Hukuman mati dan hak asasi manusia
Hukuman mati dan hak asasi manusia merupakan sanksi terberat dalam sistem pidana di Indonesia.[1] Hukuman ini termasuk hukuman paling tua, apabila dilihat dari tinjauan sejarahnya.[1] Oleh karena itu, ada beberapa pihak yang menganggap bahwa hukuman mati sudah tidak sesuai lagi dengan perikemanusiaan. Namun, Indonesia tetap mempertahankannya[1]. Hukuman mati sudah ada sebelum para penjajah datang ke Indonesia.[1] Penerapannya berlaku untuk sanksi pidana hukuman adat[1]. Secara hukum di Indonesia hukuman mati mulai berlaku sejak UU No. 1 tahun 1946 disahkan.[1] Kitab Undang-Undang Hukum Pidana hingga kini masih mencantumkan hukuman mati dalam kategori pidana pokok (strafrecht), di samping pidana penjara, dan pidana denda.[1]
Awal mula kemunculan hukuman mati menimbulkan banyak pertentangan.[1] Salah satunya muncul dari golongan Abolisioner yang menolak adanya hukuman mati.[1] Alasannya, karena bertentangan dengan hak asasi manusia, terutama dalam bahasan hak untuk hidup.[1] Meskipun timbul pertentangan, masih banyak negara-negara di dunia yang menggunakan hukuman mati sebagai sanksi pidana.[1] Contohnya di Amerika Serikat, di mana 38 dari 50 negara bagian masih memberlakukan hukuman mati sebagai sanksi pidana.[1]
Pada tahun 1986 di Belanda, terbit Kitab Undang-Undang Pidana.[1] Hukuman mati masih dipertahankan di dalamnya.[1] Namun, ada beberapa ketentuan dalam pelaksanaanya. Hakim boleh memutuskan apakah hukuman eksekusi mati dijatukan di tiang gantungan atau dengan pedang, atau dengan cara diberikan pukulan cemeti dan menancap badan dengan besi panas.[1] Selain itu, ada juga hukuman penjara 20 tahun namun sifatnya masih sementara.[1]
Di abad ke 17 pelaksanaan hukuman mati masih dengan cara yang sadis.[1] Contohnya dengan cara potong leher, menggantung, memukul hingga mati, mematahkan tulang iga, dibakar, dikubur hidup-hidup, ditenggelamkan, dan lain sebagainya.[1] Kini perkembangannya jauh lebih modern. Di Pakistan dan Malaysia hukuman mati dilakukan dengan cara digantung.[1] Di Amerika Serikat dilaksanakan dengan menggunakan kursi listrik, ruang gas, atau pemberian suntik mati.[1]
Pertentangan mengenai hukuman mati pertama kali muncul dari Eropa Barat yang didukung oleh tokoh bernama Cesare Beccaria yang tertuang dalam sebuah tulisan yang diberi judul On Crime and Punishment pada tahun 1764.[2] Setelah tulisan itu terbit, di abad ke 20 mulai terjadi reaksi untuk mereformasi beberapa kebijakan tentang pelaksanaan hukuman pidana, termasuk di dalamnya membahas tentang perubahan mengenai hukuman mati.[2]
Di tahun 1863, negara Venezuela menjadi negara pertama yang menghapuskan hukuman mati untuk semua jenis kriminalitas.[2] Di tahun 1865, San Marino (di Eropa) juga ikut menghapuskan hukuman mati untuk semua jenis kejahatan.[2] Di benua Asia, negara-negara yang telah menghapuskan hukuman mati yaitu Kamboja, Timor Timor, Turkmenistan, dan Nepal.[2] Di benua Afrika, negara-negara yang telah menghapuskan hukuman mati di antaranya, Mozambik, Namibia, São Tomé, Príncipe, dan Cave Varde[2].
Latar Belakang Teori
Teori Absolut (Pembalasan)
Orang yang melakukan kejahatan harus ada pembalasan yang berupa pidana (hukuman).[1] Teori ini dibagi menjadi empat bagian, yaitu:
- Pembalasan berdasarkan tuntutan mutlak dan etika.[1] Tokoh yang mendukung teori ini yaitu Hagel.[1] Ia berpendapat bahwa hukum merupakan wujud dari kemerdekaan, sedangkan kejahatan merupakan tantangan antara keadilan dan hukum.[1]
- Pembalasan demi keindahan dan kepuasan.[1] Tokoh yang mendukung teori ini yaitu Herbert.[1] Ia berpendapat bahwa rasa tidak puas yang muncul dari masyarakat beserta tuntutannya merupakan akibat dari kejahatan.[1]
- Pembalasan sesuai dengan ajaran Tuhan.[1] Tokoh yang mendukung teori ini yaitu Stahl Gewin dan Thomas Aquno.[1] Mereka berpendapat bahwa kejahatan adalah pelanggaran terhadap keadilan.[1] Orang yang melakukan kejahatan harus diberi penderitaan, agat perikeadilan Tuhan terpelihara.[1]
- Pembalasan sebagai kehendak manusia.[1] Tokoh yang mendukung teori ini adalah Jean Jacques Rousseau, Hugo de Groot, Grotius, dan Beccaria. Mereka berpendapat bahwa negara merupakan kehendak manusia, begitupun dengan pemidaan merupakan wujud dari kehendak manusia.[1]
Teori Tujuan (Teori Relatif atau Teori Pebaikan)
Hukuman bertujuan untuk menakut-nakuti calon penjahat.[1] Selain itu, penjahat yang mendapat hukuman dapat memperbaiki dan menyingkirkan penjahat.[1] Teori ini dibagi menjadi empat yaitu:
- Ancaman pidana merupakan suatu cara untuk menakut-nakuti calon penjahat.[1] Tokoh yang mengemukakan teori ini yaitu Paul Anselm van Feberbach.[1]
- Perbaikan atau pendidikan bagi penjahat, berupa pidana.[1] Hal itu diharapkan ketika mereka kembali kepada masyarakat, mereka dalam keadaan mental yang baik.[1] Teori ini dikemukakan oleh Grolman van Krause Rader.[1]
- Penjahat disingkirkan dari lingkungan masyarakat.[1] Hal ini sering disebut perampasan kemerdekaan.[1] Tokoh yang mengemukakan pendapat ini yaitu Ferri dan Garopalo.[1]
- Membuat norma-norma yang menjadi keterlibatan umum.[1] Teori ini dikemukakan oleh Frans van Litz, Van Hamel, dan Simon.[1]
Teori Gabungan
Teori gabungan dianggap paling cocok untuk diterapkan di Indonesa.[1] Alasannya karena sifatnya manusiawi dan mencerminkan rasa keadilan.[1] Penjatuhan hukuman harus mampu memberi rasa kepuasan, baik untuk hakim atau kepada penjahat itu sendiri.[1] Hukuman tersebut harus seimbang, antara pidana yang diberikan dengan perbuatan kejahatan yang dilakukannya.[1] HAM menyatakan bahwa, setiap orang memiliki hak untuk bebas dari penyiksaan, perlakuan yang kejam, dan penghukuman yang tidak manusiawi, serta meredahkan harga dirinya.[1] Pemberian hukuman dibutuhkan, tetapi harus sewajarnya. Pemberiannya harus spesifik untuk setiap kejahatannya.[1] Seberat apapun hukumannya tidak boleh melebihi jumlah yang dituduhkan.[1] Hukuman yang diberikan harus sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, adil bagi terdakwa maupun korban (masyarakat).[1]
Perkembangan Hukum Internasional
Hukuman mati pertama kali dibahas dalam forum internasional di Konvensi Jenewa tahun 1929 tentang tawanan perang.[2] Isinya memuat tentang prosedur dan cara mengenai pemberian hukuman mati kepada tawanan perang.[2] Peraturan yang dibuat, berlaku hingga kini. Selain itu, Konvensi Jenewa juga membahas tentang warga sipil, yang tidak diperbolehkan mendapatkan hukuman mati di wilayah yang ditempatinya.[2]
Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia
Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia memiliki sifat otoriter sebagai tolak ukur untuk mejalankan norma-norma hak asasi manusia.[2] Status hukum dalam deklarasi ini mengalami perubahan, mengikuti interpretasi kewenangan atas Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.[2] Seluruh anggota yang tergabung memiliki komitmen untuk meningkatkan penghargaan terhadap hak asasi manusia.[2]
Salah satu pasal yang berkaitan dengan hukuman mati yaitu, Pasal 3 dalam Deklarasi Universal HAM yang menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak atas penghidupan, kebebasan, dan keselamatan individu.[2] Isi pasal tersebut belum memiliki penekanan yang kuat dalam mengatur atau pelarangan hukuman mati.[2] Pasal ini juga sifatnya masih mendasar, dan tidak berpihak dan menyebutkan bahwa hukuman mati merupakan sebuah pelanggaran terhadap hak asasi manusia.[2]
Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik
Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik adalah perjanjian internasioanal mengenai hak asasi manusia yang memiliki tujuan untuk mewujudkan standar pencapaian bersama yang sudah ditetapkan dalam Deklarasi Universal Hak-Hal Asasi Manusia.[2] Isi Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang berkaitan dengan hukuman mati tertuang dalam Pasal 6 dan Pasal 7.[2]
Rangkuman isi dari Pasal 6 berisi tentang:
- Setiap manusia memiliki hak untuk hidup untuk pribadinya. Tidak ada yang bisa merampas hak tersebut.[2]
- Negara-negara yang masih menerapkan hukuman mati sebagai sanksi, harus dilaksanakan sesuai kebijakan di mana tidak boleh bertentangan dengan kebijakan Kovenan dan Konvensi tentang Pencegahan dan Hukum Kejahatan Genosida.[2]
- Seseorang yang mendapatkan hukuman mati, memiliki hak untuk mendapatkan penggantian hukuman.[2] Amnesti, pengampunan atau penggantian hukuman mati dapat diberikan dalam semua kasus.[2]
- Hukuman mati tidak dapat diberikan kepada anak yang di bawah delapan belas tahun, dan perempuan yang sedang mengandung.[2]
Pasal 6 Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik dirumuskan oleh Komite Ketiga Majelis Umum PPB di tahu 1957.[2] Latar belakangnya, karena pada tahun tersebut masih banyak negara-negara yang memberlakukan hukuman mati.[2]
Pasal 7 membahas tentang bahwa tidak boleh memberikan hukuman mati kepada setiap orang dengan alasan untuk merendahkan harga dirinya.[2] Selain itu, tidak boleh melakukaneksperimen medis atau ilmiah tanpa persetujuan pihak yang bersangkutan.[2]
Kebijakan PBB
Di tahun 1959, pembahasan tentang hukuman mati masuk ke dalam forum PPB, di mana Majelis Umum menyetujui sebuah resolusi untuk meminta Dewan Ekonomi dan Sosial agar mempelajari hukuman mati kembali.[2] Kajiannya meliputi hukum dan pelaksanaanya di beberapa negara. Setelah dikaji, lalu diuji apakah hukuman mati tersebut mempengaruhi efektivitas pengurangan kriminalitas di suatu negara.[2] Di tahun 1962 kajian tersebut selesai. Hasilnya, penghapusan hukuman mati di suatu negara tidak meningkatkan kriminalitas untuk negaranya.[2]
Di tahun 1968, Majelis Umum PBB memberikan persetujuan untuk sebuh resolusi tentang perlindungan bagi seseorang yang dijatuhi hukuman mati.[2] Resolusi tersebut berisi tentang bahwa seseorang yang sedang menunggu waktu hukuman matinya tiba, seseorang tersebut masih bisa mendapatkan kesempatan untuk mengajukan banding, hasilnya bisa berupa ampunan atau masih tetap dengan hukuman matinya.[2]
Di tahun 1948. Dewan Ekonomi dan Sosial mebuat sebuah resolusi untuk menjadi perlindungan atas hak-hak orang yang akan menghadapi hukuman mati.[2] Beberapa resolusi itu membahas tentang:
- Negara yang masih menjalankan hukuman mati,[2] hanya diperbolehkan menjalankannya dengan jaminan bahwa jenis kriminalitas yang dilakukannya termasuk pelanggaran yang sangat berat.[2]
- Hukuman mati tidak bisa diberikan kepada ibu hamil, orang yang mengalami gangguan jiwa, dan anak yang berusia di bawah 18 tahun.[2]
- Seseorang yang sudah dijatuhi hukuman mati memiliki hak untuk naik banding dalam pengadilan yang lebih tinggi.[2]
- Seseorang yang dijatuhi hukuman mati, memiliki hak untuk mengajukan permohonan maaf, pengurangan hukuman.[2]
Sejauh ini, Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengesahkan empat perjanjian internasional mengenai penghapusan hukuman mati.[2] Suatu negara bisa menjadi bagian dari anggota perjanjian tersebut dengan cara meratifikasinya.[2] Ratifikasi diartikan melakukan tindakan internasional di mana negara tersebut menyatakan ikrar sebagai Negara pihak (State Party) dalam perjanjian internasional tersebut.[2] Keempat perjanjian yang telah disahkan tersebut terdiri dari satu yang sifatnya global, dan tiga lainnya bersifat kawasan.[2] Berikut adalah deskripsi rangkuman dari empat Perjanjian Intersnasional tersebut:
- Protokol Opsional Kedua Konvenan Internasional Hak Sipil dan Politik, bertujuan untuk menghapuskan hukuman mati. Perjanjian ini disahkan oleh Majelis Umum PBB pada tabun 1989.[2] Cakupannya global (seluruh dunia). Perjanjian ini memberikan fasilitas untuk penghapusan hukuman mati, tetapi masih memberikan pengecualian kepada negara untuk mempertahankannya di masa perang.[2] Seluruh negara yang ada dipihak Konvenan Internasional Hak Sipil dan Politik merupakan anggota dari perjanjian ini.[2] Negara pihak:[2] Albania,[2] Andora,[2] Argentina,[2] Australia,[2] Austria,[2] Azerbaijan,[2] Belgia,[2] Benin,[2] Bolivia,[2] Bosnia dan Herzegovina,[2] Brasil,[2] Bulgaria,[2] Cabo Verde,[2] Kanada,[2] Chili,[2] Kolombia,[2] Kosta Rika,[2] Kroasia,[2] Siprus,[2] Ceko,[2] Denmark,[2] Djibouti,[2] Ekuador,[2] El Salvador,[2] Estonia,[2] Finlandia,[2] Prancis,[2] Gabon,[2] Georgia,[2] Jerman,[2] Yunani,[2] Guinea-Bissau,[2] Honduras,[2] Hungaria,[2] Islandia,[2] Irlandia,[2] Italia,[2] Kyrgyzstan,[2] Latvia,[2] Liberia,[2] Liechtenstein,[2] Lithuania,[2] Luxembourg,[2] Macedonia,[2] Malta,[2] Meksiko,[2] Moldova,[2] Monako,[2] Mongolia,[2] Montenegro,[2] Mozambik,[2] Namibia,[2] Nepal,[2] Belanda,[2] Selandia Baru,[2] Nikaragua,[2] Norwegia,[2] Panama,[2] Paraguay,[2] Filipina,[2] Polandia,[2] Portugal[2], Rumania,[2] Rwanda,[2] San Marino,[2] Serbia,[2] Seychelles,[2] Slovakia,[2] Slovenia,[2] Afrika Selatan,[2] Spanyol,[2] Swedia,[2] Swiss,[2] Timor- Leste,[2] Turki,[2] Turkmenistan,[2] Ukrania,[2] Inggris,[2] Uruguay,[2] Uzbekistan,[2] Venezuela[2] (total: 81 negara menandatanganinya), negara yang belum meratifikasi: Angola,[2] Madagaskar,[2] Sao Tome[2], dan Principe[2] (total: 3 negara).[2]
- Protokol Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia untuk Menghapus Pidana Mati, disahkan pada tahun 1990 oleh Majelis Umum Organisasi Negara-Negara Amerika.[2] Perjanjian ini memfasilitasi untuk seluruh anggota menghapuskan hukuman mati seluruhnya, namun diperbolehkan untuk mempertahankannya di masa perang.[2] Negara pihak: Argentina,[2] Brasil,[2] Chili,[2] Kosta Rika,[2] Republik Dominika,[2] Ekuador,[2] Honduras,[2] Meksiko,[2] Nikaragua,[2] Panama,[2] Paraguay,[2] Uruguay,[2] dan Venezuela.[2]
- Protokol no 6 pada Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia mengenai Penghapusan Hukuman Mati, dibuat untuk mefasilitasi penghapusan hukuman mati di masa damai.[2] Negara masih bisa mempertahankan hukuman mati di masa perang atau sebagai ancaman nyata ketika akan perang.[2] Perjanjian ini disahkan oleh Dewan Eropa pada tahun 1983.[2] Negara pihak: Albania,[2] Andora,[2] Armenia,[2] Austria,[2] Azerbaijan,[2] Belgia,[2] Bosnia dan Herzegovina,[2] Bulgaria,[2] Kroasia,[2] Siprus,[2] Ceko,[2] Denmark,[2] Estonia,[2] Finlandia,[2] Prancis,[2] Georgia,[2] Jerman,[2] Yunani[2], Hungaria,[2] Islandia,[2] Irlandia,[2] Italia,[2] Latvia,[2] Liechtenstein,[2] Lithuania,[2] Luksembourg,[2] Makedonia,[2] Malta,[2] Moldova,[2] Monako,[2] Montenegro,[2] Belanda,[2] Norwegia,[2] Polandia,[2] Portugal,[2] Rumania,[2] San Marino,[2] Serbia,[2] Slovakia,[2] Slovenia,[2] Spanyol,[2] Swedia,[2] Swiss,[2] Turki,[2] Ukrania,[2] dan Inggris.[2] Negara yang menandatangani tapi belum meratifikasi, yaitu Rusia.[2]
- Protokol No. 13 Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia terkait Penghapusan Pidana Mati dalam Semua Situasi, disahkan pada tahun 2002 oleh Dewan Eropa.[1] Isi dalam perjanjian ini yaitu penghapusan hukuman mati dalam semua keadaan.[2] Hal ini juga berlaku dalam penghapusan hukuman mati dalam masa perang.[2] Negara pihak: Albania, Andora, Austria, Belgia, Bosnia dan Herzegovina, Bulgaria, Kroasia, Siprus, Ceko, Denmark, Estonia, Finlandia, Prancis, Georgia, Jerman, Yunani, Hungaria, Islandia, Irlandia, Italia, Latvia, Liechtenstein, Lithuania, Luksembourg, Macedonia, Malta, Moldova, Monako, Montenegro, Belanda, Norwegia, Polandia, Portugal, Rumania, San Marino, Serbia, Slovakia, Slovenia, Spanyol, Swedia, Swiss, Turki, Ukrania, dan Inggris. Negara yang menandatangani tapi belum meratifikasi, Armenia.[2]
Perkembangan di Indonesia
Di Indonesia untuk menentukan sanksi terhadap sebuah kejahatan dan pelanggaran diatur dalam hukum pidana[3]. Tujuan dari hukum pidana tersebut yaitu agar seseorang yang berbuat kejahatan mendapat hukuman yang adil, dan berharap agar pelaku kejahatan tersebut tidak mengulangi kejahatannya kembali[3]. Salah satu hukum pidana juga mengatur menganai tentang hukuman mati di dalamnya[4]. Hukuman mati termasuk ke dalam hukuman pokok, apabila dilihat dari jenis hukum positif di Indonesia[4]. Jenis-jenis kejahatan yang bisa dijatuhi hukuman mati di Indonesia di antaranya:
- Pasal 104 KUHP[4], berisi tentang kepada siapa saja yang ingin menyatakan makar (pengkhianatan), dan bertujuan untuk merampas dan menjatuhkan presiden atau wakil presiden, orang tersebut akan dijatuhkan dengan pidana mati atau hukuman penjara seumur hidup, atau kurungan penjara paling lama 20 tahun[5].
- Pasal 124 ayat (3) KUHP[4], berisi tentang hukuman mati bagi siapa saja yang menghancurkan tempat alat perhubungan, gudang persenjataan untuk perang, atau menyerahkannya kepada musuh[6]. Selain itu, hukuman mati juga diberikan kepada pembuat huru-hara dan pemberontakkan dari Angkatan Perang[6].
- Pasal 140 ayat (4) KUHP: Membunuh kepala Negara sahabat;
- Pasal 140 ayat (3) dan Pasal 340 KUHP: Pembunuhan yang direncakan lebih dahulu;
- Pasal 365 ayat (4) KUHP: Pencurian dengan kekerasan oleh dua orang atau lebih bersekutu pada waktu malam hari dengan cara membongkar dan sebagainya, yang mengakibatkan seseorang mengalami luka berat atau mati;
- Pasal 444 KUHP: Pembajakan di laut, di pesisir, di pantai dan di kali, sehingga mengakibatkan orang mati ;
- Pasal 124 bis KUHP: Dalam waktu perang menganjurkan huru-hara, pemberontakan dan sebagainya antara pekerja-pekerja dalam perusahaan pertahanan negara ;
- Pasal 127 dan 129 KUHP: Dalam waktu perang menipu waktu menyampaikan keperluan angkatan perang;
- Pasal 368 ayat (2) KUHP: Pemerasan dengan pemberatan ;
Tahun 1948, penangkapan Amir Sjarifuddin membuah gaduh dunia politik di Indonesia.[7] Amir Sjarifuddin merupakan tokoh politik sekaligus mantan menteri pertahanan dan perdana menteri.[7] Dia ditangkap dengan alasan terlibat dalam Peristiwa Madiun, yang melibatkan Partai Komunis Indonesia (PKI).[7] Di bulan Desember, Amir Syarifuddin dieksekusi mati di Ngalihan, Solo.[7]
Tahun 1946, Tan Malaka ditangkap karena mengikuti pertemuan dengan pimpinan Pesatuan Perjuangan.[7] Ketika Peristiwa Madiun terjadi, Tan Malaka dibebaskan. Bulan Februari, 1949 Tan Malaka menghilang.[7] Lima puluh tahun dari kejadian tersebut, seorang peneliti bernama Harry Poeze mengungkapkan bahwa Tan Malaka dibunuh oleh seorang Letnan Dua bernana Sukutjo atas inisiatif pribadi.[7]
Dua kejadian di atas menyimpulkan pada periode ini ada beberapa eksekusi mati yang dipraktikkan di Indonesia tanpa persidangan.[7] Pemerintah pada saat itu belum solid, ketika pengambilan keputusan.[7] Hasil penyelidikan yang panjang, melahirkan kesimpulan bahwa para eksekutor hukuman mati melakukannya atas inisiatif pribadi, dan didukung oleh kepentingan politik.[7]
Pada tahun 1973 – 1981, pemerintahan dipimpin oleh Soeharto.[7] Saat itu Indonesia sedang fokus dalam pengembangan perekonomian.[7] Namun, pada saat itu tingkat kriminalitas semakin tinggi.[7] Salah satu kasus yang menyita perhatian publik yaitu kasus Sengkon dan Karta, di tahun 1974.[7] Kasus ini bermula dari perampokan dan pembunuhan pasangan Sulaiman dan Siti di Desa Bojongsari, Bekasi.[7] Polisi menetapkan Karta dan Sengkon sebagai tersangka. Mereka memang tidak mengakui bahwa mereka yang telah melakukan perampokan dan pembunuhan tersebut.[7] Namun, setelah polisi memberi tekanan terhadap mereka, akhirnya mereka mau untuk menandatangani berita acara penangkapan tersebut.[7] Hal mengejutkan terjadi, ada seseorang yang bernama Genul yang mengaku telah membunuh Sulaiman dan Siti.[7] Akhirnya, Genul dijatuhi hukuman 12 tahun kurungan penjara.[7] Hal yang menjadi aneh adalah, meskipun pelaku sebenarnya sudah ditangkap, Sengkon dan Karta tidak langsung dibebaskan dan tetap menjalankan kurungan penjara.[7]
Pada periode ini, pemerintah belum mampu menghadapi kasus kriminalitas yang terjadi.[7] Oleh karena itu untuk menekan angka kriminalitas pemerintah membuat jalan pintas dengan cara eksekusi mati tanpa pengadilan.[7]
Kasus penembakan misterius (Petrus) dilakukan oleh aparat keamanan ditahun 1982-1985.[7] Eksekusi mati ini dilakukan kepada mereka yang dituduh pelaku kriminal.[7] Usaha ini menimbulkan beberapa ketidakjelasan dalam penentuan indetitas kriminal tersebut.[7] Selain itu, ada beberapa yang menyebabkan kesalahan eksekusi.[7] Pada tahun 2012 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) membentuk Tim Ad Hoc untuk melakukan penyelidikan untuk kasus penembakan misterius (Petrus) ini.[7] Hasilnya, kegiatan Petrus ini tergolong dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia tingkat berat.[7]
Pandangan Masyarakat yang Kontra Penerapan Hukuman Mati
Alasan sebagian masyarakat menentang hukuman mati karena beralasan tidak manusiawi dan bertentangan dengan prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab.[1] Pada abad ke 18 gerakan organsisasi untuk menghapuskan hukuman mati menguat.[1] Hal ini diperkuat dengan ajaran Beccaria yang tertuang dalam buku yang berjudul “Dei Delitti Delie Perie”. Isi rangkuman dari buku tersebut di antaranya:
- Seluruh manusia sebaiknya mengikuti konsep utilititarian yang mampu memberikan kebahagiaan yang sebesar-besarnya untuk sebanyak-banyaknya orang.[1]
- Mencegah kejahatan lebih penting dibandingkan pemberian hukuman atau pidana.[1] Hukuman hanya diperbolehkan jika mampu mencegah terjadinya tindakan kriminal.[1]
- Tujuan hukuman tidak boleh digunakan untuk balas dendam, tetapi untuk menghalangi orang-orang dari perbuatan kejahatan tersebut.[1]
- Hukuman mati harus dihapuskan karena tidak mampu menghapuskan kejahatan.[1] Sebagai gantinya hukuman seumur hidup dianggap paling optimal.[1]
Dalam Konvensi Internasional, tentang hukuman mati hanya memberi pembatasan bukan untuk penghapusan.[1] Berdasarkan putusan MK No. 2-3/PUU-V/2007 hukuman mati harus memperhitungkan empat aspek, yaitu:
- Pertama, hukuman mati sifatnya alternatif.[1] Bukan menjadi hukuman pokok.[1]
- Kedua, hukuman mati memiliki masa percobaan selama 10 tahun.[1] Apabila yang dijatuhi hukuman memiliki sikap terpuji bisa diganti dengan hukuman kurungan penjara seumur hidup atau kurungan penjara selama dua puluh tahun.[1]
- Ketiga, hukuman mati tidak boleh dijatuhkan kepada anak-anak yang belum dewasa.[1]
- Keempat, hukuman mati tidak boleh dijatuhkan kepada perempuan hamil dan kepada yang memiliki penyakit gangguan jiwa.[1]
Di tahun 1949, Negara Jerman telah menghapuskan hukuman mati.[1] Deklamasi Stockholm ditahun 1977 menghasilkan:
- Hukuman mati biasanya digunakan untuk penindasan sosial, golongan agama, golongan minoritas, dan anggota oposisi politik.[1]
- Hukuman mati merupakan tindakan kekerasan dan memacu kekerasan lagi.[1]
- Hukuman mati tidak membuktikan data sebagai penangkal khusus untuk mengurangi kriminalitas.[1]
- Hukuman mati memiliki sifat erevokabel.[1]
Bersadarkan hal-hal yang sudah dijelaskan di atas, dapat disimpulkan bahwa hukuman mati tidak dapat menghapuskan kejahatan di masyarakat.[1]
Pandangan Masyarakat yang Setuju Penerapan Hukuman Mati
Masyarakat yang setuju dengan hukuman mati dianggap memang cocok dijatuhkan kepada penjahat yang sadis dan melakukan kejahatan yang berat.[1] Ada beberapa alasan, sebagian masyarakat setuju dengan hukuman mati.[1] Alasan itu di antaranya:
- Orang-orang berbahaya harus ditangani dengan hukuman mati agar tidak mengganggu dan menjadi penghalang bagi kemajuan masyarakat.[1]
- Wujud dari pembalasan.[1]
- Apabila orang yang melakukan kejahatan berat apabila tidak dihukum mati, ketika Ia bebas akan mengulangi kejahatan yang Ia lakukan.[1]
- Apabila orang yang melakukan kejahatan berat tidak dibebaskan, akan mengacaukan penjara.[1]
- Hukuman mati menjadikan orang lain takut hingga tidak berani melakukan kejahatan.[1]
Daftar Referensi
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag ah ai aj ak al am an ao ap aq ar as at au av aw ax ay az ba bb bc bd be bf bg bh bi bj bk bl bm bn bo bp bq br bs bt bu bv bw bx by bz ca cb cc cd Asmarawati, Tina (2013). Hukuman Mati dan Permasalahannya di Indonesia. Yogyakarta: CV. Budi Utama. hlm. 5–14. ISBN 978-602-280-166-5.
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag ah ai aj ak al am an ao ap aq ar as at au av aw ax ay az ba bb bc bd be bf bg bh bi bj bk bl bm bn bo bp bq br bs bt bu bv bw bx by bz ca cb cc cd ce cf cg ch ci cj ck cl cm cn co cp cq cr cs ct cu cv cw cx cy cz da db dc dd de df dg dh di dj dk dl dm dn do dp dq dr ds dt du dv dw dx dy dz ea eb ec ed ee ef eg eh ei ej ek el em en eo ep eq er es et eu ev ew ex ey ez fa fb fc fd fe ff fg fh fi fj fk fl fm fn fo fp fq fr fs ft fu fv fw fx fy fz ga gb gc gd ge gf gg gh gi gj gk gl gm gn go gp gq dkk, Anggara (2017). Politik Kebijakan Hukuman di Indonesia dari Masa ke Masa. Jakarta: Institute for Criminal Justic Reform. hlm. 1–123. ISBN 978-602-6909-76-3.
- ^ a b "Mengenal Tujuan Hukum Pidana Beserta Fungsinya, Perlu Dipahami". merdeka.com (dalam bahasa Inggris). 2020-10-13. Diakses tanggal 2021-06-24.
- ^ a b c d "Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)". Portal Hukuman Mati Indonesia (dalam bahasa Inggris). 2015-08-25. Diakses tanggal 2021-06-24.
- ^ Media, Kompas Cyber (2019-05-20). "Sejumlah Tokoh Terjerat Pasal Makar, Begini Pandangan Ahli Hukum... Halaman all". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2021-06-24.
- ^ a b "Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP". humanrightspapua.org. Diakses tanggal 2021-06-24.
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab Wirawan, Yerry (2015). Menolak Humkuman Mati: Perspektif Hukuman Mati. Yogyakarta: IKAPI. hlm. 89–102. ISBN 978-979-21-4462-8.