Konfrontasi Indonesia–Malaysia

Konflik Militer atas pembentukan Malaysia (1963–1966)

Konfrontasi Indonesia–Malaysia atau Konfrontasi Borneo (juga dikenal dengan Bahasa Indonesia / Melayu, Konfrontasi) adalah konflik bersenjata dari tahun 1963 hingga 1966 yang bermula dari penentangan Indonesia terhadap pembentukan Federasi Malaysia. Setelah presiden Indonesia Soekarno digulingkan pada tahun 1966, perselisihan berakhir secara damai dan negara Malaysia terbentuk.

Konfrontasi Indonesia-Malaysia
Bagian dari Pembentukan Malaysia dan Perang Dingin

Seorang tentara Inggris ditarik oleh helikopter Westland Wessex selama operasi di Kalimantan
Tanggal20 Januari 1963 –11 Agustus 1966
(3 tahun, 6 bulan, 3 minggu dan 1 hari)
LokasiSemenanjung Malaka, Kalimantan
Hasil

Kemenangan Malaysia

Pihak terlibat
  •  Malaysia[a]
  •  Britania Raya
  •  Australia

  • Didukung oleh:
     Amerika Serikat[1]
     Indonesia
    Aliansi partai:
    PKI[2][3]
    NKCP[4][5][6]
    PRB[7]
    Didukung oleh:
     Tiongkok[8][9]
     Filipina[10]
     Uni Soviet[11][12]
     Vietnam Utara[13]
    Tokoh dan pemimpin
    Korban

    Total: • 248 terbunuh dan 180 luka-luka


    140 terbunuh[14]
    43 luka-luka
    23 terbunuh[15]
    8 luka-luka
    12 terbunuh[16]
    7 luka-luka
    9 terbunuh[17]
    Gurkha 44 terbunuh
    83 luka-luka
    Lainnya: 29 terbunuh
    38 luka-luka

    Total:

    • 590 terbunuh
    • 222 luka-luka
    • 71 ditangkap

    Korban sipil

    • 36 terbunuh
    • 53 luka-luka
    • 4 ditawan

    Pembentukan Malaysia adalah penggabungan Federasi Malaya (sekarang Semenanjung Malaysia), Singapura dan koloni mahkota Inggris di Borneo Utara dan Sarawak (secara kolektif dikenal sebagai Borneo Inggris, sekarang Malaysia Timur) pada September 1963.[18] Perintis penting konflik tersebut termasuk kebijakan konfrontasi Indonesia melawan Nugini Belanda dari Maret–Agustus 1962 dan Pemberontakan Brunei pada Desember 1962. Malaysia mendapat dukungan militer langsung dari Britania Raya, Australia, dan Selandia Baru. Indonesia mendapat dukungan tidak langsung dari Uni Soviet dan Tiongkok, sehingga menjadikannya salah satu bagian Perang Dingin di Asia.

    Konflik tersebut merupakan perang yang tidak diumumkan dengan sebagian besar aksi terjadi di daerah perbatasan antara Indonesia dan Malaysia Timur di pulau Kalimantan. Konflik tersebut ditandai dengan pertempuran darat yang terkendali dan terisolasi, diatur dalam taktik brinkmanship tingkat rendah. Pertempuran biasanya dilakukan oleh operasi seukuran kompi atau peleton di kedua sisi perbatasan. Kampanye infiltrasi Indonesia ke Kalimantan berusaha untuk mengeksploitasi keragaman etnis dan agama di Sabah dan Sarawak dibandingkan dengan Malaya dan Singapura, dengan maksud mengungkap negara yang diusulkan Malaysia.

    Medan hutan Kalimantan dan kurangnya jalan yang melintasi perbatasan Malaysia-Indonesia memaksa pasukan Indonesia dan Persemakmuran untuk melakukan patroli jarak jauh. Kedua belah pihak mengandalkan operasi infanteri ringan dan transportasi udara, meskipun pasukan Persemakmuran menikmati keuntungan dari penyebaran helikopter yang lebih baik dan pasokan ke pangkalan operasi yang akan datang. Sungai juga digunakan sebagai metode transportasi dan infiltrasi. Meskipun operasi tempur terutama dilakukan oleh pasukan darat, pasukan lintas udara memainkan peran pendukung yang vital dan pasukan angkatan laut memastikan keamanan sisi-sisi laut. Inggris memberikan sebagian besar upaya pertahanan, meskipun pasukan Malaysia terus meningkatkan kontribusi mereka, dan ada kontribusi berkala dari pasukan Australia dan Selandia Baru dalam gabungan Cadangan Strategis Timur Jauh yang ditempatkan saat itu di Malaysia Barat dan Singapura.[19]

    Serangan awal Indonesia ke Malaysia Timur sangat bergantung pada sukarelawan lokal yang dilatih oleh Angkatan Darat Indonesia. Seiring waktu, pasukan infiltrasi menjadi lebih terorganisir dengan masuknya komponen pasukan Indonesia yang lebih substansial. Untuk mencegah dan mengganggu kampanye infiltrasi yang berkembang di Indonesia, Inggris merespons pada tahun 1964 dengan meluncurkan operasi rahasia mereka sendiri ke Kalimantan (Indonesia) dengan nama sandi Operasi Claret. Bertepatan dengan Soekarno mengumumkan "tahun penuh bahaya" dan kerusuhan rasial Singapura 1964, Indonesia meluncurkan kampanye operasi yang diperluas ke Malaysia Barat pada 17 Agustus 1964, meskipun tanpa keberhasilan militer.[20] Penumpukan pasukan Indonesia di perbatasan Kalimantan pada bulan Desember 1964 membuat Inggris mengerahkan pasukan yang signifikan dari Komando Strategis Angkatan Darat yang berbasis di Inggris dan Australia dan Selandia Baru mengerahkan pasukan tempur roulement dari Malaysia Barat ke Kalimantan pada tahun 1965–66. Intensitas konflik mulai mereda menyusul kudeta Oktober 1965 dan jatuhnya kekuasaan Soekarno kepada Jenderal Soeharto. Negosiasi perdamaian yang serius antara Indonesia dan Malaysia dimulai pada Mei 1966, dan kesepakatan damai terakhir ditandatangani pada 11 Agustus 1966 dengan Indonesia secara resmi mengakui Malaysia.[21]

    Latar belakang

     
    Persetujuan Manila antara Filipina, Federasi Malaya dan Indonesia.
     
    Soekarno, yang memproklamasikan gerakan Ganyang Malaysia.

    Pada 1961, Kalimantan dibagi menjadi empat administrasi. Kalimantan, sebuah provinsi di Indonesia, terletak di selatan Kalimantan. Di utara adalah Kerajaan Brunei dan dua koloni Inggris; Sarawak dan Borneo Utara, kemudian dinamakan Sabah. Sebagai bagian dari penarikannya dari koloninya di Asia Tenggara, Inggris mencoba menggabungkan koloninya di Kalimantan dengan Semenanjung Malaya, Federasi Malaya dengan membentuk Federasi Malaysia.

    Rencana ini ditentang oleh Pemerintahan Indonesia; Presiden Soekarno berpendapat bahwa Malaysia hanya sebuah boneka Inggris, dan konsolidasi Malaysia hanya akan menambah kontrol Inggris di kawasan ini, sehingga mengancam kemerdekaan Indonesia. Filipina juga membuat klaim atas Sabah, dengan alasan daerah itu memiliki hubungan sejarah dengan Filipina melalui Kesultanan Sulu.

    Di Brunei, Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU) memberontak pada 8 Desember 1962. Mereka mencoba menangkap Sultan Brunei, ladang minyak dan sandera orang Eropa. Sultan lolos dan meminta pertolongan Inggris. Dia menerima pasukan Inggris dan Gurkha dari Singapura. Pada 16 Desember, Komando Timur Jauh Inggris (British Far Eastern Command) mengklaim bahwa seluruh pusat pemberontakan utama telah diatasi, dan pada 17 April 1963, pemimpin pemberontakan ditangkap dan pemberontakan berakhir.

    Filipina dan Indonesia resminya setuju untuk menerima pembentukan Federasi Malaysia apabila mayoritas di daerah yang hendak dilakukan dekolonial memilihnya dalam sebuah referendum yang diorganisasi oleh PBB. Tetapi, pada 16 September, sebelum hasil dari pemilihan dilaporkan. Malaysia melihat pembentukan federasi ini sebagai masalah dalam negeri, tanpa tempat untuk turut campur orang luar, tetapi pemimpin Indonesia melihat hal ini sebagai Persetujuan Manila yang dilanggar dan sebagai bukti kolonialisme dan imperialisme Inggris.

    Sejak demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur, ketika para demonstran menyerbu gedung KBRI, merobek-robek foto Sukarno, membawa lambang negara Garuda Pancasila ke hadapan Tunku Abdul RahmanPerdana Menteri Malaysia saat itu—dan memaksanya untuk menginjak Garuda,[22] amarah Sukarno terhadap Malaysia pun meledak.

    Demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur yang berlangsung tanggal 17 September 1963, berlaku ketika para demonstran yang sedang memuncak marah terhadap Presiden Soekarno yang melancarkan konfrontasi terhadap Malaysia[22] dan juga karena serangan pasukan militer tidak resmi Indonesia terhadap Malaysia. Ini mengikuti pengumuman Menteri Luar Negeri Indonesia Soebandrio bahwa Indonesia mengambil sikap bermusuhan terhadap Malaysia pada 20 Januari 1963. Selain itu pencerobohan sukarelawan Indonesia (sepertinya pasukan militer tidak resmi) mulai memasuki Sarawak dan Sabah untuk menyebar propaganda dan melaksanakan penyerangan dan sabotase pada 12 April berikutnya.

    Soekarno yang murka karena hal itu mengutuk tindakan demonstrasi anti-Indonesia yang menginjak-injak lambang negara Indonesia[23] dan ingin melakukan balas dendam dengan melancarkan gerakan yang terkenal dengan nama Ganyang Malaysia. Soekarno memproklamasikan gerakan Ganyang Malaysia melalui pidato dia yang sangat bersejarah, berikut ini:

    Kalau kita lapar itu biasa
    Kalau kita malu itu djuga biasa
    Namun kalau kita lapar atau malu itu karena Malaysia, kurang adjar!

    Kerahkan pasukan ke Kalimantan, kita hadjar tjetjunguk Malayan itu!
    Pukul dan sikat djangan sampai tanah dan udara kita diindjak-indjak oleh Malaysian keparat itu

    Doakan aku, aku bakal berangkat ke medan djuang sebagai patriot Bangsa, sebagai martir Bangsa dan sebagai peluru Bangsa yang enggan diindjak-indjak harga dirinja

    Serukan serukan keseluruh pelosok negeri bahwa kita akan bersatu untuk melawan kehinaan ini kita akan membalas perlakuan ini dan kita tundjukkan bahwa kita masih memiliki gigi dan tulang jang kuat dan kita djuga masih memiliki martabat

    Yoo...ayoo... kita... Ganjang...
    Ganjang... Malaysia
    Ganjang... Malaysia
    Bulatkan tekad
    Semangat kita badja
    Peluru kita banjak
    Njawa kita banjak
    Bila perlu satu-satu!

    Sukarno

    Perang

    Pada 20 Januari 1963, Menteri Luar Negeri Indonesia Soebandrio mengumumkan bahwa Indonesia mengambil sikap bermusuhan terhadap Malaysia. Pada 12 April, sukarelawan Indonesia (sepertinya pasukan militer tidak resmi) mulai memasuki Sarawak dan Sabah untuk menyebar propaganda dan melaksanakan penyerangan dan sabotase. Tanggal 3 Mei 1964 di sebuah rapat raksasa yang digelar di Jakarta, Presiden Soekarno mengumumkan perintah Dwi Komando Rakyat (Dwikora) yang isinya:

    • Pertinggi ketahanan revolusi Indonesia
    • Bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sarawak dan Sabah, untuk menghancurkan Malaysia

    Pada 27 Juli, Soekarno mengumumkan bahwa dia akan meng-"ganyang Malaysia". Pada 16 Agustus, pasukan dari Rejimen Askar Melayu DiRaja berhadapan dengan lima puluh gerilyawan Indonesia.

    Meskipun Filipina tidak turut serta dalam perang, mereka memutuskan hubungan diplomatik dengan Malaysia.

    Federasi Malaysia resmi dibentuk pada 16 September 1963. Brunei menolak bergabung dan Singapura keluar di kemudian hari.

    Ketegangan berkembang di kedua belah pihak Selat Malaka. Dua hari kemudian para perusuh membakar kedutaan Britania di Jakarta. Beberapa ratus perusuh merebut kedutaan Singapura di Jakarta dan juga rumah diplomat Singapura. Di Malaysia, agen Indonesia ditangkap dan massa menyerang kedutaan Indonesia di Kuala Lumpur.

    Di sepanjang perbatasan di Kalimantan, terjadi peperangan perbatasan. Pasukan Indonesia dan pasukan tidak resminya mencoba menduduki Sarawak dan Sabah, dengan tanpa hasil.

     
    Komando Aksi Sukarelawan.

    Pada 1964 pasukan Indonesia mulai menyerang wilayah di Semenanjung Malaya. Di bulan Mei dibentuk Komando Siaga yang bertugas untuk mengoordinasi kegiatan perang terhadap Malaysia (Operasi Dwikora). Komando ini kemudian berubah menjadi Komando Mandala Siaga (Kolaga). Kolaga dipimpin oleh Laksdya Udara Omar Dani sebagai Pangkolaga. Kolaga sendiri terdiri dari tiga Komando, yaitu Komando Tempur Satu (Kopurtu) berkedudukan di Sumatra yang terdiri dari 12 Batalyon TNI-AD, termasuk tiga Batalyon Para dan satu batalyon KKO. Komando ini sasaran operasinya Semenanjung Malaya dan dipimpin oleh Brigjen Kemal Idris sebagai Pangkopur-I. Komando Tempur Dua (Kopurda) berkedudukan di Bengkayang, Kalimantan Barat dan terdiri dari 13 Batalyon yang berasal dari unsur KKO, AURI, dan RPKAD. Komando ini dipimpin Brigjen Soepardjo sebagai Pangkopur-II. Komando ketiga adalah Komando Armada Siaga yang terdiri dari unsur TNI-AL dan juga KKO. Komando ini dilengkapi dengan Brigade Pendarat dan beroperasi di perbatasan Riau dan Kalimantan Timur.

    Di bulan Agustus, enam belas agen bersenjata Indonesia ditangkap di Johor. Aktivitas Angkatan Bersenjata Indonesia di perbatasan juga meningkat. Tentera Laut DiRaja Malaysia mengerahkan pasukannya untuk mempertahankan Malaysia. Tentera Malaysia hanya sedikit saja yang diturunkan dan harus bergantung pada pos perbatasan dan pengawasan unit komando. Misi utama mereka adalah untuk mencegah masuknya pasukan Indonesia ke Malaysia. Sebagian besar pihak yang terlibat konflik senjata dengan Indonesia adalah Inggris dan Australia, terutama pasukan khusus mereka yaitu Special Air Service (SAS). Tercatat sekitar 2000 pasukan Indonesia tewas dan 200 pasukan Inggris/Australia (SAS) juga tewas setelah bertempur di belantara kalimantan (Majalah Angkasa Edisi 2006).

    Pada 17 Agustus pasukan terjun payung mendarat di pantai barat daya Johor dan mencoba membentuk pasukan gerilya. Pada 2 September 1964 pasukan terjun payung didaratkan di Labis, Johor. Pada 29 Oktober, 52 tentara mendarat di Pontian di perbatasan Johor-Malaka dan membunuh pasukan Resimen Askar Melayu DiRaja dan Selandia Baru dan menumpas juga Pasukan Gerak Umum Kepolisian Kerajaan Malaysia di Batu 20, Muar, Johor.

    Ketika PBB menerima Malaysia sebagai anggota tidak tetap, Soekarno menarik Indonesia dari PBB pada tanggal 20 Januari 1965 dan mencoba membentuk Konferensi Kekuatan Baru (Conference of New Emerging Forces, Conefo) sebagai alternatif.

    Sebagai tandingan Olimpiade, Soekarno bahkan menyelenggarakan GANEFO (Games of the New Emerging Forces) yang diselenggarakan di Senayan, Jakarta pada 10-22 November 1963. Pesta olahraga ini diikuti oleh 2.250 atlet dari 48 negara di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika Selatan, serta diliput sekitar 500 wartawan asing.

    Pada Januari 1965, Australia setuju untuk mengirimkan pasukan ke Kalimantan setelah menerima banyak permintaan dari Malaysia. Pasukan Australia menurunkan 3 Resimen Kerajaan Australia dan Resimen Australian Special Air Service. Ada sekitar empat belas ribu pasukan Inggris dan Persemakmuran di Australia pada saat itu. Secara resmi, pasukan Inggris dan Australia tidak dapat mengikuti penyerang melalui perbatasan Indonesia. Tetapi, unit seperti Special Air Service, baik Inggris maupun Australia, masuk secara rahasia (lihat Operasi Claret). Australia mengakui penerobosan ini pada 1996.

    Pada pertengahan 1965, Indonesia mulai menggunakan pasukan resminya. Pada 28 Juni, mereka menyeberangi perbatasan masuk ke timur Pulau Sebatik dekat Tawau, Sabah dan berhadapan dengan Resimen Askar Melayu Di Raja dan Kepolisian North Borneo Armed Constabulary.

    Pada 1 Juli 1965, militer Indonesia yang berkekuatan kurang lebih 5000 orang melabrak pangkalan Angkatan Laut Malaysia di Semporna. Serangan dan pengepungan terus dilakukan hingga 8 September namun gagal. Peristiwa ini dikenal dengan "Pengepungan 68 Hari" oleh warga Malaysia.

    Akhir konfrontasi

    Menjelang akhir 1965, Jenderal Soeharto memegang kekuasaan di Indonesia setelah berlangsungnya Gerakan 30 September. Oleh karena konflik domestik ini, keinginan Indonesia untuk meneruskan perang dengan Malaysia menjadi berkurang dan peperangan pun mereda.

    Pada 28 Mei 1966 di sebuah konferensi di Bangkok, meski diwarnai dengan keberatan Soekarno (yang tidak lagi memegang kendali pemerintahan secara efektif), Kerajaan Malaysia dan pemerintah Indonesia mengumumkan penyelesaian konflik dan normalisasi hubungan antara kedua negara. Kekerasan berakhir bulan Juni, dan perjanjian perdamaian ditandatangani pada 11 Agustus dan diresmikan dua hari kemudian.

    Bacaan lanjut

    Catatan

    1. ^ Sebelum Federasi, tiga entitas terpisah Malaya, Sarawak, dan Kalimantan Utara berpartisipasi secara mandiri
    2. ^ Sampai 1965

    Lihat pula

    Pranala luar

    Catatan kaki

    1. ^ "Malaysian–American Relations during Indonesia's Confrontation against Malaysia, 1963–66". Cambridge University Press. 24 August 2009. 
    2. ^ Conboy 2003, hlm. 93–95.
    3. ^ Conboy 2003, hlm. 156.
    4. ^ Fowler 2006, hlm. 11, 41
    5. ^ Pocock 1973, hlm. 129.
    6. ^ Corbett 1986, hlm. 124.
    7. ^ Sejarah Indonesia : "The Sukarno Years". Retrieved 30 May 2006.
    8. ^ A. Dahana (2002). "China Role's in Indonesia's "Crush Malaysia" Campaign". Universitas Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 19 July 2016. Diakses tanggal 19 July 2016. 
    9. ^ John W. Garver (1 December 2015). China's Quest: The History of the Foreign Relations of the People's Republic of China. Oxford University Press. hlm. 219–. ISBN 978-0-19-026106-1. 
    10. ^ Hamilton Fish Armstrong (July 1963). "The Troubled Birth of Malaysia". Foreign Affairs. 
    11. ^ Kurt London (1974). The Soviet Impact on World Politics. Ardent Media. hlm. 153–. ISBN 978-0-8015-6978-4. 
    12. ^ Mohd. Noor Mat Yazid (2013). "Malaysia-Indonesia Relations Before and After 1965: Impact on Bilateral and Regional Stability" (PDF). Programme of International Relations, School of Social Sciences, Universiti Malaysia Sabah. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 19 July 2016. Diakses tanggal 19 July 2016. 
    13. ^ Jones 2002, hlm. 132, 146, 163.
    14. ^ UK Armed Forces Operational deaths post World War II (PDF) (dalam bahasa Inggris). Kementerian Pertahanan. 2015. hlm. 4. 
    15. ^ "Indonesian Confrontation, 1963–66". Australian War Memorial (dalam bahasa Inggris). 
    16. ^ "Confrontation in Borneo; NZHistory, New Zealand history online". nzhistory.govt.nz (dalam bahasa Inggris). 
    17. ^ "SPEECH BY THE PRESIDENT OF THE SAF VETERANS' LEAGUE, BRIGADIER-GENERAL (NS) WINSTON TOH, AT THE KONFRONTASI MEMORIAL CEREMONY ON 10 MARCH 2016, 1825HRS |" (PDF) (dalam bahasa Inggris). 
    18. ^ Mackie 1974, hlm. 36–37 & 174.
    19. ^ Dennis & Grey 1996, hlm. 25.
    20. ^ Edwards 1992, hlm. 306.
    21. ^ Dennis & Grey 1996, hlm. 318.
    22. ^ a b Tunku tak mahu pijak Pancasila.
    23. ^ "Artikel Kompas bertajuk "Sukarno, Malaysia, dan PKI" tanggal Sabtu, 29 September 2007". Kompas.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-04-21. Diakses tanggal 2009-03-28.