Bahasa Jawa Banyumasan

bagian dari rumpun bahasa Austronesia

Bahasa Jawa Banyumasan[3] atau Basa Penginyongan adalah salah satu dialek bahasa Jawa yang dituturkan di eks-Keresidenan Banyumas Jawa Tengah dan sekitarnya. Beberapa kosakata dan dialeknya juga dipergunakan di Banten utara serta daerah Indramayu termasuk Cirebon.

Bahasa Jawa Banyumasan
ꦧꦱꦗꦮꦧꦚꦸꦩꦱ꧀ꦱꦤ꧀
Basa Jawa Banyumasan
Dituturkan diEks-Keresidenan Banyumas (Kabupaten Banyumas, Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Cilacap, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Kebumen, Bagian Selatan Kabupaten Pemalang)
WilayahIndonesia Jawa Tengah, Indonesia
Penutur
4.914.500 jiwa (2010)[1]
Lihat sumber templat}}
Beberapa pesan mungkin terpotong pada perangkat mobile, apabila hal tersebut terjadi, silakan kunjungi halaman ini
Klasifikasi bahasa ini dimunculkan secara otomatis dalam rangka penyeragaman padanan, beberapa parameter telah ditanggalkan dan digantikam oleh templat.
Posisi bahasa Jawa Banyumasan dalam harap diisi Sunting klasifikasi ini 

Catatan:

Simbol "" menandai bahwa bahasa tersebut telah atau diperkirakan telah punah
Kode bahasa
ISO 639-1342
ISO 639-20-342
ISO 639-3
Glottologbany1247[2]
Artikel ini mengandung simbol fonetik IPA. Tanpa bantuan render yang baik, Anda akan melihat tanda tanya, kotak, atau simbol lain, bukan karakter Unicode. Untuk pengenalan mengenai simbol IPA, lihat Bantuan:IPA.
 Portal Bahasa
L • B • PW   
Sunting kotak info  Lihat butir Wikidata  Info templat

Bahasa Jawa dialek Banyumasan terkenal dengan cara bicaranya yang khas. Dialek ini disebut Banyumasan karena dipakai oleh masyarakat yang tinggal di wilayah eks-Keresidenan Banyumas.

Seorang ahli bahasa Belanda, E.M. Uhlenbeck, mengelompokan dialek-dialek yang dipergunakan di wilayah barat dari Jawa Tengah sebagai kelompok (rumpun) bahasa Jawa bagian barat (Banyumasan, Tegalan, Dermayonan dan Banten Utara). Kelompok lainnya adalah bahasa Jawa bagian tengah (Surakarta, Yogyakarta, Semarang dll) dan kelompok bahasa Jawa bagian timur (Suroboyan, Malangan/Walikan).

Untuk Bahasa Jawa Dermayonan atau Bahasa Dermayon memang menjadi Induk bahasa Jawa di pesisir utara. Dialek ini masih termasuk dialek Banyumasan, akan tetapi bisa dibilang bahasa Dermayonan adalah bahasa Jawa kuno yang masih bertahan. Sebagai Contoh kata "a" diucapakan "a" bukan "o" dan ada ciri Khas dari Bahasa Jawa Dermayon itu sendiri yaitu akhiran "-aken" sebagai Contoh "Ngelingaken" bukan "Ngelingake". Akhiran "-aken" adalah akhiran yang diturunkan dari bahasa Jawa Kuno yang masih bertahan hingga kini.

Bahasa Jawa Dermayon lah yang menjadi Induk Bahasa Jawa yang disebarkan oleh penduduk wangsa kesultanan dermayon pada abad 14 M. Sebaranya di wilayah: Indramayu, Cirebon, Brebes, sebagian Subang dan sebagian Karawang termasuk Serang (Banten) atas penelitian yang dilakukan oleh ahli bahasa dari Yogyakarta.

Dibandingkan dengan bahasa Jawa dialek Yogyakarta dan Surakarta, dialek Banyumasan banyak sekali bedanya. Perbedaan yang utama yakni akhiran 'a' tetap diucapkan 'a' bukan 'o'. Jadi jika di Solo orang makan 'sego' (nasi), di wilayah Banyumasan orang makan 'sega'. Selain itu, kata-kata yang berakhiran huruf mati dibaca penuh, misalnya kata enak oleh dialek lain bunyinya ena, sedangkan dalam dialek Banyumasan dibaca enak dengan suara huruf 'k' yang jelas, itulah sebabnya bahasa Banyumasan oleh masyarakat di luar Banyumas disebut sebagai bahasa Ngapak atau Ngapak-ngapak.

Ada sebagian masyarakat Banyumasan yang paham akan menolak jika bahasa mereka disebut sebagai bahasa Ngapak, karena penybutan ini cenderung ke arah bullying dan merendahkan.

Sejarah

Menurut para pakar bahasa[siapa?], sebagai bagian dari bahasa Jawa maka dari waktu ke waktu, bahasa Banyumasan mengalami tahap-tahap perkembangan sebagai berikut:

  • Abad ke-9 - 13 sebagai bagian dari bahasa Jawa kuno
  • Abad ke-13 - 16 berkembang menjadi bahasa Jawa abad pertengahan
  • Abad ke-16 - 20 berkembang menjadi bahasa Jawa baru
  • Abad ke-20 - sekarang, sebagai salah satu dialek bahasa Jawa modern.
    (Tahap-tahapan ini tidak berlaku secara universal)

Tahap-tahapan perkembangan tersebut sangat dipengaruhi oleh munculnya kerajaan-kerajaan di pulau Jawa yang juga menimbulkan tumbuhnya budaya-budaya feodal. Implikasi selanjutnya adalah pada perkembangan bahasa Jawa yang melahirkan tingkatan-tingkatan bahasa berdasarkan status sosial. Tetapi pengaruh budaya feodal ini tidak terlalu signifikan menerpa masyarakat di wilayah Banyumasan. Itulah sebabnya pada tahap perkembangan pada era bahasa Jawa modern ini, terdapat perbedaan yang cukup mencolok antara bahasa Banyumasan dengan bahasa Jawa standar sehingga di masyarakat Banyumasan timbul istilah bandhekan untuk merepresentasikan gaya bahasa Jawa standar, atau biasa disebut bahasa wetanan (timur).

Menurut M. Koderi (salah seorang pakar budaya & bahasa Banyumasan), kata bandhek secara morfologis berasal dari kata gandhek yang berarti pesuruh (orang suruhan/yang diperintah), maksudnya orang suruhan Raja yang diutus ke wilayah Banyumasan. Para pesuruh ini tentu menggunakan gaya bahasa Jawa standar (Surakarta / Yogyakarta) yang memang berbeda dengan bahasa Banyumasan.

Rumpun bahasa Jawa bagian barat

Terdapat 4 sub-dialek utama dalam dialek bahasa Jawa bagian barat, yaitu Wilayah Utara (Tegalan), Wilayah Selatan (Banyumasan), Wilayah Cirebon - Indramayu (Dermayonan) dan Banten Utara.

Wilayah Utara

Dialek Tegalan dituturkan di wilayah utara, antara lain Tanjung, Ketanggungan, Larangan, Brebes, Slawi, Moga, Belik, Watukumpul, Pulosari, Warungpring,Pemalang, Randudongkal, Surodadi dan Tegal.

Wilayah Selatan

Dialek ini dituturkan di wilayah selatan, antara lain Bumiayu, Bumijawa & Margasari (Tegal selatan) , Karang Pucung, Cilacap, Nusakambangan, Kroya, Ajibarang, Gumelar, Purwokerto, Purbalingga, Bobotsari, Banjarnegara, Sumpiuh, Kebumen serta Gombong.

Cirebon - Indramayu

Dialek ini dituturkan di sekitar Cirebon, Jatibarang dan Indramayu. Secara administratif, wilayah ini termasuk dalam Provinsi Jawa Barat.

Banten Utara

Dialek ini dituturkan di wilayah Banten utara (wilayah bagian utara Serang, Cilegon dan Tangerang) yang secara administratif termasuk dalam Provinsi Banten.

Selain itu terdapat beberapa sub-sub dialek dalam bahasa Banyumasan, antara lain sub dialek Bumiayu dan lain-lain.

Kosakata

Sebagian besar kosakata asli dari bahasa ini tidak memiliki kesamaan dengan bahasa Jawa standar (Semarang, Surakarta/Yogyakarta) baik secara morfologi maupun fonetik.

Banten Utara Dermayon Banyumasan Tegal, Brebes Pemalang Solo/Yogya Surabaya Gresik Utara (Kec.Ujungpangkah) Osing (Banyuwangi) Sunda Indonesia
kité kula/reang/ingsun/isun inyong/nyong Enyong/inyong Enyong/inyong aku, kula aku eson (perempuan), reang (laki-laki) isun, nisun kuring aku/saya
siré slira/sira rika/ko kowen/rika rika/koe kowe, sliramu koen, awakmu, riko Siro , Peno, Ndiko Riko, Iro maneh kamu
pisan nemen/temen/pisan banget/temen/pisan nemen/temen/pisan nemen/temen/teo tenan temen seru temen pisan sangat
keprimen kepriben/kepriwe/kepripun kepriwe kepriben/priben/pribe keprimen/kepriben/primen/prime/priben/pribe piye/kepriye/pripun ya'apa ya'apa paran kumaha bagaimana
ore ora/belih/ ora ora/belih ora/beleh ora gak gak Sing, Hing henteu tidak
manjing mlebu/manjing mlebu/lebok manjing/mlebu manjing/mlebu mlebu mlebu mlebu, manjeng mlebu asup masuk
arep arep/arep-an/pan/pen arep pan pan/pen/ape/pak arep kate kape arep arek akan

Perbandingan kosakata Banyumasan dengan bahasa Jawa baku

Dialek Banyumasan Jawa baku Indonesia
agèh[4] ayo ayo
ambring sepi sepi
batir[5] kanca teman
bae, baen wae saja
bangkong kodok katak
bengel mumet pusing
bodhol rusak rusak
brug[6] kreteg jembatan
bringsang sumuk panas
clebek kopi kopi
cocot cangkem/lambe mulut
londhog/dolog alon pelan
druni medhit pelit
dheweke deke/ndekne dia
dhongé/dhongané kudune harusnya
egun isih masih
gableg duwé punya
gering[7] kuru kurus
gigal tiba jatuh
gili dalan jalan
gujih rewel rewel
jagong[8] lungguh duduk
jiot, jukut jupuk ambil
kes, ket, tes, sing saka dari
kiyé iki ini
kuwé iku itu
letek/leta asin asin
madhang mangan awan makan siang
maen apik baik
maning maneh lagi
maregi nyebeli buruk
lomboan ngapusi bohong
endhas sirah kepala
dog teka sampai
kencot ngelih lapar
laut bali pulang
nyekek maem makan
longok delok lihat
ngalongok ndelok melihat
penter padang terang
setamplat ? terminal
teyeng isa bisa
bajag gede besar
blag ? buka
tegi ? tutup

Lobak sama dengan budin/singkong

"Cengkring" merupakan kata yang digunakan untuk menamai orang yang memiliki sifat "perasa" atau sensitif

Baca kegundahan Ahmad Tohari berikut ini:

Dalam kenyataan sehari-hari keberadaan basa banyumasan termasuk dialek lokal yang sungguh terancam. Maka kita sungguh pantas bertanya dengan nada cemas, tinggal berapa persenkah pengguna basa banyumasan 20 tahun ke depan? Padahal, bahasa atau dialek adalah salah satu ciri utama suatu suku bangsa. Jelasnya tanpa basa banyumasan sesungguhnya wong penginyongan boleh dikata akan Terhapus dari Peta etnik bangsa ini. Kekhawatiran belau lainnya: Mana bacaan teks-teks lama Banyumasan seperti babad-babad Kamandaka, misalnya, malah lebih banyak ditulis dalam dialek Jawa wetanan. Jadi sebuah teks yang cukup mewakili budaya dan semangat wong penginyongan harus segera disediakan

Sebuah fakta empiris bahwa penutur asli bahasa Banyumasan (Satria) akan mengalah bila berbicara dengan penutur bahasa wetanan (Satrio). Alasannya, Satria tidak ingin dicap sebagai orang rendahan karena menggunakan bahasa berlogat kasar.

salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mempertahankan dan melestarikan dialek Banyumasan adalah dengan menggunakan bahasa tersebut di dalam pergaulan baik waktu orang banyumas berada di daerahnya maupun berada di luar daerah. Selain itu salah satu usaha yang lain adalah dengan dimasukkannya bahasa Banyumasan ke dalam kurikulum sekolah sebagai muatan lokal.

Catatan

  1. ^ "Tabel Hasil Sensus Penduduk 2010 Provinsi JAWA Tengah". bps.go.id. Badan Pusat Statistik. Diarsipkan dari versi asli tanggal 28 Oktober 2011. Diakses tanggal 29 Mei 2020. 
  2. ^ Hammarström, Harald; Forkel, Robert; Haspelmath, Martin, ed. (2023). "Bahasa Jawa Banyumasan". Glottolog 4.8. Jena, Jerman: Max Planck Institute for the Science of Human History. 
  3. ^ Ahmad Tohari, dkk (2014). Kamus Bahasa Jawa Banyumasan-Indonesia. Semarang: Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah. ISBN 9786027664630. 
  4. ^ Dalam bahasa Jawa Baku kata agé atau juga dikenal.
  5. ^ Kata batur dalam bahasa Jawa Kuno berarti "teman"
  6. ^ Dari bahasa Belanda brug.
  7. ^ Juga dikenal dalam bahasa Jawa Baku.
  8. ^ Dalam bahasa Jawa Baku artinya "mengobrol".

Pranala luar

Lihat pula