Tarekat (Islam)
Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan. |
Bagian dari seri |
Islam |
---|
Tarekat (Arab: طريقة, transliterasi: Tharīqah) merupakan sebuah istilah yang merujuk kepada aliran-aliran dalam dunia tasawuf atau sufisme Islam. Secara bahasa berarti "jalan" atau "metode", dan secara konseptual bermakna "jalan kering di tengah laut" ini juga di anggap "merujuk kepada sebuah ayat dalam Alquran": "Dan sungguh, telah Kami wahyukan pada Musa, ‘Tempuhlah perjalanan di malam hari bersama para hamba-hamba-Ku, [dan] buatlah untuk mereka jalan kering di tengah laut'." (Q.S. Thāhā [20]: 77).
Pemimpin sebuah tarekat biasa disebut sebagai Mursyīd (dari akar kata rasyada, yang artinya: "penuntun"). Adapun para pengikut tarekat biasa disebut sebagai Murīd (dari akar kata arāda, yang artinya: "yang menginginkan"), yang bermakna orang yang menginginkan untuk mendekat kepada Tuhan; atau Sālik (dari akar kata salaka, yang artinya "yang memasuki"), yang bermakna orang yang memasuki atau menempuh jalan menuju Tuhan.
Metafora tarekat sebagai "jalan" harus dipahami secara khusus, sehubungan dengan istilah syariat yang juga memiliki arti "jalan". Dalam hal ini tarekat bermakna sebagai jalan yang khusus atau individual, yang merupakan fase kedua dari skema umum tahapan perjalanan keagamaan: syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat.
Ada banyak aliran tarekat yang berkembang di dunia Islam, beberapa diantaranya lahir dan besar di Indonesia.
Arti Tarekat
Kata tarekat atau tharīqah (Arab: طريقة) berasal dari kata tharīq (Arab: طريق) yang memiliki bebeberapa arti: (1) jalan atau petunjuk jalan atau cara, (2) metode atau sistem (uslub), (3) mazhab, aliran, atau haluan (mazhab), (4) keadaan (halah), (5) tiang tempat berteduh, tongkat, atau payung (‘amud al-mizalah). Menurut Mulyadi Kartanegara, dalam konteks tradisi Arab, kata "tarekat" dimaknai sebagai: jalan kecil (jalan pintas) menuju wadi (oase) di gurun dan sulit dilalui karena terkadang sudah tertutup pasir.[1]
Dalam konteks agama, Alwi Shihab mendefinisikan tarekat merupakan suatu metode tertentu yang ditempuh seseorang secara kontinyu untuk membersihkan jiwanya dengan mengikuti jalur dan tahapan-tahapan dalam upayanya mendekatkan diri kepada Allah Swt.[2] Hal ini senada dengan pendapat Al-Jurjani ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali (740-816 M) bahwa tarekat ialah metode khusus yang dipakai oleh salik (para penempuh jalan) menuju Allah Ta’ala melalui berbagai maqamat (tahapan-tahapan).
Dengan demikian tarekat memiliki dua pengertian: pertama, merupakan metode pemberian bimbingan spiritual kepada individu dalam mengarahkan kehidupannya menuju kedekatan diri dengan Tuhan; dan kedua, tarekat sebagai persaudaraan kaum sufi (sufi brotherhood) yang ditandai dengan adanya lembaga formal seperti zawiyah, ribath, atau khanaqah.
Bila ditinjau dari sisi lain, tarekat itu mempunyai tiga sistem, yaitu: sistem kerahasiaan, sistem kekerabatan (persaudaraan), dan sistem hierarki seperti khalifah tawajjuh atau khalifah suluk, syekh atau mursyid, wali atau qutub. Kedudukan guru tarekat diperkokoh dengan ajaran wasilah dan silsilah. Keyakinan berwasilah dengan guru dipererat dengan kepercayaan karamah, barakah atau syafa’ah atau limpahan pertolongan dari guru.
Pengertian di atas menunjukkan Tarekat sebagai cabang atau aliran dalam paham tasawuf. Pengertian itu dapat ditemukan pada berbagai tarekat yang ada, seperti al-Ahadiyyah, Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Rifa'iah, Samaniyah, dan lain-lain. Untuk di Indonesia ada juga yang menggunakan kata tarekat sebagai sebutan atau nama paham mistik yang dianutnya, dan tidak ada hubungannya secara langsung dengan paham tasawuf yang semula atau dengan tarekat besar dan kenamaan.
Empat Fase Perjalanan
Kaum sufi berpendapat bahwa terdapat empat tingkatan spiritual umum dalam Islam, yaitu syari'ah (syariat), tariqah (tarekat), haqiqah (hakikat), dan ma'rifah (makrifat). Tingkatan keempat dianggap merupakan inti dari wilayah hakikat, sebagai esensi dari seluruh tingkatan kedalaman spiritual beragama tersebut. Dalam kitab Sirr al-Asrar, Syeikh Abdul Qadir al-Jailani memberikan penjelasan seraya mengutip sebuah hadits dan ayat berikut:
Rasulullah saw pernah bersabda: "Tidurnya orang alim jauh lebih mulia daripada ibadah orang bodoh." ... Firman-Nya: "Allah mewafatkan jiwa-jiwa ketika ajalnya tiba; adapun bagi yang belum sampai ajalnya, (Allah mewafatkannya) dalam tidur mereka. Kemudian Dia menahan jiwa-jiwa yang ajalnya telah tiba, dan membebaskan jiwa-jiwa yang lain (yang belum sampai ajalnya) hingga batas waktu yang telah ditentukan." (Q.S. Az-Zumar: 42). Inilah yang dimaksud orang alim dalam hadits Nabi s.a.w. di atas. Mereka termasuk insan ruhani, manusia khusus, yang sekalipun ajal belum tiba tetapi mereka sudah kembali ke negeri asali sang jiwa, yakni negeri hakikat di semesta al-qurbah yang dekat dengan Allah Ta'ala. Negeri ini tidak akan dapat dicapai oleh mereka yang masih hidup kecuali dengan Ilmu Hakikat; dan ilmu ini tidak dapat diperoleh kecuali dengan menempuh jalan Syariat, Thariqat, dan Makrifat.[3]
Di dalam kitab tersebut Syeikh Abdul Qadir al-Jailani juga mengutip sebuah hadits: "(Ilmu) syariat itu pohon, rantingnya thariqat, daunnya makrifat, dan buahnya hakikat".[3]
Mempelajari tarekat
Syarat
Muhammad Hasyim Asy'ari sebagaimana dikutip oleh Mohammad Sholikhin, seorang penganalisis tarekat dan sufi, mengatakan bahwa ada delapan syarat dalam mempelajari tarekat:[4]
- Qashd shahih, menjalani tarekat dengan tujuan yang benar. Yaitu menjalaninya dengan sikap ubudiyyah, dan dengan niatan menghambakan diri kepada Tuhan.
- Shidq sharis, haruslah memandang gurunya memiliki rahasia keistimewaan yang akan membawa muridnya ke hadapan Ilahi.
- Adab murdhiyyah, orang yang mengikuti tarekat haruslah menjalani tata-krama yang dibenarkan agama.
- Ahwal zakiyyah, bertingkah laku yang bersih/sejalan dengan ucapan dan tingkah-laku Nabi Muhammad SAW.
- Hifz al-hurmah, menjaga kehormatan, menghormati gurunya, baik ada maupun tidak ada, hidup maupun mati, menghormati sesama saudaranya pemeluk Islam, hormat terhadap yang lebih tua, sayang terhadap yang lebih muda, dan tabah atas permusuhan antar-saudara.
- Husn al-khidmah, mereka-mereka yang mempelajari tarekat haruslah mempertinggi pelayanan kepada guru, sesama, dan Allah SWT dengan jalan menaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
- Raf' al-himmah, orang yang masuk tarekat haruslah membersihkan niat hatinya, yaitu mencari khashshah (pengetahuan khusus) dari Allah, bukan untuk tujuan duniawi.
- Nufudz al-'azimah, orang yang mempelajari tarekat haruslah menjaga tekad dan tujuan, demi meraih makrifat khashshah tentang Allah.
Tujuan
Tujuan tarekat adalah membersihkan jiwa dan menjaga hawa-nafsu untuk melepaskan diri dari pelbagai bentuk ujub, takabur, riya', hubbud dunya (cinta dunia), dan sebagainya. Tawakal, rendah hati/tawadhu', ridha, mendapat makrifat dari Allah, juga menjadi tujuan tarekat.[4]
Tanggapan
Ada yang menganggap mereka yang menganggap orang-orang sufi dan tarekat sebagai orang yang bersih (shafa) dari kekotoran, penuh dengan pemikiran "dan yang baginya sama saja antara nilai emas dan batu-batuan," tulis Muhammad Sholikhin dalam bukunya. Ada pula yang menganggap mereka mencapai makna orang yang berkata benar, semulia-mulianya manusia setelah para Nabi sebagaimana firman Allah dalam QS. An-Nisa (4):69.[4] Namun, Ibnu Taimiyah mengatakan pendapat ini salah sama sekali. Yang benar, adalah "orang-orang yang berijtihad dalam ketaatannya kepada Allah."[4]
Tarekat-tarekat di Indonesia
Berikut ini adalah Thoriqoh-thoriqoh utama yang ada dan berkembang di Indonesia:
- Tarekat Alawiyyah
- Tarekat Hamidiyah
- Tarekat Idrisiyah
- Tarekat Khalwatiyah
- Tarekat Maulawiyah
- Tarekat Naqsyabandiyah
- Tarekat Naqsyabandiyah Ali Ba 'Alawiyah
- Tarekat Qodiriyah
- Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah
- Tarekat Qudusiyah
- Tarekat Rifa'iah
- Tarekat Samaniyah
- Tarekat Shiddiqiyyah
- Tarekat Syadziliyah
- Tarekat Syattariyah
- Tarekat Tijaniyah
Lihat pula
Referensi
- ^ Zaprulkhan (2016). Ilmu Tasawuf sebuah Kajian Tematik. Depok: PT. RajaGrafindo Persada. hlm. 87. ISBN 9789797699048.
- ^ Shihab, Alwi (2009). Akar Tasawuf di Indonesia: Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi. Depok: Pustaka IMaN. hlm. 183.
- ^ a b Al-Jailani, Syekh Abdul Qadir (2021). Sirrul Asrar. Jakarta: Qaf Media Kreativa. ISBN 9786236219065.
- ^ a b c d {{Cite book|last=Sholikhin|first=Mohammad|date=2012|title=Mukjizat dan Misteri Lima Rukun Islam: Menjawab Tantangan Zaman|location=Yogyakarta|publisher=Al Barokah|isbn=9786027703476}l