Sejarah Sumatera Barat
Dari zaman prasejarah sampai kedatangan bangsa asing, sejarah Sumatra Barat dapat dikatakan identik dengan sejarah Minangkabau. Walaupun masyarakat Mentawai diduga telah ada pada masa itu, tetapi bukti-bukti tentang keberadaan mereka masih sangat sedikit.
Masa Prasejarah
Di pelosok Maek, Kabupaten Lima Puluh Kota banyak ditemukan peninggalan kebudayaan megalitikum. Bukti arkeologis yang ditemukan di atas bisa memberi indikasi bahwa daerah Lima Puluh Kota dan sekitarnya merupakan daerah pertama yang dihuni oleh nenek moyang orang Minangkabau. Penafsiran ini beralasan, karena di daerah ini mengalir beberapa sungai besar yang bermuara di pantai timur pulau Sumatra. Sungai-sungai ini dapat dilayari dan memang menjadi sarana transportasi yang penting dari zaman dahulu hingga akhir abad yang lalu.
Nenek moyang orang Minangkabau diduga datang melalui rute ini. Mereka berlayar dari daratan Asia mengarungi Laut Cina Selatan, menyeberangi Selat Malaka dan kemudian melayari sungai kampar, sungai siak, dan sungai inderagiri. Setelah melakukan perjalanan panjang, mereka tinggal dan mengembangkan kebudayaan serta peradaban di wilayah Luhak Nan Tigo (daerah Lima Puluh Kota, Agam, dan Tanah Datar) sekarang.
Percampuran dengan para pendatang pada masa-masa berikutnya menyebabkan tingkat kebudayaan mereka jadi berubah dan jumlah mereka jadi bertambah. Lokasi pemukiman mereka menjadi semakin sempit dan akhirnya mereka merantau ke berbagai bagian Sumatra Barat yang lainnya. Sebagian pergi ke utara, menuju Lubuk Sikaping, Rao, dan Ophir. Sebagian lain pergi ke arah selatan menuju Solok, Sijunjung dan Dharmasraya. Banyak pula di antara mereka yang menyebar ke bagian barat, terutama ke daerah pesisir, seperti Tiku, Pariaman, dan Pesisir Selatan.
Kerajaan-kerajaan Minangkabau
Tambo Minangkabau menyebut beberapa nama kerajaan yang ada di Sumatra Barat. Kerajaan-kerajaan itu antara lain, Kesultanan Kuntu, Kerajaan Koto Alang, Kerajaan Siguntur, Kerajaan Pasumayan Koto Batu, Bukit Batu Patah, Kerajaan Sungai Pagu, Kerajaan Inderapura, Kerajaan Jambu Lipo, Kerajaan Taraguang, Kerajaan Dusun Tuo, Kerajaan Bungo Setangkai, Kerajaan Talu, Kerajaan Kinali, Kerajaan Parit Batu, Kerajaan Pulau Punjung dan Kerajaan Pagaruyung.
Minanga
Berita tentang keberadaan kerajaan ini didapat dari buku T'ang-Hui-Yao yang disusun oleh Wang p'u pada tahun 961 masa Dinasti Tang, Minanga mengirimkan utusan ke Tiongkok pada tahun 645 untuk pertama kalinya.[1] Selain itu nama Minanga juga muncul pada Prasasti Kedukan Bukit yang bertarikh 682. Berdasarkan prasasti, pada tahun 682 Dapunta Hyang bertolak dari Minanga dengan membawa 20.000 tentara lalu mendirikan Kerajaan Sriwijaya.[2][3] Ekspedisi ini juga bertujuan untuk memindahkan pusat kerajaan dari Minanga di pedalaman ke daerah yang strategis di tepi laut.[4][5]
Malayapura
Secara historis, keberadaan kerajaan ini didapat dari salah satu dari dua prasasti kuno yang ditemukan di Dharmasraya:
"...demi kemenangan tertinggi untuk Malayapura..." — Prasasti Amoghapasa
Keberadaan kerajaan ini juga disebut di dalam Naskah Tanjung Tanah yang diperkirakan dibuat pada zaman Adityawarman di Suruaso, Tanah Datar, antara 1345 hingga 1377. Naskah tersebut menyebutkan bahwa Malayapura beribukota di Suruaso yang dipimpin oleh Maharaja Diraja, di bawahnya Dharmasraya yang dipimpin Maharaja, dan di bawah Dharmasraya adalah Kerinci yang dipimpin Raja.[6] Dari prasasti Suruaso yang beraksara Melayu menyebutkan Adityawarman menyelesaikan pembangunan selokan untuk mengairi taman Nandana Sri Surawasa yang senantiasa kaya akan padi[7] yang sebelumnya dibuat oleh pamannya yaitu Akarendrawarman yang menjadi raja sebelumnya, sehingga dapat dipastikan sesuai dengan adat Minangkabau, pewarisan dari mamak (paman) kepada kamanakan (kemenakan) telah terjadi pada masa tersebut.[8]
Pagaruyung
Munculnya nama Pagaruyung sebagai nama sebuah kerajaan tidak dapat diketahui dengan pasti, dari Tambo yang diterima oleh masyarakat Minangkabau tidak ada yang memberikan penanggalan dari setiap peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Pada masa kerajaan ini, pengaruh Islam di Minangkabau mulai berkembang kira-kira pada abad ke-16, yaitu melalui para musafir dan guru agama yang singgah atau datang dari Aceh dan Malaka. Salah satu murid ulama Aceh yang terkenal Syaikh Abdurrauf Singkil (Tengku Syiah Kuala), yaitu Syaikh Burhanuddin Ulakan, adalah ulama yang dianggap pertama-tama menyebarkan agama Islam di Pagaruyung. Pada abad ke-17, Kerajaan Pagaruyung akhirnya berubah menjadi kesultanan Islam. Raja Islam yang pertama dalam tambo adat Minangkabau disebutkan bernama Sultan Alif.
Dharmasraya
Keberadaan kerajaan ini didapat dari prasasti kuno lainnya yang juga ditemukan di Dharmasraya:
"...supaya ditegakkan di Dharmasraya..." — Prasasti Padang Roco
Prasasti ini menceritakan bahwa pada tahun 1286, atas perintah Kertanegara raja dari Singhasari, sebuah Arca Amoghapasa dipindahkan dari Bhumijawa ke Swarnabhumi untuk ditegakkan di Dharmasraya. Dengan hadiah ini diharapkan agar rakyat Swarnabhumi bergirang hati dan bersuka cita, terutama rajanya, Tribhuwanaraja.
Inderapura
Inderapura merupakan sebuah kerajaan yang berada di wilayah Pesisir Selatan, Sumatra Barat sekarang, berbatasan dengan Provinsi Bengkulu dan Jambi. Secara resmi, kerajaan ini pernah menjadi bawahan Kerajaan Pagaruyung walau pada praktiknya kerajaan ini berdiri sendiri serta bebas mengatur urusan dalam dan luar negerinya. Kerajaan ini pada masa jayanya meliputi wilayah pantai barat Sumatra mulai dari Padang di utara sampai Sungai Hurai di selatan. Produk terpenting Inderapura adalah lada dan emas. Pengaruh kekuasaan Inderapura sampai ke Banten di Pulau Jawa. Berdasarkan Sajarah Banten, Kesultanan Banten telah melakukan kontak dagang dengan Inderapura yang ditandai dengan pemberian keris dari Sultan Munawar Syah kepada Sultan Hasanuddin. Menurut Hamka, Sultan Munawar Syah menikahkan putrinya dengan Hasanuddin dan menghadiahkan Silebar (daerah penghasil lada di Bengkulu) kepada Kesultanan Banten.
Minangkabau di dalam Hikayat Raja-raja Pasai
Bagian dari hikayat ini mengisahkan tentang raja Majapahit yang ingin menaklukan Pulau Percha. Patih Gajah Mada disebut memimpin langsung ekspedisi ini. Armada berjumlah lima ratus kapal. Komandan yang berlayar dengannya adalah tiga orang yang sama seperti sebelumnya. Komandan bawahannya juga banyak, ngabehi, aria, lurah, bekel, patinggi, dan dua ratus ribu pasukan darat. Bala tentara Majapahit tanpa halangan sampai di Jambi yang merupakan pintu masuk ke Dataran Tinggi Minangkabau melalui sungai besar dan berair dalam yang ada di dataran rendah bagian timur Sumatra.
Alkisah, Majapahit memperoleh kekalahannya disini, pertempuran terjadi di Padang Sibusuk. Orang-orang yang melarikan diri kembali ke Majapahit dalam penderitaan dan tekanan. Berhasil melarikan diri dari Jambi mereka berlayar ke tanah air mereka. Setelah berhari-hari di laut, mereka akhirnya sampai di Majapahit. Mereka pergi ke darat dan menuju ke hadapan raja, dan kepadanya mereka menceritakan keseluruhan cerita dari awal sampai akhir.[9]
Masuknya bangsa Eropa
Pengaruh politik dan ekonomi Aceh yang demikian dominan membuat warga Sumatra Barat tidak senang kepada Aceh. Rasa ketidakpuasan ini akhirnya diungkapkan dengan menerima kedatangan orang Belanda. Namun kehadiran Belanda ini juga membuka lembaran baru sejarah Sumatra Barat. Kedatangan Belanda ke daerah ini menjadikan Sumatra Barat memasuki era kolonialisme dalam arti yang sesungguhnya.
Orang Barat pertama yang datang ke Sumatra Barat adalah seorang pelancong berkebangsaan Prancis yang bernama Jean Parmentier yang datang sekitar tahun 1529. Namun bangsa Barat yang pertama datang dengan tujuan ekonomis dan politis adalah bangsa Belanda. Armada-armada dagang Belanda telah mulai kelihatan di pantai barat Sumatra Barat sejak tahun 1595-1598, di samping bangsa Belanda, bangsa Eropa lainnya yang datang ke Sumatra Barat pada waktu itu juga terdiri dari bangsa Portugis dan Inggris.
Perang Padri
Perang Padri merupakan peristiwa kekerasan yang panjang yang bermula dari tahun 1803. Mulanya perang ini adalah konflik antara suatu kelompok kaum ulama dan pengikutnya, yang disebut kaum Padri, dengan masyarakat yang tidak taat pada ajaran Islam. Kaum ulama ingin menerapkan ajaran Islam sebagaimana mestinya pada masyarakat Minangkabau yang pada masa itu banyak yang menyukai judi, sabung ayam, serta minuman keras. Tidak hanya itu, kaum ulama juga ingin menerapkan hukum Islam dalam masyarakat sebagai pengganti hukum adat yang sudah berlangsung lama. Keinginan kaum ulama ini kemudian mendapatkan tentangan dari kaum adat yang didukung pihak kerajaan Pagaruyung.
Terjadilah konflik berdarah antara kaum Padri dengan kaum adat yang tercatat sebagai konflik atau perang saudara yang dahsyat yang pernah terjadi di Minangkabau. Sejarah juga mencatat peristiwa ini sebagai konflik antara kaum Islam penganut ajaran murni dengan kelompok masyarakat lainnya yang pertama di Asia Tenggara dan merupakan peristiwa satu-satunya di Nusantara.
Rencana besar kaum Padri untuk menerapkan ajaran Islam secara murni tidak hanya terbatas di Minangkabau, tapi juga bergerak ke arah timur atau wilayah Riau dan utara yang mencakup wilayah Mandailing, Angkola, dan Batak Toba di sekitar danau Toba. Militer Padri yang dibentuk oleh Haji Piobang, Haji Sumanik, dan Haji Miskin berkembang dengan pesat. Ketiga ulama tersebut merupakan perwira yang pernah berkarier pada kesatuan Janisary Turki yang terkenal di Timur Tengah pada masanya.
Dengan militer yang kuat, Kaum Padri mencapai banyak kemenangan, baik di Minangkabau maupun dalam invasinya ke arah utara. Dalam tempo yang singkat pasukan Padri menguasai wilayah Mandailing, Angkola, dan wilayah sekitaran danau Toba. Di semua wilayah itu kaum Padri menegakkan ajaran Islam yang murni pada masyarakat yang belum taat dan mengislamkan orang-orang yang masih menganut pagan. Penaklukan ini menimbulkan banyak korban jiwa.
Sementara di Minangkabau kaum Padri berhasil menguasai istana Pagaruyung pada tahun 1815 dan membakarnya. Dalam peristiwa kekerasan ini banyak bangsawan Pagaruyung yang terbunuh. Sultan Arifin Muningsyah yang berhasil selamat karena menyingkir ke wilayah lain kemudian mengajak pihak Belanda pada tahun 1821 untuk membantunya menghadapi kaum Padri. Ajakan ini disetujui Belanda sehingga mengubah peta peperangan menjadi perang antara Kaum Padri lawan Belanda yang beraliansi dengan kaum adat.
Setelah perang berlangsung beberapa lama, kaum adat kemudian merasa dirugikan oleh Belanda, lalu menimbulkan suatu kesadaran untuk bersatu dengan kaum Padri melawan Belanda. Sejak tahun 1833 perang ini berubah menjadi perang orang Minangkabau melawan Belanda. Perang ini berlangsung secara sporadis hingga 1838. Perang tiga episode yang cukup panjang ini berlangsung dari tahun 1803 hingga 1838, dan memakan banyak korban jiwa, baik pemimpin maupun prajurit dari ketiga belah pihak, serta masyarakat biasa. Satu hal monumental yang juga mengiringi ujung peperangan panjang ini adalah runtuh dan hilangnya kerajaan Pagaruyung yang telah berumur hampir 500 tahun sejak pendiriannya pada tahun 1347 oleh Adityawarman.
Perang Belasting
Pada tahun 1908 Belanda menghapus sistem Tanam Paksa dan memberlakukan pajak langsung. Perang Belasting pun meletus.
Gerakan Islam Modernis di Minangkabau
Perlawanan terhadap Belanda di Sumatra Barat pada awal abad ke-20 memiliki warna Islam yang pekat. Dalam hal ini gerakan Islam modernis atau yang lebih dikenal sebagai Kaum Muda sangat besar peranannya.
Ulama-ulama Kaum Muda mendapat pengaruh besar dari modernis Islam di Kairo, yaitu Muhammad Abduh dan Syekh Muhammad Rasyid Ridha, dan juga senior mereka Jamaluddin Al-Afghani. Para pemikir ini punya kecenderungan berpolitik, namun karena pengaruh Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang menjadi guru ulama Kaum Muda generasi pertama mereka umumnya hanya memusatkan perhatian pada dakwah dan pendidikan. Abdullah Ahmad mendirikan majalah Al-Munir (1911-1916), dan beberapa ulama kaum Muda lain seperti H. Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) dan Muhammad Thaib ikut menulis di dalamnya.
Dari majalah ini pemikiran kaum muda semakin disebarkan. Ulama Kaum Muda menantang konsep agama tradisional yang sudah mapan, menentang taqlid buta, dan merangsang sikap kebebasan berpikir. Tulisan dan pidato mereka memicu pertentangan dan perdebatan sengit di ranah Minang.
Tahun 1918 sebagai kelanjutan perguruan agama tradisional Surau Jembatan Besi berdirilah sekolah Sumatra Thawalib. Selain pendirinya H. Abdul Karim Amrullah guru lain yang berpengaruh di sekolah ini adalah Zainuddin Labai el-Yunusiah yang juga mendirikan sekolah Diniyah. Berbeda dengan Sumatra Thawalib yang terutama adalah perguruan agama sekolah Diniyah menekankan pada pengetahuan umum, seperti matematika, ilmu falak, ilmu bumi, kesehatan dan pendidikan. Kedua sekolah ini berhubungan erat.
Banyak tokoh pergerakan atau ulama seperti Ahmad Rasyid Sutan Mansur, Djamaluddin Tamin, H. Dt. Batuah, H.R. Rasuna Said dan Hamka merupakan murid atau pernah mengajar di perguruan di Padang Panjang ini.
Di kedua perguruan ini berkembang berbagai gagasan radikal. Pada dasawarsa 1920-an sebuah gagasan baru mulai menarik hati para murid sekolah Padang Panjang: komunisme. Di Padang Panjang pentolan komunis ini terutama Djamaluddin Tamin dan H. Datuk Batuah. Gagasan baru ini ditentang habis-habisan Haji Rasul yang saat itu menjadi guru besar Sumatra Thawalib.
Gerakan Islam Modernis ini tidak didiamkan saja oleh ulama tradisional. Tahun 1928 ulama tradisional mendirikan Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) untuk mewadahi sekolah Islam Tradisional.
Gerakan Partai Komunis Indonesia
Djamaluddin Tamin sudah bergabung dengan PKI pada 1922. Dalam perjalanan singkat ke Aceh dan Jawa pada tahun 1923 Datuk Batuah bertemu dengan Natar Zainuddin dan Haji Misbach. Agaknya ia terkesan dengan pendapat Haji Misbach yang menyatakan komunisme sesuai dengan Islam. Bersama Djamaluddin Tamin ia menyebarkan pandangan ini dalam koran Pemandangan Islam. Natar Zainuddin kemudian kembali dari Aceh dan menerbitkan koran sendiri bernama Djago-djago. Akhir tahun itu juga Djamaluddin Tamin, Natar Zainuddin dan Dt. Batuah ditangkap Belanda.
Setelah penangkapan tersebut pergerakan komunis malah menjadi-jadi. Tahun 1924 Sekolah Rakyat didirikan di Padang Panjang, meniru model sekolah Tan Malaka di Semarang. Organisasi pemuda Sarikat Rakyat, Barisan Muda, menyebar ke seluruh Sumatra Barat. Dua pusat gerakan komunis lain adalah Silungkang dan Padang. Bila di Padang Panjang gerakan berakar dari sekolah-sekolah di Silungkang pendukung komunis berasal dari kalangan saudagar dan buruh tambang.
Sulaiman Labai, seorang saudagar, mendirikan cabang Sarekat Islam di Silungkang, Sawahlunto pada 1915. Pada tahun 1924 cabang ini diubah menjadi Sarekat Rakyat. Selain itu berdiri juga cabang organisasi pemuda komunis, IPO.
Di Padang basis PKI berasal dari saudagar besar pribumi. Salah satu pendiri PKI cabang Padang adalah Sutan Said Ali, yang sebelumnya menjadi pengurus Sarikat Usaha Padang. Di bawah kepemimpinannya mulai tahun 1923 PKI seksi padang meningkat anggotanya dari hanya 20 orang menjadi 200 orang pada akhir 1925.
Pertumbuhan gerakan komunisme terhenti setelah pemberontakan di Silungkang 1927. Para aktivis komunis ditangkap, baik yang terlibat pemberontakan ataupun tidak. Banyak di antaranya yang dibuang ke Digul.
Sumatra Barat: 1930-an
Merebaknya partai-partai politik
Meskipun komunisme menjadi sangat populer pada dasawarsa 1920-an kaum agama yang tak setuju dengan ideologi baru itu pun tetap berkembang. Awal tahun 1920 berdiri PGAI (Persatuan Guru Agama Islam) dengan tujuan mengumpulkan ulama-ulama di Sumatra Barat. Atas prakarsa H. Abdullah Ahmad tahun 1924 berdirilah sekolah Normal Islam di Padang. Sekolah ini dimaksudkan sebagai sekolah lanjutan, lebih tinggi daripada Sumatra Thawalib yang merupakan sekolah rendah.
Setelah melawat ke Jawa tahun 1925 dan bertemu pemimpin-pemimpin Muhammadiyah di sana Haji Rasul turut mendirikan cabang Muhammadiyah. Pertama di Sungai Batang dan kemudian di Padang Panjang. Organisasi ini dengan cepat menjalar ke seluruh Sumatra Barat.
Muhammadiyah berperan penting dalam menentang pemberlakuan Ordonansi Guru di Sumatra Barat tahun 1928. Dengan ordonansi ini guru agama diwajibkan melapor kepada pemerintah sebelum mengajar. Peraturan ini dipandang mengancam kemerdekaan menyiarkan agama. Sebelumnya Muhammadiyah di Jawa sudah memutuskan meminta ordonansi ini dicabut. Pada tanggal 18 Agustus 1928 diadakanlah rapat umum yang kemudian memutuskan menolak pemberlakuan ordonansi guru.
Meskipun terlibat dalam penolakan Ordonansi Guru, berbeda dengan organisasi komunis seperti Sarikat Rakyat, pada umumnya Muhammadiyah menghindari kegiatan politik. Penumpasan gerakan komunis tahun 1927 menyebabkan banyak anggota Sarekat Rakyat atau simpatisannya berpaling ke Muhammadiyah mencari perlindungan. Para anggota yang lebih radikal ini tidak puas dan kemudian banyak yang keluar untuk aktif dalam Persatuan Sumatra Thawalib. Organisasi ini pada tahun 1930 menjelma menjadi partai politik bernama Persatuan Muslim Indonesia, disingkat Permi. Dengan asas Islam dan kebangsaan (nasionalisme) Permi dengan cepat menjadi partai politik terkuat di Sumatra Barat, dan menyebar ke Aceh, Tapanuli, Riau, Jambi dan Bengkulu. Partai ini menjadi wadah utama paham Islam modernis. Tokoh-tokoh Permi yang terkenal antara lain Rasuna Said, Iljas Jacub, Muchtar Lutfi dan Djalaluddin Thaib.
Partai lain yang juga penting adalah PSII cabang Sumatra Barat yang berdiri tahun 1928, dan PNI Baru. PSII Sumatra Barat seperti Permi sangat kuat sikap anti-penjajahannya. Namun tidak seperti Permi yang berakar dari perguruan agama tokoh-tokoh PSII umumnya berasal dari pemimpin adat.
Cabang PNI Baru di Bukittinggi diresmikan Hatta tak lama setelah kepulangannya dari Belanda tahun 1932. Sebelumnya cabang Padang Panjang sudah didirikan oleh Khatib Sulaiman.
PARI pimpinan Tan Malaka (didirikan di Bangkok 1929) punya pengaruh cukup besar, meskipun anggotanya sendiri tidak banyak. Pengaruh PARI terutama lewat tulisan Tan Malaka yang disebarkan sampai tahun 1936.
Penumpasan
Pada pertengahan 1933 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan larangan berkumpul. Yang menjadi sasaran utama di Sumatra Barat adalah Permi dan PSII. Sementara itu Rasuna Said sudah ditangkap oleh Belanda dan dibuang ke Jawa. Tokoh-tokoh Permi dan PSII awalnya dilarang bepergian, kemudian kedua partai dikenai larangan terbatas dalam mengadakan rapat umum. Pada akhirnya tokoh-tokoh Permi dan PSII ditangkap dan dibuang ke Digul. Permi akhirnya bubar pada 18 Oktober 1937.
Pada saat yang sama di Batavia tokoh-tokoh Partindo dan PNI Baru juga ditangkap. Sukarno diasingkan ke Flores, Hatta dan Sjahrir ke Digul. Pimpinan PNI Baru cabang Sumatra Barat sendiri dibiarkan bebas karena mereka membatasi kegiatan politik partai. Sementara itu tokoh-tokoh PARI berhasil ditahan Belanda yang bekerja sama dengan dinas Intelijen Inggris. Tan Malaka, pimpinannya, lolos.
Pendudukan Jepang
- Lihat pula: Sumatra Barat pada masa pendudukan Jepang
Jepang memasuki Padang pada 17 Maret 1942. Sukarno yang pada saat itu berada di Padang berhasil meyakinkan sebagian besar tokoh-tokoh nasionalis di Sumatra Barat agar mau bekerja sama dengan Jepang.
Tahun 1943 Jepang memerintahkan pendirian Gyu Gun untuk membantu pertahanan. Gyu Gun di Sumatra Barat dipimpin oleh Chatib Sulaiman yang memilih dan merekrut calon perwira dari Sumatra Barat, Riau dan Jambi. Gyu Gun merupakan satu-satunya satuan ketentaraan yang dibentuk Jepang di Sumatra Barat. Tentara Sukarela ini kemudian menjadi inti Divisi Banteng.
Agresi Militer Belanda I dan II
Agresi militer Belanda pertama yang berlangsung dari Juli hingga Agustus 1947 juga menimbulkan korban jiwa di Sumatra Barat. Suatu peristiwa kekerasan yang dilancarkan Belanda di kota Padang akhirnya merenggut nyawa Bagindo Aziz Chan, seorang wali kota Padang yang kukuh mempertahankan wilayahnya dari pelanggaran yang dilakukan pihak Belanda. Bagindo Aziz Chan kemudian dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.
Agresi militer Belanda yang kedua pada Desember 1948 ke Yogyakarta sebagai ibu kota Indonesia berhasil menguasai pusat pemerintahan dan menangkap Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan pemimpin lainnya. Peristiwa ini melumpuhkan pemerintahan Indonesia. Sjafruddin Prawiranegara kemudian membentuk pemerintahan darurat di Sumatra Barat dengan ibu kota Bukittinggi. Ini menjadikan Sumatra Barat sebagai pusat perjuangan melawan Belanda yang berkonsekuensi Sumatra Barat menjadi sasaran utama penyerangan oleh militer Belanda. Terjadilah peperangan dan pengeboman di Sumatra Barat yang dilancarkan pihak Belanda.
Dalam masa ini juga banyak berjatuhan korban, baik dari para pejuang maupun dari masyarakat sipil. Dalam suatu penyerangan oleh Belanda yang kemudian disebut sebagai "Peristiwa Situjuah", para pejuang kehilangan beberapa pemimpin dan puluhan pasukan pengawal, di antaranya Khatib Sulaiman, Arisun Sutan Alamsyah, Munir Latief, dan lainnya.
Referensi
- ^ Slamet Muljana, 2006, Sriwijaya, Yogyakarta: LKIS.
- ^ Poesponegoro, Marwati Djoened, Nugroho Notosusanto; Sejarah Nasional Indonesia II; 2008, Jakarta: Balai Pustaka
- ^ N.J. Krom, Hindoe-Javaansche geschiedenis, 1931
- ^ R. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2, 1973, Jakarta: Kanisius
- ^ Dr. Boechari, An Old Malay Inscription of Srivijaya at Palas Pasemah (South Lampung). In Pra Seminar Penelitian Sriwijaya, 1979, Jakarta: Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional
- ^ Arman, Dedi (23 Oktober 2017). "Undang-Undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu Tertua di Dunia". Balai Pelestarian Nilai Budaya Kepulauan Riau. Diakses tanggal 25 September 2022.
- ^ Casparis, J.G. (1990). "An ancient garden in West Sumatra". Kalpataru (9): 40–49.
- ^ Kozok, U. (2006). Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. ISBN 979-461-603-6.
- ^ Hadler, Jeffrey (2010). "Sengketa Tiada Putus"[pranala nonaktif permanen] Freedom Institute. hlm. 16–21. ISBN 978-979-19466-5-0.
Bacaan lanjutan
- (Indonesia) Kahin, Audrey (2005). Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatra Barat dan Politik Indonesia 1926-1998. Yayasan Obor Indonesia. ISBN 979-461-519-6.
- (Indonesia) Alam Takambang jadi Guru, A.A. Navis, 1984
- (Indonesia) Historiografi Minangkabau