Imperialisme bahasa

Imperialisme bahasa atau imperialisme linguistik didefinisikan sebagai "pemindahan bahasa yang paling berpengaruh kepada bangsa lain". Pemindahan bahasa ini dianggap sebagai tanda kekuasaan, tidak hanya melalui kekuatan militer, tetapi juga kekuatan ekonomi. Aspek-aspek budaya yang paling berpengaruh biasanya turut dipindahkan bersama dengan bahasa itu.[1][2]

Sejak awal 1990-an, imperialisme bahasa telah menarik perhatian dalam kalangan ahli linguistik terapan. Khususnya, buku keluaran tahun 1992 yang berjudul Linguistic Imperialism karya Robert Phillipson telah menimbulkan banyak perbahasan tentang kekurangan dan kelebihannya. Phillipson mendapati pengecaman imperialisme bahasa yang berawal dari kritik Nazi terhadap Dewan Britania dan kupasan Soviet tentang bahasa Inggris sebagai bahasa kapitalisme dan penguasaan dunia.[3] Dalam hal ini, kritik terhadap bahasa Inggris sebagai bahasa dunia sering kali berakar dari antiglobalisme.

Imperialisme bahasa juga sering dilihat dalam konteks imperialisme budaya

Bahasa Inggris

Dalam buku Linguistic Imperialism, Robert Phillipson mendefinisikan imperialisme bahasa Inggris sebagai

Dominasi bahasa Inggris yang ditegaskan dan dipertahankan oleh pihak berwenang serta penyusunan kembali ketidaksetaraan struktur dan budaya antara bahasa Inggris dan bahasa-bahasa lain secara terus-menerus.

[4] Bahasa Inggris sering disebut "bahasa perantara" (lingua franca) sedunia. Namun, Phillipson berpendapat bahwa ketika dominasinya mengarah pada pembunuhan bahasa atau linguisida, bahasa Inggris lebih tepat disebut "bahasa frankenstein" (lingua frankensteinia) [meragukan] menurut pandangannya.[5]

Teori Phillipson mendukung sejarah penyebaran bahasa Inggris sebagai bahasa antarbangsa dan dominasi bahasa tersebut secara berkelanjutan, tidak hanya di lingkungan pascapenjajahan seperti Wales, Skotlandia, Irlandia, India, Pakistan, Uganda, Zimbabwe, dan lain-lain., tetapi juga semakin meningkat di lingkungan "penjajahan baru" seperti Eropa daratan. Teorinya terutama didasarkan pada teori imperialisme Johan Galtung, teori persekongkolan Antonio Gramsci, dan khususnya pada gagasannya sendiri tentang hegemoni budaya.[5]

Tema utama teori Phillipson adalah proses hegemoni rumit yang menurutnya terus menopang keunggulan bahasa Inggris di dunia saat ini. Bukunya mengupas penggunaan retorika Dewan Britania untuk menggalakkan bahasa Inggris, di samping membahas prinsip-prinsip utama linguistik terapan dan metodologi pengajaran bahasa Inggris. Prinsip-prinsip ini berpendapat bahwa:

  • Bahasa Inggris paling baik diajarkan secara ekabahasa ("kesesatan ekabahasa");
  • Guru terbaik adalah penutur jati ("kesesatan penutur jati");[butuh klarifikasi]
  • Semakin awal bahasa Inggris diajarkan, maka semakin baik hasilnya ("kesesatan permulaan awal");[butuh klarifikasi]
  • Semakin banyak bahasa Inggris diajarkan, maka semakin baik hasilnya ("kesesatan pemajanan maksimum");[butuh klarifikasi]
  • Jika bahasa lain banyak digunakan, baku bahasa Inggris akan menurun ("kesesatan subtraktif").[5]

Menurut Phillipson, pihak-pihak yang menggalakkan bahasa Inggris, termasuk Dewan Britania, IMF, dan Bank Dunia, serta orang-orang seperti operator sekolah berbahasa Inggris menggunakan tiga jenis alasan:

  • Alasan intrinsik menggambarkan bahasa Inggris sebagai bahasa yang "benar", "kaya", "mulia", dan "menarik". Alasan-alasan seperti ini cenderung menegaskan sifat-sifat bahasa Inggris dan bukan bahasa lain.
  • Alasan ekstrinsik menunjukkan bahwa bahasa Inggris sudah mapan karena banyak penuturnya, terdapat guru terlatih, dan banyak bahan pembelajaran.
  • Alasan fungsian menekankan kegunaan bahasa Inggris sebagai gerbang dunia.[5]

Alasan-alasan lain yang menekankan bahasa Inggris:

  • Kegunaan ekonomi: bahasa Inggris memungkinkan orang menjangkau teknologi
  • Fungsi ideologi: bahasa Inggris dikatakan sebagai lambang kemodernan;
  • Kedudukan bahasa Inggris dapat dilihat sebagai lambang kemajuan dan kedayagunaan bendawi.[5]

Tema lain dalam karya Phillipson ini adalah "linguisisme"—sejenis prasangka yang menyebabkan bahasa terancam menjadi punah atau kehilangan kedudukan tertinggi di tingkat setempat akibat kebangkitan dan persaingan pentingnya bahasa Inggris.[5]

Bahasa lain

Di berbagai waktu, terutama di lingkungan penjajahan atau tempat budaya yang paling berpengaruh berusaha menyatukan wilayah di bawah kendalinya, fenomena yang serupa telah muncul. Di Kekaisaran Romawi, bahasa Latin pada mulanya merupakan bahasa yang terbatas di daerah Italia Tengah yang mula-mula diberlakukan di seluruh Italia. Kemudian, bahasa Latin diberlakukan di beberapa bagian Eropa yang akhirnya banyak menggantikan bahasa setempat, sementara bahasa Latin di Afrika Romawi hanya berpengaruh kuat sampai bahasa Latin dan bahasa asli digantikan melalui pengaraban.

Anatolia mempunyai keanekaragaman bahasa yang serupa ketika diperintah oleh negara pribumi yang kecil. Di bawah Kekaisaran Persia dan Keyunanian, bahasa sang penakluk berfungsi sebagai bahasa perantara sehingga rumpun bahasa Anatolia asli menghilang.

Di Timur Jauh, Afrika dan Amerika Latin, bahasa-bahasa daerah telah menghadapi ancaman digantikan atau diketepikan secara paksa oleh bahasa dan budaya yang paling berpengaruh seperti halnya ragam bahasa daerah Tibet dan Tiongkok lain oleh bahasa Tionghoa Mandarin, bahasa Ainu dan Ryukyu oleh bahasa Jepang, rumpun bahasa Quechua dan Mesoamerika oleh bahasa Spanyol, rumpun bahasa Melayu-Polinesia oleh bahasa Melayu, rumpun bahasa Filipina oleh bahasa Filipino, dan seterusnya. Pengaraban telah menghilangkan banyak rumpun bahasa Berber asli di Afrika Utara dan membatasi penggunaan bahasa Kubti untuk kegunaan kudus oleh Gereja Ortodoks Kristen Kubti.

Bahasa Inggris selama Abad Pertengahan juga terancam oleh imperialisme bahasa Prancis, terutama setelah penaklukan Norman. Selama berabad-abad lamanya, bahasa Prancis atau Anglo-Norman merupakan bahasa penadbiran (Lihat Hukum Prancis). Oleh sebab itu, bahasa tersebut mempunyai kedudukan yang lebih tinggi di Inggris. Bahasa Latin tetap menjadi bahasa gereja dan pembelajaran. Walaupun bagi sebagian besar penutur bahasa Inggris, banyak kata yang diperkenalkan oleh orang Normandia saat ini sulit dibedakan dari perkataan asli Jermanik, kata pinjaman dari bahasa Latin atau Prancis yang dipelajari kemudian mungkin "lebih berbudaya bunyinya" menurut penutur jati bahasa Inggris.

Setelah berdirinya Kekaisaran Romawi Suci di sebagian besar wilayah Jerman dan Eropa Tengah saat ini, bahasa Jerman dan dialek-dialeknya menjadi bahasa pilihan kebanyakan kaum bangsawan Eropa Tengah. Bahasa Jerman berhasil disebarkan di sebagian besar Eropa Timur dan Tengah sebagai bahasa perdagangan dan derajat hingga berakhir setelah Perang Dunia II (Lihat pula Penjermanan.).

Bahasa Prancis juga telah meluas. Bahasa-bahasa seperti bahasa Oksitan, Breton, Basque, Katala, dan Korsika telah diketepikan di Prancis. Proses yang dikenal sebagai pemrancisan ini sering ditentang penutur bahasa setempat tersebut hingga muncul tuntutan kemerdekaan seperti di Breton dan Flandria (Belgia).

Di Italia terdapat keadaan yang mirip dengan Prancis. Bahasa Italia telah meluas dengan mengorbankan bahasa-bahasa seperti bahasa Sardinia, Sisilia, Ladin, Venesia, dan Friuli, sedangkan bahasa-bahasa seperti bahasa Jerman (di Tirol Selatan) atau bahasa Prancis (di Lembah Aosta) ditindas dari segi sejarah. Bahasa Italia kini menjadi bahasa resmi bersama di wilayah tersebut (Lihat pula Pengitaliaan).

 
Surat perintah untuk segera menghapuskan prasasti bahasa Basque dari batu nisan di Gernika dan menggantikan bahasa tersebut dengan bahasa Spanyol (1949) sesuai dengan peraturan

Penjajahan Spanyol dan sedikit banyak Portugis menjadikan bahasa penjajah tersebut lazim di Amerika Selatan dan beberapa bagian Afrika dan Asia (Filipina, Makau, dan Formosa untuk waktu yang singkat). Di Iberia, bahasa Spanyol Kastila seperti yang dituturkan Kerajaan Kastila menyebar dan dipaksakan pada bangsa dan wilayah lain di Spanyol dan menjadi satu-satunya bahasa resmi negara dari abad ke-18 sampai ke-20. Bahasa tersebut dilabelkan sebagai "pendamping kekaisaran" oleh Antonio de Nebrija (1492) dalam kata pengantar Gramática de la lengua castellana.

Imperialisme bahasa Rusia dapat dilihat di Belarus, baik melalui perselisihan nama negara (Belarus lwn. Belorussia), maupun dalam ejaan umum presiden mereka. Transkripsi bahasa Inggris telah melebihi bentuk bahasa Rusia Alexander Lukashenko dan bukannya Alyaksandr Lukashenka dalam bentuk Belarus.

Contoh lain imperialisme bahasa pernah dilihat di negara India pascakemerdekaan. Terdapat upaya menjadi bahasa Hindi sebagai satu-satunya bahasa resmi mendapat pertentangan keras dari berbagai provinsi, terutama dari negara bagian Tamil Nadu. Di Karnataka, terdapat imperialisme bahasa yang memaksakan bahasa Kannada hampir di mana-mana.[6]

Rujukan

  1. ^ Kamusella, Tomasz (2020). "Global Language Politics: Eurasia versus the Rest". Journal of Nationalism, Memory & Language Politics. 14 (2): 118–151. 
  2. ^ Master, Peter (1998). "Positive and Negative Aspects of the Dominance of English". TESOL Quarterly. 32 (4): 716–727. doi:10.2307/3588002. JSTOR 3588002. 
  3. ^ Phillipson, Robert (1992), p36.
  4. ^ Phillipson, Robert (1992), p 47.
  5. ^ a b c d e f Phillipson, Robert (2008). "Lingua franca or lingua frankensteinia? English in European integration and globalisation1". World Englishes (dalam bahasa Inggris). 27 (2): 250–267. doi:10.1111/j.1467-971X.2008.00555.x. ISSN 1467-971X. 
  6. ^ "The history of anti-Hindi imposition movements in Tamil Nadu". 4 June 2019. 

Bacaan lanjut

  • Acar, A. (2006). "Models, Norms and Goals for English as an International Language Pedagogy and Task Based Language Teaching and Learning." The Asian EFL Journal Vol. 8 2006
  • Bisong, Joseph (1995 [1994]) Language Choice and cultural Imperialism: a Nigerian Perspective. ELT Journal 49/2 122–132.
  • Bobda, Augustin Simo (1997) Sociocultural Constraints in EFL Teaching in Cameroon. In: Pütz, Martin (ed.) The cultural Context in Foreign Language Teaching. Frankfurt a.M.: Lang. 221–240.
  • Brutt-Griffler, Janina (2002) World English. Multilingual Matters. ISBN 1-85359-577-2
  • Canagarajah, A. Suresh (1999), Resisting Linguistic Imperialism in English Teaching, Oxford University Press. ISBN 0-19-442154-6
  • Canagarajah, A. Suresh, Thomas Ricento & Terrence G. Wiley [eds.] (2002) Journal of Language, Identity, and Education. Special issue. Lawrence Erlbaum Associates. ISBN 0-8058-9629-5
  • Canagarajah, A. Suresh [ed.] (2004) Reclaiming the Local in Language Policy and Practice. Lawrence Erlbaum Associates. ISBN 0-8058-4593-3
  • Crystal, David (2003), English as a Global Language, 2nd ed., Cambridge University Press. ISBN 0-521-53032-6
  • Davies, Alan (1996) Review Article: ironising the Myth of Linguicism. Journal of Multilingual and Multicultural Development. 17/6: 485–596.
  • Davies, Alan (1997) Response to a Reply. Journal of Multilingual and Multicultural Development 18/3 248.
  • Edge, Julian [ed.] (2006) (Re-)Locating TESOL in an Age of Empire. Palgrave Macmillan. ISBN 1-4039-8530-8
  • Holborow, Marnie (1999) Politics of English. Sage Publications. ISBN 0-7619-6018-X
  • Holborrow, Marnie (1993) Review Article: linguistic Imperialism. ELT Journal 47/4 358–360.
  • Holliday, Adrian (2005), Struggle to Teach English as an International Language , Oxford University Press. ISBN 0-19-442184-8
  • Kontra, Miklos, Robert Phillipson, Tove Skutnabb-Kangas & Tibor Varady [eds.] (1999), Language: A Right and a Resource, Central European University Press. ISBN 963-9116-64-5
  • Kramsch, Klaire and Patricia Sullivan (1996) Appropriate Pedagogy. ELT Journal 50/3 199–212.
  • Malik, S.A. Primary Stage English (1993). Lahore: Tario Brothers.
  • Master, Peter (1998) Positive and Negative Aspects of the Dominance of English. TESOL Quarterly, 32/4. 716–727. DOI:10.2307/3588002
  • Pennycook, Alastair (1995), The Cultural Politics of English as an International Language, Longman. ISBN 0-582-23473-5
  • Pennycook, Alastair (1998), English and the Discourses of Colonialism, Routledge. ISBN 0-415-17848-7
  • Pennycook, Alastair (2001), Critical Applied Linguistics, Lawrence Erlbaum Associates. ISBN 0-8058-3792-2
  • Pennycook, Alastair (2006) Global Englishes and Transcultural Flows. Routledge. ISBN 0-415-37497-9
  • Phillipson, Robert (1992), Linguistic Imperialism, Oxford University Press. ISBN 0-19-437146-8
  • Phillipson, Robert [ed.] (2000), Rights to Language, Lawrence Erlbaum Associates. ISBN 0-8058-3835-X
  • Phillipson, Robert (2003) English-Only Europe? Routledge. ISBN 0-415-28807-X
  • Punjab Text Book Board (1997) My English Book Step IV. Lahore: Metro Printers.
  • Rajagopalan, Kanavilli (1999) Of EFL Teachers, Conscience and Cowardice. ELT Journal 53/3 200–206.
  • Ramanathan, Vaidehi (2005) The English-Vernacular Divide. Multilingual Matters. ISBN 1-85359-769-4
  • Rahman, Tariq (1996) Language and Politics in Pakistan Karachi: Oxford University Press
  • Ricento, Thomas [ed.] (2000) Ideology, Politics, and Language Policies. John Benjamins. ISBN 1-55619-670-9
  • Skutnabb-Kangas, Tove & Robert Phillipson [eds.]; Mart Rannut (1995), Linguistic Human Rights, Mouton De Gruyter. ISBN 3-11-014878-1
  • Silva, Diego B. (2019). Language policy in Oceania. Alfa, Rev. Linguíst. 63 (2).
  • Sonntag, Selma K. (2003) The Local Politics of Global English. Lexington Books. ISBN 0-7391-0598-1
  • Spichtinger, Daniel (2000) The Spread of English and its Appropriation. University of Vienna, Vienna.
  • Tsui, Amy B.M. & James W. Tollefson (in press) Language Policy, Culture, and Identity in Asian Contexts. Lawrence Erlbaum Associates. ISBN 0-8058-5694-3
  • Widdowson, H.G. (1998a) EIL: squaring the Circles. A Reply. World Englishes 17/3 397–401.
  • Widdowson, H.G. (1998b) The Theory and Practice of Critical Discourse Analysis. Applied Linguistics 19/1 136–151.