Penyiksaan
Halaman ini sedang dipersiapkan dan dikembangkan sehingga mungkin terjadi perubahan besar. Anda dapat membantu dalam penyuntingan halaman ini. Halaman ini terakhir disunting oleh Mauliddin mutz (Kontrib • Log) 977 hari 914 menit lalu. Jika Anda melihat halaman ini tidak disunting dalam beberapa hari, mohon hapus templat ini. |
Penyiksaan (bahasa Inggris: torture) adalah tindakan yang secara sengaja dilakukan untuk menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang parah kepada seseorang.
Penyiksaan telah dilakukan oleh banyak negara sepanjang sejarah, dari zaman kuno hingga zaman modern. Pada abad kedelapan belas dan kesembilan belas, negara-negara Barat menghapus penggunaan penyiksaan secara formal dalam sistem peradilan, tetapi penyiksaan terus digunakan. Berbagai metode penyiksaan yang digunakan, seringkali dilakukan dalam kombinasi; bentuk penyiksaan fisik yang paling umum adalah pemukulan. Sejak abad kedua puluh, banyak penyiksa yang lebih memilih metode penyiksaan tanpa bekas luka atau psikologis untuk memberikan penyangkalan atas penyiksaan yang dilakukan. Banyak penyiksa yang beroperasi dalam lingkungan organisasi yang permisif yang memfasilitasi dan mendorong perilaku mereka. Alasan penyiksaan antara lain karena hukuman, penggalian pengakuan, interogasi untuk informasi, atau mengintimidasi pihak ketiga. Hukuman badan dan hukuman mati terkadang dianggap sebagai bentuk penyiksaan, meskipun hal ini adalah kontroversial secara internasional.
Tujuan akhir dari penyiksaan adalah untuk menghancurkan badan dan kepribadian korban; semua bentuk penyiksaan dapat menimbulkan efek fisik atau psikologis yang parah pada korban. Penyiksaan juga dapat berdampak negatif bagi pelaku dan institusinya. Penyiksaan adalah dilarang menurut hukum internasional untuk semua negara dalam semua keadaan, baik menurut hukum kebiasaan internasional maupun dalam berbagai perjanjian internasional. Pelarangan ini sering didasarkan pada argumen bahwa penyiksaan melanggar harkat dan martabat manusia. Penentangan terhadap penyiksaan membantu pembentukan gerakan hak asasi manusia setelah Perang Dunia II. Penyiksaan terus menjadi masalah hak asasi manusia yang penting. Meskipun insidennya telah menurun, penyiksaan masih dilakukan oleh sebagian besar negara dan tersebar luas di seluruh dunia. Korban utama penyiksaan adalah orang-orang yang miskin dan terpinggirkan yang diduga melakukan kejahatan biasa.
Definisi
Penyiksaan (dari bahasa Latin torcere: untuk memelintir)[1] didefinisikan sebagai tindakan yang secara disengaja dilakukan untuk menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang parah pada korban, yang biasanya ditafsirkan sebagai seseorang yang berada di bawah kendali pelaku.[2] Perlakuan tersebut dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu, seperti memaksa korban untuk mengaku, memberikan informasi, atau untuk menghukum mereka.[3] Definisi Konvensi PBB Menentang Penyiksaan hanya menganggap penyiksaan yang dilakukan oleh negara.[4] Sebagian besar sistem hukum mengakui agen yang bertindak atas nama negara, dan beberapa definisi menambahkan kelompok bersenjata non-negara, kejahatan terorganisir, atau individu pribadi yang bekerja di fasilitas yang dipantau negara (seperti rumah sakit). Definisi yang paling luas tentang penyiksaan mendeskripsikan bahwa siapa saja dapat menjadi pelaku penyiksaan.[5] Tingkat keparahan dari perbuatan agar dapat diklasifikasikan sebagai penyiksaan adalah aspek yang paling kontroversial dari definisi penyiksaan; seiring berjalannya waktu, lebih banyak tindakan yang kini dianggap sebagai penyiksaan.[6] Pendekatan purposif, yang diikuti oleh para sarjana seperti Manfred Nowak dan Malcolm Evans, membedakan penyiksaan dari bentuk-bentuk lain dari perlakuan kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat dengan mempertimbangkan pada tujuan yang hendak dicapai dan bukan pada tingkat keparahannya.[7] Definisi lain, seperti yang digunakan dalam Konvensi Antar-Amerika untuk Mencegah dan Menghukum Penyiksaan, berfokus pada tujuan penyiksa "untuk melenyapkan kepribadian korban".[8][9]
Sejarah
Sebelum penghapusan
Di sebagian besar masyarakat pada zaman kuno, periode abad pertengahan, dan awal modern, penyiksaan dianggap sebagai praktik yang diterima secara hukum dan moral.[10] Terdapat bukti arkeologi terkait penyiksaan di Eropa Neolitik Awal, sekitar 7.000 tahun yang lalu.[11] Banyak masyarakat yang dulu menggunakan penyiksaan baik sebagai bagian dari proses peradilan maupun sebagai sebuah hukuman, meskipun beberapa otoritas memisahkan sejarah penyiksaan dari sejarah hukuman yang menyakitkan.[12][13] Secara historis, penyiksaan dipandang sebagai cara yang dapat diandalkan untuk memperoleh kebenaran, sebagai hukuman yang sesuai, dan untuk mencegah pelanggaran hukum di masa depan.[14] Penyiksaan diatur secara hukum dengan pembatasan ketat terhadap metode yang diizinkan.[14] Di sebagian besar masyarakat, warga negara dapat disiksa secara hukum hanya dalam keadaan luar biasa untuk kejahatan serius seperti pengkhianatan, seringkali hanya jika telah ada beberapa bukti pendukung. Sebaliknya, orang-orang yang bukan warga negara seperti orang asing dan budak umumnya menjadi korban penyiksaan.[15]
Penyiksaan jarang terjadi di Eropa abad pertengahan awal, tetapi menjadi lebih umum dipraktekkan antara tahun 1200 dan 1400.[16] Karena para hakim abad pertengahan menggunakan standar pembuktian yang sangat tinggi, mereka kadang-kadang baru mengizinkan penyiksaan ketika terdapat bukti tidak langsung yang menunjukkan seseorang melakukan kejahatan dengan ancaman hukuman mati. Hal ini dilakukan jika tidak ada dua saksi mata yang diperlukan sebagai pembuktian untuk menghukum seseorang tanpa adanya pengakuan terdakwa.[17][18] Penyiksaan merupakan proses yang mahal yang hanya digunakan dalam memeriksa kejahatan yang paling serius.[19] Sebagian besar korban penyiksaan adalah pria yang dituduh melakukan pembunuhan, pengkhianatan, atau pencurian.[20] Pengadilan gereja abad pertengahan dan Inkuisisi menggunakan penyiksaan sebagai bagian aturan prosedural yang sama seperti pengadilan sekuler.[21] Kekaisaran Ottoman dan Qajar Iran menggunakan penyiksaan dalam kasus-kasus ketika bukti tidak langsung menunjukkan seseorang telah melakukan kejahatan, meskipun hukum Islam secara tradisional menganggap bukti yang diperoleh di bawah penyiksaan tidak dapat diterima.[22]
Penghapusan dan penggunaannya yang berlanjut
Selama abad ketujuh belas, penyiksaan tetap legal, tetapi intensitas praktiknya menurun.[23] Ketika dihapuskan di abad ke-18 dan awal abad ke-19, penyiksaan tidak lagi menjadi sangat penting bagi sistem peradilan pidana di negara-negara Eropa.[24] Teori-teori yang membuat penyiksaan dihapuskan antara lain karena munculnya ide-ide Pencerahan tentang nilai kehidupan manusia,[25] pengurangan standar pembuktian dalam kasus pidana, pandangan populer yang tidak lagi melihat rasa sakit sebagai penebusan moral,[23] dan perluasan penjara sebagai pengganti atas eksekusi atau hukuman yang menyakitkan.[25] Tingkat penggunaan penyiksaan menurun setelah praktik penyiksaan dihapus dan semakin dianggap tidak dapat diterima.[26] Tidak diketahui apakah penyiksaan juga menurun di negara-negara non-Barat atau koloni Eropa selama abad kesembilan belas.[27] Di Tiongkok, penyiksaan yudisial—dipraktikkan selama lebih dari dua milenium, yakni sejak dinasti Han[14] — pencambukan, dan lingchi (pemotongan) sebagai alat eksekusi dilarang pada tahun 1905.[28] Penyiksaan di Tiongkok terus berlanjut sepanjang abad kedua puluh dan dua puluh satu.[29]
Penyiksaan digunakan secara luas oleh kekuatan kolonial untuk menundukkan perlawanan; penyiksaan kolonial mencapai puncaknya ketika terjadi perang anti-kolonial di abad kedua puluh.[30] Diperkirakan 300.000 orang disiksa selama Perang Kemerdekaan Aljazair (1954–1962),[31] dan Inggris serta Portugal juga menggunakan penyiksaan dalam upaya mempertahankan teritori kerajaan mereka.[32] Negara-negara merdeka di Afrika, Timur Tengah, dan Asia sering menggunakan penyiksaan pada abad kedua puluh, tetapi tidak diketahui apakah itu terdapat peningkatan dibandingkan pada periode abad kesembilan belas.[30] Penggunaan penyiksaan di Eropa meningkat karena penemuan polisi rahasia,[33] Perang Dunia I dan Perang Dunia II, dan munculnya negara komunis dan fasis.[10]
Penyiksaan juga digunakan oleh pemerintah komunis dan anti-komunis selama Perang Dingin di Amerika Latin, dengan perkiraan 100.000 hingga 150.000 korban penyiksaan oleh rezim yang didukung Amerika Serikat.[34] Satu-satunya negara dengan praktik penyiksaan jarang terjadi selama abad kedua puluh adalah negara-negara demokrasi liberal Barat, tetapi bahkan di sana penyiksaan digunakan terhadap etnis minoritas atau tersangka kriminal dari kelas yang terpinggirkan, dan selama perang di luar negeri melawan penduduk asing.[30] Setelah serangan 9/11, pemerintah Amerika Serikat memulai program penyiksaan di luar negeri sebagai bagian dari "perang melawan teror".[35] Penggunaan penyiksaan oleh Amerika Serikat di Abu Ghraib diungkapkan kepada publik dan menarik perhatian internasional.[36] Meskipun pemerintahan George W. Bush mencemooh larangan internasional atas penyiksaan, pemerintah Amerika Serikat menyebut metodenya "teknik interogasi yang ditingkatkan" dan menyangkal bahwa praktik itu adalah penyiksaan.[37] Sebuah studi tahun 2016 menyimpulkan bahwa penyiksaan telah menurun di 16 negara sejak 1985, meskipun praktik penyiksaan juga memburuk di beberapa negara lain.[38]
Kelaziman
Meskipun hanya sedikit negara yang mengakui telah melakukan penyiksaan, hal itu dipraktikkan oleh sebagian besar negara.[40] Larangan penyiksaan tidak sepenuhnya menghentikan negara untuk melakukan penyiksaan; sebaliknya, mereka mengubah teknik yang digunakan, menyangkal, menutupi, atau mengalihdayakan program penyiksaan.[41] Mengukur tingkat terjadinya penyiksaan itu sulit dilakukan karena biasanya dilakukan secara rahasia, dan melaporkan kasus-kasus seperti itu dipengaruhi oleh paradoks informasi hak asasi manusia; pelanggaran lebih mungkin terungkap dalam masyarakat terbuka yang mempunyai komitmen untuk melindungi hak asasi manusia.[42] Meskipun fokus baru-baru ini bergeser untuk memasukkan tempat penahanan lain, seperti pusat penahanan imigrasi atau penahanan pemuda,[43][44] perkiraan yang tersedia kurang merepresentasikan penyiksaan karena tidak termasuk orang-orang yang tidak mau melapor. Penyiksaan yang terjadi di luar tahanan—termasuk hukuman di luar proses hukum, intimidasi, dan pengendalian massa—secara historis tidak ikut dihitung.[45] Bahkan terdapat lebih sedikit informasi tentang prevalensi penyiksaan sebelum abad kedua puluh.[10]
Dibandingkan negara-negara lainnya, negara-negara Demokrasi liberal cenderung tidak melakukan kesewenang-wenangan kepada warga negaranya. Akan tetapi mereka tetap melakukan pelanggaran, termasuk melakukan penyiksaan terhadap warga yang terpinggirkan atau orang-orang non-warga negara. [46] Para pemilih mungkin mendukung kekerasan terhadap kelompok luar yang dianggap mengancam; institusi mayoritas tidak efektif dalam mencegah penyiksaan terhadap kelompok minoritas atau orang asing.[47] Perubahan politik yang signifikan, seperti transisi ke demokrasi, sering disebut-sebut sebagai alasan perubahan dalam praktik penyiksaan.[48] Penyiksaan lebih mungkin terjadi ketika suatu masyarakat merasa terancam karena perang atau krisis,[46] tetapi penelitian belum dapat menarik hubungan yang konsisten antara penggunaan penyiksaan dan serangan teroris.[49]
Penyiksaan ditujukan terhadap segmen tertentu dari populasi, yang tidak mendapatkan perlindungan terhadap penyiksaan seperti orang-orang lainnya.[50] Penyiksaan terhadap tahanan politik atau selama konflik bersenjata telah mendapat perhatian yang kurang proporsional.[51] Sebagian besar korban penyiksaan diduga melakukan kejahatan; jumlah korban yang tidak proporsional berasal dari komunitas miskin atau terpinggirkan, terutama pemuda pengangguran, kaum miskin kota, dan kelompok LGBT.[52] Kemiskinan dan ketidaksetaraan yang dihasilkan membuat orang miskin rentan terhadap penyiksaan.[53] Kelompok lain yang sangat rentan terhadap penyiksaan termasuk pengungsi dan migran, etnis atau ras minoritas, penduduk asli, dan penyandang disabilitas.[54] Kekerasan rutin terhadap orang-orang miskin dan yang terpinggirkan sering kali tidak dilihat sebagai penyiksaan, dan para pelakunya membenarkan kekerasan tersebut sebagai taktik pemolisian yang sah,[55] sementara para korban kekurangan sumber daya atau berjuang untuk mencari ganti rugi.[53] Kriminalisasi tunawisma, pekerja seks, atau bekerja di ekonomi informal dapat menjadi alasan bagi kekerasan polisi terhadap orang miskin.[56] Penyiksaan dianggap sebagai peristiwa luar biasa, mengabaikan kekerasan rutin yang dilakukan oleh negara.[57]
Perbuatan jahat
Tujuan
Metode
Dampak
Opini publik
Pelarangan
Pencegahan
Referensi
- ^ Pérez-Sales 2016, hlm. 326.
- ^ Nowak 2014, hlm. 396–397.
- ^ Nowak 2014, hlm. 394–395.
- ^ Carver & Handley 2016, hlm. 37–38.
- ^ Pérez-Sales 2016, hlm. 279–280.
- ^ Hajjar 2013, hlm. 40.
- ^ Carver & Handley 2016, hlm. 37.
- ^ Pérez-Sales 2016, hlm. 3, 281.
- ^ Wisnewski 2010, hlm. 73–74.
- ^ a b c Einolf 2007, hlm. 104.
- ^ Meyer et al. 2015, hlm. 11217.
- ^ Hajjar 2013, hlm. 14.
- ^ Barnes 2017, hlm. 26–27.
- ^ a b c Evans 2020, History of Torture.
- ^ Einolf 2007, hlm. 107.
- ^ Beam 2020, hlm. 392.
- ^ Einolf 2007, hlm. 107–108.
- ^ Hajjar 2013, hlm. 16.
- ^ Beam 2020, hlm. 398, 405.
- ^ Beam 2020, hlm. 394.
- ^ Wisnewski 2010, hlm. 34.
- ^ Einolf 2007, hlm. 108.
- ^ a b Einolf 2007, hlm. 109.
- ^ Einolf 2007, hlm. 104, 109.
- ^ a b Hajjar 2013, hlm. 19.
- ^ Einolf 2007, hlm. 110.
- ^ Einolf 2007, hlm. 111.
- ^ Bourgon 2003, hlm. 851.
- ^ Pérez-Sales 2016, hlm. 155.
- ^ a b c Einolf 2007, hlm. 112.
- ^ Pérez-Sales 2016, hlm. 148–149.
- ^ Barnes 2017, hlm. 94.
- ^ Wisnewski 2010, hlm. 38.
- ^ Einolf 2007, hlm. 111–112.
- ^ Hajjar 2013, hlm. 1–2.
- ^ Hajjar 2013, hlm. 7.
- ^ Wisnewski 2010, hlm. 44–45.
- ^ Carver & Handley 2016, hlm. 45–46.
- ^ Carver & Handley 2016, hlm. 39.
- ^ Kelly 2019, hlm. 2.
- ^ Barnes 2017, hlm. 182.
- ^ Carver & Handley 2016, hlm. 36.
- ^ Rejali 2020, hlm. 84–85.
- ^ Kelly et al. 2020, hlm. 65.
- ^ Kelly 2019, hlm. 3–4.
- ^ a b Einolf 2007, hlm. 106.
- ^ Evans 2020, Political and Institutional Influences on the Practice of Torture.
- ^ Carver & Handley 2016, hlm. 47.
- ^ Rejali 2020, hlm. 82.
- ^ Wolfendale 2019, hlm. 89.
- ^ Oette 2021, hlm. 307.
- ^ Kelly 2019, hlm. 5, 7.
- ^ a b Kelly et al. 2020, hlm. 70.
- ^ Oette 2021, hlm. 321.
- ^ Celermajer 2018, hlm. 164–165.
- ^ Oette 2021, hlm. 329–330.
- ^ Oette 2021, hlm. 308.
Daftar pustaka
- Parry, John T. (2010). Understanding Torture: Law, Violence, and Political Identity. Ann Arbor, MI: University of Michigan Press. ISBN 978-0-472-05077-2.
- Schmid, Alex P.; Crelinsten, Ronald D. (1994). The politics of pain: torturers and their masters. Boulder, Colo: Westview Press. ISBN 0-8133-2527-7.
- Waldron, Jeremy; Colin Dayan (2007). The Story of Cruel and Unusual (Boston Review Books). Cambridge, Mass: MIT Press. ISBN 0-262-04239-8.
- Reddy, Peter (2005). Torture: What You Need to Know, Ginninderra Press, Canberra, Australia. ISBN 1-74027-322-2
- Levinson, Sanford (2006). Torture: A Collection. Oxford University Press, USA. ISBN 0-19-530646-5.2010
- Scarry, Elaine (1985). The body in pain the making and unmaking of the world. Oxford [Oxfordshire]: Oxford University Press. ISBN 0-19-504996-9.
- Conroy, John (2001). Unspeakable Acts, Ordinary People: The Dynamics of Torture. California: University of California Press. ISBN 0-520-23039-6.
- Rejali, D. M. (1994). Torture & Modernity: Self, Society, and State in Modern Iran. Boulder: Westview Press.
- Vreeland, James Raymond (2008). Political Institutions and Human Rights: Why Dictatorships enter into the United Nations Convention Against Torture. International Organization. hlm. 62(1):65–101.
- Wantchekon, L. and A. Healy (1999). The "Game" of Torture. Journal of Conflict Resolution. hlm. 43(5): 596–609.
Pranala luar
- Medieval Torture - Development, equipment and techniques in Europe
- Chinese Methods of Torture and Execution Photograph collection at University of Victoria, Special Collections
- CPT Database (by the European Committee for the Prevention of Torture and Inhuman or Degrading Treatment or Punishment)
- Freedom from Torture Diarsipkan 2012-08-26 di Wayback Machine. (mostly free) publications and research
- Atlas of Torture - Overview of the situation of torture and ill-treatment around the world (by the Ludwig Boltzmann Institute of Human Rights (BIM) in Vienna, Austria)
- [1] - The International Rehabilitation Council for Torture Victims (based in Copenhagen, Denmark)