Hijrah

Migrasi Nabi Muhammad

Hijrah (bahasa Arab: هِجْرَة) adalah perpindahan/migrasi Nabi Muhammad dan pengikutnya dari Makkah ke Madinah pada bulan Juni tahun 622.

Hijrah
Nama lainHijrahnya Nabi Muhammad;[1][2] Migrasi Nabi Muhammad; Migrasi; Hijrah; Hegira
Tanggal622
LokasiSemenanjung Arab
PartisipanNabi Muhammad dan Pengikut
HasilPenggantian nama Yatsrib sebagai "Kota Nabi" (Madinah); Perdamaian antara Bani Aus dan Bani Khazraj (kedua suku beragama Islam); Nabi Muhammad sebagai pemimpin dan menyatukan kaum Muslim

Latar belakang

QS al-Baqarah,2:218.

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُوْلَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَةَ اللَّهِ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ.

Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

HR. al-Bukhari dan Muslim dari Umar bin al-Khattab berkata: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda;

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ.

Perbuatan-perbuatan itu hanyalah dengan niat dan bagi setiap orang hanyalah menurut apa yang diniatkan. Karena itu, siapa yang hijrahnya itu kepada kerelaan Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya ialah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa hijrahnya untuk memperoleh keduniaan atau wanita yang bakal dikawininya, maka hijrahnya itu ialah kepada apa yang telah dihijrahi.

Makna Hijrah.

Kata hijrah (هِجْرَةٌ) berasal dari akar kata hajara (هَجَرَ) yang berarti berpindah (tempat, keadaan, atau sifat), atau memutuskan, yakni memutuskan hubungan antara dirinya dengan pihak lain, atau panas menyengat, yang memaksa pekerja meninggalkan pekerjaannya. Dalam pengertian syar'iy, hijrah berarti, "perpindahan Rasulullah saw. bersama sahabat-sahabatnya dari Mekkah menuju Madinah, kira-kira tahun ke-13 dari masa kenabiannya". Atau "perpindahan dalam rangka meninggalkan kampung kemusyrikan menuju suatu kampung keimanan, dalam rangka melakukan pembinaan dan pendirian masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Atau meninggalkan tempat, keadaan, atau sifat yang tidak baik, menuju yang baik di sisi Allah dan Rasul-Nya (kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw.).

Dalam al-Qur’an, kata hijrah dengan segala bentuk kata jadiannya, digunakan sebanyak 31 kali, dengan mengacu kepada makna-makna sebagai berikut: (1) perintah meninggalkan keburukan dan kemaksiatan (QS al-Muddatstsir,74:5); (2) berpaling dari isteri yang tidak patuh (QS al-Nisâ',4:34); (3) meninggalkan orang-orang yang tidak beriman dengan cara  yang baik, tanpa melukai hati mereka (QS al-Muzammil,73:10); (4) Kembali kepada  Allah dengan harapan mendapatkan hidayah-Nya (QS al-Ankabût,29:26); (5) meninggalkan tempat, keadaan, atai sifat, karena menuntut ridha' Allah. (QS al-Nisâ'/4:89). Yang menarik pada ayat-ayat di atas, adalah Allah menggandengkan term hijrah dengan term jihad. Hal ini menunjukkan bahwa tercapai atau tidaknya tujuan hijrah adalah sangat bergantung pada sejauh mana dan sebesar apa semangat kejuangan yang diberikan ketika berhijrah. Dengan demikian, hijrah membutuhkan jihad dan niat yang benar karena Allah swt. Hijrah yang benar adalah yang didasarkan atas niat yang benar karena Allah, sebagaimana ditegaskan dalam HR. al-Bukhari dan Muslim dari Umar bin al-Khattab, seperti tersebut di atas.

Sejarah Hijrah.

Beberapa jam lagi, Kamis tanggal 20 Agustus 2020 M., kita memasuki Tahun Baru Hijrih. Komunitas Muslim telah menyiapkan berbagai persiapan untuk menyambutnya. Hal ini wajar bila kehadirannya disambut dan dirayakan sesemarak dengan menyambut tahun baru  Miladiyah.  Bukankah peristiwa Hijrah yang dijadikan tanda bagi penanggalan awal tahun hijriah, tentu sarat dengan nilai-nilai, yang dapat mengantar kepada kebahagiaan duniawi dan ukhrawi?

Dalam menguraikan peristiwa hijrah, ada yang menekankan segi-segi suprarasional—kalau enggan berkata irrasional—yang terjadi ketika itu, seperti ditutupnya pandangan gerombolan yang mengepung rumah Nabi Muhammad saw. saat menjelang Hijrah, karena Rasulullah saw. membaca QS Yaasin/36:09, yang menegaskan bahwa saat itu, Allah swt. menghadirkan seekor burung merpati yang sedang mengeram dan hadirnya sarang laba-laba di pintu guwa Tsur itu, tempat Nabi Muhammad saw. bersama sahabatnya Abu Bakar al-Shiddiq bersembunyi, dan lain-lain, yang sebahagian dari padanya lahir dari kekayaan imajinasi para perawi. Kita bukannya mengingkari riwayat-riwayat yang shahih itu, akan tetapi menekankan uraian pada segi-segi seperti disebut di atas, tidak menunjang tugas kekhalifahan manusia di pentas bumi ini, bahkan uraian semacam itu dapat menimbulkan image bahwa suksesnya peristiwa tersebut semata-mata karena campur tangan kekuasaan Allah, terlepas sama sekali dari upaya dan perjuangan Nabi Muhammad saw. bersama sahabat-sahabatnya.

Menurut M. Quraish Shihab, uraian tentang sejarah hijrah seyogianya menonjolkan upaya-upaya Nabi Muhammad saw. dalam perencanaan dan pelaksanaan hijrah dimulai dari mempersiapkan kendaraan, yang dilakukan oleh Abu Bakar al-Shiddiq ra., penetapan route perjalanan yang tidak biasa dilalui dengan panduan seorang non-muslim, persiapan kelangsungan perbekalan yang dilakukan oleh Aisyah ra. dan saudaranya Asma ra., penugasan informan untuk mengetahui gerak-gerik lawan yang dilaksanakan oleh ‘Amir dan Fuhairah, dan pengelabuan yang dilakukan oleh Ali bin Abiy Thalib; yang kesemuanya menunjukkan upaya manusia, serta membuktikan bahwa mukjizat tidak boleh diandalkan dalam mencapai suatu tujuan, dan bahwa perencanaan dan persiapan yang matang dan strategis itulah kunci keberhasilan suatu program.

Bahkan uraian tentang sejarah hijrah seyogianya melampaui batas-batas penggambaran peristiwanya, akan tetapi mencakup makna-makna yang harus ditarik dari padanya apa yang dapat mengantar umat Islam kepada perubahan-perubahan positif, karena demikian itulah seharusnya uraian sejarah. Memang dahulu, sejarah merupakan uraian peristiwa, pelaku, dan masa kejadiannya. Akan tetapi kini, sejarah tidak lagi terbatas pada hal-hal tersebut. Sejarah dipelajari dan diuraikan dalam rangka menciptakan masa depan gemilang, yang kelak akan menjadi sejarah dan untuk maksud tersebut, setiap peristiwanya dianalisis, sehingga dipahami latar belakangnya dan faktor-faktor yang mengantar kepada kejadiannya. Dan ini pada gilirannya harus mampu melahirkan sikap yang mengantar kepada keberhasilan dan kemajuan lahir dan batin.

Hijrah sebagai Awal Kebangkitan.

Tanggal 20 Agustus 2020 Masehi, Kamis besok, yang bertepatan dengan 01 Muharram 1442 Hijriah, adalah Tahun Baru Islam. Hari itu, secara historis, merupakan tonggak sejarah penting bagi umat Islam. Pada hari itulah Nabi Muhammad saw. melakukan hijrah dari Mekkah ke Madinah, sebagai langkah awal strategis bagi kebangkitan Islam dan umat Islam di dunia.

Menurut Prof. Dr. Harun Nasution dan KH. Prof. Ibrahim Hosen, keduanya menegaskan betapa pentingnya pemahaman sejarah Islam, lebih-lebih lagi dalam memahami makna dan hikmah di balik memperingati peristiwa Tahun Baru Islam. Satu Muharram selain dinilai sebagai tonggak sejarah kebangkitan Islam dan umat Islam, juga sebagai awal kalender Islam yang berdasarkan peredaran bulan. Akan tetapi disayangkan jika sebagian besar umat Islam belum memahami makna penting di balik Tahun Baru Islam itu dan tidak dijadikan sebagai momentum dalam menyemarakkan, memperkokoh dan menyuburkan syiar-syiar Islam pada setiap komunitas muslim.

Islam sebagai satu-satunya agama yang memiliki keistimewaan, antara lain, karena langsung diberi nama oleh Allah swt. Sedangkan agama lain, seperti “Nasrani”, nama ini berasal dari nama desa kelahiran Nabi Isa as.; serta agama lainnya berdasarkan nama Kitabnya, seperti Taurat. Dan keistimewaan lainnya agama Islam yang lahir di Mekkah, namun lebih berkembang setelah hijrah ke Madinah, sebab ia agama terakhir yang disempurnakan Allah dari agama-agama yang diturunkan kepada para nabi dan rasul Allah sebelum Nabi Muhammad saw.

Kenyataan historis itulah yang membuat agama Islam survive sampai 1442 Tahun Hijriah ini, sejak Nabi Muhammad saw. hijrah. Memang masih sangat banyak faktor lain, yang menyebabkan Islam dan umat Islam dapat bertahan dan berkembang sampai kurun waktu ini, antara lain, karena umatnya secara fundamental bersikukuh pada fondasi al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad saw.

Makna hakiki kebangkitan Islam dan umat Islam sesungguhnya belum dapat dipahami oleh sebagian besar umat Islam. Hal ini terjadi karena umat Islam belum menyadari makna keberagamaan, sebagai satu-satunya jalan menuju kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Pengaruh Westernalisasi dan modernisasi menghentak sebagian umat untuk menempatkan iptek lebih penting di dalam mencapai kebahagiaan hidup umat. Pengaruh modernisasi itulah dikira mereka sebagai satu-satunya jalan menuju kebanggaan duniawi. Mereka mengira hanya dengan menguasai Ipteklah kebahagiaan itu tercapai. Lantas agama Islam di mana, ya cukup di masjid sajalah.

Keberislaman bagi mereka hanya terbatas di dalam masjid. Di luar masjid, aturan  keberagamaan sama sekali diabaikan atau terabaikan. Di luar masjid segala “jalan pintas” menuju kebahagiaan duniawi dipraktekkan agar cepat kaya dan cepat pula bahagia, sehingga makna kebahagiaan di dunia dipahami secara materialistik. Sesungguhnya penguasaan ipteks hanya sebagai alat untuk memudahkan kehidupan umat manusia. Dan kekayaan hanya merupakan alat untuk kemudahan hidup manusia. Uang pada hakekatnya hanya merupakan alat tukar dalam sistem perekonomian. Satu-satunya cara mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan juga di akhirat hanya melalui pengamalan ajaran agama.

Hikmah Hijrah.

Tujuan utama dari perayaan hijrah tidak mungkin dicapai kalau peristiwa itu dipahami hanya sebagai rekayasa Allah swt. sendiri. Akan tetapi dengan mengungkapkan aspek historisnya secara objektif, pasti akan membuahkan sejumlah hikmah kehidupan dalam membangun peradaban komunitas Muslim, paling tidak sebagai awal kebangkitan Islam dan umat Islam. Hikmah-hikmah dimaksud, antara lain, adalah sebagai berikut;

  1. Dalam QS al-Baqarah,2:218, seperti tersebut di atas menegaskan bahwa orang-orang beriman, berhijrah, dan berjihad di jalan Allah, pada hakekatnya, adalah orang-orang yang akan mendapatkan rahmat dan ampunan Allah secara sempurna.
  2. Hijrah dari kekufuran, yang didasari iman yang benar kepada Allah, akan diberi kemerdekaan dan kelapangan rezeki. Dalam QS al-Nisâ'/4:100 ditegaskan, وَمَنْ يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يَجِدْ فِي الْأَرْضِ مُرَاغَمًا كَثِيرًا وَسَعَة . Siapa yang berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di bumi ini tempat yang luas dan rezeki yang banyak).
  3. Berhijrah karena Allah, rezeki dunia dan akhirat (surga) akan menjadi tebusannya. Dalam QS al-Hajj, 22:58 ditegaskan, وَالَّذِينَ هَاجَرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ قُتِلُوا أَوْ مَاتُوا لَيَرْزُقَنَّهُمْ اللَّهُ رِزْقًا حَسَنًا. Dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah kemudian mereka dibunuh atau mati, maka Allah pasti akan memberikan mereka rezeki yang baik.
  4. Dalam perspektif historis, hijrah Nabi saw., pada hakekatnya, merupakan langkah strategis untuk membela dan menegakkan nilai-nilai tauhid kepada Allah, serta membersihkan dunia dari kejahatan dan kezaliman, sekaligus sebagai awal kebangkitan Islam dan kaum Muslimin.
  5. Hijraturrasul mendidik manusia, bahwa untuk mencapai suatu kesuksesan yang besar, memerlukan pengorbanan yang besar pula, serta menjelaskan bahwa esensi hidup dalam perspektif al-Qur’an, bukan semata menarik dan menghembuskan nafas, tetapi untuk membela dan mengembangkan agama  Allah, yang diawali dengan sikap optimis dan kerja keras kemudian tawakkal.
  6. Makna hakiki kebangkitan Islam dan umat Islam sesungguhnya belum dapat dipahami oleh sebagian besar umat Islam. Hal ini terjadi karena umat Islam belum menyadari makna keberagamaan, sebagai satu-satunya jalan menuju kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
  7. Sesungguhnya penguasaan ipteks hanya sebagai alat untuk memudahkan kehidupan umat manusia. Dan kekayaan hanya merupakan alat untuk kemudahan hidup manusia. Uang pada hakekatnya hanya merupakan alat tukar dalam sistem perekonomian. Satu-satunya cara mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan juga di akhirat hanya melalui agama.
  8. Kesadaran keberagamaan atau religiositas seperti di atas tentu perlu bagi umat Islam. Karena semakin banyak agenda keberhasilan umat Islam di masa depan, terutama dalam menguasai ipteks dan perekonomian, maka eksistensi Islam semakin disegani. Meskipun Islam pernah mengalami kejayaan di abad ke-19 s,d, abad ke-11 Masehi, membuktikan bahwa Islam dan umat Islam sangat terbuka bagi kemajuan peradaban dunia.

Akhirnya, kesadaran keberagamaan atau religiositas seperti di atas tentu perlu bagi umat Islam. Karena semakin banyak agenda keberhasilan umat Islam di masa depan, terutama dalam menguasai iptek dan perekonomian, maka eksistensi Islam akan semakin disegani. Secara historis, Islam pernah mengalami kejayaan di abad ke-9 s,d, abad ke-11 Masehi, membuktikan bahwa Islam dan umat Islam sangat terbuka bagi kemajuan peradaban dunia. Tahun Baru Islam kali ini hendaknya dapat menjadi momentum dan renungan, sudah seberapa jauh Islam dan umat Islam dapat memberikan kedamaian dan kesejahteraan bagi umat manusia? Sudahkah lapisan masyarakat menengah Islam memiliki kepedulian terhadap lapisan bawah umat yang fakir dan tertindas? Mengapa Nabi Muhammad saw. memilih non-Muslim sebagai pemandunya ketika hijrah? Mengapa beliau berkeras untuk membayar upah kendaraan, yang dihadiahkan oleh sahabatnya? Mengapa beliau begitu tenang, ketika musuh berada di mulut guwa, dan begitu gusar ketika berkecamuknya peperangan Bader? Itu dan lainnya, bila dianalisis dapat memberi jawaban-jawaban tentang hakekat ajaran agama sekaligus menunjang suksesnya tugas kekhalifahan manusia sebagai khalifatullah fi al-‘ardh (tugas pembangun peradaban dunia ini). Pertanyaan-pertanyaan itu dan lainnya bila dianalisis dapat memberi jawaban-jawaban tentang hakekat ajaran agama sekaligus menunjang tugas manusia sebagai pembangun dunia ini. Selamat memasuki Tahun Baru 1442 Hijriah, semoga kesehatan lahir dan batin, serta kesuksesan dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan senantiasa menyertai kita. Demikian, wa Allah a'lam, semoga!


Sumber resmi:

https://uin-alauddin.ac.id/opini/detail/Hijrah-Sebagai-Awal-Kebangkitan--Islam-dan-Komunitas-Muslim

Hijrah ke Madinah

Setelah kematian Abu Thalib, dan perselisihan dengan orang-orang Quraisy semakin meningkat. Nabi Muhammad pun berkeputusan untuk memerintahkan kepada kaum muslimin di Makkah untuk berhijrah menuju Madinah. Di sana beliau telah terlebih dahulu mendapatkan pengikut dari suku Aws dan Khazraj. Mereka merupakan dua suku yang berasal dari Yaman yang bermigrasi ke Madinah setelah bocornya bendungan Ma'rib di Yaman. Saat kedua suku tersebut tiba di Madinah di sana sudah terdapat suku-suku Yahudi yang menempati kota tersebut.

Pemuka suku Quraisy tengah mengadakan diskusi untuk pembunuhan Nabi Muhammad di Darun Nadwah. Mereka menyepakati untuk mengutus masing-masing satu pemuda dari tiap kabilah untuk membunuh menggunakan tebasan pedang. Tujuannya agar masing-masing kabilah bekerja sama sehingga Bani Hasyim tidak dapat memberikan serangan balasan dan harus membayar tebusan.[3]

Nabi Muhammad telah mengetahui rencana pembunuhan atas dirinya. Pada malam pertemuan para pemuka suku Quraisy, ia bersama dengan Abu Bakar Ash-Shiddiq telah memulai hijrah ke Madinah. Akhirnya, Nabi Muhammad tiba di Madinah dengan selamat meskipun selama perjalanan dikejar oleh utusan-utusan pilihan dari suku Quraisy.[4]

Pada September 622, Nabi Muhammad pun membawa pengikutnya berhijrah ke Yatsrib, 320 kilometer (200 mi) utara Mekkah. Yatsrib kemudian berubah nama menjadi Madinat an-Nabi, yang berarti "kota Nabi", tetapi kata an-Nabi menghilang, dan hanya disebut Madinah, yang berarti "kota". Penanggalan Islam yang disebut Hijriah dicetuskan oleh Ali bin Abi Thalib pada tahun 638 atau 17 tahun setelah peristiwa hijrah. Kota tempat tinggal Nabi Muhammad disebut Madinah dan wilayah sekitarnya disebut Yatsrib.

Hari Tanggal Catatan
Hari 1
Kamis
26 Safar SH 1
(17 Juni 622)
Meninggalkan rumah di Mekkah. Tinggal tiga hari di Gua Tsur di dekat Mekkah.
Hari 5
Senin
1 Rabiul awal SH 1
(21 Juni 622)
Meninggalkan Mekkah. Perjalanan ke Madinah.
Hari 16
Jumat
12 Rabiul awal SH 1
(2 Juli 622)
Tiba di Masjid Quba dekat Madinah.
Hari 20
Jumat
16 Rabiul awal SH 1
(6 Juli 622)
Tiba di Madinah untuk salat Jumat.
Hari 30
Jumat
26 Rabiul awal SH 1
(16 Juli 622)
Pindah dari Masjid Quba ke Madinah.

Lihat pula

Referensi

Catatan kaki

  1. ^ "Dates of Epoch-Making Events", The Nuttall Encyclopaedia. (Gutenberg version Diarsipkan 2004-10-11 di Wayback Machine.)
  2. ^ Mahomet is an archaism used for Muhammad. See Medieval Christian view of Muhammad for more information.
  3. ^ Khaththab 2019, hlm. 114-115.
  4. ^ Khaththab 2019, hlm. 115.

Daftar pustaka

  • Khaththab, Mahmud Syait (2019). Rasulullah Sang Panglima: Meneladani Strategi dan Kepemimpinan Nabi dalam Berperang. Sukoharjo: Pustaka Arafah. ISBN 978-602-6337-06-1.