Bahasa Sunda
Bahasa Sunda (Basa Sunda, aksara Sunda: ᮘᮞ ᮞᮥᮔ᮪ᮓ, Cacarakan: ꦧꦱꦱꦸꦤ꧀ꦝ, Pegon: باسا سوندا) adalah sebuah bahasa dari cabang Melayu-Polinesia dalam rumpun bahasa Austronesia. Bahasa ini dituturkan oleh setidaknya 42 juta orang dan merupakan bahasa Ibu dengan penutur terbanyak kedua di Indonesia setelah Bahasa Jawa. Bahasa Sunda dituturkan di hampir seluruh provinsi Jawa Barat dan Banten, serta wilayah barat Jawa Tengah mulai dari Kali Brebes (Sungai Cipamali) di wilayah Kabupaten Brebes dan Kali Serayu (Sungai Cisarayu) di Kabupaten Cilacap, di sebagian kawasan Jakarta, serta di seluruh provinsi di Indonesia dan luar negeri yang menjadi sebagai daerah urbanisasi Suku Sunda.
Dialek Bahasa Sunda
Dialek (basa wewengkon) bahasa Sunda beragam, mulai dari Sunda-Banten, Sunda-Brebes yang mulai tercampur bahasa Jawa. Para pakar bahasa biasanya membedakan 4 dialek yang berbeda.[5] Dialek-dialek ini adalah:
- Dialek Sunda Badui, meliputi Kabupaten Lebak, Kabupaten Pandeglang serta sebagian Kabupaten Tangerang.
- Dialek Sunda Cirebon, meliputi eks-karesidenan Cirebon, eks-karesidenan Bandung serta sebagian Kabupaten Brebes.
- Dialek Sunda Bogor, meliputi eks-karesidenan Bogor, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur, Kota Sukabumi serta sebagian Kota Depok.
- Dialek Sunda Banten, meliputi Kota Cilegon, Kota Serang serta sebagian Kabupaten Serang.
Sejarah dan Penyebaran
Bahasa Sunda terutama dipertuturkan di sebelah barat pulau Jawa, di daerah yang dijuluki Tatar Sunda (Pasundan). Namun, bahasa Sunda juga dipertuturkan di bagian barat Jawa Tengah, khususnya di Kabupaten Brebes dan Cilacap, dikarenakan wilayah ini dahulunya berada di bawah kekuasaan Kerajaan Galuh. Banyak nama-nama tempat di Cilacap yang masih merupakan nama Sunda dan bukan nama Jawa seperti Kecamatan Dayeuhluhur, Cimanggu, Cipari dan sebagainya.
Selain itu menurut beberapa pakar bahasa Sunda sampai sekitar abad ke-6 wilayah penuturannya sampai di sekitar Dataran Tinggi Dieng di Jawa Tengah, berdasarkan nama "Dieng" yang dianggap sebagai nama Sunda (asal kata dihyang yang merupakan kata bahasa Sunda Kuno). Seiring transmigrasi dan imigrasi yang dilakukan etnis Sunda, penutur bahasa ini telah menyebar sampai ke luar pulau Jawa. Misalkan di Lampung, Sumatra Selatan, Jambi, Riau, Kalimantan Barat dan Sulawesi Tenggara di mana penduduk etnis Sunda dengan jumlah signifikan menetap di daerah luar Pasundan tersebut.lagu
Fonologi
Terdapat tujuh fonem vokal dalam bahasa Sunda: /a/, /ɛ/ <é>, /i/, /ɨ/ <eu>, /ə/ <e>, /u/ dan /ɔ/ <o>.[6]
Depan | Madya | Belakang | |
---|---|---|---|
Tertutup | i | ɨ | u |
Tengah | ɛ | ə | ɔ |
Terbuka | a |
Bibir | Gigi | Langit2 keras |
Langit2 lunak |
Celah suara | |
---|---|---|---|---|---|
Sengau | m | n | ɲ | ŋ | |
Letap | p b | t d | c ɟ | k g | ʔ |
Desis | s | h | |||
Getar/Sisi | l r | ||||
Hampiran | w | j |
Sistem penulisan
Aksara Sunda (Kaganga)
Mulanya bahasa Sunda ditulis dengan aksara Sunda. Aksara Sunda merupakan salah satu aksara berumpun Brahmi yang diturunkan dari aksara Pallawa lewat aksara Kawi, seperti halnya aksara Jawa. Bukti-bukti tertulis mengenai evolusi aksara ini muncul di beberapa prasasti yang ditemukan dari abad ke-10 (era kerajaan Mataram Kuno) hingga abad ke-15 M pada masa keemasan Kerajaan Pajajaran. Prasasti yang diyakini merupakan kunci evolusi aksara Sunda adalah Prasasti Batutulis, Prasasti Astana Gede, dan Prasasti Kebantenan.[7][8]
Dahulu aksara ini dituliskan di permukaan batu. Pada abad ke-15 hingga ke-16, aksara Sunda kuno mulai berevolusi jauh dari aksara Kawi dan mudah dikenali perubahannya. Aksara ini kemudian lebih banyak ditulis di atas daun lontar. Aksara tersebut digunakan dalam penulisan naskah Bujangga Manik, Carita Parahyangan dan Waruga Guru.[9] Naskah ini kelak dijadikan sebagai rujukan bagi pengembangan aksara Sunda yang kemudian, aksara Sunda baku.
Aksara Sunda Kuno memiliki sintaksis penulisan yang lebih kompleks, seperti adanya pasangan (seperti aksara Jawa, hanya semua huruf pasangannya sama dengan huruf utama), huruf leu dan reu, dan jumlah guratan yang lebih banyak daripada aksara Sunda baku. Aksara Sunda baku mulai diperkenalkan pada dekade 1990-an untuk menggantikan peran Cacarakan (lihat di bawah). Saat ini, seluruh pembelajaran bahasa Sunda menggunakan aksara Sunda baku dan alfabet Latin.[10]
Alfabet Bahasa Sunda
Kolonialisasi di Nusantara menyebabkan aksara Sunda kuno menjadi terancam. Bersama dengan keluarnya ultimatum dari VOC pada tanggal 3 November 1705, aksara Sunda kuno dan Rikasara Cirebon punah. Setiap orang yang menulis dokumen-dokumen resmi hanya diperbolehkan menulis aksara Jawa, abjad Pegon, dan alfabet Latin untuk menuliskan bahasa Jawa dan Sunda. Alfabet Latin sendiri mulai diintensifkan untuk mentranskripsi karya-karya yang ditulis menggunakan aksara Sunda Kuno dan Pegon pada abad ke-19 hingga ke-20. Salah satu tokoh yang berjasa dalam transkripsi aksara Cacarakan dan Sunda ke Latin adalah seorang keturunan Bugis-Sunda bernama Daeng Kanduruan Ardiwinata (1866–1947) yang menulis buku berjudul Palanggeran Nuliskeun Aksara Sunda ku Aksara Walanda (terbitan Commissie voor de Volkslectuur tahun 1912) yang berisi aturan transkripsi bahasa Sunda menggunakan alfabet Latin serta Elmuning Basa Sunda (edisi I 1916 dan II 1917) yang berisi peraturan tata bahasa Sunda modern.[11][12][13]
Cacarakan
Cacarakan adalah aksara Jawa yang digunakan untuk menuliskan bahasa Sunda, dan telah dipakai selama 300 tahun setelah keluarnya ultimatum dari VOC pada tanggal 3 November 1705 yang mewajibkan penggunaan aksara Jawa, abjad Pegon, dan alfabet Latin untuk menuliskan bahasa Jawa dan Sunda. Dengan lahirnya aksara Sunda baku, hanya sebagian kecil daerah di Jawa Barat masih mempertahankan Cacarakan untuk menulis bahasa Sunda.[14][13]
Abjad Pegon Sunda
Selain digunakan untuk menulis bahasa Jawa, abjad Pegon yang bersaudara dengan abjad Jawi (Arab-Melayu) juga digunakan untuk menulis bahasa Sunda, menggunakan huruf-huruf Arab standar dan huruf-huruf rekaan baru yang tidak ada dalam huruf Arab asli. Huruf-huruf itu juga tidak bisa dipahami oleh orang Arab jika mereka tak menguasai bahasa Sunda dengan huruf tersebut. Hadir bersama Islam di Tanah Jawa, abjad Pegon menjadi materi yang masih diajarkan di sebagian kecil pesantren di Jawa Barat tempat bahasa Sunda berasal.[15][16][17]
Undak-usuk
Karena pengaruh budaya Jawa pada masa kekuasaan kerajaan Mataram-Islam, bahasa Sunda - terutama di wilayah Parahyangan - mengenal undak-usuk atau tingkatan berbahasa, mulai dari bahasa halus, bahasa loma/lancaran, hingga bahasa kasar. Namun, di wilayah-wilayah pedesaan/pegunungan dan mayoritas daerah Banten, bahasa Sunda loma (bagi orang-orang daerah Bandung terdengar kasar) tetap dominan. Di bawah ini disajikan beberapa contoh.
Tempat
Bahasa Indonesia | Bahasa Sunda (normal) |
Bahasa Sunda (sopan/lemes) |
---|---|---|
rumah | imah | bumi/rorompok[18] |
belakang | tukang | pengker |
depan | hareup | payun |
Waktu
Bahasa Indonesia | Bahasa Sunda (normal) |
Bahasa Sunda (sopan/lemes) |
---|---|---|
dahulu | baheula/bareto | kapungkur |
lama | lila sia ah | lami |
sebentar | sakeudeung | sakedap |
sore | burit | sonten |
Lain-lain
Bahasa Indonesia | Bahasa Sunda (normal) |
Bahasa Sunda (sopan/lemes) |
---|---|---|
makan | Dahar/kemek | tuang |
menguap | heuay | angob |
bukan | lain | sanes |
saya | urang | abdi/kuring/sim kuring/pribados/kaula |
Perbedaan dengan bahasa Sunda di Banten
Bahasa Sunda Banten adalah bahasa Sunda yang digunakan sebagian masyarakat di Banten, serta yang berada di daerah Priangan seperti Garut, Tasikmalaya, Bandung, dan lain sebagainya. Bahasa Sunda di Banten juga umumnya tidak mengenal tingkatan, dikarenakan wilayah Banten tidak pernah berada di bawah kekuasaan Kesultanan Mataram. Bahasa Sunda tersebut masih terlihat memiliki hubungan erat dengan bahasa Sunda Kuno, tetapi oleh mayoritas orang-orang yang berbahasa Sunda yang memiliki tingkatan (Priangan), bahasa Sunda Banten di Rangkasbitung dan Pandeglang digolongkan sebagai bahasa Sunda kasar. Secara praktiknya, bahasa Sunda Banten digolongkan sebagai bahasa Sunda dialek Barat. Pengucapan bahasa Sunda di Banten umumnya berada di daerah Banten bagian selatan, yaitu kabupaten Lebak dan kabupaten Pandeglang.
Bilangan dalam bahasa Sunda
Bilangan | Lemes |
---|---|
1 | hiji |
2 | dua |
3 | tilu |
4 | opat |
5 | lima |
6 | genep |
7 | tujuh |
8 | dalapan |
9 | salapan |
10 | sa-puluh |
11 | sa-belas |
12 | dua belas |
13 | tilu belas |
.. | .. |
20 | dua puluh |
21 | sa-likur |
22 | dua likur |
29 | salapan likur |
.. | .. |
100 | sa-ratus |
101 | sa-ratus hiji |
.. | .. |
200 | dua ratus |
201 | dua ratus hiji |
.. | .. |
1.000 | sa-rebu |
.. | .. |
1.000.000 | sa-juta |
.. | .. |
1.000.000.000 | sa-miliar |
.. | .. |
1.000.000.000.000 | sa-triliun |
.. | .. |
1.000.000.000.000.000 | sa-quadriliun |
Catatan kaki
- ^ "Mempertahankan Eksistensi Bahasa Sunda | Pikiran Rakyat". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-09-27. Diakses tanggal 2017-06-27.
- ^ Ethnologue (dalam bahasa Inggris) (edisi ke-25, 19), Dallas: SIL International, ISSN 1946-9675, OCLC 43349556, Wikidata Q14790, diakses tanggal 23 April 2022
- ^ Hammarström, Harald; Forkel, Robert; Haspelmath, Martin, ed. (2023). "Sundanese–Badui". Glottolog 4.8. Jena, Jerman: Max Planck Institute for the Science of Human History.
- ^ "Bahasa Sunda". www.ethnologue.com (dalam bahasa Inggris). SIL Ethnologue.
- ^ Misalkan Wurm dan Shirô Hattori dalam Language Atlas of Asia-Pacific (1983).
- ^ Müller-Gotama, Franz (2001). Sundanese. Languages of the World. Materials. 369. Munich: LINCOM Europa.
- ^ Hartono, Dibyo,. Architectural conservation award Bandung = Penghargaan konservasi bangunan cagar budaya. Bandung, West Java, Indonesia. ISBN 978-979-692-541-4. OCLC 897825910.
- ^ Danasasmita, M. (2001). Wacana bahasa dan sastra Sunda lama. Bandung: STSI Press.
- ^ Ensiklopedi Sunda : alam, manusia, dan budaya, termasuk budaya Cirebon dan Betawi. Rosidi, Ajip, 1938-, Pustaka Jaya (Firm) (edisi ke-Cet. 1). [Jakarta]: Pustaka Jaya. 2000. ISBN 979-419-259-7. OCLC 45463431.
- ^ Hasanah, A.; Gustini, N.; Rohaniawati, D. (2016). Nilai-Nilai Karakter Sunda. Yogyakarta: Deepublish. ISBN 9786024532574.
- ^ Kartini, T. (1979). Daeng Kanduruan Ardiwinata, sastrawan Sunda. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
- ^ Kridalaksana, Harimurti. (2008). Kamus linguistik (edisi ke-Ed. 4). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. ISBN 978-979-22-3570-8. OCLC 271724799.
- ^ a b Sisi senyap politik bising. Budi Susanto, A., 1952-. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 2007. ISBN 9789792116588. OCLC 262737609.
- ^ Rosyadi (1997). Pelestarian dan usaha pengembangan aksara daerah Sunda. Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Jawa Barat, Departemen Pendidikan dan Kebudayan Republik Indonesia.
- ^ "BUDAYA – Mengenal Aksara Arab Pegon: Simbol Perlawanan dan Pemersatu Ulama Nusantara". Diakses tanggal 2019-09-05.
- ^ "Huruf Pegon, Sarana Kreativitas Umat Islam di Jawa Masa Lalu". Poskota News (dalam bahasa Inggris). 2016-07-01. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-09-05. Diakses tanggal 2019-09-05.
- ^ Sastra Jawa : suatu tinjauan umum. Sedyawati, Edi, 1938- (edisi ke-Cet. 1). Jakarta: Pusat Bahasa. 2001. ISBN 979-666-652-9. OCLC 48399092.
- ^ Belajar Bahasa Sunda, Penulis Cilik
Lihat pula
Pranala luar
- Kamus Bahasa Sunda Diarsipkan 2014-10-11 di Wayback Machine.
- (Inggris) (Inggris) Bahasa Sunda di Ethnologue
- (Inggris) Ethnologue: "Austronesian, Malayo-Polynesian, Malayo-Sumbawan, Sundanese"
- Abah Usulkan Bahasa Sunda Jadi Mulok di Cilacap Barat
- Konverter Huruf Latin - Aksara Sunda[pranala nonaktif permanen]
- Sundanese-Indonesian Translator
- PDF (47,7M) Kamus Sunda-Indonesia - Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud