan Wajo.[42] Gowa periode awal juga merupakan chiefdom pertanian pedalaman yang berpusat pada budi daya padi.[39]
Sumber-sumber Makassar meriwayatkan bahwa Tallo didirikan sebagai sempalan dari dinasti Gowa pada akhir abad ke-15. Dalam pertikaian perebutan takhta antara dua putra Karaeng Gowa keenam, Batara Gowa dan adiknya Karaeng Loe ri Sero,[f] sang kakak berhasil merebut wilayah saudaranya.[44] Menurut Sejarah Tallo, kejadian ini memaksa Karaeng Loe mengungsi ke 'Jawa',[45] lebih tepatnya pantai utara Jawa,[46] tetapi mungkin juga yang dimaksud adalah komunitas dagang Melayu di pesisir Sulawesi dan Kalimantan.[g][45] Insiden ini mungkin saja merupakan bagian dari tahapan perubahan yang lebih besar, yaitu meluasnya kekuasaan Karaeng Gowa hingga mengancam negara-negara tetangganya yang berdaulat.[47] Sepulangnya dari pelarian, Karaeng Loe menemukan bahwa beberapa bangsawan masih mendukungnya. Ia dan para pengikutnya berkonsolidasi di ibu kota sementara di sebelah timur Gowa, sebelum kemudian berlayar hingga ke muara Sungai Tallo, membabat hutan di sana, dan mendirikan negara baru bernama Tallo.[44] Garis besar cerita pendirian ini didukung dengan temuan arkeologis yang menyiratkan adanya lonjakan drastis kepingan keramik di lingkungan muara Tallo pada sekitar tahun 1500.[47]
Sejak semula, Tallo menjadi negara maritim dengan mengambil keuntungan dari menggeliatnya perdagangan regional[48] yang diikuti oleh pertumbuhan penduduk di kawasan pesisir.[39] Catatan-catatan Portugis mengisyaratkan adanya komunitas niaga Melayu di bagian barat Sulawesi Selatan sejak sekitar tahun 1490,[49] sementara sebuah sumber Melayu menyatakan bahwa seorang sayyid (keturunan Nabi Muhammad) pernah menyambangi Sulawesi Selatan pada tahun 1452.[h] Anak dan penerus Karaeng Loe, Tunilabu ri Suriwa, tercatat pernah "berlayar ke Melaka, lalu ke timur menuju Banda. Tiga tahun ia berkelana, barulah ia pulang".[i][45] Wanita-wanita yang diperistri Tunilabu, termasuk di antaranya seorang wanita Jawa dari Surabaya, juga berasal dari berbagai komunitas pedagang. Karaeng Tallo ketiga, Tunipasuru, tercatat pernah juga menyinggahi Melaka dan meminjamkan uang di Johor.[45][48] Budaya dagang Tallo turut berkontribusi terhadap kebangkitan Makassar di kemudian hari sebagai pusat perdagangan yang berjaya.[45]
Gowa dan Tallo dari 1511 hingga 1565
Masa pemerintahan Tumaparisi Kallonna (sekitar 1511–1546)
Kajian historiografi lama umumnya berpendapat bahwa Kerajaan Siang mendominasi bagian barat Sulawesi Selatan sebelum naiknya Gowa sebagai kekuatan besar.[48][52][53] Tafsiran ini didasarkan pada laporan tahun 1544 dari saudagar Portugis Antonio de Paiva, yang secara tidak langsung menyatakan bahwa Gowa pernah menjadi negara bawahan Siang: "Saya berlabuh di bandar tersebut, sebuah kota besar bernama Gowa, yang sebelumnya diperintah oleh seorang vasal dari Raja Siang, tetapi telah direbut darinya."[j][54] Namun, pusat Gowa yang sebenarnya adalah ladang pertanian di pedalaman, bukan kota pelabuhan. Bulbeck menafsirkan bahwa yang dimaksud Paiva dengan "Gowa" adalah bandar pesisir Garassi yang kala itu diperebutkan oleh Siang dan Gowa.[55] Penelitian arkeologis belakangan ini tidak menemukan banyak bukti perihal kedigdayaan Siang.[49] Pendapat yang lebih mutakhir menyatakan bahwa bagian barat Sulawesi Selatan tidak pernah disatukan sebelum kebangkitan Gowa.[55]
Keadaan status quo ini dipecahkan oleh Tumaparisi Kallonna (memerintah sekitar 1511–1546[k]), putra Batara Gowa. Ia merupakan karaeng pertama yang dideskripsikan secara rinci oleh Sejarah Gowa.[45] Sejak masa pemerintahan Batara Gowa, Gowa telah berambisi untuk menaklukkan negara-bandar Garassi yang makmur, terletak di tempat yang sekarang menjadi pusat kota Makassar,[46] tetapi cita-cita ini baru terwujud pada zaman Tumaparisi Kallonna. Penaklukan Garassi oleh Gowa, yang diperkirakan terjadi seawal-awalnya tahun 1511,[l] memberikan akses perdagangan maritim yang lebih besar kepada negara yang tadinya terkurung daratan ini.[62] Selain Garassi, Sejarah Gowa menyebut bahwa Tumaparisi Kallonna menaklukkan, menjadikan vasal, dan melakukan pengambilan upeti dari tiga belas negeri Makassar lainnya.[63] Sebagian besar kampanye penaklukan yang dilakukannya terbatas pada bagian barat daya semenanjung yang didominasi etnis Makassar.[m][64] Meski Gowa beberapa kali mengalami hambatan dalam penaklukan antara tahun 1520 dan 1540, dengan lepasnya wilayah hulu Sungai Tallo[65] dan Garassi, kemunduran ini hanya bersifat sementara. Sejak 1530-an Garassi telah ditaklukkan kembali dan, di kemudian hari, dijadikan tempat bertakhta raja Gowa.[62] Benteng kerajaan Somba Opu kemungkinan dibangun pada masa pemerintahan Tumaparisi Kallonna.[66]
Pencapaiannya yang paling diagungkan adalah perang melawan Tallo dan sekutu-sekutunya, sebuah titik balik krusial dalam sejarah kedua kerajaan,[67][68] yang diperkirakan terjadi pada akhir 1530-an atau awal 1540-an.[59][69] Menurut beberapa sumber, permusuhan antara Tallo dan Gowa meletus menjadi perang tatkala seorang pangeran Gowa menculik putri Tallo.[70] Tunipasuru dari Tallo bersekutu dengan para penguasa dari dua negeri jiran, Polombangkeng dan Maros,[n] untuk menyerang sepupunya Tumaparisi Kallonna.[67] Di bawah pimpinan Tumaparisi Kallonna dan kedua putranya,[o] Gowa berhasil memenangkan pertempuran melawan Tallo dan sekutunya. Sebagai pemenang perang, Tumaparisi Kallonna diundang ke Tallo untuk menghadiri persumpahan yang menyatakan Tallo sebagai sekutu muda Gowa. Dengan ini, "penguasa Gowa pun diakui secara luas sebagai tokoh dominan di tanah Makassar."[p][67] Persekutuan ini direkatkan dengan pernikahan antara sejumlah besar bangsawan wanita Tallo dan raja-raja Gowa.[67][73] Perjanjian serupa dibuat dengan Maros dan, dalam lingkup yang lebih kecil, Polombangkeng, untuk memastikan bahwa Kerajaan Gowa tidak hanya memegang kendali atas pengaruh dagang Tallo,[74] tapi juga sumber daya alam dan manusia Maros serta Polombangkeng.[75]
Pemerintahan Tumaparisi Kallonna juga diasosiasikan dengan pembaharuan internal, termasuk di antaranya pengembangan tradisi penulisan sejarah dan pengadaan jabatan sabannaraq atau syahbandar untuk pertama kali.[76] Sabannaraq pertama, Daeng Pamatte, memiliki lingkup tanggung jawab yang luas, termasuk pengaturan perdagangan di pelabuhan Garassi/Makassar dan komando militer atas Bate Salapang.[76] Ekspansi birokrasi yang mencakup penambahan jabatan-jabatan spesifik merupakan inovasi dari karaeng berikutnya, Tunipalangga.[63] Selain menjadi pejabat penting pertama dalam sejarah Gowa, Daeng Pamatte juga mengenalkan metode pencatatan sejarah kepada kerajaan.[77] Sejarah Gowa menyebut bahwa Tumaparisi Kallonna terlibat dalam penulisan hukum-hukum dan pernyataan perang pada masanya.[63] Demikian pula, Sejarah Tallo menyatakan bahwa Tunipasuru, yang hidup sezaman dengan Tumaparisi Kallonna, merupakan Karaeng Tallo pertama yang pandai menulis.[78] Pada masa ini juga, tembok pelindung dari tanah liat diperkirakan mulai dibangun di sekitar Kale Gowa,[79] Somba Opu, dan Garassi.[80]
Masa pemerintahan Tunipalangga (sekitar 1546–1565)
Masa pemerintahan Karaeng Gowa berikutnya, Tunipalangga (memerintah sekitar 1546–1565[q]), ditandai dengan perluasan militer. Sang karaeng sendiri dianggap sebagai orang yang pemberani dan amat mahir dalam berperang.[83] Sejarah Gowa meriwayatkan bahwa sang karaeng berperan dalam "mengecilkan ukuran perisai dan memendekkan batang tombak,"[83] dengan maksud agar senjata-senjata tradisional ini lebih leluasa digunakan.[84] Tunipalangga juga mengenalkan beragam teknologi militer asing yang lebih maju, seperti bubuk mesiu, "meriam-meriam besar", perbentengan batu bata (serupa Benteng Somba Opu di Makassar, yang menjadi tempat Tunipalangga bertakhta[85]), dan "peluru Palembang" yang digunakan untuk senapan laras panjang.[83] Kemajuan teknologi inilah yang memungkinkan Gowa untuk nantinya menaklukkan sejumlah besar negeri di Sulawesi, dari Semenanjung Minahasa di utara hingga Pulau Selayar di lepas pantai selatan.[82] Bersama takluknya negeri-negeri Bugis di Ajatappareng, Gowa berhasil menyingkirkan sisa pesaingnya di tepi barat Sulawesi Selatan, dan memungkinkan perluasan lingkup pengaruh Tunipalangga hingga ke Sulawesi Tengah dan Toli-Toli.[86]
Penguasa-penguasa daerah taklukan diwajibkan mengunjungi istana Tunipalangga di Gowa setiap tahunnya untuk mengantarkan upeti sekaligus melakukan ritual untuk menunjukkan ketundukan dan kesetiaan mereka.[87] Dinasti-dinasti negeri taklukan juga diikat dengan pernikahan untuk melegitimasi kekuasaan Gowa.[88] Pada tahun 1565, satu-satunya negeri yang masih bebas dari pengaruh Gowa di Sulawesi Selatan hanya kerajaan Bugis paling digdaya, yaitu Bone.[82] Tunipalangga tidak hanya memaksa tunduk negeri-negeri tetangga, tapi juga memperbudak dan merelokasi seluruh penduduknya untuk dipekerjakan dalam pembangunan jaringan pengairan dan perbentengan.[89][90]
Proses penaklukan mungkin juga mencakup relokasi komunitas niaga Melayu yang aktif di seluruh Sulawesi Selatan ke bandar Garassi/Makassar di bawah kuasa Gowa,[91] meskipun pendapat ini disanggah oleh Stephen C. Druce.[92] Apapun penyebabnya, yang pasti perniagaan Melayu di Makassar berkembang pesat pada pertengahan abad ke-16. Pada tahun 1561, dalam rangka memelihara kegiatan perdagangan mereka di Makassar, Tunipalangga menandatangani sebuah pakta bersama Datuk Maharaja Bonang,[r] yang memimpin pedagang-pedagang Melayu, Cham, dan Minangkabau.[94] Bonang dan orang-orangnya diberikan hak untuk menetap di Makassar dan terbebas dari hukum adat.[95][96] Kejadian ini mengukuhkan kehadiran bangsa Melayu di Makassar sebagai komunitas permanen, bukan lagi temporal atau musiman.[97] Penaklukan Tunipalangga atas bandar-bandar pesaing dan pusat pembuatan kapal semenanjung seperti Bantaeng,[98] beserta reformasi ekonomi seperti pembakuan satuan berat dan pengukuran (yang kemungkinan diusulkan oleh komunitas Melayu), menjadikan Gowa-Tallo bandar persinggahan unggulan bagi rempah-rempah dan hasil hutan di Nusantara bagian timur.[99]
Bibit birokrasi Gowa dikembangkan secara besar-besaran oleh Tunipalangga. Ia menghapuskan tugas-tugas nondagang sabannaraq[100] dan memberikannya kepada jabatan baru yang disebut tumailalang,[s] semacam menteri dalam negeri[101] yang menjadi perantara karaeng dan para bangsawan Bate Salapang.[102] Mantan sabannaraq Daeng Pamatte dipromosikan untuk menjadi tumailalang pertama.[95] Inovasi birokrasi lainnya adalah pengadaan jabatan kepala pengrajin atau Tumakkajanangngang[t] yang mengawasi operasi serikat-serikat pengrajin di Makassar dan memastikan bahwa setiap serikat akan memenuhi permintaan negara.[103][107] Selain memperbaharui birokrasi, Tunipalangga melanjutkan kebijakan sentralisasi dengan memberlakukan kerja rodi untuk kepentingan umum pada rakyat taklukannya.[95] Meski begitu, pekerja rodi lebih banyak direkrut oleh bangsawan tuan tanah alih-alih oleh birokrasi yang masih terbatas.[108]
Gowa dan Tallo dari 1565 hingga 1593
Perang melawan Bone dan masa pemerintahan Tunijallo serta Tumamenang ri Makkoayang (1565–1582)
Pada awal abad ke-16, kerajaan Bugis di Bone merupakan sekutu Gowa. Gowa bahkan turut mengirim pasukan untuk membantu Bone dalam perang melawan tetangganya, Wajo.[109] Namun, sejak Tunipalangga memulai kampanye penaklukannya, La Tenrirawe, sang Arumpone atau penguasa Bone, turut berusaha untuk melebarkan kekuasaannya di bagian timur Sulawesi Selatan. Tak menunggu lama, kedua negara bersaing untuk menancapkan pengaruh pada jalur dagang yang menguntungkan di lepas pantai selatan jazirah. Pada tahun 1562, perang meletus ketika La Tenrirawe membujuk tiga vasal Gowa yang baru ditaklukkan untuk bersekutu dengan Bone.[110] Tunipalangga spontan bereaksi dengan memaksa Bone untuk mengembalikan ketiga negeri tersebut ke dalam kuasanya. Pertempuran dilanjutkan pada tahun 1563, ketika Bone diserang dari utara oleh pasukan gabungan Gowa dan beberapa negeri tetangga Bone di bawah pimpinan Tunipalangga.[110] Namun penyerangan ini berakhir dengan kekalahan Gowa, dan Tunipalangga mengalami luka-luka di sekujur tubuhnya. Sang karaeng menginvasi Bone sekali lagi pada 1565, tetapi ia berbalik pulang setelah seminggu, sebelum mangkat akibat penyakit tak lama kemudian.[111] Perang melawan Bone dilanjutkan oleh saudara dan penerusnya Tunibatta. Akan tetapi, pasukan Tunibatta berhasil dicerai-beraikan hanya dalam beberapa hari.[112] Sang karaeng sendiri tertangkap musuh dan dipenggal.[111]
Persoalan suksesi kepemimpinan selepas kematian Tunibatta diselesaikan oleh Karaeng Tallo Tumamenang ri Makkoayang. Ia menjadikan dirinya tumabicara butta atau perdana menteri:[113] posisi birokratis Gowa terakhir, dan paling penting, yang dikukuhkan. Seorang tumabicara butta merupakan penasihat utama takhta Gowa dan bertugas mengawasi pertahanan, diplomasi, dan pendidikan keluarga kerajaan.[114] Dengan wewenangnya yang baru, Tumamenang ri Makkoayang mendudukkan Tunijallo, putra Tunibatta, sebagai Karaeng Gowa. Untuk pertama kalinya, Karaeng Gowa berbagi kekuasaan dengan Karaeng Tallo.[113] Catatan sejarah Makassar menyebut bahwa kedua karaeng "memimpin bersama-sama," dan Tumamenang ri Makkoayang tercatat pernah mengatakan bahwa orang-orang Gowa dan Tallo merupakan "satu rakyat, tetapi [dipimpin oleh] dua karaeng. Celakalah mereka yang mengimpikan ketidakrukunan antara Gowa dan Tallo."[u][116][117] Teladan inilah yang memungkinkan Karaeng Matoaya, putra Tumamenang ri Makkoayang, untuk nantinya menjadi orang paling berpengaruh di Gowa dan Sulawesi Selatan.[113]
Pilihan Tumamenang ri Makkoayang untuk mendudukkan Tunijallo di singgasana Karaeng Gowa bisa jadi karena hubungan dekat sang pangeran dengan istana Bone.[113] Tunijallo pernah tinggal di sana selama dua tahun; ia bahkan pernah terjun berperang bagi pihak Bone.[111][118] Tak lama setelah Tunijallo naik takhta, ia, Tumamenang ri Makkoayang, dan La Tenrirawe merundingkan Perjanjian Caleppa, yang mengakhiri peperangan antara Gowa dan Bone. Perjanjian ini mengharuskan Bone untuk memberikan hak bagi orang-orang Gowa di wilayahnya, begitu pula sebaliknya. Batas wilayah Bone dipetakan ulang dengan mencaplok sebagian wilayah Gowa dan Luwu (salah satu sekutu Gowa).[110][111] Beberapa di antara wilayah vasal yang dikonsesikan telah menjadi bawahan Gowa sejak satu abad sebelumnya.[119] Perjanjian ini, walaupun kurang menguntungkan bagi pihak Gowa, mampu memelihara perdamaian di Sulawesi Selatan selama enam belas tahun.[120]
Tunijallo dan Tumamenang ri Makkoayang meneruskan kebijakan yang mendorong perniagaan asing di Makassar. Kedua karaeng mengukuhkan persekutan dengan, dan mengirim utusan ke, negara dan kota di penjuru Nusantara, termasuk Johor, Melaka, Pahang, Patani, Banjarmasin, Mataram, Blambangan, dan Maluku.[122][123] Perdagangan tumbuh pesat seiring meleburnya Makassar ke dalam jalur perdagangan Muslim yang disebut sebagai jaringan "Campa-Patani-Aceh-Minangkabau-Banjarmasin-Demak-Giri-Ternate" oleh etnolog dan sejarawan Christian Pelras.[124] Tunijallo pun mendirikan Masjid Katangka bagi komunitas niaga Melayu Makassar yang mulai berkembang.[121] Pengaruh Islam di Gowa dan Tallo semakin menguat, walaupun pendakwah Muslim seperti Dato ri Bandang masih belum mendapat kemajuan berarti.[125] Pengagungan kaum ningrat sebagai keturunan dewa-dewi serta besarnya pengaruh kependetaan bissu menjadi hambatan utama bagi penyebaran agama Islam.[126] Pada tahun 1580 Sultan Baabullah dari Ternate menawarkan aliansi dengan syarat Tunijallo mau masuk Islam, tetapi penawaran ini ditolak, kemungkinan untuk menghindari pengaruh keagamaan Ternate atas Sulawesi Selatan.[127] Empat misionaris Fransiskan dikirim ke Gowa pada 1580-an, tetapi misi mereka juga tidak bertahan lama.[128] Biarpun demikian, seiring berjalannya waktu, agama-agama asing terus menumbuhkan pengaruhnya di kalangan bangsawan Gowa, yang berujung pada pengislaman kerajaan pada dekade pertama abad ke-17.[129] Pembaharuan internal lain yang dilakukan semasa pemerintahan Tunijallo termasuk pengembangan catatan istana, pengenalan industri pembuatan keris, dan penguatan militer seperti pemasangan meriam tambahan di benteng-benteng.[130][131]
Perang melawan Tellumpoccoe dan masa pemerintahan Tunipasulu (1582–1593)
Bone merasa terancam oleh pengaruh Gowa yang kian berkembang. Sementara, perlakuan semena-mena Gowa terhadap negeri-negeri Bugis yang menjadi vasalnya, Soppeng and Wajo, membuat mereka merasa kehilangan kedaulatan.[132] Maka, pada tahun 1582, Bone, Wajo, dan Soppeng menandatangani Perjanjian Timurung yang menetapkan hubungan ketiga negara sebagai persekutuan antarsaudara, dengan Bone sebagai saudara tuanya.[127] Aliansi pimpinan Bone ini disebut Tellumpoccoe (secara harfiah bermakna "Tiga Puncak" atau "Tiga Kekuatan"), yang bertujuan mengukuhkan kembali kedaulatan kerajaan-kerajaan Bugis ini dan menghentikan perluasan wilayah Gowa.[127][132][133] Merasa diprovokasi, Gowa mengirimkan serentetan serangan ke timur (beberapa di antaranya dibantu oleh Luwu, sebuah negeri Bugis lainnya[132]), dimulai dengan penyerbuan Wajo pada 1583 yang berhasil dihalau oleh pasukan gabungan Tellumpoccoe.[127] Kampanye militer terhadap Bone pada tahun 1585 dan 1588 juga sama gagalnya.[127] Pada saat yang sama, dalam perlawanan mereka terhadap Gowa, Tellumpoccoe berusaha merintis koalisi seluruh Bugis dengan mempertalikan dinasti mereka pada negeri-negeri Bugis di Ajatappareng melalui pernikahan.[133] Tunijallo memutuskan untuk menyerang Wajo sekali lagi pada 1590, tetapi ia mati diamuk seorang bawahannya ketika memimpin armada Gowa di lepas pantai barat Sulawesi Selatan.[118][132] Pada tahun 1591, Perjanjian Caleppa diperbarui untuk mengembalikan kedamaian di semenanjung.[127] Kejadian ini juga menandai kesuksesan persekutuan Tellumpoccoe dalam menjinakkan ambisi Gowa.
Pada kurun waktu yang sama, perubahan-perubahan besar terjadi dalam panggung perpolitikan tanah Makassar. Tumamenang ri Makkoayang mangkat pada 1577[134] dan digantikan oleh putrinya Karaeng Baine, yang juga merupakan istri Tunijallo.[135] Sejarah Tallo menyebutkan bahwa Tunijallo dan Karaeng Baine memimpin Gowa dan Tallo secara bersama-sama,[135] walaupun tampaknya Karaeng Baine lebih banyak menuruti kemauan suaminya[136] dan tidak punya pencapaian bermakna yang tercatat selain inovasi dalam pembuatan hasta karya.[137] Setelah Tunijallo dibunuh pada tahun 1590, Karaeng Matoaya, putra Tumamenang ri Makkoayang dan saudara tiri Karaeng Baine[138] yang berusia 18 tahun, dilantik sebagai tumabicara butta yang baru. Karaeng Matoaya lalu menunjuk Tunipasulu, putra Tunijallo yang masih berusia 15 tahun, sebagai Karaeng Gowa.[137] Namun, Tunipasulu juga mengklaim takhta Tallo, walaupun dirinya sudah menjadi penguasa Gowa.[v][139] Ia juga sempat mengambil alih secara paksa takhta negara vasal Maros setelah kematian penguasanya.[140] Kejadian ini memperluas wilayah kekuasaan langsung raja Gowa hingga mencapai skala terbesar dalam sejarah.[141] Merasa percaya diri dengan posisinya, Tunipasulu berusaha memusatkan kekuatan kepada dirinya seorang.[139][142][143] Ia memindahkan takhta kerajaan ke Somba Opu[143] serta menyita properti, mengasingkan, bahkan mengeksekusi kalangan aristokrat demi melemahkan perlawanan mereka terhadap kuasa prerogatifnya.[113][139] Banyak kalangan bangsawan dan komunitas Melayu yang kabur dari Makassar karena takut akan pemerintahan Tunipasulu yang semena-mena.[139]
Tunipasulu ditumbangkan pada tahun 1593 dalam sebuah kudeta istana yang kemungkinan diawali oleh Karaeng Matoaya, orang yang sama yang telah menobatkan Tunipasulu.[144] Mantan Karaeng Gowa ini lalu diasingkan ke timur hingga kematiannya di Buton pada tahun 1617, meskipun selama sisa hidupnya ia mungkin terus menjalin hubungan dengan para pendukungnya di Makassar.[145] Posisi Karaeng Matoaya sebagai Karaeng Tallo dikukuhkan, dan ia menunjuk putra mahkota yang masih berusia tujuh tahun, I Mangngarangi (di kemudian hari digelari Sultan Ala'uddin) sebagai Karaeng Gowa.[146] Jabatan Karaeng Maros dikembalikan setelah kekosongan takhta selama beberapa tahun.[140] Insiden pengusiran Tunipasulu memastikan otonomi bagi para bangsawan, menggariskan batasan bagi wewenang Karaeng Gowa, serta mengembalikan keseimbangan pengaruh antara Gowa, Tallo, dan negeri Makassar lainnya.[139] Sejak saat itu, wilayah-wilayah Gowa dipimpin oleh gabungan dinasti-dinasti berkuasa. Dalam sistem ini, wangsa kerajaan Gowa berperan sebagai primus inter pares ("yang pertama di antara yang setara"), meskipun Tallo, tempat asal para tumabicara butta, sering kali merupakan negeri paling dominan secara de facto.[147] Selama empat dasawarsa berikutnya, Karaeng Matoaya memelopori perkembangan Islam di Sulawesi Selatan serta ekspansi pesat Gowa-Tallo hingga ke Maluku dan Nusa Tenggara.[113] Dapat dikatakan bahwa pengusiran Tunipasulu dan bermulanya pemerintahan Karaeng Matoaya menandai akhir dari ekspansi permulaan Gowa dan awal dari sebuah era baru dalam sejarah Makassar.[88][148]
Kelanjutan
Menurut Bulbeck dan Caldwell, pergantian menuju abad ke-17 menandai rampungnya "periode sejarah awal" serta bermulanya zaman "sejarah modern awal" bagi Gowa dan Tallo.[40] Pada masa ini, Gowa dan Tallo mulai menerima agama Islam, diawali dengan Karaeng Matoaya yang masuk Islam pada tahun 1605, kemudian I Mangngarangi (yang sekarang menjadi Sultan Alauddin) serta rakyat Makassar selama dua tahun berikutnya.[149] Ini diikuti dengan serangkaian kemenangan Gowa terhadap negara-negara tetangganya, termasuk Soppeng, Wajo dan Bone.[150] Selama tiga dasawarsa pertama abad ke-17, ekspansi Gowa menjangkau sebagian besar Sulawesi, bagian timur Kalimantan, Lombok di Nusa Tenggara, bahkan Aru dan Kei di Maluku.[150] Di saat yang sama, kerajaan ini juga menjadi bagian tak terpisahkan dari jaringan perdangangan internasional prakarsa negara-negara Muslim yang merentang dari Timur Tengah dan India hingga ke Indonesia.[151][40] Masa ini juga ditandai dengan kedatangan pedagang Tionghoa serta meningkatnya kehadiran bangsa-bangsa Eropa di pelabuhan Gowa yang makmur.[40][152] Namun, pada akhir 1660-an Gowa dikalahkan oleh persekutuan bangsa Bugis dan Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC).[153] Kekalahan ini mengakhiri ketuanan Gowa di Sulawesi Selatan dan menggantikannya dengan dominasi Belanda serta kerajaan Bugis Bone.[154]
Perubahan demografis dan kultural
Bukti-bukti arkeologis menyiratkan bahwa hingga tahun 1200-an, wilayah Sulawesi Selatan terbagi menjadi chiefdom-chiefdom kecil yang masing-masingnya berpenduduk ratusan.[41] Perkembangan pesat dalam teknologi pertanian padi pada awal abad ke-13 memungkinkan kemunculan chiefdom kompleks di sebagian besar Sulawesi Selatan.[43] Pertanian padi sawah beririgasi menggantikan pertanian padi lahan kering dan peladangan berpindah, serta meningkatkan produksi dan menciptakan surplus untuk diekspor.[43] Kegiatan ekspor beras mendorong sentralisasi politis seiring dengan berkumpulnya para elit yang juga berkompetisi bagi barang mewah asing[155] serta menyokong intensifikasi dan ekspansi agrikultural lebih lanjut, hingga meningkatkan produksi padi dalam skala yang lebih besar lagi.[42][43]
Gowa merupakan salah satu negeri yang paling diuntungkan dengan transisi ini. Pusat kerajaan di lembah pedalaman sekitar Kale Gowa merupakan estuari setidaknya hingga kira-kira 2300 SM. Kemunduran garis pantai seiring mendinginnya temperatur mengubah wilayah tepi laut menjadi lahan basah yang hijau, diairi oleh Sungai Jeneberang dan siklus hujan musiman.[156] Lahan seperti ini sangat ideal bagi pertumbuhan padi.[157] Intensifikasi pesat pertanian padi sawah terjadi di wilayah Gowa dan sekitarnya, begitu pula di seluruh Sulawesi Selatan. Sejumlah besar lahan-lahan tak berpenghuni ditempati dan dibuat sawah,[158] termasuk juga lembah Sungai Tallo.[65] Nama "Tallo" sendiri diambil dari kata taqloang yang dalam bahasa Makassar berarti "luas dan kosong," merujuk pada hutan tak berpenghuni yang dibersihkan untuk dijadikan pemukiman.[159] Perolehan surplus beras juga mendorong perdagangan asing dalam skala yang belum pernah tertandingi pada masanya.[160] Sebuah survei arkeologi pada tahun 1980-an di daerah Makassar dan sekitarnya menemukan setidaknya 10.000 keping keramik pra-1600 dari Tiongkok, Vietnam, dan Thailand. Penggalian di satu kebun bahkan menemukan lebih dari 850 pecahan keramik.[161] Pada masa itu, menurut Bulbeck dan Caldwell, keramik diimpor dalam skala yang "tak terbayangkan".[160] Meski begitu, "keramik hanyalah sekelumit puncak gunung es jika dibandingkan dengan keseluruhan impor barang-barang mewah eksotis di Sulawesi pada masa pra-Islam."[w][162] Barang impor paling umum adalah bahan tekstil yang mudah terurai; hanya sedikit sisa-sisanya yang bertahan.[162] Faktor-faktor di atas turut menyokong pertumbuhan penduduk di wilayah Gowa dan sekitarnya sejak tahun 1300-an.[43]
Secara umum, populasi meningkat pesat, walaupun tidak secara merata di setiap daerah. Sebagai contoh, populasi di wilayah perkampungan sekitar Kale Gowa tampaknya menurun setelah sekitar tahun 1500 seiring dengan kebijakan sentralisasi Karaeng Gowa yang menarik masyarakat desa ke pusat-pusat pemerintahan di Kale Gowa dan Makassar.[163] Perubahan alur Sungai Jeneberang juga memengaruhi persebaran penduduk,[164] sementara peperangan semasa Tumaparisi Kallonna mengurangi populasi di wilayah tertentu, contohnya di hulu Sungai Tallo.[65] Bulbeck dalam beberapa kesempatan memperkirakan bahwa penduduk Makassar dan sekitarnya bertumbuh antara tiga[165] hingga sepuluh kali lipat dari abad ke-14 hingga abad ke-17.[x][167]
Perkiraan kepadatan penduduk oleh Bulbeck (1992)[165] | Abad ke-14 | Abad ke-15 | Abad ke-16 | Abad ke-17 |
---|---|---|---|---|
Pesisir | 386/km2 | 667/km2 | 1229/km2 | 1369/km2 |
Darat | 867/km2 | 821/km2 | 1094/km2 | 1232/km2 |
Pedalaman | 181/km2 | 349/km2 | 727/km2 | 782/km2 |
Total | 352/km2 | 508/km2 | 927/km2 | 1000/km2 |
Perkiraan kepadatan penduduk oleh Bulbeck (1994)[167] | Abad ke-14 | Abad ke-15 | Abad ke-16 | Abad ke-17 |
---|---|---|---|---|
Pesisir | 102/km2 | 219/km2 | 613/km2 | 1074/km2 |
Darat | 273/km2 | 273/km2 | 783/km2 | 1225/km2 |
Pedalaman | 47/km2 | 108/km2 | 284/km2 | 434/km2 |
Total | 100/km2 | 164/km2 | 450/km2 | 720/km2 |
Keseluruhan populasi wilayah inti Gowa dan Tallo diperkirakan mencapai lebih dari setengah juta jiwa,[168] meskipun Bulbeck berhati-hati dengan memberi perkiraan penduduk 300.000 jiwa dalam rentang 20 kilometer dari pusat Makassar pada pertengahan abad ke-17: sekitar 100.000 di antaranya mendiami pusat kota Makassar, 90.000 di wilayah pinggiran kota Tallo dan Kale Gowa, serta 110.000 di daerah perdesaan.[167]
Peningkatan perdagangan dengan pihak asing juga menyebabkan perubahan-perubahan lainnya di kalangan masyarakat Sulawesi Selatan. Perabot-perabot baru diperkenalkan oleh Portugis, bersama dengan kata-kata yang digunakan untuk merujuk barang-barang ini, semisal kata kadéra untuk "kursi" dari bahasa Portugis cadeira, mejang untuk "meja" dari bahasa Portugis mesa, dan jandéla untuk "jendela" dari bahasa Portugis janela. Lantai rumah para bangsawan yang dulunya menggunakan bilah bambu mulai banyak digantikan dengan bahan kayu.[169][170] Permainan-permainan Barat seperti ombre dan dadu juga mulai menarik perhatian. Hasil tani Dunia Baru, seperti jagung, ubi jalar, dan tembakau sukses disebarluaskan. Seiring waktu, para wanita kelas atas juga meninggalkan budaya bertelanjang dada.[170][171]
Proses perubahan penting lainnya dalam sejarah awal Gowa dan Tallo adalah pengenalan budaya baca-tulis melalui aksara Makassar, yang tampaknya sudah menyebar luas pada tahun 1605.[172] Meski begitu, sejarah awal dari aksara ini masih diselimuti misteri. Walaupun beberapa sejarawan (berdasarkan Sejarah Gowa) menafsirkan bahwa baca-tulis tidak dikenal sebelum masa pemerintahan Tumaparisi Kallonna,[48][173] tampaknya sistem penulisan sudah ada di daerah tersebut sebelum abad ke-16.[174][175] Para ahli umumnya bersepakat bahwa aksara ini bersumber dari sebuah aksara Brahmik, namun, aksara Brahmik mana yang paling memengaruhi perkembangan aksara Makassar masih menjadi pertanyaan. Para ahli mengusulkan, antara lain, aksara Kawi dari Jawa, aksara Batak dan aksara Rejang dari Sumatra,[176][177] hingga aksara Gujarati dari India bagian barat.[178]
Para ahli juga memperdebatkan seberapa besar persebaran dan dampak dari kemampuan menulis. Sejarawan Anthony Reid berpendapat bahwa kemampuan baca-tulis menyebar luas bahkan di kalangan masyarakat awam, termasuk juga kaum wanita.[179] Di sisi lain, Stephen C. Druce mengatakan bahwa kemampuan literasi hanya terbatas pada kalangan elit kelas atas.[180] William Cummings menyatakan bahwa kemampuan menulis, yang dianggap memiliki wewenang dan kekuatan supernatural lebih besar dibandingkan komunikasi lisan, membawa perubahan sosial mendalam bagi masyarakat Makassar. Perubahan-perubahan ini, antara lain, adalah timbulnya perhatian baru terhadap silsilah mendetail dan segala bentuk pencatatan yang mengisi celah masa lalu dan masa kini, menguatnya penerapan hierarki sosial yang berpusat pada klaim keturunan dewata para bangsawan, munculnya konsep adat budaya Makassar beserta batasannya, serta memusatnya kekuasaan ke Gowa yang membuat negeri-negeri Makassar menjadikan hubungan dengan Gowa sebagai sumber legitimasi utama.[181] Argumen Cummings ini ditentang oleh beberapa sejarawan, seperti Caldwell yang bependapat bahwa wewenang ucapan lisan lebih besar daripada tulisan. Selain itu, analisis terhadap narasi sejarah dari wilayah beretnik Makassar lainnya menunjukkan penolakan terhadap pandangan bahwa legitimasi kekuasaan berpusat di Gowa.[182]
Sejarah awal Gowa sebagai pembentukan negara
Walaupun negeri-negeri Sulawesi Selatan umumnya dianggap sebagai kerajaan, sebagian besar dari mereka dikategorikan oleh para arkeolog sebagai chiefdom kompleks atau proto-negara alih-alih masyarakat bernegara yang sejati.[183][184][185][186] Banyak ahli arkeologi yang meyakini bahwa di antara negeri-negeri prakolonial Sulawesi Selatan, Gowa merupakan negara sejati pertama,[187] bahkan mungkin satu-satunya.[183][188] Bulbeck merupakan penyokong utama teori ini.[183]
Bulbeck berargumen bahwa Gowa merupakan contoh "negara sekunder", yaitu masyarakat bernegara yang timbul karena mengadopsi teknologi dan institusi pemerintahan bangsa lain. Sebagai contoh, ekspansi militer Gowa semasa Tunipalangga didukung oleh pengenalan senjata api dan teknologi perbentengan termutakhir.[187] Kemampuan penguasa Gowa dalam menyatukan keahlian asing dan masyarakat setempat inilah yang memungkinkan Gowa pada abad ke-16 untuk memenuhi 18 dari 22 atribut yang disebut Bulbeck sebagai "kriteria spesifik dan berguna" bagi terbentuknya sebuah negara permulaan (sisa empat kriteria terpenuhi pada awal abad ke-17).[187] Kriteria-kriteria ini disarikan oleh Bulbeck dari berbagai pendapat. Tabel berikut merinci ke-22 kriteria tersebut beserta masa terpenuhinya:[187]
"Kriteria spesifik dan berguna" bagi terbentuknya negara permulaan | Masa terpenuhinya kriteria tersebut menurut Bulbeck (1992)[187] |
---|---|
Literasi | Awal abad ke-16 |
Kota-kota berpenduduk lebih dari 5.000 jiwa | Kemungkinan abad ke-14; selambat-lambatnya abad ke-16 |
Arsitektur monumental | Pertengahan abad ke-16 |
Lingkungan urban | Pertengahan abad ke-16 |
Sistem pengairan yang disokong negara | Sekitar 1600 |
Pekerja terspesialisasi | Pertengahan abad ke-16 |
Peperangan berskala besar | Awal abad ke-16 |
Agama resmi | 1605 |
Jabatan-jabatan pemerintahan | Awal abad ke-16 |
Strata sosial berdasarkan garis keturunan | Selambat-lambatnya 1500 |
Batas-batas geopolitis | Abad ke-16 |
Kedaulatan politis | Abad ke-15 |
Kepadatan penduduk yang tinggi | Kemungkinan abad ke-14; selambat-lambatnya abad ke-16 |
Ibu kota sejati | Sekitar 1550 |
Ibu kota yang stabil | Sekitar 1550 |
Berkembangnya pusat-pusat perkotaan selain daripada ibu kota | Sekitar 1550 |
Infrastruktur yang ekstensif | Sekitar 1550 |
Wilayah kekuasaan lebih dari 2460 km2 | 1540 |
Pemerintahan pusat | Abad ke-16 |
Pembagian wewenang dalam jaringan pemerintahan yang pluralistik | Sekitar 1600 |
Mata uang sendiri | Awal abad ke-17 |
Standardisasi satuan berat dan pengukuran | Pertengahan abad ke-16 |
Catatan: Baris hijau menandakan kriteria yang tercapai sebelum 1600 |
Sejalan dengan Bulbeck, Caldwell menganggap bahwa Gowa merupakan "negara modern" yang ditandai dengan "pengembangan tatanan kerajaan, kodifikasi hukum, pertumbuhan birokrasi, penerapan sistem perpajakan dan wajib militer, serta kemunculan pekerja penuh-waktu." [y][186]
Meski begitu, pendapat yang mencirikan sejarah awal Gowa sebagai proses pembentukan negara tidak secara universal diterima.[189] Sejarawan William Cummings menganggap bahwa kriteria yang diberikan Caldwell belum seluruhnya terpenuhi, sebab Gowa tidak pernah menjadi kerajaan mutlak, dan juga karena bangsawan tuan tanah lebih berperan daripada birokrasi dalam merekrut pekerja untuk proyek-proyek infrastruktur.[189] Cummings mengakui adanya kecenderungan penguatan birokrasi dan rasionalisasi pemerintahan, tetapi ia menyimpulkan bahwa kebijakan ini memiliki cakupan dan dampak yang terbatas (bahkan birokrasi Gowa masih didasarkan pada ikatan patron-klien) dan tidak mengubah kehidupan masyarakat Makassar secara mendasar.[189] Masyarakat Makassar masa kini pun tidak menganggap Gowa sebagai sesuatu yang secara fundamental berbeda dari pendahulunya.[189] Pada akhirnya, Cummings berpendapat bahwa tidak ada gunanya memperdebatkan apakah Gowa merupakan sebuah negara atau chiefdom, sebab kompleksitas masyarakat tidak berevolusi secara linear.[189]
Catatan
- ^ Banoa/banua dalam bahasa Makassar, wanua dalam bahasa Bugis.[1] Kira-kira setara dengan kepenghuluan di daerah Melayu Riau, negeri di daerah Maluku, atau nagari di daerah Minangkabau.
- ^ Juga ditulis sebagai Tallo', Tallok, atau Talloq, tergantung skema transliterasi yang digunakan. Akhiran hamzah dalam bahasa-bahasa Sulawesi Selatan dieja secara bervariasi dengan huruf 'q', huruf 'k', tanda apostrof, atau tidak dituliskan.[2][3] Untuk konsistensi, artikel ini tidak menuliskan akhiran hamzah kecuali dalam kutipan langsung.
- ^ Kutipan asli: "... largely unconnected to foreign technologies and ideas."
- ^ Kutipan asli: "... on indigenous, 'Austronesian' categories of social and political thought..."
- ^ Berbeda dari empat suku utama yang menghuni daratan Sulawesi Selatan, masyarakat Bajau terdiri dari kelompok-kelompok pengembara bahari yang menyebar di Nusantara bagian timur, terutama di sepanjang pesisir Sulawesi dan pulau-pulau sekitarnya.[35]
- ^ Catatan resmi Sejarah Gowa dan Sejarah Tallo yang mengklaim bahwa Batara Gowa merupakan saudara tua (dan pewaris sah takhta Gowa) mungkin mencerminkan posisi senior Gowa selama sebagian besar abad ke-16 dan ke-17. Secara berlawanan, sebuah laporan dari abad ke-18 yang didasarkan pada sejarah lisan Tallo mengklaim bahwa Karaeng Loe ri Sero merupakan pewaris sah Karaeng Gowa sebelum pendirian Tallo, dan bahwa Batara Gowa-lah yang memberontak.[44]
- ^ 'Jawa' secara etimologi identik dengan nama modern untuk pulau Jawa dan sering kali diterjemahkan secara harfiah, namun sejatinya kata tersebut merupakan istilah umum Sulawesi Selatan yang merujuk pada wilayah atau penduduk Nusantara bagian tengah dan barat, dan lebih sering digunakan untuk etnis Melayu.[45]
- ^ Namun, sejarawan Christian Pelras merasa bahwa riwayat ini "mungkin tidak sepenuhnya bisa dipercayai" sebab sang sayyid ini diklaim mengunjungi Wajo di bagian timur Sulawesi Selatan, padahal pengaruh Wajo masih teramat kecil pada abad ke-15.[50]
- ^ Kutipan asli (dialihaksarakan): "... taqle ri Malaka tulusuq anraiq ri Banda tallu taungi lampana nanapabattu..."[51]
- ^ Kutipan asli (terjemahan dari bahasa Portugis): "I arrived in the aforesaid port, a large city called Gowa, which formerly had belonged to a vassal of the king of Siang but had been taken from him."
- ^ William Cummings secara konsisten menyebut bahwa Tumaparisi Kallonna memerintah sejak tahun 1510 atau 1511 hingga 1546,[56][57] begitu pula Thomas Gibson.[58] Bulbeck memberi rentang waktu pemerintahan antara 1511–1547.[59] Sementara Anthony Reid berpendapat bahwa pemerintahannya berlangsung antara tahun 1512 dan 1548[48]
- ^ Penafsiran ini didasarkan pada pernyataan Sejarah Gowa bahwa "[Tumaparisi Kallonna] jugalah yang [pertama kali] menyongsong kedatangan Portugis. Pada tahun takluknya Garassi [padanya], takluk pula Malaka pada Portugis" (kutipan asli [dialihaksarakan]: "... iatonji uru nasorei Paranggi julu taungi nibetana Garassiq nibetanatodong Malaka ri Paranggia..."[60]). Melaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511. Namun karena naskah-naskah Makassar memiliki pemenggalan kalimat yang ambigu, kutipan ini juga bisa ditafsirkan sebagai pernyataan bahwa Gowa menaklukkan Garassi pada tahun yang sama dengan kedatangan Portugis ke Gowa, sementara tidak ada catatan mengenai kehadiran Portugis di Gowa sebelum 1530-an.[61][62]
- ^ Sejarah Gowa menyebut bahwa Tumaparisi Kallonna "menaklukkan" Sidenreng, sebuah kerajaan Bugis. Namun, ini sepertinya merujuk pada Sidenre, sebuah negeri kecil bersuku Makassar.[64]
- ^ Polombangkeng bukan monarki serupa Gowa dan Tallo yang dipimpin oleh seorang raja tunggal, melainkan konfederasi dari tujuh negeri kecil, masing-masingnya merupakan keturunan salah seorang dari tujuh bersaudara.[71]
- ^ Mereka adalah Tunipalangga dan Tunibatta, dua raja Gowa berikutnya.[72] Dalam pertempuran ini, pasukan pimpinan Tunipalangga bertugas menghalau armada Polombangkeng di pesisir Baroboso, sementara pasukan Tunibatta menghadapi tentara Maros di Tamamangung.[72] Bulbeck berpendapat bahwa kedua pangeran inilah yang sebenarnya paling berperan dalam kemenangan melawan Tallo, alih-alih Tumaparisi Kallonna sendiri.[59]
- ^ Kutipan asli: "The ruler of Gowa was thus publicly acknowledged as the dominant figure in the Makassarese heartlands."
- ^ Lihat catatan [k] perihal waktu berakhirnya pemerintahan Tumaparisi Kallonna. Kematian Tunipalangga umumnya diyakini terjadi pada 1565,[58][81][82] tetapi Anthony Reid memberikan tahun 1566 sebagai waktu mangkatnya.[48]
- ^ Juga disebut sebagai 'Anakoda Bonang' ('Nakhoda/Kapten Bonang') dalam kronik-kronik Makassar dan kebanyakan sumber sekunder modern.[93]
- ^ Semasa pemerintahan Tunipalangga, tampaknya tumailalang hanya ada seorang. Di kemudian hari pada abad yang sama, jabatan ini secara efektif telah dipecah tiga, dengan ditambahkannya dua asisten 'junior' untuk membantu sang tumailalang 'senior' .[100]
- ^ Bulbeck (1992) dan Gibson (2005), antara lain, berpendapat bahwa kepala pengrajin merupakan jabatan tunggal pada masa Tunipalangga; sementara Reid (2000) berpendapat bahwa setiap bagi masing-masing serikat punya seorang kepala.[103][104][105] Cummings, dalam terjemahan Sejarah Gowa versinya, tidak memandang Tumakkajanangngang sebagai posisi jabatan tersendiri, melainkan istilah umum untuk "sebuah nama atau gelar bagi mereka yang berperan mengawasi kelompok-kelompok dengan tugas spesifik" (kutipan asli: "... a term or title describing those charged with supervising others who had specific tasks")[106]
- ^ Kutipan asli (dialihaksarakan): "... seqreji ata narua karaeng nibunoi tumassoqnaya angkanaya sisalai Gowa Talloq."[115]
- ^ Klaim Tunipasulu didasarkan pada statusnya sebagai putra dari penguasa Gowa, Tunijallo, dan penguasa Tallo, Karaeng Baine. Meskipun pemerintahannya di Gowa diakui, usahanya untuk mengklaim takhta Tallo dianggap tidak sah dan hanya disebut sekilas di dalam Sejarah Tallo.[138]
- ^ Kutipan asli: "... ceramics were merely the tip of the iceberg when the importation of exotic sumptuary goods to pre-Islamic South Sulawesi is considered as a whole."
- ^ Bulbeck (1992) menyurvei pekuburan yang aktif pada abad ke-14 hingga abad ke-17, lalu memperkirakan jumlah penduduk pada masa tersebut menggunakan rasio jumlah pekuburan/penduduk dari tahun 1985.[165] Perhitungan ini dikoreksi oleh Bulbeck (1994) dengan menambahkan variabel lain seperti kepadatan pekuburan.[166]
- ^ Kutipan asli: "... the development of kingship, the codification of law, the rise of a bureaucracy, the imposition of a military draft and taxation, and the emergence of full-time craftsmen."
Rujukan
Catatan kaki
- ^ Druce (2009), hlm. 165.
- ^ Cummings (2002), hlm. xiii.
- ^ Cummings (2007a), hlm. 17.
- ^ Poelinggomang (1993), hlm. 62.
- ^ Cummings (2002), hlm. 26, 30, 112, 150.
- ^ Bulbeck (1992), hlm. 35.
- ^ a b Pelras (1997), hlm. 12.
- ^ Bulbeck & Caldwell (2000), hlm. 106.
- ^ Abidin (1983), hlm. 476–477.
- ^ Bulbeck & Caldwell (2000).
- ^ Bougas (1998).
- ^ Cummings (2002), hlm. 44.
- ^ Caldwell (1995), hlm. 402–403.
- ^ Druce (2009), hlm. 32.
- ^ Cummings (2002), hlm. 100.
- ^ Caldwell (1991), hlm. 113–115.
- ^ Pelras (1997), hlm. 94–95.
- ^ a b Cummings (2007a), hlm. vii.
- ^ Cummings (2007a), hlm. 18.
- ^ Cummings (2007a), hlm. 8.
- ^ Hall (1965), hlm. 358.
- ^ Cummings (2007a), hlm. 3, 10–12.
- ^ a b c Bulbeck (1992), hlm. 24–25.
- ^ Cummings (2005a), hlm. 40.
- ^ a b Cummings (2005a), hlm. 41.
- ^ Cummings2005a (), hlm. 43.
- ^ a b Bulbeck (1992), hlm. 26–27.
- ^ Bulbeck (1992), hlm. 398.
- ^ Ritcher (2000), hlm. 214.
- ^ Cummings (2002), hlm. 149–153.
- ^ a b Cummings (2002), hlm. 25.
- ^ Abidin (1983).
- ^ Bulbeck (1992), hlm. 32–34.
- ^ Bulbeck (2006), hlm. 287.
- ^ Pelras (1997), hlm. 13, 17.
- ^ Bulbeck & Clune (2003), hlm. 99.
- ^ Bulbeck (1992), hlm. 34, 473, 475, antara lain.
- ^ Bulbeck (1992), hlm. 231.
- ^ a b c Bulbeck (1993).
- ^ a b c d Bulbeck & Caldwell (2000), hlm. 107.
- ^ a b Druce (2009), hlm. 34–36.
- ^ a b c d Pelras (1997), hlm. 98–103.
- ^ a b c d e Bulbeck & Caldwell (2008).
- ^ a b c Cummings (2007b), hlm. 100–105.
- ^ a b c d e f g Cummings (2007a), hlm. 2–5, 83–85.
- ^ a b Gibson (2005), hlm. 147.
- ^ a b Bulbeck (1992), hlm. 430–432.
- ^ a b c d e f Reid (1983).
- ^ a b Druce (2009), hlm. 237–241.
- ^ Pelras (1997), hlm. 135–136.
- ^ Cummings (2007a), hlm. 97.
- ^ Andaya (1981), hlm. 19–20.
- ^ Villiers (1990), hlm. 146–147.
- ^ Baker (2005), hlm. 72.
- ^ a b Bulbeck (1992), hlm. 123–125.
- ^ Cummings (2007a), hlm. 3.
- ^ Cummings (2002), hlm. 215.
- ^ a b Gibson (2007), hlm. 44.
- ^ a b c Bulbeck (1992), hlm. 117–118.
- ^ Cummings (2007a), hlm. 67–68.
- ^ Cummings (2007a), hlm. 33.
- ^ a b c Bulbeck (1992), hlm. 121–127.
- ^ a b c Cummings (2007a), hlm. 32–33.
- ^ a b Druce (2009), hlm. 241–242.
- ^ a b c Bulbeck (1992), hlm. 348–349.
- ^ Cummings (2007a), hlm. 57.
- ^ a b c d Cummings (2014), hlm. 215–218.
- ^ Mattulada (2011), hlm. 7.
- ^ Cummings (2000), hlm. 29.
- ^ Cummings (1999).
- ^ Cummings (2002), hlm. 152.
- ^ a b Cummings (2007a), hlm. 32–33, 36.
- ^ Bulbeck (1992), hlm. 127–131.
- ^ Villiers (1990), hlm. 149.
- ^ Cummings (2002), hlm. 28.
- ^ a b Bulbeck (1992), hlm. 105–107.
- ^ Cummings (2002), hlm. 216.
- ^ Cummings (2002), hlm. 85.
- ^ Bulbeck (1992), hlm. 208.
- ^ Bulbeck (1992), hlm. 317.
- ^ Cummings (2007a), hlm. 4.
- ^ a b c Bulbeck (1992), hlm. 120-121, serta Gambar 4-4.
- ^ a b c Cummings (2007a), hlm. 33–36, 56–59.
- ^ Andaya (1981), hlm. 25–26.
- ^ Bulbeck (1992), hlm. 126.
- ^ Druce (2009), hlm. 232–235, 244.
- ^ Cummings (2014).
- ^ a b Bulbeck (2006).
- ^ Druce (2009), hlm. 242–243.
- ^ Gibson (2005), hlm. 152–156.
- ^ Andaya (1981), hlm. 26.
- ^ Druce (2009), hlm. 242.
- ^ Sulistyo (2014), hlm. 54.
- ^ Sutherland (2004), hlm. 79.
- ^ a b c Cummings (2007a), hlm. 34.
- ^ Andaya (1981), hlm. 27.
- ^ Cummings (2014), hlm. 219–221.
- ^ Bougas (1998), hlm. 92.
- ^ Andaya (2011), hlm. 114–115.
- ^ a b Cummings (2002), hlm. 112.
- ^ Gibson (2007), hlm. 45.
- ^ Bulbeck (1992), hlm. 107.
- ^ a b Gibson (2005), hlm. 45.
- ^ Bulbeck (1992), hlm. 108–109.
- ^ Reid (2000), hlm. 449.
- ^ Cummings (2007a), hlm. 34, 207.
- ^ Bulbeck (2006), hlm. 292.
- ^ Reid (2000), hlm. 446–448.
- ^ Andaya (1981), hlm. 23.
- ^ a b c Pelras (1997), hlm. 131–132.
- ^ a b c d Andaya (1981), hlm. 29.
- ^ Cummings (2007a), hlm. 36.
- ^ a b c d e f Reid (1981).
- ^ Bulbeck (1992), hlm. 102.
- ^ Cummings (2007a), hlm. 98.
- ^ Cummings (1999), hlm. 109–110.
- ^ Cummings (2007a), hlm. 86.
- ^ a b Cummings (2007a), hlm. 38.
- ^ Druce (2009), hlm. 30.
- ^ Druce (2014), hlm. 152.
- ^ a b Sila (2015), hlm. 28.
- ^ Cummings (2007a), hlm. 41.
- ^ Cummings (2002), hlm. 22.
- ^ Pelras (1994), hlm. 139.
- ^ Pelras (1994), hlm. 131.
- ^ Pelras (1994), hlm. 142–144.
- ^ a b c d e f Andaya (1981), hlm. 30.
- ^ Pelras (1994), hlm. 141.
- ^ Pelras (1994), hlm. 138.
- ^ Reid (2000), hlm. 438.
- ^ Cummings (2002), hlm. 26–27.
- ^ a b c d Pelras (1997), hlm. 133.
- ^ a b Druce (2009), hlm. 246.
- ^ Bulbeck (1992), hlm. 30.
- ^ a b Cummings (2007a), hlm. 87.
- ^ Cummings (2014), hlm. 217.
- ^ a b Bulbeck (1992), hlm. 103.
- ^ a b Cummings (2007a), hlm. 94.
- ^ a b c d e Cummings (2005b).
- ^ a b Cummings (2000).
- ^ Bulbeck (2006), hlm. 306.
- ^ Cummings (1999), hlm. 110–111.
- ^ a b Gibson (2005), hlm. 154.
- ^ Cummings (2005b), hlm. 46.
- ^ Cummings (2005b), hlm. 42.
- ^ Cummings (2007a), hlm. 6, 43.
- ^ Bulbeck (2006), hlm. 288.
- ^ Bulbeck (1992).
- ^ Andaya (1981), hlm. 32.
- ^ a b Andaya (1981), hlm. 33.
- ^ Andaya (1981), hlm. 34.
- ^ Andaya (1981), hlm. 36.
- ^ Andaya (1981), hlm. 137.
- ^ Andaya (1981), hlm. 142.
- ^ Bulbeck (1992), hlm. 483.
- ^ Bulbeck (1992), hlm. 203.
- ^ Higham (1989), hlm. 70.
- ^ Pelras (1997), hlm. 99.
- ^ Cummings (1999), hlm. 103.
- ^ a b Bulbeck & Caldwell (2008), hlm. 16.
- ^ Bulbeck (1992), hlm. 368, 608, 662–663.
- ^ a b Bulbeck & Caldwell (2008), hlm. 17.
- ^ Bulbeck (1992), hlm. 256.
- ^ Bulbeck (1992), hlm. 259.
- ^ a b c Bulbeck (1992), hlm. 461–463.
- ^ Bulbeck (1994), hlm. 2–4.
- ^ a b c Bulbeck (1994).
- ^ Lieberman (2009), hlm. 851.
- ^ Pelras (2003), hlm. 266.
- ^ a b Pelras (1997), hlm. 122–124.
- ^ Reid (1988), hlm. 89.
- ^ Noorduyn (1961), hlm. 31.
- ^ Bulbeck (1992), hlm. 20–21.
- ^ Cummings (2002), hlm. 42.
- ^ Jukes (2014), hlm. 3.
- ^ Jukes (2014), hlm. 2.
- ^ Noorduyn (1993), hlm. 567.
- ^ Miller (2010).
- ^ Reid (1988), hlm. 218.
- ^ Druce (2009), hlm. 73–74.
- ^ Cummings (2002).
- ^ Caldwell (2004).
- ^ a b c Druce (2009), hlm. 27.
- ^ Bulbeck & Caldwell (2000), hlm. 1.
- ^ Henley & Caldwell (2008), hlm. 271.
- ^ a b Caldwell (1995), hlm. 417.
- ^ a b c d e Bulbeck (1992), hlm. 469–472.
- ^ Caldwell (1995), hlm. 418.
- ^ a b c d e Cummings (2014), hlm. 222–224.
Daftar pustaka
- Abidin, Andi' Zainal (Maret 1983). "The Emergence of Early Kingdoms in South Sulawesi: A Preliminary Remark on Governmental Contracts from the Thirteenth to the Fifteenth Century". Southeast Asian Studies. 20 (4): 1–39. doi:10.14724/jh.v2i1.14 (tidak aktif 2019-01-25). Diakses tanggal November 15, 2016.
- Andaya, Leonard Y. (1981). The Heritage of Arung Palakka: A History of South Sulawesi (Celebes) in the Seventeenth Century. 500 S State St, Ann Arbor, MI 48109, USA: University of Michigan. ISBN 978-9024724635.
- Andaya, Leonard Y. (25 Mei 2011). "Chapter 6: Eastern Indonesia: A Study of the Intersection of Global, Regional, and Local Networks in the 'Extended' Indian Ocean". Dalam Halikowski Smith, Stephan C. A. Reinterpreting Indian Ocean Worlds: Essays in Honour of Kirti N. Chaudhuri. Cambridge Scholars Publishing. hlm. 107–141. ISBN 978-1443830447.
- Baker, Brett (2005). "South Sulawesi in 1544: a Portuguese letter" (PDF). Review of Indonesian and Malaysian Affairs. 39 (1): 72. Diakses tanggal 14 April 2019.
- Bougas, Wayne A. (1998). "Bantayan: An Early Makassarese Kingdom, 1200–1600 A.D." Archipel. 55 (1): 83–123. doi:10.3406/arch.1998.3444. Diakses tanggal 6 Desember 2016.
- Bulbeck, Francis David (Maret 1992). A Tale of Two Kingdoms: The Historical Archaeology of Gowa and Tallok, South Sulawesi, Indonesia (Tesis Ph.D.). Australian National University.
- Bulbeck, Francis David (1993). "New Perspectives on early South Sulawesi History". Baruga: Sulawesi Research Bulletin. 9: 10–18.
- Bulbeck, Francis David (1994). Ecological Parameters of Settlement Patterns and Hierarchy in the Pre-Colonial Macassar Kingdom (PDF). Asian Studies Association of Australia Biennial Conference. Perth.
- Bulbeck, Francis David; Caldwell, Ian (2000). Land of iron: the Historical Archaeology of Luwu and the Cenrana valley : Results of the Origin of Complex Society in South Sulawesi Project (OXIS). University of Hull Centre for South-East Asian Studies. ISBN 978-0903122115.
- Bulbeck, Francis David; Clune, Genevieve (2003). "Macassar Historical Decorated Earthenwares: Preliminary Chronology and Bajau Connections". Earthenware in Southeast Asia: Proceedings of the Singapore Symposium on Premodern Southeast Asian Earthenwares. Singapore Symposium on Premodern Southeast Asian Earthenwares. Singapore: NUS Press. hlm. 80–103.
- Bulbeck, Francis David (Oktober 2006). "Chapter 13: The Politics of Marriage and the Marriage of Polities in Gowa, South Sulawesi, During the 16th and 17th Centuries". Dalam Fox, James J. Origins, Ancestry and Alliance: Explorations in Austronesian Ethnography. J. B. Chifley Building (#15) The Australian National University Acton ACT 2601: ANU Press. hlm. 283–319. ISBN 978-1920942878.
- Bulbeck, Francis David; Caldwell, Ian (1 Maret 2008). "Oryza Sativa and the origins of Kingdoms in South Sulawesi, Indonesia: Evidence from Rice Husk Phytoliths". Indonesia and the Malay World. 36 (104): 1–20. doi:10.1080/13639810802016117. Diakses tanggal 20 November 2016.
- Caldwell, Ian (Maret 1991). "Review: The Myth of the Exemplary Centre: Shelly Errington's "Meaning and Power in a Southeast Asian Realm"". Journal of Southeast Asian Studies. 22 (1): 109–118. doi:10.1017/S002246340000549X. JSTOR 20071266.
- Caldwell, Ian (1995). "Power, State and Society Among the Pre-Islamic Bugis". Bijdragen Tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. 151 (3): 394–421. doi:10.1163/22134379-90003038. JSTOR 27864678.
- Caldwell, Ian (2004). "Review: William Cummings, Making Blood White ; Historical transformations in early modern Makassar". Archipel. 68 (1): 343–347. Diakses tanggal 23 Januari 2017.
- Cummings, William P. (1999). "'Only One People but Two Rulers': Hiding the Past in Seventeenth-Century Makasarese Chronicles". Bijdragen Tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. 155 (1): 97–120. doi:10.1163/22134379-90003881. JSTOR 27865493.
- Cummings, William P. (2000). "Reading the Histories of a Maros Chronicle". Bijdragen Tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. 156 (1): 1–31. doi:10.1163/22134379-90003851. JSTOR 27865583.
- Cummings, William P. (Maret 2002). Making Blood White: Historical Transformations in Early Modern Makassar. 2840 Kolowalu St, Honolulu, HI 96822, USA: University of Hawaii Press. ISBN 978-0824825133.
- Cummings, William P. (January 2005). "Historical texts as social maps: Lontaraq bilang in early modern Makassar". Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. 161 (1): 40–62. JSTOR 27868200.
- Cummings, William P. (2005). "'The One Who Was Cast Out': Tunipasuluq and Changing Notions of Authority in the Gowa Chronicle". Review of Indonesian and Malaysian Affairs. 39 (1): 35–59. Diakses tanggal December 21, 2016.
- Cummings, William P. (1 Januari 2007). A Chain of Kings: The Makassarese Chronicles of Gowa and Talloq. KITLV Press. ISBN 978-9067182874.[pranala nonaktif permanen]
- Cummings, William P. (Juni 2007). "Islam, Empire and Makassarese Historiography in the Reign of Sultan Ala'uddin (1593–1639)". Journal of Southeast Asian Studies. 38 (2): 197–214. doi:10.1017/S002246340700001X. JSTOR 20071830.
- Cummings, Wiliam P. (17 Oktober 2014). "Chapter 10: Re-evaluating state, society, and the dynamics of expansion in precolonial Gowa". Dalam Wade, Geoff. Asian Expansions: The Historical Experiences of Polity Expansion in Asia. Routledge. hlm. 214–232. ISBN 978-1135043537.
- Druce, Stephen C. (1 Januari 2009). The Lands West of the Lakes: A History of the Ajattappareng Kingdoms of South Sulawesi, 1200 to 1600 CE. Brill. ISBN 978-9004253827.
- Druce, Stephen C. (2014). "Dating the tributary and domain lists of the South Sulawesi kingdoms". Dalam Ampuan Haji Brahim bin Ampuan Haji Tengah. Cetusan minda sarjana: Sastera dan budaya. Elizabeth II Street, Bandar Seri Begawan BS8611, Brunei: Brunei: Dewan Bahasa dan Pustaka. hlm. 145–156. ISBN 978-9991709604.
- Gibson, Thomas (Maret 2005). And the Sun Pursued the Moon: Symbolic Knowledge and Traditional Authority among the Makassar. 2840 Kolowalu St, Honolulu, HI 96822, USA: University of Hawaii Press. ISBN 978-0824828653.
- Gibson, Thomas (11 Juni 2007). Islamic Narrative and Authority in Southeast Asia: From the 16th to the 21st century. 11 W 42nd St, New York, NY 10036, USA: Springer Publishing. ISBN 978-0230605084.
- Hall, D. G. E. (1965). "Problems of Indonesian Historiography". Pacific Affairs. 38 (3/4): 353–359. doi:10.2307/2754037. JSTOR 2754037.
- Henley, David; Caldwell, Ian (2008). "Kings and Covenants: Stranger-kings and social contract in Sulawesi". Indonesia and the Malay World. 36 (105): 269–291. doi:10.1080/13639810802268031.
- Higham, Charles (11 Maret 1989). The Archaeology of Mainland Southeast Asia: From 10,000 B.C. to the Fall of Angkor. Cambridge University Press, University Printing House, Shaftesbury Road, Cambridge, CB2 8BS United Kingdom: Cambridge University Press. ISBN 978-0521275255.
- Jukes, Anthony (2014). Writing and Reading Makassarese (PDF). International Workshop on Endangered Scripts of Island Southeast Asia. Tokyo University of Foreign Studies. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2017-04-28. Diakses tanggal 2017-03-31.
- Lieberman, Victor (30 Oktober 2009). Strange Parallels: Southeast Asia in Global Context, Volume 2, Mainland Mirrors: Europe, Japan, China, South Asia, and the Islands. University Printing House, Shaftesbury Road, Cambridge, CB2 8BS, United Kingdom: Cambridge University Press. ISBN 978-1139485173.
- Mattulada (2011). Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah. Yogyakarta: Ombak.
- Miller, Christopher (2010). A Gujarati Origin for Scripts of Sumatra, Sulawesi and the Philippines. Annual Meeting of the Berkeley Linguistics Society. University of California, Berkeley.
- Noorduyn, Jacobus (1961). "Some aspects of Macassar–Buginese historiography". Dalam Hall, D. G. E. Historians of South-East Asia. Oxford University Press. hlm. 29–36.
- Noorduyn, Jacobus (1993). "Variation in the Bugis/Makassarese Script". Bijdragen Tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. 149 (3): 533–570. JSTOR 27864487.
- Pelras, Christian (1994). "Religion, Tradition and the Dynamics of Islamization in South-Sulawesi". Indonesia. 57 (1): 133–154.
- Pelras, Christian (23 Januari 1997). The Bugis. 111 River Street. Hoboken, NJ 07030-5774: Wiley. ISBN 978-0631172314.
- Pelras, Christian (2003). "Bugis and Makassar Houses: Variation and Evolution". Dalam Schefold, Reimar; Nas, Peter J. M; Domenig, Gaudenz. Indonesian Houses: Tradition and transformation in vernacular architecture. KITLV Press. hlm. 251–284. ISBN 978-9067182058.
- Poelinggomang, Edward L. (1993). "The Dutch Trade Policy and its Impact on Makassar's Trade". Review of Indonesian and Malaysian Affairs. 27: 61–76.
- Reid, Anthony (1981). "A Great Seventeenth-Century Indonesian Family: Matoaya and Pattingalloang of Makassar". Masyarakat Indonesia. 8 (1): 1–28.
- Reid, Anthony (1983). "The Rise of Makassar". Review of Indonesian and Malayan Affairs. 17 (1): 117–160.
- Reid, Anthony (1988). Southeast Asia in the Age of Commerce: 1450–1680. The lands below the winds, Volume 1. 302 Temple Street, New Haven, CT, USA: Yale University Press. ISBN 978-0300039214.
- Reid, Anthony (2000). "Pluralism and progress in seventeenth-century Makassar". Bijdragen Tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. 156 (3): 433–449. doi:10.1163/22134379-90003834. JSTOR 27865647.
- Ritcher, Anne (2000). Jewelry of Southeast Asia. Harry N. Abrams. ISBN 978-0-8109-3528-0.
- Sila, Muhammad Adlin (6 November 2015). Maudu': A Way of Union with God. J. B. Chifley Building (#15) The Australian National University Acton ACT 2601: ANU Press. ISBN 978-1925022711.
- Sulistyo, Bambang (2014). "Malay Emigrants and Their Islamic Mission in South Sulawesi in 16th to 17th Century". TAWARIKH: International Journal for Historical Studies. 6 (1): 53–66. Diakses tanggal 16 Desember 2016.
- Sutherland, Heather (2004). "The Makassar Malays: Adaptation and Identity, c.1660–1790". Dalam Barnard, Timothy. Contesting Malayness: Malay Identity Across Boundaries. NUS Press. hlm. 76–106. ISBN 978-9971692797.
- Villiers, John (1990). "Makassar: The Rise and Fall of an East Indonesian Maritime Trading State, 1512–1669". Dalam Kathirithamby-Wells, Jeyamalar; Villiers, John. The Southeast Asian Port and Polity: Rise and Demise. NUS Press. hlm. 143–159. ISBN 978-9971691417.
Pranala luar
- Situs web resmi kelompok OXIS, "konfederasi tak resmi bagi para sejarawan, antropolog, arkeolog, ahli geografi, dan linguis yang meneliti asal-usul serta perkembangan masyarakat-masyarakat asli pulau Sulawesi di Indonesia." Situs ini memberikan akses bagi sejumlah besar artikel dan buku mengenai sejarah awal Gowa dan Tallo.
- Situs web Laboratorium Sejarah Universitas Hasanuddin (diarsipkan). Situs ini memiliki banyak artikel tentang sejarah awal Gowa dan Tallo.