Tarekat Qadiriyah

salah satu tarekat dalam Islam

Tarekat Qadiriyah (bahasa Arab: القادِرية‎) adalah sebuah tarekat yang didirikan oleh Syekh Muhyiddin Abdul Qadir al-Jailani al-Baghdadi.[1] Tarekat Qadiriyah berkembang dan berpusat di Iraq dan Suriah, kemudian diikuti oleh umat muslim lainnya yang tersebar di Yaman, Turki, Mesir, India, Afrika dan Asia.[2] Tarekat ini sudah berkembang sejak abad ke-13. Namun meski sudah berkembang sejak abad ke-13, tarekat ini baru terkenal di dunia pada abad ke 15 M. Di Makkah, tarekat Qadiriyah sudah berdiri sejak 1180 H/1669 M.[3]

Silsilah tarekat

Syekh Abdul Qadir al-Jailani ini adalah urutan ke 19 dari mata rantai emas mursyid tarekat ini. Garis silsilah tarekat Qadiriyah disebutkan berasal dari Ali bin Abi Thalib, Al-Husain, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja'far ash-Shadiq, Musa al-Kadzim, Ali ar-Ridha, selanjutnya melalui Ma'ruf al-Karkhi, Abul Hasan Sarri as-Saqati, Junaid al-Baghdadi, Abu Bakar as-Syibli, Abul Fadli Abdul Wahid at-Tamimi, Abul Faraj at-Tartusi, Abul Hasan Ali al-Hakkari, Abu Sa'id Mubarak al-Makhzumi, dan Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qadir al-Jailani.

Cabang tarekat

Tarekat Qadiriyah ini dikenal luwes, yaitu bila murid sudah mencapai derajat syekh, maka murid tidak mempunyai suatu keharusan untuk terus mengikuti tarekat gurunya. Bahkan ia berhak melakukan modifikasi tarekat yang lain ke dalam tarekatnya. Hal itu seperti tampak pada ungkapan Abdul Qadir al-Jailani sendiri, "Bahwa murid yang sudah mencapai derajat gurunya, maka dia jadi mandiri sebagai syekh dan Allah-lah yang menjadi walinya untuk seterusnya."[butuh rujukan]

Mungkin karena keluwesan tersebut, hingga kini terdapat puluhan tarekat yang masuk dalam kategori Qadiriyah di dunia Islam. Seperti Banawa yang berkembang pada abad ke-19, Ghawtsiyah (1517), Junaidiyah (1515), Kamaliyah (1584), dan lain-lain, semuanya berasal dari India. Di Turki terdapat Hindiyah, Khulusiyah, dan lain-lain. Dan di Yaman ada Ahdaliyah, Asadiyah, Mushariyyah. Sedangkan di Afrika di antaranya terdapat Ammariyah, Bakka'iyah, dan lain sebagainya.[butuh rujukan]

Qadiriyah wa Naqsyabandiyah

Di Indonesia, pencabangan Tarekat Qadiriyah ini secara khusus oleh Syekh Ahmad Khatib as-Sambasi digabungkan dengan Tarekat Naqsyabandiyah menjadi Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Kemudian garis silsilahnya yang salah satunya melalui Syekh Abdul Karim Tanara al-Bantani berkembang pesat di seluruh Indonesia.

Syekh Ahmad Khatib memiliki banyak wakil, di antaranya adalah: Syekh Abdul Karim dari Banten, Syekh Ahmad Thalhah dari Cirebon, dan Syekh Ahmad Hasbullah dari Madura, Syekh Muhammad Isma'il bin Abdul Rahim dari Bali, Syekh Yasin dari Kedah Malaysia, Syekh Haji Ahmad dari Lampung dan Syekh Muhammad Makruf bin Abdullah al-Khatib dari Palembang. Mereka kemudian menyebarkan ajaran tarekat ini di daerah masing-masing.[butuh rujukan]

Penyebaran ajaran Qadiriyah-Naqsabandiyah di daerah Sambas Kalimantan Barat (asal Syekh Ahmad Khatib) dilakukan oleh dua orang wakilnya yaitu Syekh Nuruddin dari Filipina dan Syekh Muhammad Sa'ad putra asli Sambas. Baik di Sambas sendiri, maupun di daerah-daerah lain di luar pulau Jawa, Qadiriyah-Naqsyabandiyah tidak dapat berkembang dengan baik. Keberadaan tarekat ini di luar pulau Jawa, termasuk di beberapa negara tetangga berasal dari kemursyidan yang ada di pulau Jawa. Penyebab ketidakberhasilan penyebaran tarekat ini di luar pulau Jawa adalah karena tidak adanya dukungan sebuah lembaga permanen seperti pesantren.

Setelah Syekh Ahmad Khatib wafat (1878), pengembangan Qadiriyah-Naqsyabandiyah dilakukan oleh salah seorang wakilnya yaitu Syekh Tolhah bin Talabudin bertempat di Kampung Trusmi, Desa Kalisapu, Cirebon. Selanjutnya ia disebut guru tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah untuk daerah Cirebon dan sekitarnya. Salah seorang muridnya yang bernama Syekh Abdullah Mubarak bin Nur Muhammad yang kemudian dikenal sebagai pendiri Pondok Pesantren Suryalaya. Setelah berguru sekian lama, maka dalam usia 72 tahun, ia mendapat khirqah (pengangkatan secara resmi sebagai guru dan pengamal) Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah dari gurunya Mama' Guru Agung Syekh Tolhah bin Talabudin (dalam silsilah urutan ke 35). Selanjutnya Pondok Pesantren Suryalaya menjadi tempat bertanya tentang Qadiriyah-Naqsyabandiyah.

Dengan demikian, Syekh Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad dalam silsilah Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah berada pada urutan ke 36 setelah syekh Tholhah bin Talabudin.

Syekh Abdullah Mubarak bin Nur Muhammad di kalangan para ikhwan (murid-muridnya) lebih dikenal dengan panggilan "Abah Sepuh" karena usianya memang sudah tua atau sepuh, saat itu usianya sekitar 116 tahun. Di antara murid-muridnya, yang paling menonjol dan memenuhi syarat untuk melanjutkan kepemimpinannya adalah putranya sendiri yang ke-5, yaitu KH.A. Shohibulwafa Tajul Arifin, yang diangkat sebagai wakil (talqin) dan sering diberi tugas untuk melaksanakan tugas-tugas kesehariannya. Para ikhwan tarekat memanggil KH.A. Shohibulwafa Tajul Arifin dengan panggilan "Abah Anom" (Kyai Muda), karena usianya saat itu sekitar 35 tahun. Sepeninggal Syekh Abdullah Mubarak bin Nur Muhammad, peran sebagai mursyid Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah di Pondok Pesantren Suryalaya dilanjutkan oleh KH.A. Shohibulwafa Tajul Arifin (Abah Anom) sampai sekarang, dan ia mempunyai wakil (talqin) yang cukup banyak dan tersebar di 35 wilayah, termasuk juga di Singapura dan Malaysia.

Lihat pula

Referensi

Catatan kaki

  1. ^ Al-Qahthani 2004, hlm. 516.
  2. ^ Gladney, Dru. "Muslim Tombs and Ethnic Folklore: Charters for Hui Identity"[pranala nonaktif permanen] Journal of Asian Studies, August 1987, Vol. 46 (3): 495-532; pp. 48-49 in the PDF file.
  3. ^ Abun-Nasr, Jamil M. "The Special Sufi Paths (Taqiras)". Muslim Communities of Grace: The Sufi Brotherhoods in Islamic Religious Life. New York: Columbia UP, 2007. 86–96.

Bacaan lanjutan