Dinasti Qing

dinasti pimpinan Manchu di Tiongkok (1644–1912)

Dinasti Qing (Hanzi: 清朝; Hanyu Pinyin: Qīng Chao, 1636-1912/1917M) juga dikenal sebagai Dinasti Manchu Atau Kekaisaran Qing adalah salah satu dari dua dinasti asing yang memerintah di Tiongkok setelah Dinasti Yuan Mongol dan juga merupakan dinasti yang terakhir berkuasa di Tiongkok. Asing dalam arti adalah sebuah dinasti pemerintahan non-Han yang dianggap sebagai entitas Tiongkok pada zaman dulu. Dinasti ini didirikan oleh orang Manchuria dari klan Aisin Gioro (Hanyu Pinyin: Aixinjueluo), kemudian mengadopsi tata cara pemerintahan dinasti sebelumnya serta meleburkan diri ke dalam entitas Tiongkok itu sendiri.

Qing Raya

大清
1636–1912/1917
Lagu kebangsaan《鞏金甌》
"Gong Jin'ou"
(bahasa Indonesia: "Piala Emas Murni")
(1911–1912)
Qing Raya pada tahun 1760.Wilayah di bawah kendalinya ditampilkan dalam warna hijau tua; wilayah yang diklaim tetapi tidak di bawah kendalinya ditunjukkan dengan warna hijau muda
Qing Raya pada tahun 1760.Wilayah di bawah kendalinya ditampilkan dalam warna hijau tua; wilayah yang diklaim tetapi tidak di bawah kendalinya ditunjukkan dengan warna hijau muda
Perluasan Qing sekitar tahun 1820
Perluasan Qing sekitar tahun 1820
Ibu kotaShenyang (1636–1644)
Beijing (1644–1912)
Bahasa yang umum digunakanMandarin, Manchu, Mongolia, Tibet, Chagatai,[1] sejumlah bahasa daerah dan Varian Tionghoa lainnya
Agama
Pemujaan surga, Buddhisme, Kepercayaan tradisional, Konfusianisme, Taoisme, Islam, Kristen, Shamanisme, dll
PemerintahanMonarki absolut
Kaisar (Huángdì) 
• 1636–1643
Hong Taiji
• 1644–1661
Fulin
• 1661–1722
Xuanye
• 1722–1735
Yinzhen
• 1735–1796
Hongli
• 1796–1820
Yongyan
• 1820–1850
Minning
• 1850–1861
Yizhu
• 1861–1875
Zaichun
• 1875–1908
Zaitian
• 1908–1912/1917
Puyi
Pemangku raja 
• 1643–1650
Dorgon
• 1908–1912
Longyu bersama Zaifeng
Perdana Menteri 
• 1911
Yikuang
• 1911–1912
Yuan Shikai
Era SejarahZaman kekaisaran
• Nama negara diubah menjadi "Daqing"
1636
1644-1662
1839-1842
1856-1860
1 Augustus 1894–17 April 1895
10 Oktober 1911
12 Februari 1912/1917
Luas
1760 (termasuk vasal)[2]13.150.000 km2 (5.080.000 sq mi)
Populasi
• 1740
140000000
• 1776
268238000
• 1790
301000000
Mata uangKas (wén), Tael (liǎng)
Didahului oleh
Digantikan oleh
Jin Akhir
dnsDinasti
Ming
Republik Tiongkok
Bogd Mongolia
Tibet
Sekarang bagian dari4 Negara
 Tiongkok
 Mongolia
 Taiwan
 Russia
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Bendera

 
Banner Partai Royalis yang mengadopsi bendera nasional dinasti Qing

Sejarah

Pembentukan Negara Jin

Setelah melepaskan diri dari pengaruh Dinasti Ming yang kian melemah, Aisin Gioro Nurhachi (Pinyin: Nǔ'ěrhāchì 努爾哈赤)

Jatuhnya dinasti Ming

 
Kaisar Kangxi

Keadaan negara Ming saat itu kacau balau terutama setelah gerombolan pemberontak yang dipimpin Li Zicheng berhasil memasuki dan merebut ibu kota, Beijing. Kaisar dinasti Ming yang terakhir, Chongzhen bunuh diri dengan gantung diri setelah membunuh seluruh keluarga kerajaan untuk menghindari tertangkap oleh para pemberontak. Dinasti Ming secara resmi berakhir. Li Zicheng mendirikan dinasti Shun dengan Xi'an sebagai ibu kota. Wu Sangui, jendral dinasti Ming yang menjaga gerbang Shanhai menolak bergabung dengan Li Zicheng dan meminta bantuan bangsa Manchu di bawah pimpinan pangeran wali Duo'ergun. Kesempatan ini diambil oleh pasukan-pasukan delapan bendera dinasti Qing untuk mengambil alih Beijing dan bergerak ke selatan. Jendral Wu Sangui membuka gerbang tembok besar dan pasukan delapan bendera dinasti Qing berhasil merebut Beijing dari Li Zicheng. Pada tahun 1644 pangeran Duo'ergun menyatakan dinasti Qing dengan kaisarnya Shunzhi menjadi pengganti dan pewaris dinasti Ming dan mandat langit telah beralih dari dinasti Ming kepada dinasti Qing. Dengan bantuan jendral-jendral dinasti Ming yang membelot ke dinasti Qing seperti Wu Sangui, Hong Chengchou, Kong Youde, Shang Kexi, Shi Lang, dan lain-lain, pasukan delapan bendera bangsa Manchu bergerak ke selatan menghabisi sisa-sisa dinasti Ming yang mendirikan tahta baru di selatan ('dinasti Ming selatan'). Baru pada tahun 1664 dinasti Qing benar-benar telah mengambil alih seluruh daratan Tiongkok. Di bawah pemerintahan Kaisar Kangxi, pulau Taiwan akhirnya berhasil direbut dari sisa pasukan yang setia kepada dinasti Ming pada tahun 1683.

Dinasti Qing terkenal dengan kebijakannya yang tidak populer di kalangan bangsa Han dengan memaksa mereka menuruti cara berpakaian dan gaya rambut bangsa Manchu. Gaya rambut bangsa Manchu yang mencukur rambut bagian depan dan mengepang rambut bagian belakang dianggap penghinaan oleh bangsa Han, yang menganggap rambut adalah turunan yang didapatkan dari leluhur. Di zaman tersebut, bagi orang Han yang tidak mematuhi peraturan tersebut akan menghadapi hukuman penggal. Satu istilah yang populer pada zaman tersebut adalah ingin kepala, potong rambut; ingin rambut, potong kepala. Di bidang pemerintahan, dinasti Qing mengadopsi cara-cara dari dinasti Ming terutama anutan Konghucu. Walaupun pada awalnya pembauran antara bangsa Han dan Manchu dilarang untuk mempertahankan budaya dan ciri bangsa Manchu, pada akhir abad ke 19 bangsa Manchu sudah sangat membaur dengan bangsa Han dan kehilangan banyak identitas mereka, contohnya bahasa Manchu yang lama kelamaan digantikan hampir sepenuhnya dengan bahasa Mandarin, bahkan dalam lingkungan keluarga kerajaan.

Masa keemasan

Dinasti Qing mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Kaisar Kangxi (memerintah 1662 - 1722), Yongzheng (1723 - 1735) dan Qianlong (1735 - 1796).

 
Peta pengaruh Dinasti Qing

Pada tahun 1661 kaisar Shunzhi meninggal pada usia 24 tahun dan digantikan oleh putra keempatnya, Aixinjueluo Xuanyue sebagai Kaisar Kangxi. Pada masa awal pemerintahannya, Kaisar Kangxi dibantu oleh 4 Menteri Wali dan dibina oleh neneknya, Ibusuri Xiaozhuang. Pada tahun 1669, Kaisar Kangxi berhasil menggagalkan rencana salah satu Menteri Walinya, Aobai yang ingin memberontak. Ia juga berhasil meredam Pemberontakan Tiga Raja Muda (salah satunya adalah Wu Sangui, yang diberi wilayah dan gelar pangeran karena jasanya) dan pemberontakan suku-suku dari Mongolia. Taiwan yang dikuasai keluarga Zheng yang setia pada dinasti Ming, berhasil dikuasai pada tahun 1683. Perjanjian perbatasan dengan Rusia juga dibuat pada tahun 1689.

Sepeninggal Kaisar Kangxi pada tahun 1722, putranya yang keempat pangeran Yong (terlahir Aixinjueluo Yinzhen) naik tahta sebagai Yongzheng. Pemerintahannya diwarnai dengan sengketa antara pangeran, yang merasa naiknya Kaisar Yongzheng adalah rekayasa. Kaisar Yongzheng dikenal sebagai kaisar yang pekerja keras. Pada masa pemerintahannya ekonomi negara Qing menguat.

Pangeran Bao (Aixinjueluo Hongli) menggantikan ayahnya dengan era Qianlong pada tahun 1735. Pada masa pemerintahannya wilayah Qing Raya diperluas oleh kesuksesan Kampanye-kampanye Militernya yang dikenal sebagai Sepuluh Kampanye Besar. Sayangnya masa-masa akhir pemerintahannya tercemar oleh praktik korupsi oleh para pejabat, salah satunya oleh menteri kesayangannya Heshen. Demi menunjukkan baktinya pada kakeknya kaisar Kangxi, kaisar Qianlong turun tahta, dan menyerahkan tahta pada putranya yang kelimabelas Pangeran Jia (Aixinjueluo Yongyan). Pangeran Jia menjadi Kaisar Jiaqing dan ia sendiri menjadi kaisar emeritus (Taishanghuang) tetapi tetap memegang kendali pemerintahan sampai meninggal. Sepeninggal ayahnya, Kaisar Jiaqing kemudian mengeksekusi Heshen dengan tuduhan korupsi dan menyita kekayaannya.

Korupsi yang mulai merajalela dalam pemerintahan pada masa akhir kaisar Qianlong, menandakan mulai melemahnya dinasti Qing.

Pemberontakan dan imperialisme Barat

Kehadiran bangsa barat pada awal abad ke-18 menggerogoti kekuasaan bangsa Manchu. Berbagai pemberontakan suku Han yang berniat menggulingkan dinasti Qing dan memulihkan dinasti Ming terjadi dalam berbagai skala. Namun salah satu pemberontakan besar adalah pemberontakan Taiping yang menjadikan Nanjing sebagai ibu kota. Perang Candu yang diakhiri dengan kekalahan juga membawa ketidakpuasan di kalangan bangsa Han terhadap bangsa Manchu.

Perang Candu I (1838), berujung pada kekalahan dinasti Qing yang memalukan pada tahun 1842. Perjanjian Nanjing berdampak pada diserahkannya Hong Kong kepada Inggris dan dibukanya pelabuhan-pelabuhan Tiongkok pada bangsa barat.

Pemerintahan di balik tirai

Setelah kekalahan Tiongkok dalam perang Tiongkok-Jepang (1894-1895) Kaisar Guangxu (memerintah 1875 - 1908) akhirnya memutuskan untuk melakukan pembaharuan / reformasi. Reformasi Seratus Hari tahun 1898 yang dilakukan oleh kaisar Guangxu banyak ditentang oleh kalangan konservatif. Dibawah pimpinan Ibu Suri Cixi (janda kaisar Xianfeng, ibu angkat kaisar Guangxu), mereka mengadakan kudeta yang mengakibatkan mundurnya kekuasaan kaisar Guangxu. Pada awalnya, kaisar Guangxu meminta kepada Yuan Shikai, seorang panglima perang, agar memberikan bantuan militer untuk melawan kudeta yang dipimpin oleh Ibu Suri Cixi. Namun, Yuan Shikai memilih untuk memihak Ibu Suri Cixi sehingga menimbulkan dendam yang dalam pada kaisar Guangxu terhadapnya. Mulai saat itu, Ibu Suri Cixi yang sudah berhenti menjadi wali kaisar Kaisar Guangxu kembali berkuasa, dan reformasi pun terhenti. Pada tahun 1901 Ibu Suri Cixi mendukung pemberontakan Boxer untuk mengusir bangsa barat dan menyatakan perang terhadap 8 negara asing. Gabungan delapan negara berhasil merebut Beijing sehingga Ibu Suri, Kaisar, dan keluarga kerajaan harus lari ke Xi'an. Walaupun gabungan delapan negara pada awalnya menghendaki Ibu Suri Cixi dihukum mati, berkat diplomasi dari Li Hongzhang (panglima tentara Beiyang, yang sepeninggalnya menyerahkan tentara Beiyang di bawah pimpinan Yuan Shikai) ia selamat walaupun Tiongkok harus membayar ganti rugi yang sangat besar. Kembalinya ke Beijing, Ibu Suri Cixi akhirnya setuju dengan reformasi walaupun terlambat. Pihak kekaisaran Qing mengumumkan bahwa kekaisaran akan secara bertahap diubah menjadi monarki konstitusional, namun pihak nasionalis menganggap pemerintah Qing tidak mempunyai iktikad baik untuk mengimplementasikannya.

Jatuhnya dinasti

 
Yuan Shikai

Pada tahun 1908, Kaisar Guangxu dan Ibu Suri Cixi wafat pada saat yang bersamaan dan takhta diserahkan kepada keponakan kaisar Guangxu, Aixinjueluo Puyi yang berumur 3 tahun dengan ayahnya Pangeran Chun sebagai pangeran wali. Pangeran Chun berniat membunuh Yuan Shikai sesuai wasiat kaisar Guangxu, namun digagalkan oleh Zhang Zhidong dengan alasan membunuh Yuan dapat mengakibatkan pemberontakan tentara Beiyang. Karena kekuatan militer tentara Beiyang yang dipimpin Yuan Shikai cukup besar, Yuan dipanggil lagi untuk memerangi kekuatan nasionalis di selatan yang dipimpin oleh Dr. Sun Yat-Sen. Pemberontakan di Wuchang pada 10 Oktober 1911, menghasilkan kemenangan bagi kelompok nasionalis, yang mengakibatkan didirikannya Republik Tiongkok di selatan dengan Nanjing sebagai ibu kota dan Sun Yat-Sen (Sun Zhongshan) sebagai kepala sementara. Sejak saat itu berbagai provinsi di selatan menyatakan lepas dari dinasti Qing untuk bergabung dengan Republik.

Yuan menyingkirkan pangeran Chun dan membuat kabinet yang isinya adalah kroni-kroninya dengan Yuan sendiri sebagai Perdana Menteri. Namun Yuan berhubungan dengan Sun untuk kepentingan pribadinya. Sun setuju untuk menyerahkan tampuk kepresidenan untuk Yuan bila ia setuju untuk memaksa Kaisar Xuantong (Puyi) turun takhta.

Pada tahun 1912, Yuan Shikai memaksa Ibu Suri Longyu (janda kaisar Guangxu) untuk menurunkan maklumat turun takhtanya kaisar Xuantong/Puyi. Pihak republik berjanji untuk membiarkan Kaisar Puyi tetap menempati sebagian kota terlarang dan mempertahankan gelar Kaisar, walaupun hanya akan dihormati seperti layaknya Kaisar negara asing. Dinasti Qing pun berakhir pada 13 Februari 1912.

Wilayah

 
Dinasti Qing pada tahun 1820.

Luas wilayah Dinasti Qing pada masa puncaknya pernah mencapai 12 juta kilometer persegi. Pada akhir abad ke-16, Ketsaran Rusia mengadakan ekspansi ke timur. Pada waktu tentara Dinasti Qing menyerbu masuk ke pedalaman, pasukan Ketsaran Rusia dengan menggunakan kesempatan itu menduduki Yaksa dan Nibuchu. Pemerintah Dinasti Qing berkali-kali menuntut agresor Ketsaran Rusia menarik diri dari wilayah Tiongkok. Tahun 1685 dan 1686, Kaisar Kangxi memerintahkan tentara Dinasti Qing dua kali menyerbu pasukan Ketsaran Rusia di Yaksa. Ketentaraan Rusia terpaksa menyetujui mengadakan perundingan untuk menyelesaikan masalah perbatasan sektor timur Tiongkok-Rusia. Tahun 1689, wakil-wakil Tiongkok dan Rusia mengadakan perundingan di Nichersink. Secara resmi menandatangani perjanjian perbatasan pertama, yaitu Perjanjian Nibuchu.

Sosial budaya dan agama

 
Gaya rambut kepang pria Qing (taucang)

Dalam pemerintahan Dinasti Qing mempunyai kebudayaan yang unik, yang mana kebudayaan tersebut mengikuti kebudayaan masyarakat Manchu. Masyarakat Manchu memiliki gaya rambut yang istimewa. Mereka menggunting semua rambut di bagian depan kepala dan menjadikan rambut di bagian belakang kepala sebagai tocang yang panjang. Akan tetapi hal tersebut menjadi sebuah perdebatan, sebab sangatlah menghina kaum bangsa Han, yang mana bangsa mereka sangatlah menjunjung atau menganggap bahwa rambut adalah suatu turunan dari leluhur yang memang patut untuk dilestarikan.

Dalam hal arsitektur, pemerintahan Qing pada umumnya mewarisi tradisi dari Dinasti Ming, yang mana mereka beranggapan bahwa bangunan adalah sesuatu hal yang penting dalam teknologi pembinaan dan kemegahannya. Beijing, ibunegara Dinasti Qing telah memelihara pada asasnya keadaan asalnya daripada Dinasti Ming. Di dalam kota terdapat 20 buah gerbang yang tinggi dan megah, gerbang yang paling megah ialah Gerbang Zhengyang di dalam kota. Istana kekaisaran Dinasti Ming telah digunakan terus oleh Kaisar Dinasti Qing, sehingga Kaisar Dinasti Qing telah membina besar-besaran taman kekaisaran antaranya Taman Yuanmingyuan dan Taman Yihe.

 
Rumah seorang pedagang Qing, Hanzou

Dalam periode itu pembinaan Tiongkok juga telah menggunakan kaca dari luar negara. Selain itu, rumah penduduk yang bergaya bebas dan beraneka ragam telah banyak digunakan. Bangunan Agama Budhha Tibet yang bergaya unik telah banyak digunakan dalam period tersebut. Bahkan bangunan kuil telah mereka perbarui. Mereka telah menciptakan seni bangunan yang beraneka ragam, contohnya adalah bangunan Kuil Yonghe dan beberapa kuil agama Budha Tibet yang digunakan di Chengde, Provinsi Hebei Tiongkok. Pada periode akhir Dinasti Qing, bangunan yang dibina dengan seni bina Tiongkok dengan barat juga telah digunakan di Tiongkok.

Dinasti Qing juga mengadopsi cara-cara dari dinasti Ming terutama anutan Konghucu. Walaupun pada awalnya pembauran antara bangsa Han dan Man dilarang untuk mempertahankan budaya dan ciri bangsa Manchu, pada akhir abad ke 19 bangsa Manchu sudah sangat membaur dengan bangsa Han dan kehilangan banyak identitas mereka, contohnya bahasa Manchu yang lama kelamaan digantikan hampir sepenuhnya dengan bahasa Mandarin, bahkan dalam lingkungan keluarga kerajaan.

Bahkan pakaian Tiongkok tradisional atau yang sering disebut Hanfu, juga digantikan dengan pakaian gaya Manchu, yaitu Qipao (pakaian akar panji panji) dan Tangzhuang. Budaya tersebut harus diikuti oleh rakyat Tiongkok. Dan apabila ada rakyat Tiongkok yang tidak menggunakannya maka akan dikenakan hukuman. Dan hukuman bagi yang tidak mematuhi undang-undang itu adalah hukuman mati.

Hubungan luar negeri

Pada masa Dinasti Qing, pemerintah tetap menjunjung kebijakan pengembangan pertanian sebagai kebijakan pokoknya, tetapi dalam hubungan dengan luar negeri, Dinasti Qing sangat terisolasi karena cenderung menutup diri.

Setelah masa pertengahan, berbagai kontradiksi masyarakat Dinasti Qing mulai meruncing, sementara itu perjuangan pemberontakan juga kerap kali terjadi, di antaranya pemberontakan Balianjiao mengakhiri masa emas pemerintahan Dinasti Qing.

Tokoh

Pada masa dinasti KangXi terdapat beberapa pejabat setia:

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Elliott (2001), hlm. 290–291.
  2. ^ Turchin, Peter; Adams, Jonathan M.; Hall, Thomas D. (December 2006). "East-West Orientation of Historical Empires" (PDF). Journal of world-systems research. 12 (2): 219–229. ISSN 1076-156X. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2007-02-22. Diakses tanggal 12 August 2010. 

Pranala luar