Dataran tinggi Dieng

dataran tinggi di Indonesia
Revisi sejak 18 Februari 2021 03.41 oleh RXerself (bicara | kontrib) (Menolak 2 perubahan teks terakhir)

Dataran Tinggi Dieng atau Plato Dieng adalah kawasan di pusat Jawa Tengah, yang memiliki ciri geologi, sejarah, dan pertanian yang khas. Dataran ini diapit oleh jajaran perbukitan di sisi utara dan selatannya, yang berasal dari aktivitas vulkanik yang sama dan disebut Pegunungan Dieng. Pegunungan Dieng sendiri secara geografis berada di antara kompleks Puncak Rogojembangan di sebelah barat dan pasangan Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing di sisi timurnya. Secara kasar dapat dikatakan bahwa wilayah Dataran Tinggi Dieng (DT Dieng) menempati kawasan berukuran lebar (utara–selatan) 4-6 km dan panjang (barat–timur) 11 km.[1]

Dieng saat matahari terbit

Secara administrasi, DT Dieng berada dalam wilayah Kecamatan Batur dan sebagian Kecamatan Pejawaran, Kabupaten Banjarnegara, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, dan bagian selatan dari Desa Pranten, Bawang, Kabupaten Batang, dengan inti kawasan wisata berada pada wilayah Desa Dieng Kulon (di Banjarnegara) dan Desa Dieng ("Dieng Wetan" di Wonosobo). Ketinggian dataran berada pada 1 600 sampai 2 100 m dari permukaan laut dengan arah aliran permukaan ke barat daya[1], menuju ke lembah Sungai Serayu. Dengan suhu udara berkisar 12–20 °C di siang hari dan 6–10 °C di malam hari, meskipun pada musim kemarau (Juli dan Agustus), suhu udara dapat mencapai 0 °C di pagi hari, iklim di DT Dieng termasuk iklim subtropis dan memunculkan embun beku yang oleh penduduk setempat disebut bun upas ("embun racun") karena menyebabkan kerusakan pada tanaman pertanian.

Meskipun cukup terpencil, DT Dieng telah lama menjadi kawasan pemukiman. Sejumlah bangunan peninggalan abad ke-8 masih dapat ditemukan, baik dalam keadaan masih berdiri ataupun telah menjadi reruntuhan. Diperkirakan, bangunan-bangunan ini berasal dari masa Kerajaan Medang awal. Terdapat indikasi bahwa penduduk kawasan ini berada pada pengaruh Kerajaan Sunda Galuh kuno sebelum kemudian dikuasai Medang.

Pertanian di DT Dieng menjadi sumber mata pencaharian utama penduduk. Penanaman sayur-mayur khas pegunungan menjadi aktivitas utama, seperti kentang, wortel, lobak, kubis bunga, bit, dan berbagai bawang-bawangan. DT Dieng adalah penghasil kentang terluas di Indonesia. Tanaman klembak dan purwoceng adalah tanaman penyegar yang khas Dieng, karena hanya cocok untuk tumbuh di kawasan ini.

Etimologi

Nama "dieng" berasal dari gabungan dua kata bahasa Kawi: di yang berarti "tempat" atau "gunung" dan hyang yang bermakna "leluhur yang suci menjadi dewa". Dengan demikian, "dieng" berarti pegunungan tempat para leluhur/dewa bersemayam".[2] Teori lain menyatakan, nama "dieng" berasal dari bahasa Sunda (di hyang) karena diperkirakan pada masa pra-Medang (sekitar abad ke-7 Masehi) daerah itu berada dalam pengaruh politik Kerajaan Galuh.

Iklim

DT Dieng memiliki iklim sedang tetapi hangat. Berdasarkan klasifikasi iklim Köppen, Dieng masuk dalam golongan Cwb, dengan musim kemarau yang dingin dan musim hujan yang relatif lebih hangat. Rata-rata suhu tahunan di Dieng adalah 14,0 °C.[3]

Data iklim Dieng
Bulan Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Tahun
Rata-rata tertinggi °C (°F) 17.9
(64.2)
18.5
(65.3)
18.6
(65.5)
18.4
(65.1)
18.5
(65.3)
18.5
(65.3)
18.2
(64.8)
18.0
(64.4)
18.5
(65.3)
18.8
(65.8)
19.2
(66.6)
18.8
(65.8)
18.49
(65.28)
Rata-rata harian °C (°F) 13.9
(57)
14.3
(57.7)
14.4
(57.9)
14.4
(57.9)
14.3
(57.7)
13.8
(56.8)
13.2
(55.8)
12.8
(55)
13.6
(56.5)
14.2
(57.6)
14.7
(58.5)
14.4
(57.9)
14
(57.19)
Rata-rata terendah °C (°F) 10.0
(50)
10.1
(50.2)
10.3
(50.5)
10.4
(50.7)
10.1
(50.2)
9.2
(48.6)
8.3
(46.9)
7.6
(45.7)
8.7
(47.7)
9.6
(49.3)
10.3
(50.5)
10.1
(50.2)
9.56
(49.21)
Presipitasi mm (inci) 370
(14.57)
430
(16.93)
434
(17.09)
249
(9.8)
153
(6.02)
83
(3.27)
53
(2.09)
35
(1.38)
57
(2.24)
170
(6.69)
230
(9.06)
388
(15.28)
2.652
(104,42)
Sumber: [3]

Geologi

Lihat pula: Pegunungan Dieng

Pada dasarnya DT Dieng adalah kaldera yang dipagari oleh gunung-gunung di sekitarnya. Gunung (atau bukit) ini dibahas lebih banyak pada artikel Pegunungan Dieng, tetapi dapat disebutkan beberapa yang penting adalah kompleks Gunung Prahu (2.565 m)-Patakbanteng (batas sebelah timur laut kaldera), kawasan Gunung Sikunir (2.463 m)- Pakuwaja (2.595 m)-Bismo (2.365 m, bagian selatan kaldera), serta kompleks Gunung Butak-Dringo-Petarangan (di sebelah barat laut). Di bawah permukaan kaldera terdapat aktivitas vulkanik, seperti halnya Yellowstone ataupun Dataran Tinggi Tengger. Di sini terdapat banyak kawah (crater) dan rekahan (vent) yang mengeluarkan hasil aktivitas geologi dalam berbagai wujud: fumarola, solfatara,sumber gas (CO2 maupun CO), dan mata air (panas maupun dingin), serta danau vulkanik. Beberapa kawah masih sangat aktif, seperti Sileri, Candradimuka, dan Sikidang, dijadikan obyek wisata alam.

Kondisi ini memiliki potensi bahaya bagi penduduk yang menghuni wilayah tersebut. Kasus terakhir yang merenggut ratusan nyawa adalah bencana letusan gas Kawah Sinila 1979. Tidak hanya gas beracun dan erupsi, tetapi juga dapat dimungkinkan terjadi gempa bumi (vulkanik), erupsi lumpur, tanah longsor, dan banjir. Selain kawah, terdapat pula danau-danau vulkanik yang berisi air bercampur belerang sehingga memiliki warna khas kuning kehijauan.

Dari sisi biologi, aktivitas vulkanik di Dieng menarik karena di air-air panas di dekat kawah ditemukan beberapa spesies mikroorganisme termofilik ("penyuka panas") yang berpotensi menyingkap kehidupan awal di Bumi. Dieng juga memiliki beberapa spesies tumbuhan khas yang jarang dijumpai di tempat lain akibat kombinasi kondisi iklim dan geotermalnya yang unik.

Kawah-kawah

 
Kawah Sikidang dilihat dari atas.

Kawah-kawah aktif di DT Dieng menunjukkan adanya aktivitas vulkanik yang tinggi di bawah permukaan tanah. Selain semburan gas atau uap air, bentuk aktivitas lainnya adalah letusan (erupsi) maupun gempa bumi. Bencana sekunder yang dapat terjadi adalah banjir dan aliran lahar. Pemantauan aktivitas dilakukan oleh PVMBG melalui Pos Pengamatan Gunung Api (PGA) Dieng di Desa Karangtengah. Berikut adalah kawah-kawah aktif yang ditemukan di DT Dieng.

Kawasan utara

Kumpulan kawah ini berada di sekitar Gunung Sipandu.

Terdapat banyak kawah-kawah di sekitar Sileri. Daerah ini sangat aktif dan telah dimanfaatkan sebagai pembangkit tenaga listrik panas bumi/geotermal (PLTP) oleh PT Geo Dipa Energi.

Kawasan selatan

Aktivitas geotermal di bagian selatan ditemukan di sekitar Gunung Pangonan sampai kompleks Gunung Pakuwaja-Sikunir. Kompleks ini juga berada terdekat dengan kompleks percandian di Dieng.

Selain kawah aktif juga terdapat kawah-kawah non-aktif atau mati. Lapangan geotermal di sekitar Sikidang juga sudah dimanfaatkan untuk PLTP.

Kawasan barat laut

Agak jauh, berada di sebelah barat dari kompleks Sileri dan di utara pusat kecamatan Batur, terdapat kumpulan aktivitas vulkanik yang terkenal karena catatan letusan yang mematikan akibat emisi gas oksida karbon dengan konsentrasi tinggi. Aktivitas vulkanik di sini terkait dengan keberadaan kompleks Gunung Butak-Petarangan yang sebelumnya merupakan gunung api stratovulkan.

Galeri gambar

Danau vulkanik

 
Telaga Dringo pada tahun 1937

Danau atau telaga banyak terbentuk di DT Dieng karena memang bagian tertentu kawasan ini berawa-rawa serta akibat aktivitas geologi.

Sejarah dan budaya

Kepurbakalaan

Kawasan DT Dieng telah lama dikenal sebagai pusat temuan arkeologi; dengan ditemukannya sejumlah candi dan sisa-sisa bangunan kuno non-pemujaan (petirtaan dan lubang drainase) serta arca. Catatan Hindia-Belanda menyebutkan ada 117 candi/bangunan purbakala di DT Dieng, tetapi sekarang tinggal sembilan yang masih berdiri[4]. Candi-candi di Dieng diberi nama sesuai dengan nama tokoh pewayangan Mahabharata dan berdasarkan perkiraan arkeolog, bangunan-bangunan kuno di Dieng dibangun di masa berkuasanya Kerajaan Kalingga, yaitu pada abad ke-7 dan ke-8[5]. Ini menjadikan percandian Dieng sebagai bangunan tertua di Jawa yang masih berdiri[6].

Candi-candi ini bercorak keagamaan Hindu dan tampaknya dibangun untuk pemujaan kepada Siwa dan hyang (leluhur yang didewakan setelah meninggal)[7]. Dalam konsep Hinduisme, kuil atau candi adalah miniatur gunung suci kosmis, meskipun Schoppert melihat motif desain bangunan sangat sedikit terkait dengan India.[8]. Dalam tinjauannya yang diterbitkan tahun 2011, Romain mengemukakan pendapat bahwa gaya candi Dieng dapat dikaitkan dengan gaya Dravida dan Pallava dari India selatan[6]. Pada kondisi tahun 2020, hanya terdapat sembilan candi yang masih berdiri, sisanya tinggal reruntuhan, fondasi, atau tinggal nama. Batu-batu reruntuhan candi dipakai oleh warga untuk fondasi bangunan, jalan, atau pembatas pematang.[4]

Bangunan candi di Dieng berada dalam kelompok-kelompok, namun hampir semuanya berada dalam kawasan lembah Dieng di sekitar pusat desa Dieng Kulon. Kelompok Arjuna adalah yang terbesar dan kondisinya paling baik, meskipun banyak arca yang telah dicuri maupun rusak. Sekarang menjadi objek wisata yang dikelola untuk kepentingan pendapatan daerah/instansi. Termasuk dalam kelompok ini adalah Candi Arjuna, Candi Semar, Candi Sembadra, Candi Srikandi, dan Candi Puntadewa; agak terpisah ke barat terdapat Candi Setyaki yang sudah dipugar sebagian. Kelompok Gatotkaca berada di tepi jalan penghubung utama ke arah Candi Bima. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah Candi Gatotkaca, Candi Nakula, Candi Sadewa, dan Candi Gareng. Hanya candi Gatotkaca yang masih baik kondisinya. Kelompok Dwarawati berada di Dusun Krajan, Desa Dieng Kulon, di dekat salah satu jalur pendakian menuju Gunung Prahu. Hanya satu candi yang masih berdiri, yaitu Candi Dwarawati; candi-candi lainnya, seperti Candi Abyasa, Candi Pandu, dan Candi Margasari sudah menjadi reruntuhan. Candi Bima adalah candi tunggal, berada di sisi selatan kompleks Arjuna maupun Gatotkaca. Candi Parikesit (diperkirakan terletak di kaki Gunung Sipandu) hanya diketahui dari catatan arkeologi Hindia-Belanda, demikian pula Candi Prahu.

Dari sekian banyak bangunan non-candi, dapat disebutkan Gangsiran Aswatama, suatu saluran drainase kuno berupa lubang pembuangan air untuk menjaga agar kawasan percandian tidak tergenang air[9]; petirtaan Tuk Bimo Lukar, sebagai tempat peziarah untuk menyucikan diri sebelum melakukan puja di percandian; Ondho Budho (ditemukan kembali Desember 2019, di kaki Bukit Sipandu), suatu susunan batu menyerupai tangga[10]; dan arca Ganesha tanpa kepala yang ditemukan akhir Desember 2019 di Desa Dieng, Kabupaten Wonosobo.[11][12][13][14]

 
Lukisan Candi Bima, Dieng, oleh Max Fleischer, 1912.

Masyarakat berambut gimbal

Penduduk beberapa dusun di Dieng juga diketahui memiliki kekhasan fenotipe, dengan rambut yang gimbal. Diduga sifat rambut ini diturunkan secara genetik. Setiap tahun diadakan upacara pemotongan rambut gimbal untuk warga dengan ciri fisik demikian. Upacara ini sekarang menjadi salah satu objek wisata budaya.

Pertanian

Kawasan Dieng merupakan penghasil sayuran dataran tinggi untuk wilayah Jawa Tengah. Kentang adalah komoditas utama dan usaha taninya menjadi mata pencaharian utama bagi penduduk kawasan itu. Selain itu, wortel, kubis, dan bawang-bawangan juga dihasilkan dari kawasan ini. Selain sayuran, Dieng juga merupakan sentra penghasil pepaya gunung (carica), jamur, buah kemar, kelembak, dan purwaceng. Namun akibat aktivitas pertanian yang pesat, kawasan hutan di puncak-puncak pegunungan nyaris hampir habis dikonversi menjadi lahan pertanaman sayur.

Lapangan geotermal

Kawasan Dieng masih aktif secara geologi dan banyak memiliki sumber-sumber energi hidrotermal. Ada tiga lapangan hidrotermal utama, yaitu Pakuwaja, Sileri, dan Sikidang. Di ketiganya terdapat fumarola (kawah uap) aktif, kolam lumpur, dan lapangan uap. Mata air panas ditemukan, misalnya, di Bitingan, Siglagah, Pulosari, dan Jojogan, dengan suhu rata-rata mulai dari 25 °C (Jojogan) sampai 58 °C (Siglagah)[15]. Kawasan Sikidang dan Sileri telah mulai dimanfaatkan sebagai sumber energi hidrotermal.

Objek wisata

 
Sesajian di Candi Parikesit pada tahun 1880-an (gambar dari majalah Eigen Haard)

Beberapa peninggalan budaya dan gejala alam telah dijadikan sebagai objek wisata dan dikelola bersama oleh dua kabupaten, yaitu Banjarnegara dan Wonosobo, serta Perhutani. Berikut beberapa objek wisata di Dieng.

  • Telaga: Telaga Warna, sebuah telaga yang sering memunculkan nuansa warna merah, hijau, biru, putih, dan lembayung, Telaga Pengilon, yang letaknya bersebelahan persis dengan Telaga Warna, uniknya warna air di telaga ini bening seperti tidak tercampur belerang. Keunikan lain yaitu yang membatasi Telaga Warna dengan Telaga Pengilon hanyalah rerumputan yang terbentuk seperti rawa kecil. Telaga Merdada merupakan yang terbesar di antara telaga yang ada di Dataran Tinggi Dieng. Airnya yang tidak pernah surut dijadikan sebagai pengairan untuk ladang pertanian. Bahkan Telaga ini juga digunakan para pemancing untuk menyalurkan hobi atau juga wisatawan yang sekadar berkeliling dengan perahu kecil yang disewakan oleh penduduk setempat.
  • Kawah: Sikidang, Sileri, Sinila (meletus dan mengeluarkan gas beracun pada tahun 1979 dengan korban 149 jiwa), Kawah Candradimuka.
  • Kompleks candi-candi Hindu yang dibangun pada abad ke-7 Masehi.
  • Gua: Gua Semar, Gua Jaran, Gua Sumur. Terletak di antara Telaga Warna dan Telaga Pengilon, sering digunakan sebagai tempat olah spiritual.
  • Sumur Jalatunda
  • Dieng Volcanic Theater, teater untuk melihat film tentang kegunungapian di Dieng.
  • Museum Dieng Kailasa, menyimpan artefak dan memberikan informasi tentang alam (geologi, flora-fauna), masyarakat Dieng (keseharian, pertanian, kepercayaan, kesenian) serta warisan arkeologi dari Dieng. Memiliki teater untuk melihat film (saat ini tentang arkeologi Dieng), panggung terbuka di atas atap museum, serta restoran.
  • Mata air Sungai Serayu, sering disebut dengan Tuk Bima Lukar (Tuk = mata air).
  • Tradisi potong rambut gimbal

Lihat juga

Catatan kaki

  1. ^ a b Dan Miller, C.; et al. (1983). ERUPTIVE HISTORY OF THE DIENG MOUNTAINS REGION, CENTRAL JAVA, AND POTENTIAL HAZARDS FROM FUTURE ERUPTIONS (PDF). -: USDI - Geological Survey. hlm. 1–20. 
  2. ^ Central Java hand book (edisi ke-2). Indonesia: Provincial Government of Central Java. 1983. 
  3. ^ a b http://en.climate-data.org/location/623617/
  4. ^ a b Putri, Anindya (18 Juni 2019). "Cerita Hilangnya 108 Candi di Kawasan Dieng". serat.id. Diakses tanggal 16 November 2020. 
  5. ^ Coedès, George (1968). Walter F. Vella, ed. The Indianized States of Southeast Asia. trans.Susan Brown Cowing. University of Hawaii Press. ISBN 978-0-8248-0368-1. 
  6. ^ a b Romain, Julie (2011), "Indian Architecture in the 'Sanskrit Cosmopolis': The Temples of the Dieng Plateau", dalam Manguin, Pierre-Yves; Mani; Wade, Geoff, Early Interactions Between South and Southeast Asia: Reflections on Cross-cultural Exchange, 2, Singapore: Nalanda-Sriwijaya Centre. Institute of Southeast Asian Studies, hlm. 299–316, ISBN 9789814345101 
  7. ^ Michell, George, (1977) The Hindu Temple: An Introduction to its Meaning and Forms". pp. 160-161. University of Chicago Press. ISBN 978-0-226-53230-1 /
  8. ^ Schoppert, Peter (2012), Java Style, Editions Didier Millet, ISBN 9789814260602 
  9. ^ BPCB Jateng (20 Mei 2020). "Urutan Pembangunan Candi-Candi Di Dieng". Indonesiana: Platform Kebudayaan. Diakses tanggal 16 November 2020. 
  10. ^ Ariefana, Pebriansyah (24 Juli 2020). "Misteri Ondo Budho Dieng, Tangga Bagi Peziarah Menuju Tempat Suci Dieng". suarajawatengah.id. Diakses tanggal 16 November 2020. 
  11. ^ Ridlo, Muhamad (31 Des 2019). "Jejak Mataram Kuno dalam Penemuan Arca Ganesha Tanpa Kepala di Dieng". Liputan6.com. Diakses tanggal 16 Nov 2020. 
  12. ^ Khairina (ed.) (07 Jan 2020). "Arca Ganesha Terbesar Diangkat dari Kawasan Dieng". Kompas.com. Diakses tanggal 16 Nov 2020. 
  13. ^ Hari Susmayanti (ed.) (Senin, 30 Desember 2019). "Kronologi Penemuan Arca Ganesha Terbesar di Dieng, Ditemukan Tanpa Kepala . Editor:". TribunJogja.com. Diakses tanggal 16 November 2020.  line feed character di |title= pada posisi 74 (bantuan);
  14. ^ Hartono, Uje (05 Jan 2020). "Temuan Batu Bata di Arca Ganesha Terbesar Dieng Ungkap Fakta Baru". detik.com. Diakses tanggal 16 November 2020. 
  15. ^ Dieng Geothermal Field. Artikel di Geothermal Indonesia (blog). Rilis 7 Mei 2009

Pranala luar