Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat
Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (bahasa Jawa: ꦏꦱꦸꦭ꧀ꦠꦤꦤ꧀ꦔꦪꦺꦴꦒꦾꦏꦂꦠꦲꦢꦶꦤꦶꦔꦿꦠ꧀, translit. Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat) adalah negara dependen yang berbentuk kerajaan. Kedaulatan dan kekuasaan pemerintahan negara diatur dan dilaksanakan menurut perjanjian/kontrak politik yang dibuat oleh negara induk Kerajaan Belanda bersama-sama negara dependen Kesultanan Ngayogyakarta. Kontrak politik terakhir antara negara induk dengan kesultanan adalah Perjanjian Politik 1940 (Staatsblad 1941, No. 47). Sebagai konsekuensi dari bentuk negara kesatuan yang dipilih oleh Republik Indonesia sebagai negara induk, maka pada tahun 1950 status negara dependen Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (bersama-sama dengan Kadipaten Pakualaman) diturunkan menjadi daerah istimewa setingkat provinsi dengan nama Daerah Istimewa Yogyakarta.
Nagari Kasultanan Ngayogyakarta[1] ꦏꦱꦸꦭ꧀ꦠꦤ꧀ꦤꦤ꧀ꦔꦪꦺꦴꦒꦾꦏꦂꦡꦲꦢꦶꦤꦶꦔꦿꦠ꧀ Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat | |||||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
1755–Sekarang | |||||||||||||
Bendera (Kanjeng Kyai Tunggul Wulung)[2]
| |||||||||||||
Wilayah Yogyakarta pada 1830 (warna hijau) | |||||||||||||
Ibu kota | Kota Yogyakarta | ||||||||||||
Bahasa yang umum digunakan | Jawa 1755–1950 Belanda 1755–1811; 1816–1942 Inggris 1811–1816 Jepang 1942–1945 Indonesia 1945–1950 | ||||||||||||
Agama | |||||||||||||
Pemerintahan | Monarki (kesultanan) | ||||||||||||
Sultan | |||||||||||||
• 1755–1792 | Hamengkubuwana I | ||||||||||||
• 1940–1950 (status diturunkan); w. 1988 | Hamengkubuwana IX | ||||||||||||
• 1989–petahana | Hamengkubuwana X | ||||||||||||
Pepatih Dalem | |||||||||||||
• Pertama (1755–1799) | Danureja I | ||||||||||||
• Terakhir (1933–1945) | Danureja VIII | ||||||||||||
Sejarah | |||||||||||||
• Pembentukan: Perjanjian Giyanti | 13 Februari 1755 | ||||||||||||
• Penurunan status: Pengundangan UU No. 3 Tahun 1950 | 4 Maret – Sekarang | ||||||||||||
Situs web resmi www | |||||||||||||
| |||||||||||||
Sekarang bagian dari | Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia | ||||||||||||
---
Status Politik:
| |||||||||||||
Sultan Yogyakarta | |
---|---|
Hamengku Buwana X (1989) Hamengku Bawana Ka-10 (2015) | |
Sedang berkuasa | |
Hamengku Buwana X sejak 7 Maret 1989 | |
Sultan Yogyakarta | |
Perincian | |
Sapaan resmi | Baginda |
Pewaris sementara | Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawana Langgeng Ing Mataram |
Penguasa pertama | Sultan Hamengkubuwana I |
Pembentukan | 1755[9] |
Kediaman | Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat |
Penunjuk | Hereditas |
Awal riwayat
Nama Yogyakarta adalah perubahan bentuk dari Yodyakarta. Yodyakarta berasal dari kata Ayodya dan Karta. Ayodya diambil dari nama kerajaan dalam kisah Ramayana, sementara karta berarti damai.
Dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) antara Pangeran Mangkubumi dan VOC di bawah Gubernur-Jendral Jacob Mossel, maka Kerajaan Mataram dibagi dua. Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sultan dengan gelar Sultan Hamengkubuwana I dan berkuasa atas setengah daerah Kerajaan Mataram. Sementara itu Sunan Pakubuwana III tetap berkuasa atas setengah daerah lainnya dengan nama baru Kesunanan Surakarta dan daerah pesisir tetap dikuasai VOC.
Sultan Hamengkubuwana I kemudian segera membuat ibu kota kerajaan beserta istananya yang baru dengan membuka daerah baru (jawa: babat alas) di Hutan Paberingan yang terletak antara aliran Sungai Winongo dan Sungai Code. Ibu kota berikut istananya tersebut dinamakan Ngayogyakarta Hadiningrat dan lansekap utama berhasil diselesaikan pada tanggal 7 Oktober 1756. Para penggantinya tetap mempertahankan gelar yang digunakan, Hamengku Buwono. Untuk membedakan antara sultan yang sedang bertahta dengan pendahulunya, secara umum, digunakan frasa " ingkang jumeneng kaping...ing Ngayogyakarta Hadiningrat " (bahasa Indonesia: "yang bertakhta ke .... di Yogyakarta"). Selain itu ada beberapa nama khusus atau gelar bagi Sultan, antara lain Sultan Sepuh (Sultan yang Sepuh/Tua) untuk Hamengkubuwana II, Sultan Mangkubumi (Sultan Mangkubumi) untuk Sultan Hamengkubuwana VI, atau Sultan Behi (Sultan Hanga[Behi]) untuk Sultan Hamengkubuwana VII.
Wilayah dan penduduk
Wilayah
Mengikuti kerajaan Mataram, wilayah Kesultanan Yogyakarta pada mulanya dibagi menjadi beberapa lapisan yaitu Nagari Ngayogyakarta (wilayah ibu kota), Nagara Agung (wilayah utama), dan Manca Nagara (wilayah luar). Keseluruhan wilayah Nagari Ngayogyakarta dan wilayah Nagara Agung memiliki luas 53.000 karya (sekitar 309,864500 km persegi), dan keseluruhan wilayah Manca Nagara memiliki luas 33.950 karya (sekitar 198,488675 km persegi). Selain itu, masih terdapat tambahan wilayah dari Danurejo I di Banyumas, seluas 1.600 karya (sekitar 9,3544 km persegi).
- Nagari Ngayogyakarta meliputi:
- (1) Kota tua Yogyakarta (di antara Sungai Code dan Sungai Winongo), dan
- (2) Daerah sekitarnya dengan batas Masjid Pathok Negara.
- Nagara Agung meliputi:
- (1) Daerah Siti Ageng Mlaya Kusuma (wilayah Siti Ageng [suatu wilayah di antara Pajang dengan Demak] bagian timur yang tidak jelas batasnya dengan wilayah Kesunanan),
- (2) Daerah Siti Bumijo (wilayah Kedu dari Sungai Progo sampai Gunung Merbabu),
- (3) Daerah Siti Numbak Anyar (wilayah Bagelen antara Sungai Bagawanta dan Sungai Progo),
- (4) Daerah Siti Panekar (wilayah Pajang bagian timur, dari Sungai Samin ke selatan sampai Gunungkidul, ke timur sampai Kaduwang), dan
- (5) Daerah Siti Gadhing Mataram (wilayah Mataram Ngayogyakarta [suatu wilayah di antara Gunung Merapi dengan Samudra Hindia]).
- Manca Nagara meliputi:
- 1. Wilayah Madiun yang terdiri dari daerah-daerah:
- 2. Wilayah Kediri yang meliputi daerah-daerah:
- 3. Wilayah Surabaya yang meliputi daerah Japan (Mojokerto);
- 4. Wilayah Rembang yang meliputi daerah-daerah:
- - Jipang (Ngawen) dan
- - Teras Karas (Ngawen);
- 5. Wilayah Semarang yang meliputi daerah-daerah:
Wilayah-wilayah Kesultanan tersebut bukan sebuah wilayah yang utuh, namun terdapat banyak enklave maupun eksklave wilayah Kesunanan dan Mangkunegaran. Wilayah-wilayah tersebut merupakan hasil dari Perjanjian Palihan Nagari yang ditandatangani di Giyanti. Perjanjian itu juga disebut Perjanjian Giyanti.
Dalam perjalanan waktu wilayah tersebut berkurang akibat perampasan oleh Daendels dan Raffles. Setelah Perang Diponegoro selesai pada 1830, pemerintah Hindia Belanda akhirnya merampas seluruh wilayah Manca Nagara. Pada tahun itu pula ditandatangani Perjanjian Klaten pada 27 September 1830 yang menegaskan wilayah dan batas-batas Kesultanan Yogyakarta dengan Kesunanan Surakarta. Wilayah Kesultanan Yogyakarta hanya meliputi Mataram dan Gunungkidul dengan luas 2.902,54 km persegi. Di wilayah tersebut terdapat enklave Surakarta (Kotagede dan Imogiri), Mangkunegaran (Ngawen), dan Pakualaman (Kabupaten Kota Pakualaman).
Penduduk
Pembagian wilayah menurut Perjanjian Palihan Nagari juga diikuti dengan pembagian pegawai kerajaan (abdi Dalem) dan rakyat (kawula Dalem) yang menggunakan atau memakai wilayah tersebut. Hal ini tidak terlepas dari sistem pemakaian tanah pada waktu itu yang menggunakan sistem lungguh (tanah jabatan). Diperkirakan penduduk kesultanan pada waktu perjanjian berjumlah 522.300 jiwa, dengan asumsi tanah satu karya dikerjakan oleh satu keluarga dengan anggota enam orang. Pada 1930 penduduk meningkat menjadi 1.447.022 jiwa.
Dalam strata sosial, penduduk dapat dibedakan menjadi tiga golongan yaitu bangsawan (bandara), pegawai (abdi Dalem) dan rakyat jelata (kawula Dalem). Sultan yang merupakan anggota lapisan bangsawan menempati urutan puncak dalam sistem sosial. Anggota lapisan bangsawan ini memiliki hubungan kekerabatan dengan Sultan yang pernah atau sedang memerintah. Namun hanya bangsawan keturunan 1-4 (anak, cucu, anak dari cucu, dan cucu dari cucu) dari Sultan yang termasuk Keluarga Kerajaan dalam artian mereka memiliki kedudukan dan peran dalam upacara kerajaan.
Lapisan pegawai mendasarkan kedudukan mereka dari surat keputusan yang dikeluarkan oleh Sultan. Lapisan ini dibedakan menjadi tiga yaitu pegawai Keraton, pegawai Kepatihan, Kabupaten, dan Kapanewon, serta pegawai yang diperbantukan pada pemerintah penjajahan. Lapisan rakyat jelata dibedakan atas penduduk asli dan pendatang dari luar. Selain itu terdapat juga orang-orang asing maupun keturunannya yang bukan warga negara Kesultanan Yogyakarta yang berdiam di wilayah kesultanan.
Pemerintahan dan politik
Pemerintahan Kesultanan Yogyakarta mulanya diselenggarakan dengan menggunakan susunan pemerintahan warisan dari Mataram. Pemerintahan dibedakan menjadi dua urusan besar yaitu Parentah Lebet (urusan dalam) yang juga disebut Parentah Hageng Karaton, dan Parentah Jawi (urusan luar) yang juga disebut Parentah Nagari. Sultan memegang seluruh kekuasaan pemerintahan negara. Dalam menjalankan kewajibannya sehari-hari Sultan dibantu lembaga Pepatih Dalem yang bersifat personal.[10]
Pada mulanya pemerintahan urusan dalam dan urusan luar masing-masing dibagi menjadi empat kementerian yang dinamakan Kanayakan. Kementerian urusan dalam adalah:
- (1) Kanayakan Keparak Kiwo, dan
- (2) Kanayakan Keparak Tengen,
- yang keduanya mengurusi bangunan dan pekerjaan umum;
- (3) Kanayakan Gedhong Kiwo, dan
- (4) Kanayakan Gedhong Tengen,
- yang keduanya mengurusi penghasilan dan keuangan.
Kementerian urusan luar adalah
- (5) Kanayakan Siti Sewu, dan
- (6) Kanayakan Bumijo,
- yang keduanya mengurusi tanah dan pemerintahan;
- (7) Kanayakan Panumping, dan
- (8) Kanayakan Numbak Anyar,
- yang keduanya mengurusi pertahanan.
Masing masing kementerian dipimpin oleh Bupati Nayaka yang karena jabatannya juga merupakan komandan militer yang memimpin pasukan kerajaan dalam peperangan.
Untuk menangani urusan agama, Sultan membentuk sebuah badan khusus yang disebut dengan Kawedanan Pengulon. Badan ini mengurus masalah peribadatan, perawatan masjid-masjid kerajaan, dan upacara-upacara keagamaan istana, serta urusan peradilan kerajaan dalam lingkungan peradilan syariat Islam. Urusan regional di luar ibu kota dibagi menjadi beberapa daerah administratif yang dikepalai oleh pejabat senior dengan pangkat Bupati. Mereka dikoordinasi oleh Pepatih Dalem. Tugas-tugasnya meliputi pengelolaan administrasi lokal, hukum dan peradilan, pemungutan pajak dan pengiriman hasil panenan melalui bawahannya, Demang, dan Bekel.
Setidaknya sampai 1792 Kesultanan Yogyakarta secara de facto merupakan negara merdeka dan VOC hanyalah mitra yang sejajar. Untuk menjamin posisinya maka VOC menempatkan seorang Residen di Yogyakarta untuk mengawasi Kesultanan. Kedudukan Residen ini mulanya berada di bawah Sultan dan sejajar dengan Pepatih Dalem. Daendels menaikkan kedudukan Residen menjadi Minister, yang merupakan menteri Raja/Ratu Belanda dan mewakili kehadiran Gubernur Jenderal.
Dengan kedatangan Raffles sistem pemerintahan berubah lagi. Sultan tidak diperbolehkan mengadakan hubungan dengan negara lain sebab kedaulatan berada di tangan pemerintah Inggris. Begitu pula dengan Pepatih Dalem, Pengurus Kerajaan (Rijkbestuurder), diangkat dan diberhentikan berdasar kebutuhan pemerintah Inggris dan dalam menjalankan pekerjaannya harus sepengetahuan dan dengan pertimbangan Residen Inggris. Sultan mulai dibebaskan dari pemerintahan sehari-hari yang dipimpin oleh Pepatih Dalem yang dikontrol oleh Residen.
Selepas Perang Diponegoro selesai pada 1830, pemerintahan Nagari yang berada di tangan Pepatih Dalem dikontrol secara ketat oleh Belanda untuk mencegah terjadinya pemberontakan. Kesultanan Yogyakarta secara de facto dan de jure menjadi negara protektorat dari Koninklijk der Nederlanden, dengan status swapraja (zelfbestuurende landschappen). Selain itu, pemerintah Hindia Belanda selalu mengajukan perjanjian politik yang dinamakan kontrak politik bagi calon sultan yang akan bertakhta. Perjanjian ini diberlakukan terhadap Sultan Hamengkubuwana V hingga Sultan Hamengkubuwana IX. Kontrak politik terakhir dibuat pada 18 Maret 1940 antara Gubernur Hindia Belanda untuk Daerah Yogyakarta, Lucien Adam dengan HB IX.
Pada 1900-an Belanda mencampuri birokrasi pemerintahan Kesultanan secara intensif dengan maksud memasukkan birokrasi barat modern. Untuk membiayai birokrasi tersebut maka pada 1915 APBN Kesultanan Yogyakarta dibagi menjadi dua yaitu APBN untuk Parentah Ageng Karaton dan APBN untuk Parentah Nagari yang berada dalam kontrol Hindia Belanda. Untuk belanja dan mengurus keperluan istana, setiap tahun Sultan mendapat uang ganti rugi yang disebut Daftar Sipil yang ditentukan dalam kontrak politik yang dibuat sebelum Sultan ditakhtakan. Dengan demikian Sultan benar benar tersingkir dari pemerintahan Nagari dan hanya berperan di istana saja.
Perubahan besar dalam pemerintahan terjadi pada saat Sultan Hamengkubuwana IX (HB IX) naik takhta pada tahun 1940, khususnya selama pendudukan Jepang (1942-1945). Secara perlahan namun pasti, Hamengkubuwana IX melakukan restorasi (bandingkan dengan restorasi Meiji). Ia membentuk badan-badan pemerintahan baru untuk menampung urusan pemerintahan yang diserahkan oleh Tentara Pendudukan Jepang. Badan tersebut dinamakan Paniradya yang masing-masing dikepalai oleh Paniradyapati. Paniradyapati tidak lagi berada di bawah kekuasaan Pepatih Dalem melainkan langsung berada di bawah kekuasaan sultan. Dengan perlahan namun pasti, ia memulihkan kembali kekuasaannya selaku kepala pemerintahan.
Pada pertengahan 15 Juli 1945, Pepatih Dalem terakhir, KPHH Danureja VIII, mengundurkan diri karena memasuki usia pensiun. Sejak saat itu Sultan tidak menujuk lagi Pepatih Dalem sebagai penggantinya melainkan mengambil alih kembali kekuasaan pemerintahan negara. Sebagai kelanjutannya birokrasi kesultanan dibedakan menjadi dua bagian yaitu urusan dalam istana (Imperial House) dan urusan luar istana. Urusan dalam istana ditangani oleh Parentah Hageng Karaton yang mengkoordinasikan seluruh badan maupun kantor pemerintahan yang berada di istana yang terdiri dari beberapa badan atau kantor. Semuanya di pimpin dan diatur secara langsung oleh saudara atau anak keturunan Sultan.
Sultan memimpin sendiri lembaga luar istana, yang terdiri dari beberapa Paniradya yang dipimpin oleh Bupati. Daerah di sekitar istana dibagi menjadi lima kabupaten yang administrasi lokalnya dipimpin oleh Bupati. Setelah kemerdekaan, sebagai konsekuensi integrasi kesultanan pada Republik Indonesia, status dan posisi serta administrasi Kesultanan dijalankan berdasar peraturan Indonesia. Kesultanan diubah menjadi daerah administrasi khusus dan Sultan menjadi Kepala Daerah. Kesultanan menjadi bagian dari republik modern sebagai provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Hukum dan peradilan
Dalam sistem peradilan kerajaan, kekuasaan kehakiman tertinggi berada di tangan Sultan. Dalam kekuasaan kehakiman Kesultanan Yogyakarta, terdapat empat macam badan peradilan, yaitu Pengadilan Pradata, Pengadilan Bale Mangu, Al Mahkamah Al Kabirah, dan Pengadilan Darah Dalem.
- Pengadilan Pradata merupakan pengadilan sipil yang menangani masalah kasus pidana maupun perdata.
- Pengadilan Bale Mangu merupakan pengadilan khusus yang menangani tata urusan pertanahan dan hubungan antar tingkat antara pegawai kerajaan.
- Al Mahkamah Al Kabirah atau yang sering disebut dengan Pengadilan Surambi adalah pengadilan syar’iyah yang berlandaskan pada Syariat (Hukum) Islam. Pengadilan ini merupakan konsekuensi dari bentuk Pemerintahan Yogyakarta sebagai sebuah Kesultanan Islam. Mulanya pengadilan ini menangani ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga) seperti nikah dan waris, serta jinayah (hukum pidana). Dalam perjalanannya kemudian berubah hanya menangani ahwal al-syakhsiyah nikah, talak, dan waris.
- Pengadilan Darah Dalem atau Pengadilan Pancaniti merupakan pengadilan khusus (Forum Privilegatum) yang menangani urusan yang melibatkan anggota keluarga kerajaan. Pengadilan ini sebenarnya terdiri dari dua pengadilan yang berbeda yaitu Pengadilan Karaton Darah Dalem dan Pengadilan Kepatihan Darah Dalem.
Perubahan bidang kehakiman mendasar terjadi pada 1831 ketika pemerintah Hindia Belanda setahap demi setahap mencampuri dan mengambil alih kekuasaan kehakiman dari pemerintahan Kesultanan Yogyakarta. Mulai dari penunjukkan Residen Kerajaan Hindia Belanda untuk Kesultanan Yogyakarta sebagai ketua Pengadilan Pradata sampai dengan pembentukan pengadilan Gubernemen (Landraad) di Yogyakarta. Akhirnya Pengadilan Pradata dan Bale Mangu dihapuskan masing-masing pada 1916 dan 1917 serta kewenangannya dilimpahkan pada Landraad Yogyakarta. Setelah Kesultanan Yogyakarta menyatakan sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia maka sistem peradilan yang digunakan adalah sistem peradilan nasional. Pengadilan yang digunakan adalah Pengadilan Negeri sebagai ganti dari Landraad Yogyakarta. Pada 1947 Pemerintah Pusat Indonesia menghapuskan pengadilan kerajaan yang terakhir, Pengadilan Darah Dalem.
Dalam sistem hukum kerajaan pernah digunakan sebuah Kitab Undang-undang Hukum (KUH) Kesultanan yang disebut dengan nama Kitab Angger-angger yang disusun bersama oleh Kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan Surakarta pada 1817. KUH ini terdiri dari lima/enam buku (volume) yaitu Angger Aru-biru, Angger Sadasa, Angger Gunung, Angger Nawala Pradata Dalem, Angger Pradata Akhir (khusus Yogyakarta), dan Angger Ageng. Seiring dengan berdirinya Landraad Yogyakarta maka KUH pun diganti dengan KUH Belanda seperti Burgerlijk Wetboek dan Wetboek van Strafrecht.
Ekonomi dan agraria
Sumber ekonomi utama yang tersedia bagi Kesultanan Yogyakarta adalah tanah, hutan kayu keras, perkebunan, pajak, dan uang sewa. Oleh karena itu sistem ekonomi tidak bisa lepas dari sistem agraria. Sultan menguasai seluruh tanah di Kesultanan Yogyakarta. Dalam birokrasi kerajaan, pertanahan diurus oleh Kementerian Pertanahan, Kanayakan Siti Sewu. Urusan tanah di Kesultanan Yogyakarta dibagi menjadi dua bentuk yaitu tanah yang diberikan Sultan kepada anggota keluarga kerajaan dan tanah yang diberikan kepada pegawai kerajaan. Tanah tersebut berlokasi teritori Nagara Agung, khususnya daerah Mataram, dan disebut sebagai tanah lungguh (apanage land/tanah jabatan). Tanah yang berada dalam pemeliharaan para keluarga kerajaan dan pegawai kerajaan tersebut juga digunakan oleh masyarakat umum sebagai tempat tinggal dan pertanian dari generasi ke generasi. Sebagai imbalannya mereka menyetor sebagian hasil panen sebagai bentuk pajak. Sekalipun kaum ningrat dan rakyat umum memiliki kebebasan dalam mengatur, mengolah, dan mendiami tanah tersebut mereka tidak diijinkan untuk menjualnya.
Selain itu kerajaan juga menerima penerimaan yang besar dari penebangan hutan kayu keras dalam skala besar sejak Sultan HB I. Pada 1821 pemerintahan Hindia Belanda memperoleh hak atas hasil penebangan dari hutan kayu keras dan istana bertanggung jawab atas manajemen dan eksploitasinya. Pada 1848 sebuah peraturan mengharuskan Sultan memenuhi kebutuhan kayu keras pemerintah jajahan dan dalam ganti rugi Sultan memperoleh biaya penebangan dan pengangkutan kayu. Pada 1904 di masa pemerintahan Sultan HB VII, manajemen hutan kayu keras di Gunung Kidul diambil alih oleh pemerintah Hindia Belanda. Sebagai kompensasi atas persetujuan itu, istana memperoleh kayu keras gratis untuk konstruksi istana Ambar Rukmo dan Ambar Winangun.
Perkebunan yang dikembangkan di Yogyakarta, terutama setelah 1830, adalah kopi, tebu, nila, dan tembakau. Kebanyakan perkebunan ditangani oleh perkebunan swasta asing. Jumlah perkebunan yang semula ada 20 buah pada tahun 1839 meningkat menjadi 53 pada tahun 1880, seiring pertumbuhan ekonomi, sistem penyewaan tanah, dan pembangunan infrastruktur.
Restrukturisasi pada zaman Sultan HB IX karena dihadapkan pada beban ekonomi dan sumber yang terbatas. Pada 1942, Sultan tidak melaporkan secara akurat jumlah produksi beras, ternak, dan produk lain untuk melindungi rakyat dari Jepang. Sultan juga membangun kanal guna meningkatkan produksi beras dan untuk mencegah rakyat Yogyakarta dijadikan romusa oleh Jepang.
Kebudayaan, pendidikan, dan kepercayaan
Sebagaimana masyarakat Jawa pada umumnya, kebudayaan di Kesultanan Yogyakarta tidak memiliki batas yang tegas antar aspeknya. Kebiasaan umum (adat istiadat), kepercayaan, seni, pandangan hidup, pendidikan, dan sebagainya saling tumpang tindih, bercampur dan hanya membentuk suatu gradasi yang kabur. Sebagai contoh seni arsitektur bangunan keraton tidak lepas dari konsep “Raja Gung Binathara” (raja agung yang dihormati bagaikan dewa) yang merupakan pandangan hidup masyarakat yang juga menjadi bagian dari sistem kepercayaan (penghormatan kepada dewa/tuhan).
Beberapa tarian tertentu, misalnya Bedhaya Ketawang, selain dianggap sebagai seni pertunjukan juga bersifat sakral sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur pendiri kerajaan dan penguasa alam. Begitu pula benda-benda tertentu dianggap memiliki kekuatan magis dan berkaitan dengan dunia roh dalam pandangan hidup masyarakat. Oleh karenanya dalam pergaulan sehari-haripun ada pantangan yang bila dilanggar akan menimbulkan kutuk tertentu bagi pelakunya. Ini pula yang menimbulkan tata kebiasaan yang diberlakukan dengan ketat.
Kebudayaan tersebut diwariskan dari generasi ke generasi berdasar cerita dari mulut ke mulut. Pelajaran tentang kehidupan disampaikan melalui cerita-cerita wayang yang pada akhirnya menumbuhkan kesenian pertunjukkan wayang kulit maupun wayang jenis lain. Selain itu wejangan dan nasihat tentang pandangan hidup dan sistem kepercayaan juga ditransmisikan dalam bentuk tembang (lagu) maupun bentuk sastra lainnya. Semua hal itu tidak lepas dari sistem bahasa yang digunakan dan membuatnya berkembang. Dalam masyarakat dipakai tiga jenjang bahasa yaitu Ngoko (bahasa Jawa rendah), Krama Andhap (bahasa Jawa tengah), dan Krama Inggil (bahasa Jawa tinggi). Aturan pemakaian bahasa tersebut sangat rumit, namun tercermin budaya penghormatan dan saling menghargai. Ada satu lagi bahasa yang khusus dan hanya digunakan di lingkungan istana yang disebut dengan Bagongan yang lebih mencerminkan pandangan hidup kesetaraan kedudukan di antara pemakainya.
Perkembangan budaya sebagaimana dijelaskan di awal tidak lepas pula dari sistem pendidikan. Pada mulanya sistem pendidikan yang digunakan meneruskan sistem yang digunakan zaman Mataram. Pendidikan formal hanya dapat dinikmati oleh keluarga kerajaan. Pendidikan itu meliputi pendidikan agama dan sastra. Pendidikan agama diselenggarakan oleh Kawedanan Pengulon. Pendidikan ini berlokasi di kompleks masjid raya kerajaan. Pendidikan sastra diselenggarakan oleh Tepas Kapunjanggan. Kedua pendidikan ini satu sistem dan tidak terpisah. Para siswa diberi pelajaran agama, bahasa Jawa, budaya, dan literatur (serat dan babad).
Pendidikan barat baru diperkenalkan oleh pemerintah penjajahan pada awal abad 20. Pada pemerintahan Sultan HB VIII sistem pendidikan dibuka untuk umum. Mula-mula sekolah dasar dibuka di Tamanan dan kemudian dipindahkan di Keputran. Sekolah ini masih ada hingga sekarang dengan nama SD Negeri Keputran. Pendidikan lanjut memanfaatkan pendidikan yang dibuka oleh pemerintah penjajahan seperti HIS, Mulo, dan AMS B. Muncul pula sekolah guru dari kalangan Muhammadiyah Hogere School Moehammadijah pada 1918 (kini bernama Muallimin). Pada 1946 kesultanan ikut serta dalam mendirikan Balai Perguruan Kebangsaan Gajah Mada yang pada 1949 dijadikan Universitas Gadjah Mada (UGM).
Sebagai sebuah Kesultanan, Islam merupakan kepercayaan resmi kerajaan. Sultan memegang kekuasaan tertinggi dalam bidang kepercayaan dengan gelar Sayidin Panatagama Khalifatullah. Walaupun demikian kepercayaan-kepercayaan lokal (baca: kejawen) masih tetap dianut rakyat meski menyatakan diri sebagai orang Islam. Berbagai ritus kepercayaan lokal masih dijalankan tetapi doa-doa yang dipanjatkan diganti dengan menggunakan bahasa Arab. Hal ini menujukkan sebuah kepercayaan baru yang merupakan sinkretisme antara kepercayaan Islam dan kepercayaan lokal. Gerakan puritan untuk membersihkan Islam dari pengaruh kepercayaan lokal dan westernisasi baru muncul pada tahun 1912 seiring dengan tumbuh dan berkembangnya organisasi Islam Muhammadiyah dari kalangan Imam Kerajaan. Pada perkembangan selanjutnya kawasan Kauman, Yogyakarta yang menjadi tempat tinggal para imam kerajaan menjadi pusat gerakan puritan itu.
Pertahanan dan keamanan
Pada mulanya sistem birokrasi pemerintahan menganut sistem militer sebagaimana kerajaan Mataram. Seorang pegawai pemerintah juga merupakan seorang serdadu militer. Begitu pula para pimpinan kabinet kerajaan karena jabatannya merupakan komandan militer, bahkan kalau perlu mereka harus ikut bertempur membela kerajaan. Walaupun begitu, untuk urusan pertahanan terdapat tentara kerajaan yang dikenal dengan abdi Dalem Prajurit. Tentara Kesultanan Yogyakarta hanya terdiri dari angkatan darat saja yang dikelompokkan menjadi sekitar 26 kesatuan. Selain itu terdapat pula paramiliter yang berasal dari rakyat biasa maupun dari pengawal para penguasa di Mancanagara.
Pada paruh kedua abad ke-18 sampai awal abad ke-19 tentara kerajaan di Yogyakarta merupakan kekuatan yang patut diperhitungkan. Walaupun Sultan merupakan panglima tertinggi, namun dalam keseharian hanya sebagian saja yang berada di dalam pengawasan langsung oleh Sultan. Sebagian yang lain berada di dalam pengawasan adipati anom dan para pangeran, serta pejabat senior yang memimpin kementerian/kantor pemerintahan. Kekuatan pertahanan menyurut sejak diasingkannya Sultan HB II akibat peristiwa Geger Sepehi pada Juni 1812, dan ditandatanganinya perjanjian antara HB III dengan Raffles pada 1812. Perjanjian itu mencantumkan Sultan harus melakukan demiliterisasi birokrasi kesultanan. Sultan, pangeran, dan penguasa daerah tidak boleh memiliki tentara kecuali dengan izin pemerintah Inggris dan itupun hanya untuk menjaga keselamatan pribadi sang pejabat.
Kekuatan pertahanan benar-benar lumpuh setelah selesainya Perang Diponegoro pada tahun 1830. Tentara Kesultanan Yogyakarta hanya menjadi pengawal pribadi Sultan, Putra Mahkota, dan Pepatih Dalem. Jumlahnya sangat dibatasi dan persenjataannya tidak lebih dari senjata tajam dan beberapa pucuk senapan tua. Pertahanan menjadi tanggung jawab pemerintah Hindia Belanda. Sebagai pengganti kekuatan militer yang dikebiri, Kesultanan Yogyakarta dapat membentuk polisi untuk menjaga keamanan warganya. Pada 1942, untuk mengindari keterlibatan kesultanan dalam Perang Pasifik, Sultan membubarkan tentara kesultanan. Keputusan ini kemudian dikukuhkan dalam perintah Pemerintah Militer Angkatan Darat XVI Jepang pada bulan Agustus 1942. Dengan demikian kesultanan tidak memiliki lagi kekuatan militer.
Prajurit Kraton Yogyakarta
Layaknya sebuah kerajaan, Kraton Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat atau lebih dikenal dengan Kraton Yogyakarta juga mempunyai beberapa tentara atau satuan-satuan militer. Satuan-satuan militer di Keraton Yogyakarta ini disebut dengan Abdi Dalem Prajurit. Dalam sejarahnya, Kraton Yogyakarta pernah memiliki 15 satuan militer dan masing-masing memiliki nama dan fungsi yang berbeda-beda. Dari 15 satuan militer yang keseluruhannya satuan infanteri tersebut, saat ini baru diaktifkan sebanyak 11 satuan setelah sempat dibubarkan oleh Sri Sultan Hamengkubuwana IX sebagai antisipasi pemanfaatan Abdi Dalem Prajurit oleh Jepang untuk digunakan dalam Perang Pasifik Timur pada masa pendudukan Jepang antara tahun 1942-1945.[11]
Pada awal pembentukannya oleh Sri Sultan Hamengkubuwana I (ketika itu masih bernama Pangeran Mangkubumi) satuan-satuan Abdi Dalem Prajurit sangatlah kuat. Tercatat Abdi Dalem Prajurit pernah mengalahkah Pasukan Kompeni Belanda pada masa pengasingan Sri Sultan Hamenku Buwana I sebelum diadakannya Perjanijian Giyanti tahun 1755. Pada pertempuran-pertempuran tersebut, Abdi Dalem Prajurit bahkan berhasil membunuh perwira-perwira Belanda seperti Letnan Coen yang tewas dalam Perang Gowang, Letna Van Gier tewas pada Perang Grobogan, Letnan Foster tewas dalam Perang Gunung Tidar dan Mayor Clereq dan Kapten Winter yang tewas dalam Perang Jenar/Bogowonto bersama 3.801 Prajurit Kompeni Belanda lainnya. Bahkan ada sebuah pusaka Kraton Yogyakarta berupa Tombak yang bernama Kangjeng Kyai Klerk sebagai bentuk pemuliaan ketika tombak tersebut digunakan untuk membunuh Mayor Clereq pada Perang Jenar/Bogowonto oleh salah seorang Abdi Dalem Prajurit Mantrijero.
Untuk saat ini Abdi Dalem Prajurit Kraton Yogyakarta tidaklah kuat dan tidak pula memiliki fungsi dan tugas untuk bertempur. Seluruh kesatuan Abdi Dalem Prajurit yang ada diperuntukkan untuk mengawal dalam upacara-upacara adat Kraton Yogyakarta seperti pada saat Upacara Gunungan atau lebih dikenal dengan Gerebeg yang diadakan tiga kali dalam setahun, yaitu Grebeg Sekaten, Grebeg Maulud, dan Grebeg Syawal. Berikut adalah sekilas tentang 15 satuan Abdi Dalem Prajurit Kraton Yogyakarta.
- Abdi Dalem Prajurit Wirabraja.
- Abdi Dalem Prajurit Dhaeng
- Abdi Dalem Prajurit Patangpuluh
- Abdi Dalem Prajurit Jagakarya
- Abdi Dalem Prajurit Prawiratama
- Abdi Dalem Prajurit Nyutra
- Abdi Dalem Prajurit Ketanggung
- Abdi Dalem Prajurit Mantrijero
- Abdi Dalem Prajurit Bugis
- Abdi Dalem Prajurit Surakarsa
- Abdi Dalem Prajurit Langenhastra
- Abdi Dalem Prajurit Somaatmaja
- Abdi Dalem Prajurit Jager
- Abdi Dalem Prajurit Suranata
- Abdi Dalem Prajurit Suragama
Akhir riwayat
Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, Sultan Hamengkubuwana IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII mengirim kawat kepada Presiden RI, menyatakan bahwa Daerah Kesultanan Yogyakarta dan Daerah Pakualaman menjadi bagian wilayah Negara Republik Indonesia, serta bergabung menjadi satu, mewujudkan sebuah Daerah Istimewa Yogyakarta yang bersifat kerajaan. Sultan Hamengkubuwana IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII kemudian menjadi Kepala Daerah Istimewa dan Wakil Kepala Daerah Istimewa dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
Pada tahun 1950 secara resmi Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat ini, bersama-sama dengan Kadipaten Pakualaman menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta, sebuah daerah berotonomi khusus setingkat provinsi sebagai bagian Negara Kesatuan Indonesia. Dengan demikian status Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai sebuah negara (state) berakhir dan menjelma menjadi pemerintahan daerah berotonomi khusus. Sedangkan institusi istana kemudian dipisahkan dari "negara" dan diteruskan oleh Keraton Kesultanan Yogyakarta.
Keraton Yogyakarta
Istana atau Keraton Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dirancang sendiri oleh Sultan Hamengkubuwana I saat mendirikan Kesultanan. Keahliannya dalam bidang arsitektur antara lain dihargai oleh Dr. Pigeund dan Dr. Adam, yaitu para peneliti berkebangsaan Belanda. Bagian-bagian keraton adalah
- (1) Kompleks Alun-alun Lor yang terdiri dari sub kompleks: Gladhak-Pangurakan, Alun-alun Lor, Masjid Ageng, dan Pagelaran;
- (2) Kompleks Siti Hinggil Lor;
- (3) Kompleks Kamandhungan Lor;
- (4) Kompleks Sri Manganti;
- (5) Kompleks Kedhaton yang terdiri dari sub kompleks: Pelataran Kedhaton, Kasatriyan, Kaputren, dan Karaton Kilen;
- (6) Kompleks Kamagangan;
- (7) Kompleks Kamandhungan Kidul;
- (8) Kompleks Siti Hinggil Kidul; dan
- (9) Kompleks Alun-alun Kidul dan Plengkung Nirbaya.
Keraton Yogyakarta Ngayogyakarta Hadiningrat selain merupakan kediaman resmi Sultan, saat ini juga berfungsi sebagai salah satu cagar budaya masyarakat Jawa. Sebagai pusat budaya, keraton sering melaksanakan kegiatan-kegiatan budaya dan merupakan salah satu tujuan pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta, yang sering didatangi para wisatawan dalam dan luar negeri.
Masalah suksesi Kraton
Sultan Hamengkubuwana X menghadapi persoalan terkait penerusnya karena tidak memiliki putra. Masalah ini mengemuka ketika terjadi pembahasan Raperda Istimewa tentang Pengisian Jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur sampai Sultan HB X secara mendadak mengeluarkan Sabdatama pertama[12] pada 6 Maret 2015. Dalam UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Yogyakarta Pasal 18 ayat (1) huruf m disebutkan bahwa salah satu syarat menjadi gubernur DIY adalah "menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat, antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak;" yang dianggap hanya memberikan kesempatan kepada laki-laki untuk menjadi kandidat Sultan selanjutnya.
Sabdaraja
Pada tanggal 30 April 2015, Sri Sultan Hamengkubuwana X mengeluarkan sabdaraja pertama kalinya yang berisikan lima poin sebagai berikut.[13][14][15]
- Perubahan gelar. Buwono (Buwana) diubah menjadi Bawono (Bawana).
- Gelar Khalifatullah dihapuskan, serta penambahan frasa Suryaning Mataram.
- Kaping sadasa diubah menjadi Kasepuluh.
- Pengubahan perjanjian antara Ki Ageng Giring dengan pendiri Mataram, Ki Ageng Pamanahan.
- Keris Kyai Kopek disempurnakan menjadi Keris Kyai Jaka Piturun.[16]
Gelar baru Sultan setelah Sabdaraja yakni Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati-ing-Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping Sadasa ing Ngayogyakarta Hadiningrat menjadi Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Sri Sultan Hamengku Bawono ingkang Jumeneng Kasepuluh Suryaning Mataram Senopati-ing-Ngalaga Langgeng ing Bawana, Langgeng, Langgeng ing Tata Panatagama. [17][18]
Dhawuhraja
Pada tanggal 5 Mei 2015, Sultan mengeluarkan dhawuhraja kedua kalinya yang berisikan salah satu putri pertamanya, GKR Pembayun diangkat menjadi GKR Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng ing Mataram
Kejadian ini menuai kontroversi dari keluarga Kraton. Anak dan adik-adik Sultan berziarah makam di Pemakaman Imogiri dengan tujuan meminta maaf kepada leluhur keluarga raja-raja Mataram terkait Sabdaraja tersebut.[19]
Ngudar sabda
Pada tanggal 31 Desember 2015, Sri Sultan Hamengkubuwana X mengeluarkan ngudar sabda sebagai berikut:[20]
- Ngudar sabda adalah berdasarkan perintah dari Allah subhanahu wa ta'ala.
- Pewaris tahta tidak bisa diturunkan kecuali putra/inya.
- Siapa pun yang tidak menuruti perintah raja akan dicabut gelar dan kedudukannya.
- Siapa pun yang tidak sependapat dengan pernyataannya dipersilakan pergi dari Bumi Mataram.
Daftar raja-raja kesultanan Yogyakarta
Daftar raja-raja Yogyakarta
Nama |
Jangka hidup |
Awal memerintah |
Akhir memerintah |
Keterangan |
Keluarga |
Gambar |
Hamengkubuwana I
|
6 Agustus 1717 – 4 Maret 1792 (umur 74) | 1755 | 1792 |
|
||
Hamengkubuwana II
|
7 Maret 1750 – 3 Januari 1828 (umur 77) | 1792 | 1810 |
|
||
Hamengkubuwana III
|
20 Februari 1769 – 3 November 1814 (umur 45) | 1810 | 1811 |
|
||
Hamengkubuwana IV
|
3 April 1804 – 6 Desember 1823 (umur 19) | 1814 | 1822 |
|
||
Hamengkubuwana V
|
24 Januari 1820 – 5 Juni 1855 (umur 35) | 1822 | 1826 |
|
||
Hamengkubuwana VI
|
10 Agustus 1821 – 20 Juli 1877 (umur 55) | 1855 | 1877 | Hamengkubuwana V, abang | ||
Hamengkubuwana VII
|
4 Februari 1839 – 30 Desember 1931 (umur 92) | 1877 | 1921 |
|
||
Hamengkubuwana VIII
|
3 Maret 1880 – 22 Oktober 1939 (umur 59) | 1921 | 1939 |
|
||
Hamengkubuwana IX
|
12 Agustus 1912 – 2 Oktober 1988 (umur 76) | 1939 | 1988 |
|
||
Hamengkubawana X
|
2 April 1946 | 1988 | masih menjabat |
|
Peristiwa penting
Abad ke-18
- 1749, 12 Desember, Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai raja Mataram oleh pengikutnya dan para bangsawan senior dari Surakarta dengan gelar Susuhunan Paku Buwono Senopati Ingalaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama.
- 1750, RM Said (MN I) yang telah menjadi perdana menteri P Mangkubumi menggempur Surakarta.
- 1752, Mangkubumi berhasil menggerakkan pemberontakan di provinsi-provinsi Pasisiran (daerah pantura Jawa) mulai dari Banten sampai Madura. Perpecahan Mangkubumi-RM Said.
- 1754, Nicolas Hartingh menyerukan gencatan senjata dan perdamaian. 23 September, Nota Kesepahaman Mangkubumi-Hartingh. 4 November, PB III meratifikasi nota kesepahaman. Batavia walau keberatan tidak punya pilihan lain selain meratifikasi nota yang sama.
- 1755, 13 Februari, Perjanjian Palihan Nagari di desa Giyanti. P Mangkubumi mengambil gelar baru: Sampeyan Ingkang Ndalem Sinuwun Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing-Ngalaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama Khalifatullah. Yudonegoro, Gubernur Banyumas, menjadi Pepatih Dalem Danurejo I.
- 1756, 7 Oktober, Sultan HB I menempati istana barunya yang diberi nama Ngayogyakarta.
- 1773, Angger Aru-biru yang menjadi acuan dalam peradilan yang pertama disahkan.
- 1774, Putra mahkota (kelak HB II) menulis buku Serat Raja Surya yang kemudian menjadi pusaka.
- 1785, Perbentengan besar bergaya di sekeliling istana dibangun secara mendadak dan diselesikan dalam 2 tahun.
- 1792, HB I wafat. Sultan HB II berusaha mengabaikan control VOC.
- 1799, Danurejo I wafat dan diganti cucunya dengan gelar Danurejo II.
Abad ke-19
- 1808, 28 Juli, Daendels mengeluarkan peraturan baru tentang penggantian residen dengan minister dan perubahan kedudukannya yang sejajar dengan Sultan dan Sunan.
- 1810, Awal prahara politik Yogyakarta yang akan berlangsung sampai 1830. HB II menolak mentah-mentah kebijakan Daendels mengenai perubahan kedudukan minister. Danurejo II dipecat dan digantikan oleh Notodiningrat (PA II). Atas tekanan Daendels Danurejo II mendapatkan kembali kedudukannya. 31 Desember Daendels memberhentikan HB II dengan kekuatan militer dan mengangkat putra mahkota menjadi HB III serta merampas kekayaan istana.
- 1811, Daendels menghapus uang sewa pesisir yang menjadi pemasukan keuangan negara. September/Oktober, HB II merebut kembali takhtanya. HB III dikembalikan dalam posisi putra mahkota. Oktober Danurejo II dibunuh di istana. Sindunegoro (Danurejo III) menjadi Pepatih Dalem.
- 1812, 18 Juli-20 Juli, Kolonel Gillespie memimpin pasukan Inggris menyerang Yogyakarta. HB II dimakzulkan dan dibuang ke Penang (wilayah Malaysia sekarang). 1 Agustus, HB III menandatangani perubahan pemerintahan dan demiliterisasi birokrasi kerajaan.
- 1813, 13 Maret, Notokusumo diangkat menjadi Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam yang mengepalai sebuah principality yang terlepas dari Yogyakarta. Sindunegoro diganti oleh Bupati Jipan yang bergelar Danurejo IV.
- 1814, Sultan HB III wafat, putra mahkota yang masih berusia 9/10 tahun diangkat menjadi HB IV. PA I yang tidak disukai oleh istana ditunjuk Inggris menjadi wali sampai 1821.
- 1816, Inggris menyerahkan kembali daerah jajahan kepada Hindia Belanda.
- 1817, 6 Oktober Kitab Angger-angger sebagai Kitab Undang-undang Hukum (KUH) ditetapkan bersama Yogyakarta dan Surakarta.
- 1823, HB IV dibunuh oleh seorang agen Belanda. Putra mahkota yang masih berusia 3(4) diangkat menjadi HB V. Sebuah dewan perwalian yang terdiri atas Ibu Suri, Nenek Suri, P. Mangkubumi, P Diponegoro dan Danurejo IV dibentuk.
- 1825, Belanda menyerang kediaman P Diponegoro mengawali perang Jawa 1825-1830. Banyak bangsawan Yogyakarta mendukung P Diponegoro.
- 1826, HB II dipulangkan dari Ambon untuk meredakan perang namun tidak membawa hasil.
- 1828, HB II wafat, HB V kembali diangkat di bawah dewan perwalian baru.
- 1830, Akhir perang Diponegoro. Seluruh Mancanegara Yogyakarta dirampas Belanda sebagai pertanggungjawaban atas meletusnya perang. 27 September, Perjanjian Klaten menentukan tapal yang tetap antara Surakarta dan Yogyakarta. 24 Oktober, HB V meratifikasi Perjanjian Klaten.
- 1831, 11 Juni Perubahan struktur peradilan Kesultanan Yogyakarta.
- 1848, Peraturan yang mengharuskan Sultan memenuhi kebutuhan kayu keras pemerintah jajahan di tetapkan.
- 1855, HB V wafat. Adiknya diangkat menjadi HB VI.
- 1867, Gempa besar menghancurkan bangunan penting.
- 1877, HB VI wafat digantikan putranya HB VII.
- 1883, Seorang pangeran dari Yogyakarta berupaya memberontak dan gagal.
Abad ke-20
- 1904, Hindia Belanda mengambil alih penguasaan dan pengelolaan atas hutan di wilayah Kesultanan.
- 1908, 20 Mei, Budi Utomo didirikan oleh Mas Ngabehi Wahidin Sudirohusodo, seorang pegawai kesehatan.
- 1912, 18 November, Muhammadiyah didirikan oleh Mas Ketib Amin Haji Ahmad Dahlan, seorang Imam Kerajaan.
- 1915, APBN Kesultanan Yogyakarta mulai dipisah menjadi dua APBN.
- 1916, Pengadilan Bale Mangu dihapus oleh Hindia Belanda.
- 1917, Pengadilan Pradoto dihapus oleh Hindia Belanda.
- 1918, Perubahan hak atas tanah di wilayah Kesultanan.
- 1921, Sultan HB VIII bertakhta. Kesultanan Yogyakarta memiliki dua APBN.
- 1922, Taman Siswa didirikan oleh Ki Hajar Dewantara, seorang kerabat Pakualaman.
- 1933, 30 November, Danurejo VIII dilantik menggantikan Danurejo VII.
- 1940, 18 Maret, Sultan HB IX menandatangani Kontrak Politik terakhir dengan Hindia Belanda.
- 1942, Maret, Jepang datang. 1 Agustus, Sultan HB IX diangkat menjadi Koo atas Yogyakarta Kooti.
- 1943, Sultan membentuk Paniradya untuk mengurangi kekuasaan Pepatih Dalem.
- 1945, 15 Juli, Danurejo VIII diberhetikan karena pensiun. 1 Agustus, Restorasi HB IX. 5 September, Kesultanan Yogyakarta berintegrasi dengan Indonesia. 30 Oktober, HB IX dan PA VIII menyerahkan kekuasaan legeslatif kepada BP KNID Yogyakarta.
- 5 September: Amanat Sultan HB X bahwa Negeri Ngajogyokarto Hadinigrat adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia.
- 1946, 4 Januari, kedudukan Pemerintah Indonesia dipindah ke Yogyakarta atas jaminan kesultanan. 18 Mei, Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta oleh Kesultanan dan Pakualaman.
- 1947, Pengadilan Darah Dalem dihapus oleh Pemerintah Indonesia.
- 1950, 4 Maret, Daerah Kesultanan Yogyakarta dan Daerah Pakualaman ditetapkan menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta, sebuah daerah berotonomi khusus setingkat provinsi, dan mulai berlaku pada 15 Agustus.
- 1965, 1 September, Daerah Istimewa Yogyakarta dijadikan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
- 1988, Sultan HB IX wafat.
- 1989, Pangeran Mangkubumi (BRM Herjuno Darpito) diangkat menjadi Sultan Hamengku Buwono X.
- 1998, Sultan Hamengku Buwono X ditetapkan sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta.
Abad ke-21
- 2012, Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta disahkan, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dikembalikan menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta.
- 2015, krisis suksesi yang notabene merupakan urusan internal Kraton memuncak, hingga akhirnya Sultan mengeluarkan Sabdaraja yang berisi perubahan gelar Sultan menjadi Hamengkubawana X. Selain itu, juga mengangkat putri sulungnya sebagai putri mahkota dengan gelar GKR Mangkubumi.
Glosarium
- ISKS: Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan.
- Karaton: Istana, tempat kedudukan Parentah Lebet dan tempat tinggal raja dan keluarganya.
- Koo: Penguasa atas daerah dengan status Kooti
- Kooti: Daerah yang memiliki pemerintahan sendiri yang tunduk kepada Kekaisaran Jepang.
- Kutagara: lihat Nagari
- Kuta nagara: lihat Nagari
- Manca nagara: Teritori/negara asing yang ditaklukkan oleh raja dan menjadi wilayah kerajaan paling luar yang diperintah oleh para bupati (Gubernur) yang ditunjuk oleh raja atau mantan penguasa daerah yang telah tunduk.
- Nagara Agung: Teritori yang mengelilingi teritori Nagari, tempat tanah lungguh pejabat kerajaan.
- Nagari: Teritori ibu kota, tempat kedudukan Parentah Jawi dan tempat kediaman para pangeran dan pejabat tinggi kerajaan.
- Parentah Ageng Karaton: Pemerintahan Istana (Imperial House) yang bertugas mengkoordianasikan semua bagian pemerintahan dalam istana.
- Parentah Jawi: Pemerintahan yang berpusat di nagari (teritori ibu kota) dan dikepalai oleh Pepatih Dalem.
- Parentah Lebet: Pemerintahan yang berpusat di karaton (istana) dan dikepalai oleh saudara atau putra Sultan. Lihat Parentah Ageng Karaton.
- Parentah Nagari: lihat Parentah Jawi.
- Pepatih Dalem: Perdana menteri, orang kedua setelah Sultan dan Residen/Gubernur Hindia Belanda, bertugas mengurus pemerintahan khususnya Parentah Jawi/Nagari.
- Pepatih Jawi: Pembantu Sultan untuk mengurus rakyat, mengurus Parentah Nagari, mengurus teritori Manca nagara, dan menjalin hubungan dengan pemerintah Hindia Belanda. Dalam perkembangannya disebut dengan Pepatih Dalem.
- Pepatih Lebet: Pembantu Sultan untuk mengurus keluarga kerajaan dan Parentah Lebet. Dalam perkembangannya jabatan ini dihapus; sebagian kewenangannya diambil oleh Pepatih Dalem dan sebagian lain diserahkan pada saudara atau putra Sultan.
- Tanah Lungguh: Tanah Jabatan (Appenage Land), tanah yang hasilnya digunakan oleh pejabat sebagai ganti dari gaji bulanan.
Lihat pula
Catatan kaki
- ^ Nama resmi ini mengacu pada naskah dalam bahasa Jawa dari Perjanjian Politik 1940. Nama resmi lainnya yang terdapat dalam dokumen resmi adalah Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat (Amanat 5 September 1945), Daerah Kesultanan Yogyakarta (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1950)
- ^ Dinas Kebudayaan Provinsi DIY (2014-03-04). "Upacara Wiyosan Kanjeng Kiai Tunggul Wulung". Tasteofjogja. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-10-22.
- ^ https://www.youtube.com/watch?v=PFNrS4rWsEY
- ^ https://www.youtube.com/watch?v=S44ZanoM2AQ
- ^ https://www.youtube.com/watch?v=PATAABljz2E
- ^ https://www.youtube.com/watch?v=PFNrS4rWsEY
- ^ https://www.youtube.com/watch?v=S44ZanoM2AQ
- ^ https://www.youtube.com/watch?v=PATAABljz2E
- ^ Sabdacarakatama (2009). Sejarah Keraton Yogyakarta. Penerbit Narasi. ISBN 9789791681049. Diakses tanggal 22 February 2015.
- ^ Mulanya terdapat dua pepatih yaitu Pepatih Lebet dan Pepatih Jawi. Dalam perkembangannya Pepatih Lebet dihapuskan dan Pepatih Jawi disebut sebagai Pepatih Dalem.
- ^ Prajurit Kraton Yogyakarta: Filosofi dan Nilai Budaya yang Terkandung di Dalamnya Yogyakarta: Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta
- ^ Wijaya Kusuma (6 Maret 2015). "Raja Jogja Mendadak Keluarkan Sabdatama". Kompas.com. Diakses tanggal 6 Maret 2015.
- ^ "Okezone: Raja Yogyakarta Keluarkan Sabda, Ini Komentar JK". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-05-18. Diakses tanggal 2015-05-05.
- ^ [http://jogja.tribunnews.com/2015/05/02/keluarkan-sabdaraja-nama-sri-sultan-hb-x-akan-berubah#
- ^ http://regional.kompas.com/read/2015/05/05/12351791/.Cuma.2.Menit.Apa.Isi.Sabda.Raja.dari.Sri.Sultan.HBX. Kompas: Cuma 2 Menit, Apa Isi Sabdaraja dari Sri Sultan HB X?]
- ^ Kedaulatan Rakyat, 2 Mei 2015. Sabdaraja Timbulkan Pro-Kontra
- ^ Antara: Sri Sultan Kembali Keluarkan Sabdaraja
- ^ Kedaulatan Rakyat, edisi Sabtu, 9 Mei 2015, hal. 8
- ^ Anak dan Adik Sultan Ziarah ke Makam Imogiri
- ^ http://m.antaranews.com/berita/537654/sultan-hb-x-keluarkan-sabda
Referensi
- Chamamah Soeratno et. al. (ed) (2004). Kraton Yogyakarta:the history and cultural heritage (2nd print). Yogyakarta and Jakarta: Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat and Indonesia Marketing Associations. 979-96906-0-9.
- P.J. Suwarno (1994). Hamengku Buwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 1942-1974: sebuah tinjauan historis. Yogyakarta: Kanisius. ISBN 979-497-123-5.
- S. Margana (2004). Kraton Surakarta dan Yogyakarta 1769-1874. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan The Toyota Foundation.
Pranala luar
- (Indonesia) Situs web resmi
Didahului oleh: Kesunanan Surakarta Hadiningrat |
Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat 1755–1813 |
Diteruskan oleh: Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat Kadipaten Pakualaman |
Didahului oleh: Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat |
Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat 1813–1950 |
Diteruskan oleh: Daerah Istimewa Yogyakarta |