Muhammad Mangundiprojo
Mayor Jenderal TNI (Purn.) Raden Muhammad Mangoendiprodjo (EYD: Muhammad Mangundiprojo; 5 Januari 1905 – 13 Desember 1988) adalah seorang pejuang kemerdekaan dan perwira militer Indonesia yang ikut serta dalam Pertempuran Surabaya pada tanggal 10 November 1945. Ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 7 November 2014.[1]
H.R Muhammad Mangundiprojo | |
---|---|
Panglima Divisi VII/Untung Suropati | |
Masa jabatan 1945 – 1945 | |
Presiden | Soekarno |
Pendahulu Jabatan baru Pengganti Soediro | |
Bupati Ponorogo | |
Masa jabatan 1951 – 1955 | |
Presiden | Soekarno |
Pendahulu R. Prajitno Pengganti R. Mahmoed | |
Residen Lampung | |
Informasi pribadi | |
Lahir | Sragen, Hindia Belanda | 5 Januari 1905
Meninggal | 13 Desember 1988 Bandar Lampung, Indonesia | (umur 83)
Makam | TMP Bandar Lampung |
Hubungan | Jenderal TNI (HOR) (Purn.) Soesilo Soedarman (menantu), Indroyono Soesilo (cucu) |
Anak | Letjen TNI (Purn.) Himawan Soetanto |
Penghargaan sipil | Pahlawan Nasional Indonesia |
Karier militer | |
Pihak |
|
Dinas/cabang | TNI Angkatan Darat |
Masa dinas | 1944–1951 |
Pangkat | Mayor Jenderal TNI |
Komando | |
Pertempuran/perang | Pertempuran Surabaya |
Sunting kotak info • L • B |
Kehidupan awal
H.R. Muhammad Mangoendiprodjo lahir di Sragen, Jawa Tengah, pada tanggal 5 Januari 1905. Dia adalah cicit dari Setjodiwirjo atau Kiai Ngali Muntoha, salah seorang keturunan Sultan Demak. Setjodiwirjo sendiri merupakan teman seperjuangan Pangeran Diponegoro melawan penjajah Belanda. Keduanya memperluas pemberontakan melawan penjajah Belanda hingga ke daerah Kertosono Ngawi, dan Banyuwangi, Jawa Timur.[2] Ia merupakan ayah dari mantan Pangkostrad Letjen TNI (Purn.) Himawan Soetanto.
Garis hidup sebenarnya memberi kesempatan kepada Muhammad Mangoendiprodjo untuk bisa hidup berkecukupan dengan menjadi Pamong Praja, wakil kepala jaksa, dan kemudian asisten wedana, di Jombang, Jawa Timur, setelah lulus dari OSVIA pada tahun 1927. Namun setelah Jepang menduduki Indonesia, ia memilih untuk menjadi tentara dengan bergabung menjadi anggota Pembela Tanah Air (PETA) pada tahun 1944.
Karier militer
Setelah lulus pendidikan militer di Surabaya, Mangundiprojo ditugaskan sebagai Daidancho atau Komandan Batalyon PETA di Sidoarjo, Jawa Timur. Setelah Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, semua anggota PETA menjadi pasukan inti Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan kemudian Tentara Keamanan Rakyat (TKR), yang merupakan cikal bakal TNI.
Masuknya kembali pasukan Belanda (NICA) di Surabaya pada 25 Oktober 1945 menjadi operasi militer terbesar pertamanya. Mangundiprojo bersama Bung Tomo, Doel Arnowo, Abdul Wahab dan Drg Moestopo, memimpin perlawanan terhadap pasukan Sekutu yang berlangsung di seluruh penjuru Surabaya. Hingga tanggal 29 Oktober 1945, pimpinan Sekutu mengadakan pertemuan dengan Bung Hatta untuk melakukan gencatan senjata. Pada pertemuan tersebut, Muhammad Mangundiprojo diangkat oleh Jenderal Oerip Soemohardjo sebagai pimpinan TKR Divisi Jawa Timur dan melakukan kontak biro dengan pasukan Sekutu.
Pada hari yang sama, 29 Oktober 1945 di sore hari, Muhammad bersama Brigadir Mallaby berpatroli keliling kota Surabaya untuk melihat kemajuan gencatan senjata. Rombongan ini berhenti di Jembatan Merah di depan Gedung Internatio. Di dalam gedung itu, tentara Inggris dari kesatuan Gurkha sedang dikepung oleh pemuda-pemuda Indonesia untuk diminta menyerah. Muhammad lantas masuk ke dalam gedung yang dikuasai Inggris untuk melakukan negosiasi. Tanpa disangka, Muhammad malah disandera oleh tentara Gurkha dan terjadilah tembak-menembak antara tentara Inggris dan pemuda Surabaya. Mallaby tewas dalam mobilnya yang meledak dan terbakar.
Tewasnya Mallaby membuat Inggris marah. Inggris mengultimatum rakyat Surabaya yang mempunyai senjata untuk menyerahkan senjatanya. Ultimatum ini spontan ditolak oleh Muhammad yang kemudian memimpin TKR dan pemuda Surabaya melakukan pertempuran yang berpuncak pada tanggal 10 November 1945. Perang terbuka di Surabaya ini berlangsung selama 22 hari dan menewaskan 6.315 pejuang anggota TKR. Muhammad sendiri bertugas memimpin pertempuran melawan tentara Sekutu.[3]
Setelah Pertempuran Surabaya usai, Muhammad Mangundiprojo dipromosikan menjadi Mayor Jenderal oleh Presiden Soekarno.
Karier politik
Setelah mengakhiri karier militer, Muhammad ditugaskan sebagai Bupati Ponorogo dari tahun 1951 sampai 1955, yang salah satu misinya adalah mengamankan daerah Madiun setelah pemberontakan PKI Muso pada tahun 1948. Prestasinya ini kemudian mengantar Muhammad Mangundiprojo menjadi Residen (Gubernur) pertama Lampung dengan misi utama mengendalikan keamanan di daerah ini.[3]
Kematian dan penghargaan
Muhammad Mangundiprojo tutup usia di Bandar Lampung pada 13 Desember 1988 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Bandar Lampung. Atas jasa-jasanya dalam mempertahankan kemerdekaan, Presiden Joko Widodo menganugerahinya gelar Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 7 November 2014. Penerimaan tanda jasa ini diwakili oleh cucunya, Menteri Kemaritiman Indonesia Indroyono Soesilo.[4]
Referensi
- ^ Artikel:"Presiden Jokowi Beri Gelar Pahlawan Nasional untuk 4 Orang" di detik.com
- ^ "Mohamad Mangoendiprodjo, Pejuang Perang 10 November di Surabaya". liputan6.com. Diakses tanggal 9 November 2014.
- ^ a b "Pimpinan Pertempuran 10 November Raih Gelar Pahlawan Nasional". jpnn.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-11-08. Diakses tanggal 9 November 2014.
- ^ "Ini Profil Empat Tokoh yang Diberikan Gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Jokowi". kompas.com. Diakses tanggal 9 November 2014.