Paus Pius XII

Paus Gereja Katolik Roma Ke-260
Revisi sejak 21 November 2008 11.30 oleh Bennylin (bicara | kontrib) (-inuse)

Paus Pius XII (Latin: Pius PP. XII), nama lahir Eugenio Maria Giuseppe Giovanni Pacelli (2 Maret 1876-9 Oktober 1958), adalah Paus Gereja Katolik Roma sejak 2 Maret 1939 hingga 9 Oktober 1958. Ia menjabat sebagai paus ke-260.

Pius XII
Berkas:Piusxiib.jpg
Awal masa jabatan
2 Maret 1939
Masa jabatan berakhir
9 Oktober 1958
PendahuluPius XI
PenerusYohanes XXIII
Informasi pribadi
Nama lahirEugenio Maria Giuseppe Giovanni Pacelli
Lahir2 Maret 1876
Roma, Italia
Meninggal9 Oktober 1958(1958-10-09) (umur 82)
Castel Gandolfo, Italia
Paus lainnya yang bernama Pius

Sebelum terpilih sebagai Sri Paus, Pacelli adalah seorang sekretaris Congregatio de Negotiis Ecclesiasticis Extraordinariis, Nuncio Apostolik, dan Kardinal Menteri Luar Negeri, di mana ia bekerja untuk membuat perjanjian-perjanjian dengan negara-negara Eropa dan Amerika Latin, termasuk Reichskonkordat dengan pihak Jerman yang terkenal. Masa kepemimpinannya di dalam Gereja Katolik Roma selama Perang Dunia II menjadi topik kontroversi sejarah yang berkelanjutan hingga hari ini.

Setelah masa perang, Pius XII membantu usaha-usaha pembangunan kembali Eropa, dan menganjurkan perdamaian dan rekonsiliasi, termasuk pemberian kebijakan-kebijakan yang lunak kepada negara-negara yang hancur akibat perang dan penyatuan Eropa. Gereja yang berkembang subur di Barat mengalami penindasan keras dan dideportasi massal di Timur. Sebagai lambang protes dan keterlibatannya dalam pemilihan umum Italia tahun 1948, ia menjadi terkenal sebagai lawan Komunisme yang gigih tetapi juga pragmatis. Ia menandatangani tiga puluh concordat dan perjanjian diplomatik.

Pius XII adalah salah satu dari dua paus (bersama Paus Pius IX) yang menggunakan ex cathedra infalibilitas kepausan untuk menjelaskan dogma Pengangkatan Tubuh Bunda Maria ke Surga, seperti yang dinyatakan dalam konstitusi apostolik Munificentissimus Deus. Magisterium meliputi hampir 1.000 alamat dan siaran radio. Ia mengeluarkan empat puluh satu surat ensiklik, termasuk diantaranya Mystici Corporis Christi, Gereja sebagai Tubuh Kristus; Mediator Dei mengenai reformasi liturgi; Humani Generis Redemptionem mengenai sifat Gereja terhadap teologi dan evolusi. Ia menghilangkan kemayoritasan orang Italia dalam Kolegium para Kardinal melalui Konsistorium Agung-nya di tahun 1946. Proses kanonisasinya telah sampai pada tahap "yang patut dimuliakan" pada tanggal 2 September 2000 sewaktu di masa kepemimpinan Paus Yohanes Paulus II.

Kehidupan awal

 
Eugenio berusia enam tahun pada tahun 1882

Eugenio Pacelli dilahirkan di Roma pada tanggal 2 Maret 1876 ke dalam sebuah keluarga bangsawan yang memiliki hubungan sejarah dengan Tahta Kepausan (Kebangsawanan Hitam atau dalam Bahasa Italia aristocrazìa nera). Kakeknya, Marcantonio Pacelli, adalah Pembantu Sekretaris di Kementerian Keuangan Kepausan[1] dan kemudian menjadi Sekretaris Kementerian Dalam Negeri pada era kekuasaan Paus Pius IX dari tahun 1851 hingga tahun 1870. Sang kakek juga merupakan pendiri surat kabar Vatikan, L'Osservatore Romano pada tahun 1861.[2] Saudara sepupu Eugenio, Ernesto Pacelli, adalah penasehat penting masalah keuangan bagi Paus Leo XIII. Ayahnya, Filippo Pacelli, adalah rektor Sacra Rota Romana; dan saudaranya, Francesco Pacelli, menjadi pengacara hukum sekuler, yang dihargai atas perannya dalam perundingan Perjanjian Lateran tahun 1929, yang mengakhiri perselisihan antara Tahta Suci dan Pemerintahan Italia. Pada usia dua belas tahun, Eugenio menyatakan keinginannya untuk menjadi imam daripada menjadi seorang pengacara.

 
Eugenio Pacelli pada tahun 1896

Setelah menyelesaikan sekolah dasar, Pacelli menerima pendidikan sekolah menengah di Institut Visconti.[3] Pada tahun 1894, di usia delapan belas tahun, ia masuk Seminari Almo Capranica untuk memulai pendidikan menjadi imam dan kemudian berkuliah di Universitas Kepausan Gregoriana dan Institut Appolinare di Universitas Kepausan Lateran.[3] Pada tahun 1895-1896, ia mempelajari bidang filsafat di Universitas Roma La Sapienza.[3] Di tahun 1899, ia menerima gelar sarjana di bidang teologi dan di bidang utroque iure (Hukum Sipil dan Hukum Kanon).[3] Di seminari, ia memperoleh dispensasi khusus untuk tinggal di rumahnya dan tidak tinggal di pondokan seminari karena alasan kesehatan.[3]

Karier di gereja

Menjadi Imam dan Monsinyur

Eugenio ditahbiskan menjadi seorang imam pada Hari Minggu Paskah tanggal 2 April 1899 oleh Uskup Francesco di Paola Cassetta - wakil wali Gereja Roma dan seorang kerabat keluarga - dan menerima tugas pertamanya sebagai imam pembantu di Chiesa Nuova, dimana ia pernah menjadi seorang putra altar disana.[4] Pada tahun 1901 ia masuk Congregatio de Negotiis Ecclesiasticis Extraordinariis dimana ia menjadi minutante atas rekomendasi Kardinal Vannutelli, kerabat keluarganya yang lain.[4]

Berkas:Pacelliordained.jpg
Pacelli pada hari pentahbisannya, 2 April 1899

Pada tahun 1904, Pacelli menjadi seorang bendahara Tahta Kepausan dan di tahun 1905 ia menjadi seorang moonsignor atau imam tinggi domestik.[4] Dari tahun 1904 hingga 1916, Romo Pacelli membantu Kardinal Pietro Gasparri dalam kodifikasi (penyusunan) Hukum Kanon bersama Congregatio de Negotiis Ecclesiasticis Extraordinariis.[5] Ia juga ditunjuk oleh Paus Leo XIII untuk menyampaikan belasungkawa Vatikan secara pribadi kepada Edward VII dari Britania Raya setelah wafatnya Ratu Victoria.[6] Pada tahun 1908 ia menjabat sebagai wakil Vatikan dalam Kongres Ekaristi Internasional di London[6] dimana ia bertemu dengan Winston Churchill.[7] Pada tahun 1911, ia mewakili Tahta Suci di pentahbisan Raja George V.[5]

Di tahun 1908 dan 1911, Pacelli menolak jabatan profesor dalam bidang Hukum Kanon di sebuah universitas di Roma dan di Catholic University di Amerika Serikat. Pacelli menjadi sekretaris pembantu di tahun 1911, ajun-sekretaris di tahun 1912 (sebuah posisi yang ia terima di masa kepemimpinan Paus Pius X dan mempertahankannya di masa kepemimpinan Paus Benediktus XV) dan menjadi sekretaris Congregatio de Negotiis Ecclesiasticis Extraordinariis di tahun 1914 meneruskan Gasparri yang sebelumnya diangkat menjadi Kardinal Menteri Luar Negeri Tahta Suci.[5] Sebagai sekretaris, Pacelli menyelseaikan perjanjian dua-pihak (konkordat) dengan Serbia empat hari sebelum Bangsawan Tinggi (Archduke) Franz Ferdinand dari Austria dibunuh di Sarajevo.[8] Selama Perang Dunia I, Pacelli mempertahankan registrasi Vatikan atas tahanan perang. Di tahun 1915 ia melakukan perjalanan ke Wina untuk membantu Monsinyur Scapinelli - Duta Gereja Katolik di Wina - dalam usaha perundingannya dengan Franz Joseph I dari Austria mengenai Italia.[9]

Menjadi Uskup Agung dan Nuncio Apostolik

Paus Benediktus XV mengangkat Pacelli sebagai Nuncio Apostolik untuk Bavaria pada tanggal 23 April 1917, mentahbiskannya sebagai Uskup titular Sardis dan kemudian segera mengangkatnya menjadi Uskup Agung di Kapel Sistina pada tanggal 13 Mei 1917, pada hari yang sama Santa Perawan Maria dipercaya menampakkan diri untuk pertama kali pada tiga anak penggembala di Fatima, Portugal. Setelah pentahbisannya, Eugenio Pacelli berangkat ke Bavaria.

Inisiatif perdamaian Vatikan

Semenjak tiadanya Nuncio untuk Prusia atau Jerman pada waktu itu, Pacelli menjadi Nuncio untuk seluruh Kekaisaran Jerman demi alasan kepraktisan. Setelah tiba di Munich, ia langsung menyampaikan inisiatif Tahta Kepausan untuk mengakhiri perang kepada Pemerintah Jerman. Ia bertemu dengan Raja Ludwig III pada tanggal 29 Mei 1917, dan kemudian dengan Kaiser Wilhelm II dan Kanselir Bethmann-Hollweg, yang menanggapi inisiatif tersebut dengan positif. Pacelli melihat "untuk pertama kalinya prospek nyata bagi perdamaian". Sayangnya, Bethmann-Hollweg dipaksa untuk mengundurkan diri dan Pemerintahan Tinggi Jerman, yang mengharapkan kemenangan militer, menunda jawaban Jerman atas inisiatif tersebut hingga tanggal 20 September 1917. Pacelli sangat kecewa dan tertekan akibat hal ini semenjak jawaban Jerman tersebut ternyata tidak mengikut-sertakan beberapa konsesi yang mereka janjikan sebelumnya. Di sisa masa perang, ia mengkonsentrasikan dirinya pada usaha-usaha kemanusiaan Paus Benediktus XV.

Setelah perang berakhir, di tahun 1919, selama masa Republik Soviet Bavaria yang pendek umurnya, Pacelli merupakan salah satu dari sedikit diplomat asing yang bertahan di Munich. Menurut Pascalina Lehnert, yang secara pribadi ada di sana waktu itu, Pacelli dengan tenang menghadapi sebuah kelompok kecil kaum revolusioner Spartasis yang telah memasuki bangunan keduataan besar secara paksa untuk merampas mobilnya. Pacelli menyarankan mereka untuk meninggalkan bangunan yang merupakan teritori Tahta Suci, yang dibalas oleh orang-orang tersebut bahwa mereka hanya mau pergi dengan mobilnya. Pacelli yang sebelumnya telah memerintahkan pemutusan aliran starter mobilnya, mengijinkan mobil tersebut untuk diderek dan dibawa pergi, hanya setelah ia diberitahu bahwa Pemerintah Bavaria telah berjanji untuk mengembalikan mobil tersebut sesegera mungkin nantinya. Beberapa versi dari insiden ini dan insiden-insiden berikutnya terdengar lebih seru, namun menurut cerita para saksi di proses beatifikasinya di Vatikan, kebanyakan versi-versi lain tersebut adalah hasil imajinasi belaka. Pandangan umum mungkin juga tidak terlalu memperhatikan hubungan baiknya dengan politisi sosialis seperti Friedrich Ebert dan Philipp Scheidemann, dan negosiasi-negosiasi rahasianya yang berkepanjangan dengan Uni Soviet. "Pacelli terlalu pandai untuk menjadi terusik dengan insiden semacam itu," kata seorang duta Bavaria di Vatikan.

Di malam Adolf Hitler melancarkan gerakan Beer Hall Putsch-nya, Franz Matt, satu-satunya anggota kabinet Bavaria yang tidak hadir di Bürgerbräu Keller, ternyata sedang makan malam bersama dengan Pacelli dan Michael Cardinal von Faulhaber. Diplomat Amerika Serikat Robert Murphy yang waktu itu berada di Munich menulis bahwa "semua duta asing di Munich, termasuk Nuncio Pacelli, yakin bahwa karier politik Hitler telah habis dengan penuh cela di tahun 1924. Ketika saya mengangkat cerita ini untuk mengingatkan Sri Paus tentang bagian kecil sejarah ini (di tahun 1945), ia tertawa dan berkata: Aku tahu apa yang kamu maksud - infalibilitas kepausan. Jangan lupa, waktu itu aku hanyalah seorang Monsinyur."

Nuncio pertama di Berlin

Beberapa tahun kemudian ia diangkat menjadi Nuncio untuk Jerman, dan setelah menyelesaikan sebuah konkordat dengan Bavaria (23 Juni 1920), Nunciature Apostolik Tahta Suci dipindahkan ke Berlin (tahun 1925). Banyak staf Pacelli di Munich ikut bersamanya hingga akhir hidupnya, termasuk penasehatnya Robert Leiber dan Suster Pascalina Lehnert - pembantu rumah tangga, teman, dan penasihat Pacelli selama 41 tahun.

Di Berlin, Pacelli adalah Pemimpin dari Korps Diplomatik dan aktif di kegiatan-kegiatan diplomatik dan sosial. Di sana ia bertemu dengan orang-orang terkenal seperti Albert Einstein, Adolf von Harnack, Gustav Stresemann, Clemens August Graf von Galen, dan Konrad Cardinal von Preysing. Dua nama terakhir ia angkat menjadi kardinal pada tahun 1946. Ia bekerja sama dengan Imam Jerman Ludwig Kaas, yang dikenal atas pengetahuannya yang dalam mengenai hubungan antar Gereja dan Negara dan yang aktif secara politik di Partai Tengah. Ketika berada di Jerman ia menikmati pekerjaannya sebagai seorang imam. Ia melakukan perjalanan ke seluruh daerah di Jerman, menghadiri Katholikentag (Pertemuan Nasional Umat Katolik), dan memberikan sekitar 50 khotbah dan pidato kepada masyarakat Jerman.

Negosiasi dengan Uni Soviet (1925-1927)

Di Jerman paska-perang, Pacelli terutama beusaha menjelaskan hubungan antara Gereja dan Negara. Namun dengan ketiadaan duta besar Tahta Kepausan di Moskow, Pacellli juga bekerja dalam pengurusan hubungan diplomatik antara Vatikan dengan Uni Soviet. Ia merundingkan pengiriman makanan bagi Rusia, di negara dimana Gereja ditindas. Ia bertemu dengan wakil-wakil Uni Soviet termasuk Menteri Luar Negeri Georgi Chicherin, yang menolak semua bentuk pendidikan keagamaan, pentahbisan imam dan uskup, namun menawarkan persetujuan tanpa hal-hal yang penting bagi Gereja maupun Vatikan. "Sebuah percakapan yang sangat tinggi kelasnya antara dua orang yang sangat pintar seperti Pacelli dan Chicherin, yang tampak saling tidak menyukai pihak yang lain," demikian catatan salah seorang yang hadir disana. Disamping sikap pesimistis Vatikan dan kurangnya kemajuan yang jelas, Pacelli meneruskan negosiasi-negosiasi rahasia dengan pihak Uni Soviet sampai Paus Pius XI memerintahkan agar semua negosiasi tersebut dihentikan di tahun 1927.

Pacelli dan Republik Weimar

Pacelli mendukung Koalisi Weimar dengan Partai Demokrat Sosial dan partai-partai liberal. Walaupun ia memiliki hubungan yang baik dengan wakil-wakil Partai Tengah seperti Marx dan Kaas, ia tidak mengikut-sertakan Partai Tengah dalam urusannya dengan Pemerintah Jerman. Pacelli mendukung aktivitas diplomatik Jerman yang ditujukan pada penolakan berbagai bentuk hukuman dari mantan-mantan musuh yang sekarang di pihak yang menang. Ia menghalangi usaha-usaha Perancis untuk pemisahan gereka di wilayah Saar, mendukung penunjukan pejabat Tahta Kepausan bagi Danzig dan membantu proses reintegrasi para imam yang diusir dari Polandia. Pacelli sangat kritis terhadap kebijaksanaan Jerman mengenai reparasi keuangan, yang dianggapnya tak bisa dibayangkan dan kekurangan unsur realitas di dalamnya. Ia menyesalkan kembalinya William, Putra Mahkota Jerman, dari pengasingan sebagai penyebab ketidak-stabilan situasi di negara tersebut. Setelah terjadinya sabotase-sabotase Jerman terhadap tentara pendudukan Perancis di Lembah Ruhr di tahun 1923, media Jerman memberitakan adanya konflik antara Pacelli dan Pemerintah Jerman. Vatikan mengutuk tindakan-tindakan tersebut terhadap Perancis di Ruhr.

Ketika ia kembali ke Roma pada tahun 1929, pujian datang bertubi-tubi kepadanya dari umat Katolik maupun Protestan yang saat itu menjadi orang yang lebih terkenal dibandingkan kardinal atau uskup Jerman manapun - dua pihak yang sebagian besar tidak ia ikut-sertakan dalam negosiasi dan urusan dengan Pemerintah Jerman.

Menjadi Kardinal Menteri Luar Negeri dan Camerlengo

Pacelli diangkat menjadi seorang kardinal pada tanggal 16 Desember 1929 oleh Paus Pius XI, dan beberapa bulan kemudian, pada tanggal 7 Februari 1930, Paus Pius XI mengangkatnya sebagai Kardinal Menteri Luar Negeri. Di tahun 1935, Kardinal Pacelli diberi gelar sebagai Camerlengo Gereja Katolik Roma.

Sebagai Kardinal Menteri Luar Negeri, Pacelli menandatangani konkordat dengan beberapa negara seperti Baden (1932), Austria (1933), Jerman (1933), Yugoslavia (1935), dan Portugal (1940). Perjanjian Lateran dengan Italia (1929) selesai dibuat sebelum Pacelli menjadi Menteri Luar Negeri. Semua konkordat ini memungkinkan Gereja Katolik untuk mengorganisasi kelompok-kelompok kepemudaan, membuat penunjukan-penunjukan pejabat gereja, menjalankan sekolah, rumah sakit dan berbagai organisasi sosial, atau bahkan melaksanakan pelayanan-pelayanan keagamaan. Perjanjian-perjanjian ini memastikan bahwa Hukum Kanon diterima dalam beberapa ruang lingkup (seperti keputusan gereja mengenai pembatalan pernikahan).

Ia banyak melakukan kunjungan diplomatik di seluruh Eropa dan Amerika, termasuk sebuah kunjungan panjang ke Amerika Serikat di tahun 1936 dimana ia bertemu dengan Charles Coughlin dan Franklin D. Roosevelt, yang menunjuk seorang duta pribadi (tanpa memerlukan persetujuan Senat) bagi Tahta Suci pada bulan Desember 1939, mendirikan kembali tradisi diplomatik yang putus sejak tahun 1870 ketika Sri Paus kehilangan kekuasaan atas hal-hal sekuler.

Pacelli menduduki jabatan sebagai Legatus Pontificius dalam Kongres Ekaristi Internasional di Buenos Aires, Argentina, pada tanggal 10-14 Oktober 1934, dan di Budapest, Hungaria, tanggal 25-30 Mei 1938.

Beberapa ahli sejarah menganggap bahwa Pacelli, sebagai Kardinal Menteri Luar Negeri, menghalangi Paus Pius XI (yang hampir meninggal dunia saat itu) untuk mengutuk peristiwa Kristallnacht di Jerman pada bulan November 1938, ketika ia diberitahu akan peristiwa itu oleh Nuncio Berlin. Surat ensiklik Paus Pius XI berjudul Humani Generis Unitas ("Mengenai Persatuan Umat Manusia"), yang telah siap untuk dikeluarkan pada bulan September 1938 (menurut dua penerbit surat ensiklik tersebut dan sumber-sumber lainnya) tidak dikirimkan ke Vatikan oleh Sekretaris Jenderal Yesuit Wlodimir Ledochowski. Surat tersebut mengandung sebuah pengutukan yang terbuka dan jelas terhadap kolonialisme, rasisme dan antisemitisme, namun juga mengandung tuduhan yang keras kepada kaum Yahudi dan elemen-elemen antiyudaisme. Beberapa ahli sejarah menilai bahwa Pacelli yang mengetahui keberadaan surat ensiklik ini hanya setelah wafatnya Paus Pius XI tidak mengumumkannya secara resmi sebagai Paus. Namun, ia menggunakan sebagian dari surat ensiklik tersebut di dalam surat ensikliknya pada saat ia ditahbiskan sebagai Sri Paus, Summi Pontificatus, yang ia sebut "Mengenai Persatuan Umat Manusia."

Berbagai pandangannya mengenai Gereja dan masalah-masalah kebijakan selama masa tugasnya sebagai Kardinal Menteri Luar Negeri dipublikasikan oleh Vatikan pada tahun 1939. Salah satu hal yang paling penting diantara lima puluh pidatonya adalah ulasannya mengenai masalah hubungan Gereja dan negara di Budapest tahun 1938.

Reichskonkordat

Reichskonkordat adalah sebuah bagian integral dari empat konkordat yang diselesaikan Pacelli atas nama Vatikan terhadap negara-negara bagian Jerman. konkordat bagi negara-negara bagian ini diperlukan karena konstitusi negara Jerman Federalis Weimar memberikan kekuasaan kepada tiap-tiap negara bagian di bidang pendidikan dan kebudayaan, dua hal yang menjadi perhatian kebijaksanaan Vatikan. Sebagai Nuncio Bavaria, Pacelli sukses merundingkannya dengan Pemerintah Bavaria di tahun 1925. Ia berharap konkordat dengan negara bagian Bavaria yang Katolik menjadi model untuk wilayah lainnya di Jerman. Prusia menunjukkan ketertarikan dalam berunding hanya setelah adanya konkordat dengan Bavaria. Namun, Pacelli menerima kondisi yang kurang menguntungkan bagi Gereja di dalam konkordat dengan Prusia tahun 1929, yang tidak meliputi masalah-masalah pendidikan. Sebuah konkordat dengan Negara Bagian Jerman Baden diselesaikan oleh Pacelli pada tahun 1932 setelah ia kembali ke Roma. Disana ia juga merundingkan sebuah konkordat dengan Austria pada tahun 1933. Sebanyak 16 konkordat dan perjanjian dengan negara-negara Eropa diselesaikan dalam periode sepuluh tahun (1922-1932).

Reichskonkordat yang ditandatangani pada tanggal 20 Juli 1933 antara Jerman dan Tahta Suci, adalah suatu hal yang penuh kontroversi sejak awal walau perjanjian ini merupakan bagian dari kebijaksanaan Vatikan secara garis besar. Hal ini masih menjadi konkordat paling penting yang dibuat oleh Pacelli. Perjanjian ini diperdebatkan bukan karena isinya (yang masih berlaku hingga hari ini) namun karena waktu pembuatannya. Sebuah konkordat nasional dengan Jerman merupakan tujuan utama Pacelli sebagai Menteri Luar Negeri karena ia berharap untuk memperkuat kedudukan legal Gereja disana. Pacelli yang mengenal kondisi Jerman dengan baik, menekankan (1) perlindungan terhadap asosiasi-asosiasi Katolik, (2) kebebasan bagi pendidikan dan sekolah-sekolah Katolik, dan (3) kebebasan publikasi.

Sebagai nuncio disana selama era 1920-an, usahanya ternyata gagal untuk mendapatkan persetujuan dengan Jerman terhadap perjanjian semacam itu. Antara tahun 1930-1933 ia mencoba untuk memulai perundingan dengan wakil-wakil penerus pemerintahan Jerman, namun karena penentangan partai-partai Protestan dan Sosialis, ketidak-stabilan pemerintahan nasional dan prioritas pemerintahan negara-negara bagian untuk melindungi status otonomi mereka Pacelli gagal mencapai tujuan ini. Khususnya, kesangsian mengenai kontribusi adanya denominasi-denominasi agama dan karya-karya rohaniwan di dalam angkatan bersenjata menghalangi persetujuan apapun di tingkat nasional walaupun pembicaraan mengenai hal ini sempat terjadi di musim dingin tahun 1932.

Adolf Hitler diangkat menjadi Kanselir pada tanggal 30 Januari 1933 dan segera mencoba mendapatkan rasa hormat dunia internasional atas dirinya dan mencoba menyingkirkan lawan-lawan politik dalam negeri dari pihak Gereja dan Partai Tengah Katolik. Ia mengirim Wakil Kanselir-nya Franz von Papen, seorang bangsawan Katolik dan mantan anggota Partai Tengah, ke Roma untuk menawarkan perundingan mengenai Reichskonkordat. Atas nama Kardinal Parcelli, Uskup Ludwig Kaas, pemimpin Partai Tengah yang ramah, merundingkan rancangan-rancangan pertama mengenai kondisi-kondisi perjanjian dengan Papen. konkordat tersebut akhirnya ditanda-tangani oleh Pacelli atas nama Vatikan dan oleh von Papen atas nama Jerman pada tanggal 20 Juli dan diratifikasi pada tanggal 10 September 1933.

Antara tahun 1933 dan 1939, Pacelli mengeluarkan 55 protes atas pelanggaran Reichskonkordat. Yang paling terkenal ialah pada awal tahun 1937 Pacelli meminta beberapa kardinal Jerman, termasuk Michael Cardinal von Faulhaber, untuk membantunya menulis sebuah protes atas pelanggaran Nazi terhadap Reichskonkordat; Surat ini nantinya menjadi surat ensiklik Paus Pius XI berjudul Mit Brennender Sorge. Surat ensiklik tersebut, yang mengutuk pandangan yang "meninggikan ras, atau masyarakat, atau negara, atau suatu bentuk khusus dari negara ... di atas nilai-nilai dasar mereka dan mempertuhankan mereka (pandangan-pandangan ini) ke tahap menjadi barang pujaan berhala", ditulis dalam Bahasa Jerman, bukan Bahasa Latin seperti biasanya, dan dibacakan di gereja-gereja Jerman pada Hari Minggu Palma tahun 1937. Pada tanggal 10 Juni 1941 ia mengomentari berbagai permasalahan dengan Reichskonokordat dalam sepucuk surat kepada Uskup Passau di Bavaria: "Sejarah Reichskonkordat menunjukkan bahwa pihak yang lain tidak memiliki prasyarat paling dasar untuk menerima kebebasan dan hak Gereja sedikitpun, yang tanpanya Gereja tidak akan bisa hidup dan berkarya, meski dengan adanya perjanjian-perjanjian formal sekalipun".

Masa kepausan

Pemilihan dan pentahbisan

Paus Pius XI wafat pada tanggal 10 Februari 1939. Beberapa ahli sejarah telah memperkirakan bahwa konklaf yang akan diadakan untuk memilih penerus Sri Paus akan menghadapi sebuah pilihan besar antara calon yang memiliki kemampuan diplomatis atau yang memiliki kehidupan spiritual yang kuat, dan para kardinal melihat pengalaman diplomatik Pacelli, terutama dengan Jerman, sebagai salah satu faktor yang membawa pemilihannya sebagai Sri Paus berikutnya pada tanggal 2 Maret 1939, pada hari ulang tahun ke-63-nya, setelah hanya satu hari berembuk dan tiga kali pengisian kartu pemilihan. Ia menjadi Kardinal Menteri Luar Negeri pertama yang terpilih menjadi Sri Paus semenjak Paus Klemens IX pada tahun 1667. Ia juga menjadi salah satu dari dua pria yang pernah menjabat sebagai Camerlengo tepat sebelum terpilih sebagai paus (yang lainnya adalah Paus Leo XIII). Pentahbisannya diadakan tanggal 12 Maret 1939.

Pacelli mengambil gelar kepausan yang sama dengan pendahulunya, sebuah gelar yang hanya digunakan oleh paus-paus orang Italia. Ia pernah berkata, "Saya memanggil diri saya Pius; seluruh hidup saya berada di bawah kepemimpinan Paus dengan nama ini, namun (saya memakai nama ini) khususnya sebagai tanda terima kasih saya pada Paus Pius XI."

Pada tanggal 15 Desember 1937, selama konsistorium-nya yang terakhir (berada di dalam pertemuan Kolegium para Kardinal yang bukan konklaf), Paus Pius XI memberikan isyarat yang cukup jelas kepada para kardinal bahwa ia berharap Pacelli menjadi penerusnya dengan ucapan "Ia berada diantara kalian". Ia pernah berkata: "Apabila hari ini Sri Paus meninggal dunia, kalian akan mendapatkan paus baru esok harinya karena Gereja hidup terus. Adalah merupakan tragedi yang lebih besar apabila Kardinal Pacelli yang meninggal dunia karena ia hanya ada satu. Saya berdoa tiap hari agar Tuhan mengirimkan orang yang lain (seperti Pacelli) ke tengah-tengah kita, namun hingga hari ini, hanya ada satu (Pacelli) di dunia ini."

Setelah pemilihannya, Paus Pius XII menyebutkan tiga sasarannya sebagai Sri Paus:

  1. Sebuah terjemahan baru Kidung Mazmur yang dikumandangkan tiap hari oleh rohaniwan/wati dan para imam, agar mereka lebih dapat menghargai keindahan dan kekayaan Kitab Perjanjian Lama. Terjemahan ini diselesaikan pada tahun 1945.
  2. Sebuah penjelasan mengenai dogma tentang pengangkatan tubuh ke surga. Hal ini mengakibatkan banyaknya penelitian ke dalam sejarah Gereja dan konsultasi dengan berbagai keuskupan di seluruh dunia. Dogma ini dinyatakan pada bulan November 1950.
  3. Meningkatkan usaha-usaha ekskavasi arkeologi di bawah Basilika Santo Petrus di Roma untuk memastikan apakah Santo Petrus benar-benar dimakamkan disana, atau apakah Gereja telah terjebak dalam kebohongan iman selama lebih dari 1500 tahun. Hal ini adalah sebuah hal yang penuh kontroversi karena kemungkinan nyata dari sebuah peristiwa memalukan yang luar biasa, dan juga karena kekhawatiran dalam masalah teknis karena usaha ekskavasi ini akan dilakukan di bawah altar utama, dekat dengan pilar-pilar Bernini dari altar kepausan dan yang merupakan penopang utama dari cupola (kubah) Michelangelo. Hasil pertama mengenai makam Santo Petrus dipublikasikan pada tahun 1950.

Pengangkatan pejabat gereja

Setelah pemilihannya, ia mengangkat Lugi Cardinal Maglione menjadi penerusnya sebagai Pewrdana Menteri. Maglione, seorang diplomat Vatikan yang berpengalaman, telah mendirikan kembali hubungan-hubungan diplomatik dengan Swiss dan untuk waktu yang lama menjadi nuncio di Paris, Perancis. Walau demikian, Maglione tidak menggunakan pengaruh pendahulunya dalam melakukan tugasnya sebagai Menteri Luar Negeri.

Sebagai paus, Pacelli tetap berhubungan dekat dengan Monsinyur Montini (yang kelak menjadi Paus Paulus VI) dan Domenico Tardini. Setelah wagatnya Maglione di tahun 1944, Paus Pius XII membiarkan posisi tersebut kosong dan mengangkat Tardini sebagai kepala bagian urusan luar negeri dan Montini sebagai kepala bagian urusan dalam negeri. Tardini dan Montini terus mengabdi di jabatan mereka hingga tahun 1953 ketika Paus Pius XII memutuskan untuk mengangkat mereka menjadi kardinal - sebuah kehormatan yang ditolak oleh mereka berdua. Mereka kemudian diangkat menjadi Pro-Sekretaris, sebuah jabatan yang memberikan hak pada mereka untuk mengenakan Tanda Kehormatan Keuskupan. Tardini terus menjadi pejabat dekat Sri Paus hingga wafatnya Paus Pius XII, sementara Mantini menjadi Uskup Agung Milan, setelah wafatnya Alfredo Ildefonso Schuster.

Paus Pius XII perlahan tapi pasti mengurangi monopoli Pemerintah Italia terhadap Kuria Romawi. Ia mengangkat penasehat-penasehat Yesuit dari Jerman dan Belanda: Robert Leiber, Augustin Bea, dan Sebastian Tromp. Ia juga mendukung pengangkatan orang Amerika seperti Francis Spellman dari peran kecil menjadi memiliki peran yang besar di dalam Gereja. Setela Perang Dunia II, Paus Pius XII mengangkat lebih banyak pejabat gereja yang bukan orang Italia dibandingkan dengan paus-paus sebelum dirinya: orang Amerika seperti Joseph P. Hurley sebagai pejabat kedutaan besar Tahta Suci di Belgrade, Gerald P. O'Hara sebagai nuncio bagi Rumania, dan Monsinyur Aloisius Joseph Muench sebagai nuncio bagi Jerman. Untuk pertama kalinya, banyak orang-orang muda dari Eropa, Asia dan Amerika "dididik dan dilatih di dalam berbagai kongregasi dan jebatan administrasi di Vatikan untuk pelayanan-pelayanan mereka nantinya di seluruh dunia".

Konsistorium

Hanya dua kali dalam masa kepemimpinannya Paus Pius XII mengadakan konsistorium untuk memilih kardinal-kardinal baru; sangat berlawanan dengan Paus Pius XI yang mengadakan tujuh belas kali pertemuan itu dalam periode tujuh belas tahun. Paus Pius XII memilih untuk tidak mengangkat kardinal-kardinal baru selama Perang Dunia II, menyebabkan jumlah para kardinal menyusut menjadi 38 (Kardinal Denis Dougherty menjadi satu-satunya kardinal di masa Paus Pius XII yang masih hidup). Konsistorium pertama diadakan pada tanggal 18 Februari 1946 - yang kemudian dikenal sebagai Konsistorium Agung - menghasilkan pengangkatan jumlah kardinal terbanyak di sebuah konsistorium dalam sejarah gereja: 32 kardinal baru, hampir 50% dari jumlah Kolegium para Kardinal, dan mencapai batas terbanyak menurut hukum gereja, yakni tujuh puluh kardinal. Konsistorium Paus Pius XII pada tahun 1946 ini, dengan tetap menjaga jumlah terbanyak Kolegium para Kardinal di angka 70, mengangkat kardinal-kardinal dari China, India, Timur Tengah dan menambah jumlah kardinal dari Amerika, sehingga secara proporsi mengurangi pengaruh kardinal Italia dialam kolegium tersebut.

Pada konsistorium keduanya pada tanggal 12 Januari 1953, telah diantisipasi bahwa pejabat dekat Sri Paus, Monsinyur Domenico Tardini dan Monsinyur Montini akan diangkat menjadi kardinal. Paus Pius XII memberi tahu para kardinal yang telah berkumpul bahwa kedua orang tersebut mulanya berada di daftar teratasnya, namun mereka berdua menolak tawaran tersebut dan sebagai gantinya mereka diberikan kenaikan jabatan lainnya.

Dua konsistorium tahun 1946 dan 1953 mengakhiri masa 500 tahun dimana orang-orang Italia menjadi mayoritas di dalam Kolegium para Kardinal. Dengan beberapa perkecualian, para uskup dan kardinal Italia menerima perubahan ini dengan positif; tidak terdapat protes atau penentangan terbuka terhadap usaha-usaha internasionalisasi ini.

Sebelumnya, di tahun 1945, Paus Pius XII telah menghapuskan prosedur konklaf kepausan yang rumit, yang dulunya dibuat dengan tujuan untuk menjamin kerahasiaan dan untuk menghalangi para kardinal untuk memilih dirinya sendiri. Sebagai gantinya, prosedur yang baru menambah jumlah suara mayoritas untuk memilih Sri Paus baru dari dua-per-tiga jumlah Kolegium para Kardinal menjadi dua-per-tiga ditambah satu.

Reformasi gereja

Reformasi liturgi

Dalam surat ensikliknya Mediator Dei, Paus Pius XII menghubungkan liturgi dengan kehendak terakhir Kristus: "Tapi adalah kehendak-Nya bahwa ibadah yang Ia dirikan dan lakukan selama hidup-Nya di bumi akan selalu berlanjut selamanya tanpa henti. Karena Ia tidak meninggalkan umat manusia menjadi yatim piatu. Ia masih menawarkan kita bantuan dari perantaraan-Nya yang penuh kuasa dan tidak pernah gagal, bertindak sebagai "pembela kita di hadapan Allah Bapa". Ia membantu kita melalui Gereja-Nya dimana Ia berkuasa sepanjang jaman; melalui Gereja yang Ia dirikan, tahbiskan dan sahkan selama-lamanya dimana Ia mendirikan "pilar-pilar kebenaran" dan penyebar rahmat, dan yang melalui pengorbanan-Nya di kayu salib."

Oleh karenanya, Gereja, menurut Paus Pius XII, memiliki tujuan yang sama dengan Kristus sendiri, yakni mengajari semua manusia tentang kebenaran, dan mempersembahkan kepada Tuhan persembahan yang baik dan layak. Dengan cara ini, Gereka membentuk kembali persatuan antara Sang Pencipta dengan makhluk-makhluk ciptaan-Nya. Persembahan di altar, sesuai dengan apa yang pernah dilakukan Kristus sendiri, menghantarkan dan menebarkan rahmat kudus dari Kristus kepada para anggota di dalam sebuah Tubuh Keilahian.

Liturgi menuntut partisipasi dari para umat. Paus Pius XII menolak secara tegas praktek-praktek devosi Katolik pribadi dan dalam hati yang semakin menyebar yang dilakukan oleh para umat selama Misa Kudus. Menurutnya, mereka memisahkan umat "dari pengorbanan di altar, dan dari aliran tenaga Ilahi yang mengalir dari kepala (yakni pemimpin misa) ke anggota-anggota tubuhnya (yakni para umat)". Ibadah Katolik mempersembahkan Pengakuan Iman Katolik dan Keberadaan Harapan dan Amal kepada Tuhan

Reformasi Liturgi Paus Pius XII yang berjumlah banyak menunjukkan dua karakteristik. Pembaruan dan penemuan kembali tradisi-tradisi liturgi tua, seperti pengenalan kembali upacara Malam Paskah, dan sebuah suasana yang lebih tertata di dalam bangunan-bangunan gereja. Penggunaan bahasa daerah didukung oleh Paus Pius XII, suatu hal yang menjadi bahan perdebatan hangat waktu itu. Ia menambah jumlah kebaktian-kebaktian yang tanpa menggunakan Bahasa Latin, terutama di negara-negara dimana kegiatan misi Katolik sedang berkembang. Pelaksanaan Sakramen Kudus di dalam gereja juga harus selalu dilakukan di altar utama yang berada di tengah gereja. Gereja juga selayaknya memajang benda-benda religius, namun tidak dipenuhi dengan benda-benda yang tidak penting atau bahkan dengan benda-benda yang merusak keagungan gereja. Karya-karya seni suci modern harus tetap menimbulkan rasa hormat dan menggambarkan semangat masa kini. Para imam diperbolehkan memimpin upacara pernikahan tanpa Misa Kudus. Mereka juga boleh memimpin Sakramen Krisma dalam situasi-situasi tertentu yang sebelumnya hanya para Uskup yang berhak mengadakannya.

Reformasi hukum kanon

Reformasi Hukum Kanon (Latin: Corpis Iuris Canonici (CIC)) bertujuan untuk melakukan desentralisasi kekuasaan dan meningkatkan kebebasan Gereja yang bersatu. Dalam undang-undang dasarnya yang baru, para Patriark Gereja Ortodoks Timur diangkat hampir tanpa campur tangan Roma (CIC Orientalis, 1957), demikian juga Hukum Pernikahan Gereja Ortodoks Timur (CIC Orientalis, 1949), hukum sipil (CIC Orientalis, 1950), hukum-hukum yang mengatur organisasi-organisasi religius (CIC Orientalis, 1952), hukum hal milik (CIC Orientalis, 1952) dan hukum-hukum lainnya. Semua reformasi dan tulisan Paus Pius XII ditujukan untuk membuat tradisi Oriental Timur sebagai bagian yang sama di dalam tubuh ilahi Kristus, seperti yang dijelaskan di dalam surat ensiklik Mystici Corporis.

Para imam dan rohaniwan/wati

Dengan undang-undang apostolik Sedis Sapientiae, Paus Pius XII menambahkan ilmu-ilmu sosial, sosiologi, psikologi dan psikologi sosial ke dalam pelatihan calon imam masa depan. Paus Pius XII menekankan kebutuhan untuk secara sistematis menganalisa kondisi psikis para calon imam untuk memastikan bahwa mereka mampu hidup selibat dan penuh pelayanan. Paus Pius XII menambahkan satu tahun lagi ke dalam masa formasi teologi para calon imam. Ia juga mengikut-sertakan satu tahun pastoral sebagai masa pengenalan nyata ke karya-karya keparokian.

Intisari dari pesan Paus Pius XII kepada semua rohaniwan/wati adalah mengajak mereka untuk selalu mereformasi diri sendiri dan untuk selalu melakukan tindakan heroisme Kristen. Artinya adalah untuk hidup lebih baik secara spiritual dibandingan orang awam dan menjadi contoh hidup dari kebajikan Kristen. Di saat dunia sekuler jatuh kembali kepada hedonisme, pilihan lain umat Katolik adalah kesucian dari, khususnya, para imam dan rohaniwan/wati. Norma-norma ketat yang mengatur hidup mereka bertujuan untuk membuat mereka menjadi model kesempurnaan seorang Kristiani bagi orang awam, demikian tulisannya di dalam Menti Nostrae. Para uskup didorong untuk mencontoh orang suci seperti Bonifasius dan Paus Pius X. Para imam didorong untuk menjadi contoh hidup dari cinta Kristus dan pengorbanan-Nya.

Teologi

Paus Pius XII menjabarkan iman Katolik di dalam 41 surat ensiklik dan hampir 1000 pesan dan amanat selama masa kepemimpinannya yang lama. Mediator Dei memperjelas keanggotaan dan partisipasi di dalam Gereja, Surat ensiklik Divino Afflante Spiritu membuka pintu bagi penelitian kitab suci. Namun magisterium-nya jauh lebih luas dan sulit untuk dirangkum. Dalam banyak amanatnya, ajaran Katolik memiliki hubungan dengan berbagai aspek kehidupan, pendidikan, obat-obatan, politik, perang dan perdamaian, kehidupan para orang suci, Bunda Maria Bunda Allah, hal-hal abadi dan masa kini. Secara teologis, Paus Pius XII memperinci keberadaan kekuasaan pengajaran Gereja. Ia juga memberikan kebebasan baru di dalam penyelidikan teologis.

Orientasi teologi

Berkas:Pacelli12.jpg
Pius XII

Penelitian kitab suci

Surat ensiklik Divino Afflante Spiritu, terbit tahun 1943,[10] menekankan peran Kitab Suci. Paus Pius XII memberikan kebebasan kepada penelitian kitab suci yang banyak dibatasi sebelumnya. Ia mendorong teolog Kristen untuk melihat kembali versi asli kitab suci yang ditulis dalam Bahasa Yunani dan Ibrani. Memperhatikan kemajuan di dunia arkeologi, surat ensiklik tersebut mengubah surat ensiklik Paus Leo XIII, yang hanya menyarankan untuk kembali ke naskah asli untuk memecahkan masalah makna yang berbeda-beda dalam kitab suci Bahasa Latin. Surat ensiklik tersebut menuntut pengertian yang lebih mendalam lagi mengenai sejarah dan tradisi Yahudi. Surat tersebut menuntut para uskup di seluruh Gereja untuk mulai mengadakan pelajaran kitab suci bagi orang awam. Sri Paus juga meminta orientasi ulang dari ajaran dan pendidikan Katolik, dengan lebih banyak mendasarkan diri pada kitab suci dalam kotbah-kotbah dan petunjuk-petunjuk rohani.[11]

Peran teologi

Kebebasan untuk melakukan penyelidikan teologis tidak diberikan kepada semua aspek teologi. Menurut Paus Pius XII, teolog yang dipekerjakan oleh Gereja menjadi para pembantu dalam pengajaran jaran-ajaran resmi Gereja, dan bukan pengajaran pemikiran-pemikiran pribadi mereka. Mereka bebas untuk melibatkan diri dalam penelitian empiris - suatu hal yang didukung penuh oleh Gereja - namun di masalah-masalah moralitas dan agama mereka tunduk kepada otoritas pengajaran Gereja, Magisterium. Kedudukan teologi yang paling mulia adalah untuk menunjukkan bagaimana sebuah doktrin yang dirumuskan oleh Gereja terdapat di dalam sumber-sumber wahyu, dalam sebuah pengertian yang telah ditetapkan oleh Gereja.[12] Kumpulan iman aslinya tidak diinterpretasikan bagi tiap umat maupun teolog, tapi hanya bagi otoritas pengajaran Gereja.[13]

Mariologi dan dogma pengangkatan tubuh ke surga

 
Pada 1 November 1950, Pius XII mendefinisikan dogma pengangkatan (Assunta karya Titian (1516-18)).

Sebagai seorang anak muda dan dalam kehidupan selanjutnya, Eugenio Pacelli adalah seorang pengikut Sang Perawan Maria yang rajin. Paus Pius XII yang dikonsekrasi pada tanggal 13 Mei 1917, hari yang sama di saat Bunda Maria Ratu Fatima dipercaya menampakkan dirinya untuk pertama kalinya, menyucikan dunia melalui Hati Kudus Maria tahun 1942, sesuai dengan "rahasia" kedua Bunda Maria Ratu Fatima. (Jenazah Paus Pius XII nantinya juga dimakamkan di dalam ruang bawah tanah Basilika Santo Petrus pada hari parayaan Bunda Maria Bunda Fatima pada tanggal 13 Oktober 1958).

Pada tanggal 1 November 1950, Paus Pius XII menjelaskan dogma tentang pengangkatan tubuh ke surga:

"Oleh kekuasaan Tuhan kita Yesus Kristus, Rasul Suci Petrus dan Paulus, dan oleh kekuasaan kami sendiri, kami menyatakan, mengumumkan dan menetapkan hal berikut sebagai sebuah dogma yang diwahyukan oleh Allah: bahwa Bunda Allah yang suci, Sang Perawan Maria, setelah menjalani kehidupan duniawinya, tubuh dan jiwanya diangkat ke keagungan surgawi."[14]

Dogma mengenai pengangkatan tubuh Sang Perawan Maria ke surga adalah puncak teologi Paus Pius XII. Dalam pernyataan dogmatis ini, kalimat "setelah menjalani kehidupan duniawinya" membiarkan pertanyaan tak terjawab apakah Sang Perawan Maria meninggal sebelum tubuhnya diangkat ke surga atau dirinya diangkat ke surga sebelum kematiannya; kedua kemungkinan ini dibiarkan ada. Pengangkatan tubuh Maria ke surga adalah rahmat Tuhan kepada Maria sebagai Bunda Allah. Sebagaimana Maria menyelesaikan perjalanan hidupnya sebagai sebuah contoh luar biasa bagi umat manusia, pandangan mengenai rahmat pengangkatan tubuh ke surga ditawarkan kepada seluruh umat manusia.

Dogma ini didahului dengan surat ensiklik tahun 1946 Deiparae Virginis Mariae, yang meminta semua uskup Katolik untuk menyatakan opini mereka mengenai perumusan sebuah dogma akan Sang Perawan Maria. Pada tanggal 8 September 1953, surat ensiklik Fulgens Corona mengumumkan tahun 1954 sebagai Tahun Maria, sebagai perayaan seratus tahun lahirnya Dogma Pembuahan Suci (Immaculate Conception).[15] Dalam surat ensiklik Ad Caeli Reginam ia mengumumkan secara resmi perayaan dan gelar Ratu bagi Maria.[16] Mystici Corporis merangkum Mariologi Paus Pius XII.[17]

Ajaran-ajaran sosial

 
Pengangkatan Salus Populi Romani oleh Paus Pius XII tahun 1954

Teologi medis

Paus Pius XII memberikan banyak pidato kepada para pekerja dan peneliti medis.[18] Ia memberikan amanat kepada para dokter, perawat, dan bidan memperinci semua aspek mengenai hak dan harga diri para pasien, tanggung-jawab medis, implikasi moral dari penyakit-penyakit psikis, dan penggunaan obat-obatan untuk sakit jiwa. Ia juga mengangkat topik seperti penggunaan obat-obatan bagi orang-orang dengan sakit yang tak tersembuhkan, berdusta dalam dunia medis di dalam kasus penyakit-penyakit yang parah, dan hak-hak anggota keluarga untuk mengambil keputusan menolak saran ahli medis. Paus Pius XII seringkali menunjukkan cara-cara baru dalam menghadapi topik-topik seperti yang disebutkan sebelumnya. Oleh karenanya ia adalah orang pertama yang menetapkan bahwa penggunaan obat penghilang rasa sakit bagi pasien dengan sakit yang tak tersembuhkan dapat dibenarkan, bahkan apabila hal ini justru akan memperpendek masa hidup pasien tersebut, sejauh memperpendek masa hidup orang bukan menjadi tujuan diberikannya obat tersebut.[19]

Keluarga dan seksualitas

Paus Pius XII mengembangkan sebuah teologi keluarga yang mendalam, mengangkat masalah-masalah dalam peran keluarga, pembagian tugas dalam rumah tangga, pendidikan anak-anak, penyelesaian konflik, dilema-dilema keuangan rumah tangga, masalah-masalah psikologis, penyakit, perawatan generasi yang lebih tua, pengangguran, kesucian dan kebajikan pernikahan, doa bersama, diskusi religius dan masih banyak lagi. Dalam tujuan ilahi sepenuhnya dari kehidupan berkeluarga, ia secara penuh menerima Metode Kalender sebagai sebuah bentuk bermoral dari keluarga berencana, walaupun dalam situasi-situasi yang terbatas di dalam konteks keluarga.[20]

Teologi dan ilmu pengetahuan

Bagi Paus Pius XII, ilmu pengetahuan dan agama adalah saudara dari surga, manifestasi yang berbeda dari kebenaran ilahi, yang tidak mungkin bisa saling menyanggah satu dengan yang lain dalam jangka panjang.[21] Mengenai hubungan mereka, penasehatnya Profesor Robert Leiber menulis: "Paus Pius XII sangat berhati-hati untuk tidak menutup pintu manapun terlalu dini. Ia sangat tegas dalam hal ini dan menyesali adanya kasus Galileo."[22]

 
Tanda tangan Pius XII

Evolusi

Pada tahun 1950, Paus Pius XII mengumumkan secara resmi Humani Generis yang mengakui bahwa evolusi mungkin menjelaskan asal-usul biologis kehidupan manusia dengan lebih tepat, namun di saat yang sama mengkritik pihak-pihak yang menggunakan teori evolusi ini sebagai sebuah agama, yang "dengan tidak berhati-hati dan tidak bijaksana menganggap bahwa evolusi... menjelaskan asal-usul dari semua hal". Umat Katolik harus percaya bahwa jiwa manusia diciptakan oleh Tuhan. Semenjak jiwa adalah suatu zat spiritual, jiwa tidak dilahirkan melalui transformasi benda-benda duniawi, namun diciptakan langsung oleh Tuhan, daripadanya hadir keunikan khusus tiap manusia."[23] Lima puluh tahun kemudian, Paus Yohanes Paulus II, sembari menyatakan bahwa bukti-bukti ilmiah saat ini tampak lebih mendukung teori evolusi, menegaskan kembali penjelasan Paus Pius XII mengenai jiwa manusia: "Bahkan apabila tubuh manusia berasal dari benda-benda hidup yang telah ada sebelumnya, jiwa spiritual tetap secara spontan diciptakan oleh Tuhan".[24]

Surat ensiklik, tulisan dan amanat

Paus Pius XII mengeluarkan 41 surat ensiklik selama masa kepemimpiannya, - jumlah yang lebih banyak dari apa yang dihasilkan oleh semua penerusnya di masa lima puluh tahun terakhir - disamping banyak tulisan dan amanat lainnya. Masa kepausan Pius XII adalah yang pertama dalam sejarah Vatikan yang menerbitkan pidato dan amanat Sri Paus ke dalam berbagai bahasa daerah secara sistematis. Hingga saat itu semua dokumen kepausan diterbitkan khususnya dalam Bahasa Latin di dalam Acta Apostolicae Sedis sejak tahun 1909. Oleh karena memiliki nilai koleksi yang tinggi, dan ketakutan akan pendudukan Vatikan oleh angkatan bersenjata (Wehrmacht) Jerman, tidak semua dokumen masih ada hingga hari ini.[25] Pada tahun 1944, sebagian dokumen kepausan dibakar atau dirubah isinya untuk menghindari penemuan dari angkatan bersenjata Jerman. Karena dengan tegas ia menyatakan bahwa dirinya sendiri harus meninjau kembali semua tulisan-tulisannya sebelum dipublikasikan untuk menghindari kesalah-pahaman, beberapa tulisan dan amanat Paus Pius XII tidak memperoleh kesempatan untuk dipublikasikan atau terkadang hanya muncul sekali di dalam surat kabar harian Vatikan, Osservatore Romano.

 
Gemma Galgani dikanonisasi tahun 1940 oleh Pius XII

Beberapa surat ensiklik ditujukan kepada Gereja-gereja Oriental. Orientalis Ecclesiae diterbitkan pada tahun 1944 pada hari perayaan wafatnya Sirilius dari Alexandria 15 abad yang lalu, seorang suci yang dikenal baik di Gereja Ortodoks maupun di Gereja Latin. Paus Pius XII meminta doa untuk pengertian yang lebih baik dan persatuan semua Gereja ini. Orientales Omnes, terbit tahun 1945 pada ulang tahun ke-350 pertemuan kembali kedua Gereja, adalah sebuah panggilan untuk mendoakan persatuan yang terus menerus dari Gereja Katolik Ruthenia, yang terancam keberadaannya akibat penindasan pihak pemerintah Uni Soviet. Sempiternus Rex diterbitkan tahun 1951 pada ulang tahun ke-15 Konsili Ekumenis Khalsedon. Surat ensiklik ini meliputi sebuah panggilan bagi masyarakat oriental yang percaya pada monofisitisme (paham bahwa Kristus hanya memiliki satu sifat dasar, yaitu bersifat ilahi) untuk kembali kepada Gereja Katolik.

Orientales Ecclesias diterbitkan pada tahun 1952 dan ditujukan kepada Gereja-gereja Oriental, memprotes penindasan pengikut Stalin yang terus-menerus kepada Gereja. Beberapa surat-surat apostolik dikirimkan ke para uskup di Timur. Pada tanggal 13 Mei 1956, Paus Pius XII memberikan amanat pada semua uskup dari Ritus Timur. Maria, Bunda Allah, menjadi topik surat-surat ensiklik kepada masyrakat Rusia di dalam Fulgens Corona dan topik sebuah surat kepausan bagi masyarakat Rusia.[26][27][28][29][30][31][32]

Kanonisasi dan beatifikasi

Paus Pius XII mengkanonisasi banyak orang suci, termasuk diantaranya Paus Pius X dan Maria Goretti. Ia melakukan beatifikasi Paus Innosensius XI. Kanonisasi pertamanya adalah dua orang wanita: pendiri sebuah ordo wanita, Mary Euphrasia Pelletier, dan seorang gadis cilik, Gemma Galgani. Pelletier memperoleh reputasi karena keberhasilannya membuka jalan-jalan baru bagi organisasi-organisasi amal Katolik, membantu orang-orang yang bermasalah dengan hukum, yang selama ini tidak terurus oleh sistem negara maupun oleh Gereja. Galgani adalah seorang gadis yang kurang diketahui khalayak umum, namun kebajikannya menjadi contoh bagi semua orang lewat kanonisasinya.[33]

Perang Dunia II

Masa kepemimpinan Puas Pius XII dimulai tak lama sebelum Perang Dunia II. Selama masa perang, Sri Paus menjalankan kebijaksanaan netralitas seperti yang dilakukan oleh Paus Benediktus XV selama Perang Dunia I.

Pada bulan April 1939, setelah penyerahan diri Charles Maurras kepada Tahta Suci dan intervensi Karmel dari Lisieux, Paus Pius XII mengakhiri larangan yang ditetapkan oleh pendahulunya atas Action Française, sebuah organisasi yang dinilai oleh beberapa penulis sebagai organisasi yang sangat antisemit dan antikomunis.

Di tahun 1939, Sri Paus mempekerjakan seorang kartografer (pembuat peta) Yahudi bernama Roberto Almagia untuk memperbaiki peta-peta tua di Perpustakaan Vatikan. Almagia telah berada di Universitas Roma sejak tahun 1915 namun dikeluarkan dari institusi itu setelah munculnya undang-undang anti-Yahudi pada tahun 1938 yang diprakarsai oleh Benito Mussolini. Pengangkatan Sri Paus atas dua orang Yahudi bagi Akademi Ilmu Pengetahuan Vatikan dan juga penunjukan Almagia diberitakan oleh New York Times dalam edisi 11 November 1939 dan edisi 10 Januari 1940.

Selama masa agresi Uni Soviet atas Finlandia, yang dikenal sebagai Perang Musim Dingin, Paus Pius XII mengutuk serangan Uni Soviet tersebut dalam sebuah pidato di Vatikan pada tanggal 26 Desember 1939. Beberapa waktu kemudian ia menyumbangkan sebuah doa yang ia tandatangani dan segel atas nama Finlandia.

Pada tanggal 18 Januari 1940, setelah lebih dari 15.000 warga sipil Polandia terbunuh, Paus Pius XII berkata dalam sebuah siaran radio: "Penciptaan kengerian dan perbuatan kejam yang sangat keterlaluan dan tidak dapat dibenarkan yang dilakukan terhadap orang-orang yang tidak berdaya dan yang menjadi tuna wisma telah dibuat menjadi bukti yang nyata oleh pengakuan-pengakuan saksi-saksi mata yang tidak dapat dibantah."

Setelah Jerman menginvasi Negara-negara Rendah (Belanda, Belgia dan negara-negara kecil di sekitarnya) selama tahun 1940, Paus Pius XII mengirimkan pernyataan simpati kepada Ratu Belanda, Raja Belgia dan Bangswan Tinggi Luxembourg. Ketika Mussolini mengetahui adanya peringatan dan telegram simpati dari Vatikan ini, ia menganggap hal-hal itu sebagai penghinaan pribadi kepada dirinya dan memerintahkan duta besarnya di Vatikan untuk mengirimkan surat protes resmi, menuduh Paus Pius XII telah berpihak melawan sekutu Italia, Jerman. Menteri Luar Negeri Mussolini menyatakan bahwa Paus Pius XII telah "siap untuk membiarkan dirinya dideportasi ke kamp konsentrasi, daripada melakukan apa pun yang berlawanan dengan hati nuraninya."

Pada musim semi 1940, sekelompok jenderal Jerman yang berusaha untuk menggulingkan Hitler dan berdamai dengan Inggris mendekati Paus Pius XII, yang berperan sebagai salah seorang perunding antara Inggris dan komplotan yang gagal ini.

Di bulan April 1941, Paus Pius XII melakukan pertemuan pribadi dengan Ante Pavelić, pemimpin negara Kroasia yang baru saja diproklamasikan (daripada melakukan pertemuan diplomatik yang diharapkan oleh Pavelić). Paus Pius XII dikritik atas pertemuannya dengan Pavelić ini: sebuah surat pendek Kementerian Luar Negeri Inggris yang tidak bernama menyebut Paus Pius XII sebagai "pengecut moralitas terbesar di masa kini". Vatikan tidak mengakui secara resmi rezim Pavelić. Paus Pius XII tidak mengutuk pengusiran dan pemaksaan konversi ke agama Katolik yang dilakukan oleh rezim Pavelić pada orang-orang Serbia; namun Tahta Suci secara tegas menolak pemaksaan perpindahan afama yang dilakukan oleh rezim Pavelić dalam sebuah memorandum tertanggal 25 Januari 1942, dari Kementerian Dalam Negeri Vatikan kepada Kedutaan Yugoslavia.

Pada tahun 1941, Paus Pius XII menginterpretasi Divini Redemptoris, surat ensiklik Paus Pius XI, yang melarang umat Katolik membantu kaum Komunis, sebagai hal yang tidak berlaku bagi pemberian bantuan militer kepada Uni Soviet dalam Perang Dunia II (Uni Soviet berada di pihak yang sama dengan negara-negara lain yang menentang Nazi Jerman dan Fasis Italia). Interpretasi ini mengakhiri penentangan umat Katolik Amerika atas aturan Lend-Lease dengan Uni Soviet yang diadakan oleh Pemerintah Amerika Serikat. (Aturan Lend-Lease ini adalah sebuah program dimana negara pemberi bantuan militer, seperti Amerika Serikat dan Inggris, mendapatkan fasilitas instalasi militer sebagai balasannya di negara-negara yang dibantu secara militer tersebut.)

Pada bulan Maret 1942, Paus Pius XII mengadakan hubungan diplomatik dengan Kekaisaran Jepang dan menerima Duta Besar Ken Harada, yang memegang jabatan tersebut hingga akhir masa perang. Di bulan Mei 1942, Kazimierz Papée, Duta Besar Polandia untuk Vatikan, mengeluhkan bahwa Paus Pius XII telah gagal untuk mengutuk gelombang kejahatan dan kekejaman yang belakangan terjadi di Polandia. Ketika Kardinal Menteri Luar Negeri Maglione menjawab bahwa Vatikan tidak dapat mencatat tiap-tiap kejahatan yang terjadi, Papée berkata, "ketika sesuatu telah terkenal kejahatannya, bukti-bukti tidak diperlukan lagi".

Siaran-siaran radio Hari Natal Paus Pius XII yang terkenal yang disiarkan pada tahun 1941 dan 1942 (yang terakhir disiarkan dalam waktu lebih dari 45 menit karena terdiri atas 26 halaman dan lebih dari 5000 kata) masih menjadi sebuah "penangkal petir" dalam perdenatan mengenai Paus Pius XII selama Perang Dunia II, terutama mengenai Holocaust. Dalam siaran radio Natalnya tahun 1941 ia menyerukan suatu tatanan dunia yang baru yang ditandai dengan hidupnya perdamaian Kristiani. Mayoritas amanat tahun 1942 membicarakan secara umum mengenai hak-hak asasi manusia dan masyarakat yang beradab; pada bagian paling akhir amanatnya, Paus Pius XII tampak beralih untuk membicarakan peristiwa-peristiwa yang sedang terjadi saat itu, walaupun tidak secara khusus, merujuk pada "semua yang selama perang telah kehilangan tanah airnya dan, walau tidak bersalah, telah terbunuh atau menjadi kehilangan segala sesuatunya hanya karena status kewarganegaraan dan asal-usulnya". Editorial New York Times menilai Paus Pius XII sebagai "sebuah suara kesepian di dalam kesunyian dan kegelapan yang menyelimuti Eropa Hari Natal ini" di tahun 1941 dan "suara kesepian yang berteriak keras dari kesunyian sebuah benua" di tahun 1942.

Setelah perang mulai mendekati masa akhirnya di tahun 1945, Paus Pius XII menganjurkan kebijaksanaan yang lunak dari para pemimpin negara-negara sekutu sebagai sebuah usaha untuk menghindari apa yang ia nilai sebagai kesalahan-kesalahan yang terjadi pada akhir Perang Dunia I.

Holocaust

Paus Pius XII membuat sebuah persetujuan - secara resmi disetujui tanggal 23 Juni 1939 - dengan Presiden Brazil Getúlio Vargas untuk mengeluarkan 3000 visa bagi "umat Katolik yang bukan bangsa Arya". Namun, selama delapan belas bulan berikutnya, badan Conselho de Imigração e Colonização (CIC) di Brazil terus memperketat batasan-batasan dalam pengeluaran visa - termasuk di dalamnya adalah menuntut pengadaan surat baptis yang dikeluarkan sebelum tahun 1933, transfer uang dalam jumlah yang besar ke Banco do Brasil, dan persetujuan dari Kantor Propaganda Brazil di Berlin - yang berujung pada pembatalan program ini empat belas bulan kemudian setelah hanya kurang dari 1000 visa yang dikeluarkan, di tengah-tengah kecurigaan atas "tindak-tanduk yang tidak benar" (contohnya terus melakukan praktek-praktek agama Yahudi) diantara mereka yang menerima visa.

Kardinal Menteri Luar Negeri Luigi Maglione menerima sebuah permintaan dari Pemimpin Rabbi Palestina Isaac Herzog di Musim Semi 1940 agar Tahta Suci bersedia menjadi wakil orang-orang Yahudi Lithuania yang akan dideportasi ke Jerman untuk merubah kebijaksanaan Pemerintah Lithuania tersebut. Paus Pius XII memanggil Joachim von Ribbentrop, Menteri Luar Negeri Jerman, pada tanggal 11 Maret 1940, dan berulang kali memprotes tindak Jerman atas perlakuannya terhadap orang-orang Yahudi.

Pada tahun 1941, Kardinal Theodor Innitzer dari Wina memberi tahu Paus Pius XII mengenai pendeportasian orang-orang Yahudi di Wina. Tak lama kemudian ketika ditanya oleh Jenderal Besar Philipe Pétain dari Perancis apakah Vatikan keberatan atas hukum-hukun yang anti-Yahudi, Paus Pius XII menjawab bahwa Gereja mengutuk antimitisme namun tidak akan berkomentar terhadap aturan-aturan tertentu. Hal lain yang hampir sama, ketika pemerintahan boneka Pétain mengadopsi "Undang-undang Yahudi", Duta Besar Vichy-Perancis (atau negara Perancis pada masa penjajahan Nazi Jerman) bagi Vatikan, Léon Bérard, diberitahu apabila legislasi tersebut tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Katolik. Valerio Valeri, nuncio untuk Perancis menjadi sangat malu ketika ia mengetahui hal ini secara publik dari Pétain dan secara pribadi memeriksa kebenaran informasi tersebut pada Kardinal Menteri Luar Negeri Maglione yang membenarkan posisi Vatikan tersebut. Pada bulan September 1941 Paus Pius XII menentang Undang-undang Yahudi di Slovakia, yang, tidak seperti Undang-undang di Vichy, melarang pernikahan campur antara orang Yahudi dan non-Yahudi. Pada bulan Oktober 1941 Harold Tittman, seorang delegasi Amerika Serikat untuk Vatikan, meminta Sri Paus untuk mengutuk kekejaman yang menimpa orang-orang Yahudi; Paus Pius XII menjawab bahwa Vatikan berkeinginan untuk tetap "netral", menegaskan kembali kebijaksanaan netralitas yang diambil oleh Paus Pius XII semenjak September 1940.

Pada tahun 1942, seorang diplomat Slovakia melapor Paus Pius XII bahwa orang-orang Yahudi Slovakia sedang dikirim ke kamp-kamp konsentrasi. Pada tanggal 11 Maret 1942, beberapa hari sebelum pengiriman pertama dijadwalkan untuk berangkat, seorang diplomat di Bratislava melaporkan ke Vatikan: "Seya telah diyakinkan bahwa rencana kejam ini merupakan hasi karya Perdana Menteri (Vojtech Tuka), yang menyetujui rencana ini .... ia berani-beraninya berkata kepada saya - seseorang yang sering memamerkan iman Katoliknya - bahwa ia tidak melihat sesuatu yang tidak berperikemanusiaan atau yang tidak Kristiani di dalam rencana tersebut ... pendeportasian 80.000 orang ke Polandia adalah sama saja dengan menghukum mati sebagian besar dari mereka". Vatikan kemudian memprotes Pemerintah Slovakia, bahwa Vatikan "menyesalkan tindakan-tindakan ini yang sangat menyakiti hak asasi manusia seseorang, hanya karena ras mereka."

Pada tanggal 18 September 1942, Paus Pius XII menerima surat dari Monsinyur Montini (yang nantinya menjadi Paus Paulus VI) yang mengatakan bahwa "pembunuhan masal orang-orang Yahudi telah mencapai pada proporsi dan bentuk yang sangat menakutkan". Di bulan yang sama, Myron Taylor, duta Amerika Serikat untuk Vatikan, memperingatkan Paus Pius XII bahwa "wibawa moral" Vatikan sedang dirusak akibat sikap diamnya terhadap kekejaman-kekejaman yang terjadi di Eropa - sebuah peringatan yang juga dikumandangkan secara bersama oleh duta-duta dari Inggris, Brazil, Uruguay, Belgia dan Polandia. Kardinal Menteri Luar Negeri menjawab bahwa isu-isu mengenai genosida belum bisa dibuktikan. Di bulan Desember 1942, ketika Tittman bertanya kepada Kardinal Menteri Luar Negeri Maglione apakah Paus Pius XII akan mengeluarkan pernyataan yang sama dengan pernyataan negara-negara sekutu "Kebijaksanaan Jerman mengenai Pemusnahan Ras Yahudi", Maglione menjawab bahwa Vatikan "tidak bisa mengutukk secara publik kekejaman-kekejaman tertentu".

Pada akhir tahun 1942, Paus Pius XII menyarankan para uskup Jerman dan Hungaria bahwa bersuara menentang pembunuhan masal di wilayah timur akan memiliki keuntungan dari segi politik. Pada tanggal 7 April 1943, Monsinyur Tardini, salah satu penasehat terdekat Paus Pius XII, memberitahu Sri Paus bahwa adalah suatu hal yang menguntungkan secara politik untuk melakukan langkah-langkah membantu orang-orang Yahudi dari Slovakia setelah masa perang.

Pada bulan Januari 1943, Paus Pius XII sekali lagi menolak untuk secara publik mengutuk kekejaman Nazi terhadap orang-orang Yahudi, setelah adanya permintaan dari Władysław Raczkiewicz, Presiden Pemerintahan Polandia di pembuangan, dan Uskup Konrad von Preysing dari Berlin. Pada tanggal 26 September 1943, setelah Jerman menduduki Italia bagian utara, pejabat-pejabat Nazi memberikan waktu 36 jam bagi para pemimpin Yahudi di Roma untuk menyetorkan 50 kilogram emas (atau yang setara dengannya) kepada Nazi dengan ancaman Nazi akan menyandera 300 orang apabila hal tersebut tidak terpenuhi. Pemimpin Rabbi di Roma saat itu, Israel Zolli, menulis dalam bukunya bahwa ia diutus untuk pergi ke Vatikan untuk mencari bantuan. Vatikan menawarkan bantuan dalam bentuk pinjaman 15 kilogram emas, namun ternyata tawaran ini tidak diperlukan lagi ketika orang-orang Yahudi menerima perpanjangan waktu. Tak lama kemudian, ketika deportasi dari Italia tidak bisa dihindarkan lagi, 477 orang Yahudi disembunyikan di dalam Vatikan sendiri dan 4.238 orang lainnya dilindungi di berbagai biara di Roma.

Pada tanggal 30 April 1943, Paus Pius XII menulis kepada Uskup von Preysing di Berlin: "Kami memberikan tugas kepada oara imam yang bekerja di lapangan untuk menentukan bila dan hingga pada derajat mana bahaya tindakan balas dendam dan berbagai bentuk penindasan akan terjadi dengan pernyataan gereja ... ad maiora mala vitanda (untuk menghindari hal yang lebih parah) ... untuk selalu berhati-hati. Disinilah terletak salah satu alasan mengapa kita menahan diri kita sendiri dalam amanat-amanat kita; pengalaman yang terjadi dengan adanya amanat Sri Paus pada tahun 1942 yang kami ijinkan untuk disampaikan kepada semua umat, membenarkan opini kami sejauh yang bisa kami lihat ... Tahta Suci telah melakukan segala sesuatu di dalam kemampuannya melalui bantuan-bantuan amal, finansial dan moral, tak termasuk jumlah uang yang sangat besar yang telah kami gunakan dalam bentuk mata uang Amerika untuk biaya-biaya para imigran".

Pada tanggal 28 Oktober 1943, Ernst von Weizsäcker, Duta Besar Jerman bagi Vatikan, mengirimkan telegram ke Berlin yang berisi: "... Sri Paus masih belum terpengaruh untuk mengutuk secara resmi pendeportasian orang-orang Yahudi dari Roma. Dengan anggapan bahwa pihak Jerman tidak akan mengambil langkah-langkah yang lebih jauh lagi terhadap orang-orang Yahudi di Roma, pertanyaan mengenai hubungan kita dengan pihak Vatikan bisa dianggap selesai".

Di bulan Maret 1944, melalui nuncio Tahta Kepausan di Budapest, Angelo Rotta mendesak Pemerintah Hungaria untuk melunakkan perlakuannya terhadap orang-orang Yahudi. Protes-protes ini, bersama dengan protes yang sama dari Raja Swedia, Palang Merah Internasional, Amerika Serikat dan Inggris mengakibatkan penghentian deportasi pada tanggal 8 Juli 1944. Juga di tahun 1944, Paus Pius XII menyerukan kepada 13 Pemerintah negara-negara Amerika Latin untuk menerima "paspor darurat", walau hal ini membutuhkan intervensi dari Departemen Dalam Negeri Amerika Serikat agar negara-negara ini menerima dokumen semacam itu.

Ketika pihak gereja memindahkan 6.000 anak-anak Yahudi di Bulgaria ke Palestina, Kardinal Menteri Luar Negeri Maglione menegaskan kembali bahwa Tahta Suci bukanlah pendukung Zionisme.

Di bulan Agustus 2006 beberapa kutipan dari catatan pribadi seorang biarawati dari Biara Santi Quattro Coronati yang telah berusia 60 tahun diterbitkan di media Italia, menyatakan bahwa Paus Pius XII memerintahkan biara-biara di Roma untuk menyembunyikan orang-orang Yahudi selama Perang Dunia II.

Pasca-Perang Dunia II

Kebijakan gereja setelah masa perang

Berkas:Popepiusx.jpg
Pada 29 Mei 1954, tiga tahun setelah beatifikasinya, Paus Pius XII mengkanonisasi Paus Pius X. Kanonisasi ini merupakan kanonisasi Paus pertama sejak tahun 1712

Kebijakan Gereja setelah Perang Dunia II dari kepemimpinan Paus Pius XII memfokuskan pada bantuan material bagi Eropa yang tercabik-cabik oleh perang, sebuah gerakan internasionalisasi internal Gereja Katolik Roma dan pembangunan hubungan-hubungan diplomatik seluruh dunia-nya. Surat ensikliknya, Evangelii Praecones dan Fidei Donum yang dikeluarkan tanggal 2 Juni 1951 dan 21 April 1957 memberikan hak yang lebih besar bagi misi-misi Katolik untuk mengambil keputusan sendiri, dimana banyak misi-misi ini yang menjadi keuskupan-keuskupan yang berdiri sendiri. Paus Pius XII menuntut pengakuan terhadap kebudayaan-kebudayaan lokal sebagai sesuatu yang sejajar dengan kebudayaan Eropa.[34][35] Melanjutkan garis kebijakan pendahulunya, Paus Pius XII mendukung pembentukan administrasi lokal di dalam urusan-urusan gereja: pada tahun 1950, hierarki gereka di Afrika Barat menjadi berdiri sendiri; pada tahun 1951 di Afrika Selatan; dan tahun 1953 di Afrika Timur Britania. Finlandia, Burma dan Afrika Perancis menjadi keuskupan-keuskupan yang berdiri sendiri tahun 1955.

Penindasan di Eropa Timur

Meski Gereja berkembang di dunia Barat dan di kebanyakan negara-negara yang berkembang, Gereja menghadapi penindasan serius di dunia Timur. Rezim-rezim komunis di Albania, Bulgaria dan Rumania hampir-hampir membasi Gereja Katolik Roma di negara-negara mereka.

Hubungan dengan Rusia

Hubungan yang sulit antara Vatikan dengan Uni Soviet, atau Rusia, bermula dari Revolusi Rusia tahun 1917 dan berlanjut terus hingga masa kepemimpinan Paus Pius XII. Situasi ini mempengaruhi hubungan dengan Gereja Ortodoks pula. Gereja-gereja Oriental Katolik dibasmi di sebagian besar Uni Soviet selama era pemerintahan Joseph Stalin dan para penerusnya. Penindasan terhadap gereja terus berlangsung selama masa kepemimpinan Paus Pius XII ini.

Hubungan dengan Tiongkok

Hubungan antara Tahta Suci dengan Tiongkok tahun 1939-1958 bermula dengan penuh harapan ketika Vatikan mengakui keabsahan ritus Tiongkok dalam Gereja yang telah berlangsung lama di tahun 1939, pengangkatan kardinal Tiongkok pertama di tahun 1946, dan pembentukan sebuah hierarki gereja lokal di Tiongkok. Hubungan ini berakhir dengan penindasan dan pembasmian nyata terhadap Gereja Katolik di awal dasawarsa 1950-an, dan berdirinya Asosiasi Umat Katolik Patriotik Tiongkok di tahun 1957, sebuah organisasi Gereja Katolik yang tidak diakui oleh Vatikan.

Kontroversi anak-anak yatim-piatu Yahudi

Pada tahun 2005, Corriere della Sera menerbitkan sebuah dokumen bertanggal 20 November 1946 dengan topik anak-anak Yahudi dibaptis di Perancis masa perang. Dokumen tersebut memerintahkan agar anak-anak yang telah dibaptis, bila yatim-piatu, harus dipelihara di tempat-tempat asuh Katolik dan menyatakan bahwa keputusan tersebut "telah disetujui oleh Sri Paus". Nuncio Angelo Roncalli (yang nantinya akan menjadi Paus Yohanes XXIII, dan diberikan penghargaan oleh Yad Vashem - organisasi Israel yang menjaga peringatan atas holocaust - sebagai Yang Berbudi Diantara Semua Bangsa) mengabaikan berita ini.[36] Abe Foxman, direktur nasional organisasi Liga Anti-Defamasi - sebuah organisasi perlindungan kaum Yahudi di Amerika Serikat - yang dirinya sendiri pernah dibaptis dan mengalami perseteruan perwalian setelahnya, menyerukan penghentian secepatnya terhadap proses beatifikasi Paus Pius XII hingga semua Arsip Rahasia Vatikan dan catatan pembaptisan yang relevan dibuka.[37] Dua orang cendekiawan Italia, Matteo Luigi Napolitano dan Andrea Tornielli, memastikan bahwa memorandum tersebut adalah asli. Namun mereka juga menyampaikan bahwa apa yang diungkapkan oleh Corriere della Sera tidak pada tempatnya, semenjak dokumen tersebut berasal dari Gereja Katolik Perancis, bukannya dari arsip Vatikan, dan hanya membatasi diri pada masalah anak-anak tanpa sanak saudara yang seharusnya diserahkan kepada organisasi-organisasi Yahudi.[38]

Masa tua, wafat dan warisan

Tahun-tahun terakhir Paus Pius XII

 
Patung Pius XII di Braga, Portugal

Tahun-tahun terakhir masa kepemimpinan Paus Pius XII dimulai di akhir tahun 1954 dengan sebuah penyakit yang berlangsung lama, dimana ia sempat memikirkan untuk mengundurkan diri. Setelah itu, perubahan dalam kebiasaan bekerjanya menjadi terlihat jelas. Sri Paus menghindari upacara-upacara, kanonisasi dan konsistorium yang memakan waktu lama, serta menunjukkan kebimbangan dalam masalah-masalah pribadi. Selama tahun-tahun terkahir masa kepemimpinannya, Paus Pius XII menunda-nunda pengangkatan pejabat-pejabat di Vatikan dan terlihat semakin susah untuk menjatuhkan hukuman kepada para pembantu dan pejabat seperti Riccardo Galeazzi-Lisi, yang setelah banyak melakukan hal-hal yang negatif akhirnya dikeluarkan dari jabatannya dalam melayani Sri Paus di tahun-tahun terakhirnya. Namun, dengan gelarnya, ia berhasil masuk ke tempat tinggal Sri Paus dan mengambil foto Sri Paus yang sedang sekarat dan menjualnya ke majalah-majalah Perancis.[39]

Paus Pius XII seringkali mengangkat imam-imam muda menjadi uskup, seperti Julius Döpfner (35 tahun) dan Karol Wojtyla (38 tahun), orang-orang terakhir yang diangkatnya di tahun 1958. Ia dengan tegas menolak percobaan pastoral, seperti apa yang disebut "imam-pekerja", yakni para imam yang juga bekerja penuh di pabrik-pabrik dan bergabung dengan partai-partai politik dan serikat buruh. Ia terus-menerus membela tradisi teologi Thomisme sebagai sesuatu yang berharga untuk direformasi terus, dan sebagai paham yang lebih superior dibandingkan dengan paham aliran modern seperti Fenomenologi atau Eksistensialisme.

Sakit hingga wafat

Berkas:Tomb of Pius XII.jpg
Makam Maria: A Madonna and Child, added by John XXIII, hangs over the tomb of Pius XII.

Semenjak jatuh sakit tahun 1954, Paus Pius XII menyampaikan berbagai pesan kepada masyarakat dan kelompok awam dalam topik-topik yang sangat beraneka ragam yang belum pernah ia lakukan sebelumnya. Seringkali ia berbicara di depan para peserta pertemuan-pertemuan ilmiah menjelaskan ajaran-ajaran Kristiani dalam hubungannya dengan penemuan-penemuan ilmiah terbaru. Terkadang ia menjawab pertanyaan-pertanyaan moral tertentu yang diajukan kepadanya. Kepada asosiasi-asosiasi profesional ia menjelaskan etika menjalankan pekerjaan yang relevan dengan asosiasi-asosiasi tersebut dalam hubungannya dengan ajaran-ajaran Gereja.

Sebelum tahun 1955, Pacelli bekerja sama selama bertahun-tahun dengan Giovanni Battista Montini. Sri Paus tidak memiliki satu asisten penuh untuk dirinya sendiri. Robert Leiber terkadang membantu dirinya mengenai pidato dan publikasinya. Augustine Bea menjadi imam yang menerima pengakuan dosanya secara pribadi. Bunda Pascalina Lehnert adalah pengurus rumah tangga dan asistennya selama empat puluh tahun. Domenico Tardini bisa jadi adalah orang yang paling dekat dengannya yang bisa menjadi asisten pribadinya, namun hal ini tidak pernah secara resmi terjadi.

Paus Pius XII wafat pada tanggal 9 Oktober 1958 di Castel Gandolfo, tempat tinggal resmi Tahta Kepausan selama Musim Panas. Ketika jenazahnya memasuki kota Roma sebagai bagian dari proses pemakamannya, penduduk Roma berkumpul membentuk kumpulan penduduk Roma terbesar saat itu. Penduduk Roma berkabung atas meninggalnya paus "mereka", seseorang yang lahir di kota itu dan terutama seseorang yang menjadi pahlawan di masa perang.[40] Surat wasiat Paus Pius XII dipublikasikan segera setelah wafatnya. Alasan kanonisasi Paus Pius XII dibuka pada tanggal 18 November 1965 oleh Paus Paulus VI. Pada tanggal 2 September 2000, dalam masa kepemimpinan Paus Yohanes Paulus II, Paus Pius XII dianugerahi gelar Yang Dimuliakan.

Pandangan, interpretasi dan penelitian ilmiah

Pandangan semasa hidupnya

Selama masa perang, Sri Paus dipuji secara luas. Contohnya, Majalah TIME memberikan penghargaan kepada Paus Pius XII dan Gereja Katolik atas "perjuangannya melawan totalitarianisme secara lebih terbuka, lebih tulus, lebih tegas dan lebih lama dibandingkan kekuatan-kekuatan terorganisasi lainnya". Selama masa perang ia juga dipuji lewat ulasan editorial di surat kabar New York Times atas penentangannya terhadap antisemitsime dan agresi Nazi. Beberapa karya tulis di masa itu juga menggemakan suara yang sama, termasuk buku Pius XII: Eugenio Pacelli, Paus Perdamaian (1954) yang ditulis oleh sejarawan Polandia Oskar Halecki dan "Potret Pius XII (1949) karya Nazareno Padellaro.

Banyak orang Yahudi yang secara terbuka berterima-kasih kepada Sri Paus atas pertolongannya. Salah stu contohnya adalah Pinchas Lapide, seorang teolog Yahudi dan diplomat Israel bagi Milan di era tahun 1960-an, yang memperkirakan bahwa Paus Pius XII "sangat berperan dalam penyelamatan minimal 700.000, mungkin bisa mencapai 860.000, orang Yahudi dari kepastian kematian di tangan Nazi". Beberapa ahli sejarah mempertanyakan angka-angka yang sering disebutkan ini, yang Lapide hitung dengan cara "mengurangi semua pengakuan pertolongan yang dilakukan oleh pihak-pihak non-Katolik yang masuk akal dari jumlah total orang Yahudi Eropa yang selamat dari Holocaust. Cendekiawan Katolik Kevin Madigan menilai hal ini dan pujian lainnya dari para pemimpin terkemuka Yahudi, termasuk diantaranya Golda Meir, sebagai sesuatu yang kurang tulus dan hanya sebagai suatu usaha untuk memastikan penagkuan Vatikan atas Negara Israel.

Paus Pius XII juga dikiritik di masa hidupnya. Salah satu contohnya, Leon Poliakov, lima tahun setelah Perang Dunia II, menulis bahwa Paus Pius XII diam-diam adalah pendukung undang-undang antisemit di Perancis Vichy, menjulukinya "kurang jujur" dibandingkan Paus Pius XI mungkin karena "kecintaannya pada Jerman" atau karena adanya harapan bahwa Hitler akan mengalahkan Rusia yang komunis. Uskup Carlos Duarte Costa, pengkritik lama kebijaksanaan Paus Pius XII selama masa perang dan penentang kebijakan selibat bagi para imam dan diakuinya Misa Tridentine, di-ekskomunikasi oleh Paus Pius XII pada tanggal 2 Juli 1945.

Pada tanggal 21 September 1945, sekretaris jenderal Dewan Yahudi Dunia, Dr. Leon Kubowitzky, menyampaikan sejumlah uang kepada Sri Paus "sebagai pengakuan atas karya Tahta Suci dalam menyelamatkan orang-orang Yahudi dari penindasan kaum Fasis dan Nazi".

Setelah masa perang, di Musim Gugur tahun 1945, Harry Greenstein dari Baltimore, seorang teman dekat Kepala Rabbi Herzog dari Yerusalem, menyampaikan kepada Sri Paus betapa berterima-kasihnya orang-orang Yahudi atas semua hal yang telah Sri Paus lakukan demi mereka. "Satu-satunya penyesalan saya," jawab Sri Paus, "adalah tidak mampu untuk menyelamatkan orang Yahudi dalam jumlah yang lebih banyak".

Sang Deputi

Pada tahun 1963, sebuah drama karya Rolf Hochhuth berjudul "Der Stellvertreter. Ein christliches Trauerspiel" (Sang Deputi, sebuah tragedi Kristen) menggambarkan Paus Pius XII sebagai seorang hipokrit yang tinggal diam atas terjadinya holocaust. Buku-buku seperti "A Question of Judgment" (1963, Sebuah Pertanyaan mengenai Pertimbangan) karya Dr. Joseph Lichten ditulis sebagai balasan terhadap "Sang Deputi" dan membela tindakan-tindakan Sri Paus selama masa perang. Lichten menyebut kritik apapun terhadap tindakan Sri Paus di masa Perang Dunia II sebagai "sebuah paradoks yang mengherankan" dan berkata "tidak ada satu orang pun yang membaca catatan tindakan-tindakan Paus Pius XII atas nama orang-orang Yahudi bisa menyetujui tuduhan Hochhuth". Karya-karya ilmiah yang kritis seperti "The Catholic Church and Nazi Germany" (1964, Gereja Katolik dan Nazi Jerman) karya Guenter Lewy juga mengikuti jejak publikasi "Sang Deputi". Pada tahun 2002, drama ini diadaptasi menjadi sebuah film berjudul "Amen".

Actes

Akibat kontroversi dari "Sang Deputi", pada tahun 1964 Paus Paulus VI mengijinkan para cendekiawan Yesuit untuk meneliti arsip-arsip Departemen Dalam Negeri Vatikan, yang biasanya tidak dibuka selama tujuh puluh lima tahun. Actes et Documents du Saint Siège relatifs à la Seconde Guerre Mondiale (Tindakan-tindakan dan Dokumen-dokumen dari Sri Paus selama Perang Dunia II) diterbitkan dalam sebelas jilid antara tahun 1965 dan tahun 1981. Jilid-jilid ini diterbitkan oleh Angelo Martini, Burkhart Schneider, Robert Graham dan Pierre Blet. Pierre menerbitkan sebuah rangkuman dari sebelas jilid ini. Keempatnya, dengan Robert Graham yang paling sering, menerbitkan artikel-artikel dan buku-buku berdasarkan topik ini.

Paus milik Hitler

Pada tahun 1999, buku "Hitler's Pope" (Paus milik Hitler) karya John Cornwell mengkritik Paus Pius XII karena tidak cukup melakukan atau menyuarakan penentangan terhadap holocaust. Cornwell menilai bahwa seluruh karier Paus Pius XII sebagai nuncio untuk Jerman, Kardinal Menteri Luar Negari, dan Paus ditandai dengan sebuah keinginan yang besar untuk meningkatkan dan memusatkan kekuasaan Tahta Kepausan, dan ia menempatkan lebih rendah penentangannya terhadap Nazi dibandingkan tujuannya tersebut. Ia lebih lanjut menilai bahwa Paus Pius XII adalah antisemit dan akibatnya ia tidak terlalu peduli dengan nasib orang-orang Yahudi Eropa.

Karya Cornwell merupakan karya pertama yang menelaah pengakuan-pengakuan dari proses beatifikasi Paus Pius XII dan juga banyak dokumen dari masa nuncio Pacelli yang baru saja dibuka sesuai dengan aturan tujuh puluh lima tahun arsip-arsip Kesekretariatan Negara Vatikan. Cornwell menyimpulkan bahwa "kegagalan Pacelli untuk menanggapi besarnya kekejaman kasus holocaust lebih dari hanya sebuah kegagalan pribadi. Hal ini adalah juga kegagalan dari Tahta Kepausan dan kebudayaan Katolik yang besar".

Karya Cornwell ini menerima banyak pujian maupun kritik. Kebanyakan pujian bagi Cornwell berpusat pada pernyataannya bahwa dirinya adalah seorang umat Katolik yang mencoba untuk "membersihkan" Paus Pius XII dengan karyanya. Karya-karya tulis seperti "Under His Very Windows: The Vatikan and the Holocaust in Italy" (2000, Di Bawah Jendelanya Sendiri: Vatikan dan Holocaust di Italia) karya Susan Zuccotti dan "The Catholic Church and the Holocaust, 1930-1965" (2000, Gereja Katolik dan Holoccaust Tahun 1930-1965) sangat kritis baik terhadap Cornwell maupun terhadap Paus Pius XII.

Segi ilmiah dari karya Cornwell menerima banyak kritik. Salah satu contoh, Kenneth L. Woodward menyatakan dalam ulasannya mengenai buku Cornwell tersebut di majalah Newsweek bahwa "terdapat kesalahan mengenai fakta dan ketidak-tahuan mengenai konteks sejarah hampir di setiap halamannya". Cornwell sendiri memberikan masukan yang lebih membingungkan mengenai tindakan Paus Pius XII dalam sebuah wawancara tahun 2004 dimana ia menyatakan bahwa "Paus Pius XII memiliki cakupan tindakan yang sangat sempit sehingga adalah sesuatu yang tidak mungkin untuk menilai alasan dari kebisuannya selama masa perang". Paling belakangan, buku "The Myth of Hitler's Pope" (Mitos mengenai Paus milik Hitler) karya Rabbi David Dalin menilai bahwa para pengkritik Paus Pius XII adalah orang-orang Katolik liberal dan orang-orang bekas Katolik yang "mengeksploitasi tragedi orang-orang Yahudi selama Holocaust untuk membantu mengembangkan agenda politik mereka sendiri untuk memaksakan perubahan dalam Gereja Katolik masa kini" dan bahwa Paus Pius XII nyatanya bertanggung-jawab atas penyelamatan hidup beribu-ribu orang Yahudi.

ICJHC

Pada tahun 1999, dalam sebuah usaha untuk mengakhiri kontroversi ini, Vatikan membentuk International Catholic-Jewish Historical Commission (ICJHC) atau Komisi Sejarah Katolik-Yahudi Internasional, sebuah badan yang terdiri atas tiga orang cendekiawan Yahudi dan tiga orang cendekiawan Katolik untuk menyelidiki peran Gereja semasa Holocaust. Pada tahun 2001, ICJHC menerbitkan penemuan awalnya yang menimbulkan beberapa pertanyaan mengenai cara Vatikan berurusan dengan Holocaust, berjudul "The Vatican dan the Holocaust: A Preliminary Report" (Vatikan dan Holocaust: Sebuah Laporan Awal).

Komisi ini menemukan dokumen-dokumen yang merujuk dengan jelas bahwa Paus Pius XII sadar akan penganiayaan anti-Yahudi yang meluas di tahun 1941-1942, dan mereka mencurigai bahwa pihak Gereja mungkin terpengaruh untuk tidak membantu imigrasi orang-orang Yahudi dari nuncio di Chile dan wakil Tahta Kepausan di Bolivia yang mengeluhkan "invasi orang-orang Yahudi" ke negara-negara mereka, dimana orang-orang Yahudi ini terlibat di dalam "transaksi bisnis yang tidak jujur, aksi-aksi kekerasan, tindakan-tindakan tidak bermoral, dan bahkan sikap tidak hormat kepada agama".

ICJHC mengajukan 47 pertanyaan mengenai cara Gereja berurusan dengan Holocaust, meminta agar dokumen-dokumen yang belum pernah diterbitkan kepada publik sebelumnya dikeluarkan agar mereka bisa meneruskan pekerjaan mereka. Karena tidak memperoleh ijin tersebut, komisi ini dibubarkan pada bulan Juli 2001 tanpa pernah mengeluarkan satu laporan akhir pun. Tak puas dengan penemuan-penemuan ini, Dr. Michael Marrus, salah satu dari tiga orang Yahudi anggota komisi tersebut, menyatakan bahwa komisi mereka "bertubrukan dengan sebuh tembok batu ... seharusnya akan menjadi sesuatu yang sangat membantu apabila memiliki dukungan dari Tahta Suci mengenai masalah ini".

Catatan kaki

  1. ^ Pollard, 2005, hal. 70.
  2. ^ Marchione, 2004, hal. 1.
  3. ^ a b c d e Marchione, 2005, hal. 64.
  4. ^ a b c Marchione, 2000, hal. 193.
  5. ^ a b c Marchione, 2004, hal. 10.
  6. ^ a b Marchione, 2004, hal. 9.
  7. ^ Dalin, 2005, hal. 47.
  8. ^ Dalin, 2005, hal. 48.
  9. ^ Levillain, 2002, hal. 1211.
  10. ^ AAS, 1943, hal. 297.
  11. ^ AAS, 1943, hal. 305.
  12. ^ Pius XII, Enc. Humani Generis, 21
  13. ^ Humani Generis, hal. 21.
  14. ^ AAS, 1950, hal. 753.
  15. ^ AAS 1953, 577
  16. ^ AAS 1954, 625
  17. ^ Pius XII, Enc. Mystici Corporis Christi, 110
  18. ^ Pio XII, Discorsi Ai Medici compiles 700 pages of specific addresses.
  19. ^ Pope Pius XII, The Moral Limits of Medical Research and Treatment.
  20. ^ Dua pidato pada 29 Oktober 1951, dan 26 November 1951: Moral Questions Affecting Married Life: Addresses given to the Italian Catholic Union of midwives 29 Oktober 1951, dan 26 November 1951 to the National Congress of the Family Front and the Association of Large Families, National Catholic Welfare Conference, Washington, DC. Text of the speeches available from EWTN or CatholicCulture.org
  21. ^ Discorsi E Radiomessaggi di sua Santita Pio XII, Vatican City, 1940, p407; Discorsi E Radiomessaggi di sua Santita Pio XII, Vatican City, 1942, hal.52; Discorsi E Radiomessaggi di sua Santita Pio XII, Vatican City, 1946,hal.89Discorsi E Radiomessaggi di sua Santita Pio XII, Vatican City, 1951, hal.28.221.413.574
  22. ^ Robert Leiber, Pius XII Stimmen der Zeit, November 1958 in Pius XII. Sagt, Frankfurt 1959, hal.411
  23. ^ Pius XII, Enc. Humani Generis, 36
  24. ^ www.catholic.net/RCC/Periodicals/Inside/01-97/creation.html
  25. ^ Communication, Father Robert Graham, SJ, 10 November 1992
  26. ^ Orientalis Ecclesiae, AAS, 1944, hal. 129.
  27. ^ Orientales Omnes, AAS, 1946, hal. 33-63.
  28. ^ Sempiternus Rex, AAS, 1951, hal. 625-644.
  29. ^ Orientales Ecclesiae. AAS, 1953, hal. 5-15.
  30. ^ Apostolic Letters to the bishops in the East. AAS, 1956, hal. 260-264.
  31. ^ Fulgens Corona, AAS, 1953, hal. 577-593.
  32. ^ Papal letter to the People of Russia, AAS, 1952, hal. 505-511.
  33. ^ Pascalina Lehnert, Pius XII, Ich durfte ihm dienen, Würzburg, 1982, hal. 163
  34. ^ Audience for the directors of mission activities in 1944 A.A.S., 1944, hal. 208.
  35. ^ Evangelii Praecones. hal. 56.
  36. ^ Jerusalem Report, (7 Februari 2005).
  37. ^ Anti-Defamation League. ADL to Vatican: Open Baptismal Records and Put Pius Beatification on Hold. 13 Januari 2005.
  38. ^ Dimitri Cavalli. Pius's Children. The American. 1 April 2006.
  39. ^ Schneider, hal. 80.
  40. ^ Pascalina Lehnert, Ich durfte ihm dienen, hal.197

Referensi

Pustaka utama

  • Acta Apostolicae Sedis (AAS). 1939-1958. Vatican City.
  • (Italia) Angelini, Fiorenzo. 1959. Pio XII, Discorsi Ai Medici. Rome.
  • Claudia, M. 1955. Guide to the Documents of Pope Pius XII. Westminster, Maryland.
  • Pio XII, Discorsi e Radio Messaggi di Sua Santita Pio XII. 1939-1958. Vatican City. 20 vol.
  • Roosevelt, Franklin D.; Myron C. Taylor, ed. Wartime Correspondence Between President Roosevelt and Pope Pius XII. Prefaces by Pius XII and Harry Truman. Kessinger Publishing (1947, reprinted, 2005). ISBN 1-4191-6654-9
  • (Jerman) Utz, A. F., and Gröner, J. F. (eds.). Soziale Summe Pius XII 3 vol.
  • Zolli, Israel. 1997. Before the Dawn. Roman Catholic Books (Reprint edition). ISBN 0-912141-46-8. Also see Amazon Online Reader

Pustaka kedua

  • Cornwell, John. 1999. Hitler's Pope: The Secret History of Pius XII. Viking. ISBN 0-670-87620-8. Also see Amazon Online Reader.
  • Cushing, Richard. 1959. Pope Pius XII. Paulist Press.
  • Dalin, Rabbi David G. 2005. The Myth of Hitler's Pope: How Pope Pius XII Rescued Jews from the Nazis. Regnery. ISBN 0-89526-034-4.
  • Falconi, Carlo. 1970 (translated from the 1965 Italian edition). The Silence of Pius XII. Boston: Little, Brown, and Co. ISBN 0-571-09147-4
  • Feldkamp, Michael F. Pius XII und Deutschland. Göttingen: Vandenhoeck & Ruprecht. ISBN 3-525-34026-5.
  • Friedländer, Saul. 1966. Pius XII and the Third Reich: A Documentation. New York: Alfred A Knopf. ISBN 0-374-92930-0
  • Gallo, Patrick J., ed. 2006. Pius XII, The Holocaust and the Revisionists. London: McFarland & Company, Inc., Publishers. ISBN 0-7864-2374-9
  • Goldhagen, Daniel. 2002. "A Moral Reckoning - The role of the Catholic Church in the Holocaust and Its Unfulfilled Duty of Repair". Little, Brown ISBN 0 316 724467
  • Gutman, Israel (ed.). 1990. Encyclopedia of the Holocaust, vol. 3. New York: Macmillan Publishing Company. ISBN 0-02-864529-4
  • Halecki, Oskar. 1954. Pius XII: Eugenio Pacelli: Pope of peace. Farrar, Straus and Young. OCLC 775305
  • Hatch, Alden, and Walshe, Seamus. 1958. Crown of Glory, The Life of Pope Pius XII. New York: Hawthorne Books.
  • ICJHC. 2000. The Vatican and the Holocaust: A Preliminary Report.
  • Kent, Peter. 2002. The Lonely Cold War of Pope Pius XII: The Roman Catholic Church and the Division of Europe, 1943–1950. Ithaca: McGill-Queen's University Press. ISBN 0-7735-2326-X
  • Lapide, Pinchas 1980. The Last Three Popes and the Jews. London:Souvenir Press.
  • Levillain, Philippe. 2002. The Papacy: An Encyclopedia. Routledge (UK). ISBN 0-415-92228-3
  • Lewy, Guenter. 1964. The Catholic Church and Nazi Germany. New York: McGraw-Hill. ISBN 0-306-80931-1
  • Marchione, Sr. Margherita. 2000. Pope Pius XII: Architect for Peace. Paulist Press. ISBN 0-8091-3912-X
  • Marchione, Sr. Margherita. 2002. Consensus and Controversy: Defending Pope Pius XII. Paulist Press. ISBN 0-8091-4083-7
  • Marchione, Sr. Margherita. 2002. Shepherd of Souls: A Pictorial Life of Pope Pius XII. Paulist Press. ISBN 0-8091-4181-7
  • Marchione, Sr. Margherita. 2004. Man of Peace: An Abridged Life of Pope Pius XII. Paulist Press. ISBN 0-8091-4245-7
  • McDermott, Thomas. 1946. Keeper of the Keys -A Life of Pope Pius XII. Milwaukee: The Bruce Publishing Company.
  • McInerney, Ralph. 2001. The Defamation of Pius XII. St Augustine's Press. ISBN 1-890318-66-3
  • Murphy, Paul I. and Arlington, R. Rene. 1983. La Popessa: The Controversial Biography of Sister Pasqualina, the Most Powerful Woman in Vatican History. New York: Warner Books Inc. ISBN 0-446-51258-3
  • (Italia) Padellaro, Nazareno. 1949. Portrait of Pius XII. Dutton; 1st American ed edition (1957). OCLC 981254
  • Paul, Leon. 1957. The Vatican Picture Book - A Picture Pilgrimage. New York: Greystone Press.
  • Phayer, Michael. 2000. The Catholic Church and the Holocaust, 1930–1965. Indianapolis: Indiana University Press. ISBN 0-253-33725-9.
  • Pollard, John F. 2005. Money and the Rise of the Modern Papacy: Financing the Vatican, 1850–1950. Cambridge University Press.
  • Pfister, Pierre. 1955. PIUS XII - The Life and Work of a Great Pope. New York: Thomas Y. Crowell Company.
  • Ritner, Carol and Roth, John K. (eds.). 2002. Pope Pius XII and the Holocaust. New York: Leicester University Press. ISBN 0-7185-0275-2
  • Rychlak, Ronald J. 2000. Hitler, the War, and the Pope. Our Sunday Visitor. ISBN 0-87973-217-2. Also see Amazon Online Reader
  • Sánchez, José M. 2002. Pius XII and the Holocaust: Understanding the Controversy. Washington D.C.: Catholic University of America Press. ISBN 0-8132-1081-X
  • Scholder, Klaus. 1987. The Churches and the Third Reich. London.
  • Volk, Ludwig. 1972. Das Reichskonkordat vom 20. Juli 1933. Mainz: Matthias-Grünewald-Verlag. ISBN 3-7867-0383-3.
  • Zuccotti, Susan. 2000. Under his very Windows, The Vatican and the Holocaust in Italy. New Haven and London: Yale University Press. ISBN 0-300-08487-0

Pranala luar

Umum

Dokumen resmi

Pro Pius

Anti Pius

Campuran


Didahului oleh:
Pius XI
Paus
19391958
Diteruskan oleh:
Yohanes XXIII

Templat:Link FA