Astana Pajimatan Himagiri

bangunan kuil di Indonesia
Revisi sejak 12 Desember 2022 02.04 oleh Mosmota (bicara | kontrib)

Astana Pajimatan Himagiri (bahasa Jawa: ꦥꦱꦫꦺꦪꦤ꧀ꦢꦊꦩ꧀ꦥꦫꦤꦠ ꦲꦱꦠꦤꦥꦗꦶꦩꦠꦤ꧀ꦲꦶꦩꦓꦶꦫꦶ, translit. Pasaréan Dalêm Para Nata Astana Pajimatan Himagiri) adalah kompleks pemakaman yang berlokasi di Kalurahan Wukirsari, Kapanewon Imogiri, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.[1] Kompleks pemakaman ini merupakan tempat pemakaman bagi penguasa monarki dari wangsa Mataram beserta keluarga dan kerabatnya.

Astana Pajimatan Himagiri
  • ꦥꦱꦫꦺꦪꦤ꧀ꦢꦊꦩ꧀ꦥꦫꦤꦠ ꦲꦱꦠꦤꦥꦗꦶꦩꦠꦤ꧀ꦲꦶꦩꦓꦶꦫꦶ
  • Pasarean Dalem Para Nata Astana Pajimatan Himagiri
Astana Pajimatan Himagiri berada di Bukit Merak ca 1890
Peta
Details
Didirikan1632
Lokasi
NegaraIndonesia
JenisMakam kerajaan
GayaMakam berteras
PemilikKesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta
Cagar budaya Indonesia
Kompleks Makam Imogiri
Peringkatn/a
KategoriSitus
No. RegnasCB.1449
Lokasi
keberadaan
Kalurahan Wukirsari, Kapanewon Imogiri, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta
No. SKSK Menteri PM.89/PW.007/MKP/2011
Tanggal SK17 Oktober 2011
Koordinat7°55′13″S 110°23′45″E / 7.920163°S 110.395828°E / -7.920163; 110.395828
Astana Pajimatan Himagiri di Kabupaten Bantul
Astana Pajimatan Himagiri
Astana Pajimatan Himagiri
Lokasi Astana Pajimatan Himagiri di Kabupaten Bantul
Astana Pajimatan Himagiri di Jawa
Astana Pajimatan Himagiri
Lokasi Astana Pajimatan Himagiri di Kabupaten Bantul
Nama sebagaimana tercantum dalam
Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya

Terminologi

Nama "Astana Pajimatan Himagiri" terdiri dari tiga kata yaitu: astana (Sanskerta: sthāna berarti "tempat")[2], pajimatan (Jawa: pajimatan berarti "penyakralan")[3] dan himagiri yang berarti "gunung berkabut".[4]

Himagiri diambil dari bahasa Sanskerta hima dan giri (hima berarti "salju/kabut" dan giri berarti "gunung/bukit").[4] Himagiri juga dipadankan dengan nama lain untuk Himalaya. Dengan demikian Astana Pajimatan Himagiri bermakna sebagai "tempat penyakralan gunung berkabut".

Pemakaman kerajaan terdahulu berada di Pasarean Mataram. Sedangkan Astana Pajimatan Himagiri dibangun di atas bukit Merak oleh Sultan Agung pada dekade keempat abad ke-17, pembangunannya dimulai pada tahun 1632.[5]

Pembangunan kompleks Astana Pajimatan Himagiri dipimpin oleh Tumenggung Citrakusuma, arsitekturnya merupakan perpaduan budaya Jawa-Islam. Struktur bangunan yang berada di area pemakaman merupakan ciri utama arsitektur Jawa pra-Islam. Kompleks pemakaman ini terletak di sebuah bukit yang bernama Merak dengan ketinggian sekitar 100 meter di atas permukaan laut.[6]

Sebelum membangun pemakaman baru di bukit Merak, Sultan Agung awalnya memerintahkan membangun kembali pemakaman di Girilaya, yang merupakan tempat pemakaman keluarganya. Orang yang dipercaya untuk membangun pemakaman tersebut adalah Panembahan Juminah yang merupakan paman Sultan Agung. Setelah pembangunan tersebut selesai, Panembahan Juminah wafat. Untuk menghormati jasanya, maka Sultan Agung memerintahkan agar pamannya dimakamkan di Girilaya.[7]

Adapun tokoh yang dimakamkan di Girilaya adalah Ki Ageng Giring, Ki Ageng Sentong, Panembahan Girilaya (mertua Sultan Agung), Dyah Banawati (ibu Sultan Agung) dan Panembahan Juminah (paman Sultan Agung).[8] Oleh karena Girilaya telah digunakan sebagai tempat pemakaman keluarga, Sultan Agung berencana membangun pemakaman untuk keturunannya di bukit Merak yang berada di selatan Girilaya.[9]

Pemilihan bukit Merak sebagai lokasi pemakaman tidak dapat dilepaskan dari konsep masyarakat Jawa yang memandang gunung dan bukit atau dataran yang lebih tinggi sebagai suatu tempat yang sakral dan menjadi penghubung manusia kepada tuhan. Bukit Merak dipercaya memiliki kekuatan magis dan sakral.[10] Hal tersebut sebagai konstruksi intelektual yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan manusia terhadap hal-hal yang bersifat religius.[11]

Sultan Agung wafat pada tahun 1646 dan menjadi raja pertama yang dimakamkan di Astana Pajimatan Himagiri, kemudian penerus wangsa Mataram dan keturunannya juga turut dimakamkan di sini.[12] Hingga pasca Perjanjian Giyanti pada tahun 1755, yang membagi Mataram menjadi Surakarta dan Yogyakarta, maka raja, keluarga dan kerabatnya dimakamkan di Astana Pajimatan Himagiri. Di sisi barat menjadi lokasi pemakaman raja-raja dari Surakarta, sedangkan di sisi timur menjadi lokasi pemakaman raja-raja dari Yogyakarta.[13]

Astana Pajimatan Himagiri termasuk jaringan tradisi ziarah masyarakat Jawa ke lokasi makam-makam leluhur. Hal ini menjadikan pemakaman ini sebagai salah satu destinasi utama wisata religi yang umum dilakukan oleh masyarakat Jawa.[14] Kompleks pemakaman ini dikelola oleh Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta dengan menempatkan para abdi dalem yang menjaga pemakaman dan dikelola secara bersama.[13]

Tata letak

Area pemakaman di Astana Pajimatan Himagiri dibagi menjadi tiga kompleks utama; kompleks makam raja-raja Mataram berada di sisi utara paling atas, kompleks makam raja-raja Surakarta berada di sisi barat dan kompleks makam raja-raja Yogyakarta berada di sisi timur. Di kompleks makam raja-raja Mataram terdapat dua bagian yaitu Astana Kasultanagungan dan Astana Pakubuwanan. Di kompleks makam raja-raja Surakarta terdapat tiga bagian yaitu Astana Kaswargan, Astana Kapingsangan dan Astana Girimulya. Di kompleks makam raja-raja Yogyakarta terdapat tiga bagian yaitu Astana Kaswargan, Astana Besiyaran dan Astana Saptarengga.[13]

Di area pemakaman ini juga terdapat lokasi makam seorang pengkhianat, bernama Tumenggung Endranata dengan makam di tiga bagian yang terpisah; di beberapa bagian dari ke-409 anak tangga, di sekitar Gapura Supit Urang dan di kolam sisi kanannya. Tumenggung Endranata sendiri disebut berkhianat karena membocorkan rencana penyerbuan di Batavia.[15]

Berkaitan dengan Tumenggung Endranata, sejarawan de Graaf mendeskripsikannya sebagai seorang pengkhianat namun bukan dalam konteks penyerbuan Mataram di Batavia. Ia dihukum mati setelah selesainya pemberontakan Adipati Pragola II. Alasan dari penjatuhan hukuman mati tersebut karena janda Adipati Pragola II melapor kepada Sultan Agung bahwa Tumenggung Endranata sesungguhnya menjadi penghasut dalam konflik pemberontakan Adipati Pragola II.[12]

Makam raja-raja

Sebelum memasuki areal permakaman terdapat Gapura Supit Urang, Pendopo Supit Urang, Tempat Juru Kunci dan 4 Tempayan Suci. Areal makam raja dibagi menjadi tiga daerah, yaitu:

Astana Kasultan Agungan

Di sini dimakamkan

Sebelum memasuki makam Sultan Agung terdapat tiga gapura yang melambangkan tiga tahapan hidup manusia, yaitu: alam rahim, alam duniawi, dan alam kubur. Gerbang pertama bercorak bangunan hindu yang terbuat dari susunan batu bata merah tanpa semen dengan bentuk Candi Bentar dan diberinama Gapura Supit Urang. Di bagian dalam gerbang pertama terdapat dua buah paseban yang berada di sisi Barat dan Timur gerbang.

Wilayah makam raja-raja Surakarta

Wilayah makam raja Surakarta Hadiningrat dibagi menjadi empat hastana dan di sini dimakamkan raja-raja dari Kasunanan Surakarta Hadiningrat, yaitu:

Wilayah makam raja-raja Ngayogyakarta

Wilayah makam raja Ngayogyakarta Hadiningrat dibagi menjadi 3 hastana dan di sini dimakamkan raja-raja dari Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat, yaitu:

Peninggalan Sultan Agung

Di Permakaman Imogiri ini juga terdapat peninggalan-peninggalan Sultan Agung yang bertuah dan menarik wisatawan untuk datang ke tempat ini. Peninggalan-peninggalan tersebut yaitu:

  • Air Suci dari Empat Tempayan
  • Cincin Kayu yang terbuat dari tongkat Sultan Agung
  • Daun Tujuh Macam

Air suci empat tempayan

Sebelum memasuki areal makam Sultan Agung, terdapat empat buah tempayan yang berada di atas gerbang kedua. Tempayan-tempayan ini merupakan pemberian dari empat kerajaan kepada Sultan Agung.

Oleh Sultan Agung, keempat tempayan ini diisi air yang dipergunakan untuk berwudhu. Air dari keempat tempayan tersebut disebut air suci dan memiliki khasiat yang dapat memberi kekuatan dan sarana pengobatan. Pada awalnya tidak sembarang orang yang dapat meminum air dari tempayan-tempayan tersebut. Saat terjadinya Serangan Umum 1 Maret di Yogyakarta, Presiden Soekarno mengirimkan surat kepada Sri Sultan Hamengkubuwana IX agar prajurit TNI yang bertempur di Yogyakarta diperbolehkan untuk meminum air suci tempayan tersebut. Sultan memperbolehkan para prajurit untuk meminum air tersebut. Usai meminum air tersebut, kekuatan prajurit bertambah sehingga dapat memenangkan pertempuran melawan Belanda.

Saat ini, masyarakat umum dapat diperbolehkan meminum air suci dari tempayan tersebut melalui juru kunci makam. Air ini bisa diambil selama masih ada air yang tersisa di dalam tempayan tersebut, karena tidak sembarang hari tempayan-tempayan ini dapat diisi air. Upacara khusus untuk mengisi keempat tempayan ini dengan air yang dilakukan setahun sekali dinamakan Nguras Enceh. Upacara ini dilaksanakan setiap Jumat Kliwon di bulan Sura (Muharam). Jika di bulan tersebut tidak ada hari Jumat Kliwon, maka upacara pengisian air ini dapat dilaksanakan pada hari Selasa Kliwon. Bagi yang mempunyai kepercayaan (percaya), air tersebut dapat menjadi sarana tolak bala serta dapat digunakan sebagai perantara untuk mengobati berbagai penyakit. Bagi pengunjung yang ingin mengambil air suci dan membawanya pulang, diperbolehan dengan beberapa syarat. Syarat-syarat tersebut, yaitu:

  • Pertama, yang membawa air tersebut harus menyimpannya dengan baik.
  • Kedua, sebelum diminum harus membaca Surah Al-Fatihah dan Surah Al-Ikhlas masing-masing tiga kali untuk Sultan Agung.
  • Ketiga, jika ingin membawanya pulang, pengunjung diminta memberikan sumbangan seikhlasnya (Uang sumbangan ini digunakan untuk membantu pembiayaan upacara Nguras Enceh).

Air suci tersebut jika dibawa pulang, khasiatnya dapat bertahan selama satu tahun, terhitung sejak diambil dari tempayan. Air suci tersebut dapat dicampur, namun harus menggunakan air mentah. Karena, jika dicampur dengan air yang sudah dimasak, khasiat dari air suci ini akan hilang.

Cincin kayu

Kayu berbentuk cincin tersebut berasal dari tongkat Sultan Agung yang ditanam lalu berubah menjadi pohon yang besar. Pohon itu ditebang dan kayunya dibuat menjadi cincin. Jika ingin membawa pulang cincin tersebut, pengunjung harus dites terlebih dahulu, apakah kayu tersebut mau mengikuti pengunjung yang ingin membawa pulang cincin tersebut atau tidak. Kayu berbentuk cincin tersebut akan ditaruh di air. Jika tenggelam, maka pertanda bahwa cincin tersebut mau mengikuti pengunjung. Kayu ini, konon sangat berkhasiat bagi pemiliknya.

Daun tujuh macam

Daun ini bisa digunakan sebagai pengobatan bagi suami-istri yang sudah lama menikah namun tidak punya anak.

Jadwal

Berkas:Jadwal Imogiri.jpg

Makam Imogiri dibuka setiap:

  • Hari Jumat, Mulai pukul 13.00.
  • Hari Senin, mulai pukul 10.00.
  • Hari Minggu, mulai pukul 10.00.
  • Tanggal 1 dan 8 bulan Syawal, mulai pukul 10.00.
  • Tanggal 10 bulan Besar, mulai pukul 10.00.

Pada bulan Puasa dan hari besar agama Islam, Makam Imogiri ditutup untuk umum.

Tata cara berpakaian

Ada tata cara berpakaian tertentu yang harus dilakukan ketika ingin memasuki kompleks makam di bagian dalam. Jika tidak menaati aturan tersebut, maka pengunjung hanya diperbolehkan sampai pintu gerbang pertama. Pengunjung wanita yang ingin memasuki makam di bagian dalam harus pakai pakaian tradisional Jawa (bebas gaya Surakarta atau Yogyakarta) atau mengenakan kain jarik, kemben, dan melepas jilbab serta semua perhiasan. Sementara itu, pengunjung pria yang ingin memasuki kompleks makam di bagian dalam harus mengenakan kain jarik, baju peranakan, dan blangkon.[16]

Referensi

  1. ^ Kemendikbudristek (2022), Kompleks Makam Imogiri, kemdikbud.go.id, diakses tanggal 20 April 2022 
  2. ^ Turner, Ralph Lilley (1969–1985), "sthāna" (dalam bahasa Inggris), A Comparative Dictionary of the Indo-Aryan Languages, Oxford University Press, diakses tanggal 5 Februari 2022 
  3. ^ Poerwadarminta, W.J.S (1939). Baoesastra Djawa (dalam bahasa Jawa). Batavia: J.B. Wolters. ISBN 0834803496. 
  4. ^ a b Turner, Ralph Lilley (1969–1985), "hima" and "giri" (dalam bahasa Inggris), A Comparative Dictionary of the Indo-Aryan Languages, Oxford University Press, diakses tanggal 5 Februari 2022
  5. ^ Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi D.I. Yogyakarta (2022), Kompleks Makam Imogiri, kemdikbud.go.id, diakses tanggal 20 April 2022 
  6. ^ Gunawan, Arif; Wibowo, Nugroho B. (2013). "Spatial Analysis to Predict Conservation Heritage's Damage of "Imogiri Graves" by using Microtremor Measurements". Jurnal Tata Kota dan Daerah (dalam bahasa Inggris). 5. 
  7. ^ Mandoyokusumo, K.R.T. (1976), The history of graves of the kings at Imogiri (dalam bahasa Inggris), s.n, diakses tanggal 20 April 2022 
  8. ^ Suaka Peninggalan Sejarah Purbakala DIY (1995), Laporan Pendokumentasian Situs Giriloyo, Imogiri, Bantul, Yogyakarta 
  9. ^ Sumartono, D. A. (2019), Catatan Silam Pajimatan Imogiri, Yogyakarta: Mayangkara, hlm. 24 
  10. ^ Heins, M. (2004), Karaton Surakarta (edisi ke-1), Yayasan Pawiyatan Kabudayaan Karaton Surakarta Hadiningrat, ISBN 978-979-98586-0-3 
  11. ^ Herusatoto, Budiono (2008). Simbolisme Jawa. Yogyakarta: Ombak. hlm. 215. ISBN 9789793472904. 
  12. ^ a b de Graaf, H.J. (1986). Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung. Jakarta: Pustaka Grafiti Pers. 
  13. ^ a b c Chawari, Muhammad (2008). "Studi Kelayakan Arkeologi di Kompleks Makam Imogiri Yogyakarta". Berkala Arkeologi. 28 (1). doi:10.30883/jba.v28i1.355. 
  14. ^ Mumfangati, Titi (2007). "Tradisi Ziarah Makam Leluhur Pada Masyarakat Jawa". Jantra. 3 (3): 223. ISSN 1907-9605. 
  15. ^ Moedjanto, G. (1986). The Concept of Power in Javanese Culture (dalam bahasa Inggris). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. hlm. 220. ISBN 9789794200247. 
  16. ^ "Penutupan PMPS 2018, Pemkot Ziarah Ke Kotagede dan Imogiri". Portal Berita Pemerintah Kota Yogyakarta. 29 November 2018. Diakses tanggal 29 November 2020. 

Lihat pula