Serangan pada rumah Fatimah

Sebuah peristiwa penting dan kontroversial dalam sejarah Islam Syiah

Serangan terhadap rumah Fatimah adalah sebuah peristiwa yang merujuk pada serangan terhadap rumah dari putrinya Nabi Muhammad, Fatimah.[1] Serangan tersebut dilaporkan terjadi tidak lama setelah wafatnya Muhammad pada 11 Hijriah (632 M) dan diinisiasi oleh penerus Muhammad, yakni Abu Bakar dan dipimpin oleh Umar, tangan kanannya Abu Bakar.[2][3][1] Tujuan dari serangan ini adalah untuk menahan suaminya Fatimah, yaitu Ali, yang menolak untuk mengakui pemerintahan Abu Bakar.[2][3][1] Diduga cedera yang dialami Fatimah yang diakibatkan oleh serangan itu menyebabkan Fatimah keguguran dan meninggal enam bulan setelah wafatnya Muhammad.[2][3]

Serangan pada rumah Fatimah
The door of Fatimah's House
Pintu dari rumah Fatimah
Nama asli حادثة كسر الضلع
Tanggal632 M
LokasiMadinah
SasaranMemperoleh bai'at dari Ali
TewasFatimah az-Zahra, Muhsin bin Ali
An artistic illustration of the Shia narration
Sebuah ilustrasi artistik dari narasi Syi'ah.

Dalam sejumlah hadits yang diakui shahih oleh Islam Sunni, sebelumnya Fatimah, sehari setelah wafatnya Muhammad meminta kepada Abu Bakar sejumlah harta yang dirampas oleh Muhammad dan pasukannya dari orang-orang kafir, seperti di Madinah, Khaibar dan Fadak sebagai warisan untuknya.[4] Namun hal ini ditolak oleh Abu Bakar dikarenakan dirinya mengklaim mendengar perkataan Muhammad bahwa beliau tidak meninggalkan warisan, dan harta yang ditinggalkannya adalah untuk ummat. Mendapat penolakan tersebut Fatimah pun marah dan tidak lagi berbicara dengan Abu Bakar hingga akhir hayatnya.[5]

Tidak lama berselang, suami Fatimah, Ali bin Abi Thalib yang juga merupakan sepupu Muhammad, ditemani dengan paman Muhammad, Al-Abbas, datang pula menemui Abu Bakar untuk meminta jatah harta warisan untuk diri mereka. Namun mendapat penolakan dari Abu Bakar, Al-Abbas pun menyebut bahwa Abu Bakar adalah seorang pendosa, pengkhianat, dan pembohong.[6] Umar pun pada akhirnya memberikan Madinah untuk kedua relatif Muhammad tersebut, Ali pun berhasil mengalahkan Al-Abbas, dan mengambil Madinah untuk dirinya saja. Sedangkan untuk Khaibar dan Fadak, Umar tetap menahannya dengan mengklaim bahwa keduanya merupakan peninggalan Muhammad untuk ummat.[7]

Masih belum puas, Fatimah pun berceramah di Masjid Nabawi, dengan isi ceramahnya memprotes kekhalifahan Abu Bakar, dengan menganggapnya tidak sah, dan mengkritsi umat muslim telah kembali melakukan kebiasaan-kebiasaan mereka di zaman Jahiliyah.[8] Fatimah menganggap suaminya, Ali sebagai Khalifah dan penerus Muhammad yang sah,[1] dengan merujuk pada pernyataan Muhammad di Ghadir Khumm.[9]

Tidak lama berselang, pada sejumlah riwayat dari Islam Syi'ah, Umar yang merupakan tangan kanan dari Abu Bakar pun menggeruduk rumah Fatimah dan Ali, yang dalam prosesnya menyebabkan Fatimah keguguran dan wafat beberapa bulan setelahnya. Riwayat penggerudukan ini namun ditolak oleh pihak Sunni.[10][1] Di satu sisi, para sejarawan Syi'ah menyebutkan bahwa sejumlah sumber Sunni mendukung kebenaran penggerudukan tersebut,[11] dan menunjukkan bahwa informasi yang sensitif telah disensor oleh para ulama Sunni yang khawatir akan citra dari sahabat-sahabat Muhammad.[12] Di sisi lain, adalah hal yang tidak terbayangkan bagi pihak Sunni bahwa sahabat-sahabat Muhammad melakukan tindak kekerasan terhadap keluarga Muhammad.[10] Sebagai gantinya, pihak Islam Sunni mengklaim bahwa Fatimah wafat dikarenakan kesedihan akan kematian Muhammad dan anaknya yang sedang dalam kandungan meningal karena sebab alami.[13][1][10]

Saqifah

Tidak lama setelah kematian Muhammad pada tahun 11 Hijriah atau 632 Masehi, kaum Anshar (muslim Madinah) mengadakan pertemuan di Saqifah (literlit: perkarangan) dari kelan Sa'idah.[14] Menurut Madelung, ketidak hadiran kaum Muhajirun (muslim pendatang dari Makkah) menunjukkan bahwa tujuan dari pertemuan ini adalah untuk membangun kembali kontrol oleh kaum Anshar atas kota mereka Madinah, di bawah keyakinan bahwa orang-orang Muhajirun akan hampir pasti kembali ke Makkah setelah Makkah ditaklukkan.[15][16]

Abu Bakar dan Umar, mengetahui akan adanya pertemuan itu, bersegera mendatanginya. Setelah konfrontasi yang panas,[16] di mana pimpinan Anshar besar kemungkinan dihajar oleh Umar, orang-orang yang berkumpul di Saqifah pun setuju kalau Abu Bakar adalah pimpinan terbaru dari komunitas Muslim.[17]

Lihat pula

Referensi

Kesalahan pengutipan: Tag <ref> dengan nama "Madelung" yang didefinisikan di <references> tidak digunakan pada teks sebelumnya.
Kesalahan pengutipan: Tag <ref> dengan nama "Rabboh" yang didefinisikan di <references> tidak digunakan pada teks sebelumnya.
Kesalahan pengutipan: Tag <ref> dengan nama "Baladhuri" yang didefinisikan di <references> tidak digunakan pada teks sebelumnya.
Kesalahan pengutipan: Tag <ref> dengan nama "Qutaybah" yang didefinisikan di <references> tidak digunakan pada teks sebelumnya.
Kesalahan pengutipan: Tag <ref> dengan nama "Shayba" yang didefinisikan di <references> tidak digunakan pada teks sebelumnya.
Kesalahan pengutipan: Tag <ref> dengan nama "Yaqoubi" yang didefinisikan di <references> tidak digunakan pada teks sebelumnya.

Kesalahan pengutipan: Tag <ref> dengan nama "Tabari" yang didefinisikan di <references> tidak digunakan pada teks sebelumnya.