Kesehatan hewan di Indonesia

Di Indonesia, kesehatan hewan merupakan aspek yang dijaga oleh berbagai kalangan karena hewan memiliki peran penting dalam perekonomian, sosial budaya masyarakat, serta keseimbangan ekosistem. Hewan telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam hidup banyak orang, mulai dari sumber pangan seperti daging dan susu hingga menjadi rekan hidup sehar-hari. Oleh karena itu, kesehatan populasi hewan di Indonesia merupakan hal yang penting bagi kesejahteraan hewan itu sendiri, keberlanjutan industri yang mengandalkan mereka, dan pelestarian keanekaragaman hayati.

Sapi yang diberi penanda telinga dengan kode QR yang berisi informasi kesehatan, termasuk status vaksinasinya

Pemerintah Indonesia, dokter hewan, dan orang-orang yang bidang pekerjaannya melibatkan hewan mengatasi masalah-masalah kesehatan hewan dan memastikan ketersediaan dan keamanan pangan asal hewan. Salah satu masalah utama yang mengancam kesehatan hewan adalah penyakit hewan lintas batas, yang pencegahan, pengendalian, dan penanggulangannya diatur oleh pemerintah. Sementara itu, industri kesehatan hewan seperti penyediaan jasa dokter hewan serta vaksin dan obat hewan telah menjangkau berbagai daerah di Indonesia.

Pengaturan

Penyakit hewan

Pemerintah telah menerbitkan banyak produk hukum yang mengatur kesehatan hewan. Salah satu pengaturan dasarnya adalah Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang kemudian diubah dengan UU Nomor 41 Tahun 2014.[1][2] Hal-hal yang diatur dalam UU tersebut di antaranya adalah sistem kesehatan hewan nasional (siskeswanas) dan penetapan penyakit hewan menular strategis (PHMS), yaitu penyakit-penyakit hewan yang diproritaskan untuk ditangani dan ditanggulangi. Menteri Pertanian telah menetapkan 25 jenis PHMS yang terdiri atas 22 penyakit yang sudah ada di Indonesia dan tiga penyakit yang belum ada di Indonesia.[3]

Dalam hal penyakit hewan lintas batas, pemerintah menetapkan sejumlah penyakit hewan yang dicegah untuk masuk, tersebar, dan keluar dari wilayah negara Indonesia. Penyakit-penyakit ini dibagi menjadi dua, yaitu hama dan penyakit hewan karantina (HPHK) pada hewan terestrial serta hama dan penyakit ikan karantina (HPIK) pada hewan akuatik.[4] Saat ini terdapat 121 penyakit yang ditetapkan sebagai HPHK oleh Menteri Pertanian,[5] dan 37 penyakit yang ditetapkan sebagai HPIK oleh Menteri Kelautan dan Perikanan.[6]

Zoonosis dan penyakit infeksius baru

Sebagian penyakit hewan merupakan zoonosis, yaitu penyakit pada hewan yang dapat menular ke manusia. Pada tahun 2019, flu burung, rabies, antraks, bruselosis, leptospirosis, ensefalitis Jepang, tuberkulosis sapi, salmonelosis, skistosomiasis, demam Q, kampilobakteriosis, trikinosis, paratuberkulosis, toksoplasmosis, dan taeniasis/sistiserkosis ditetapkan sebagai 15 zoonosis prioritas di Indonesia.[7] Setelah itu, dalam rangka menerapkan konsep satu kesehatan di Indonesia, pencegahan dan pengendalian zoonosis dan penyakit infeksius baru dikoordinasikan oleh Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan sejak tahun 2022.[8]

Status dan situasi penyakit hewan

Gambaran umum kesehatan hewan secara nasional dapat dilihat melalui pemetaan penyakit. Berdasarkan statusnya terhadap penyakit hewan tertentu, suatu daerah dapat dikategorikan sebagai daerah bebas, daerah terduga, daerah tertular, dan daerah wabah.[9] Pada milenium ketiga, terdapat empat penyakit hewan lintas batas yang masuk ke Indonesia, yaitu flu burung patogenisitas tinggi (tahun 2003), demam babi Afrika (2019), serta penyakit kulit berbenjol dan penyakit mulut dan kuku (2022).[10]

Antraks

 
Peta status dan situasi antraks di Indonesia.
  Provinsi dengan laporan kasus dalam 20 tahun terakhir.
  Provinsi dengan laporan kasus terakhir tahun 2003.
  Provinsi dengan laporan kasus terakhir tahun 1980-an.
  Provinsi yang dinyatakan bebas antraks.

Kejadian antraks telah dilaporkan sejak masa penjajahan ketika Indonesia masih dikenal sebagai Hindia Belanda. Sebagian besar penyakit akibat infeksi Bacillus anthracis ini ditemukan pada sapi dan kambing, kecuali wabah antraks pada babi tahun 1983 di Paniai, Irian Jaya,[11] dan wabah antraks pada burung unta tahun 1999 di Purwakarta, Jawa Barat.[12]

Spora B. anthracis mampu bertahan selama puluhan tahun di tanah sehingga daerah yang pernah melaporkan kasus penyakit ini digolongkan sebagai daerah endemik dan kasus antraks dapat muncul sewaktu-waktu di daerah-daerah tersebut. Menurut Kementerian Pertanian, terdapat 14 provinsi yang dinyatakan sebagai daerah endemis antraks, yaitu Sumatra Barat, Jambi, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara.[13] Sementara itu, Provinsi Papua ditetapkan sebagai zona bebas antraks pada tahun 2003.[14]

Bruselosis

 
Peta provinsi dan pulau dengan status bebas bruselosis pada sapi Indonesia.

Bruselosis merupakan sebutan untuk infeksi bakteri dalam genus Brucella. Bakteri ini dapat menginfeksi manusia dan berbagai hewan. Namun, spesies penting yang diwaspadai untuk hewan adalah B. abortus, B. melitensis, dan B. suis, yang masing-masing memiliki kecenderungan untuk menginfeksi sapi/kerbau, kambing, dan babi. Berbagai pulau dan provinsi telah dibebaskan dari bruselosis pada sapi dan kerbau melalui program vaksinasi, pengujian laboratorium bagi hewan yang akan ditransportasikan, dan pemotongan bagi hewan positif. Seluruh provinsi di Pulau Kalimantan dan hampir semua provinsi di Pulau Sumatra (kecuali Aceh) telah dinyatakan bebas dari bruselosis. Penyakit ini juga telah dieliminasi di Provinsi Banten, Pulau Madura, dan Pulau Sumba.[15]

Flu burung

 
Peta provinsi berstatus bebas flu burung pada unggas (warna hijau) di Indonesia

Flu burung pertama kali dilaporkan di Indonesia pada tahun 2003 yang bermula dari wabah kematian unggas pada peternakan ayam di Jawa Timur dan Jawa Barat. Dalam rentang waktu empat tahun, yaitu sekitar Desember 2003 hingga Desember 2007, wabah flu burung mengakibatkan lebih dari 16 juta kematian unggas di seluruh Indonesia, baik akibat penyakit maupun pemusnahan.[16] Penyakit ini dapat dikendalikan dengan melibatkan organisasi internasional, seperti Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO).[17] Beberapa provinsi lalu ditetapkan sebagai zona bebas dari flu burung pada unggas. Maluku[18] dan Maluku Utara[19] mendapatkan status bebas pada tahun 2016, sedangkan Provinsi Papua pada tahun 2017.[20] Selain itu, sejak tahun 2008 pemerintah juga menerbitkan sertifikat kompartemen bebas flu burung bagi unit usaha peternakan unggas,[21][22] misalnya pada perusahaan pembibitan dan penetasan ayam.[23]

Penyakit kulit berbenjol

 
Peta daerah dengan temuan LSD di Indonesia

Pada awal 2022, penyakit kulit berbenjol (LSD) yang disebabkan oleh infeksi Lumpy skin disease virus masuk ke Indonesia. Penyakit pada sapi ini pertama kali ditemukan di Provinsi Riau sehingga Pemerintah Indonesia menerbitkan Keputusan Menteri Pertanian yang menetapkan provinsi ini sebagai daerah LSD pada tanggal 2 Maret 2022.[24] Pada hari yang sama, pemerintah juga melaporkan kasus penyakit ini ke Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (WOAH). Dalam laporan ini disebutkan bahwa kejadian penyakit telah ada sejak 7 Februari 2022 di Kabupaten Bengkalis, Dumai, Indragiri Hilir, Indragiri Hulu, Kampar, Pelalawan, dan Siak. Sebanyak 174 sapi dinyatakan menderita LSD dan dua sapi mengalami kematian. Diagnosis penyakit ditegakkan melalui reaksi berantai polimerase oleh Balai Veteriner Bukittinggi.[25] Pada akhir tahun 2022, penyakit ini telah tercatat di 10 provinsi, termasuk beberapa provinsi di Pulau Jawa.[26]

Penyakit mulut dan kuku

 
Peta situasi PMK di Indonesia per 31 Desember 2022.
  Provinsi dengan kasus aktif
  Provinsi dengan nol kasus aktif (tidak ada laporan selama minimum 14 hari)
  Provinsi tanpa laporan kasus

Penyakit mulut dan kuku (PMK) merupakan penyakit hewan menular yang dicirikan oleh luka di bagian mulut dan kuku, terutama pada hewan berkuku belah, seperti sapi, kambing, dan babi. Indonesia sempat membebaskan diri dari PMK pada tahun 1986 yang kemudian diakui secara internasional oleh Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (WOAH) pada tahun 1990.[27] Namun, pada tahun 2022, kasus PMK kembali dilaporkan dan menyebar kembali ke berbagai wilayah di Indonesia.

Pada akhir bulan April dan awal Mei 2022, wabah PMK dilaporkan di di Kabupaten Gresik, Lamongan, Sidoarjo, dan Mojokerto di Provinsi Jawa Timur serta di Kabupaten Aceh Tamiang, Provinsi Aceh.[28][29] Penyakit ini kemudian menyebar ke berbagai wilayah lain. Pemerintah lantas membentuk Satuan Tugas Penanganan Penyakit Mulut dan Kuku (Satgas PMK) yang ketua tim pelaksananya adalah Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).[30] Per bulan Desember 2022, PMK telah tercatat di 27 provinsi di Indonesia.[31][32]

Rabies

 
Peta daerah berstatus bebas rabies (warna hijau) di Indonesia

Rabies merupakan salah satu penyakit pada hewan dan manusia yang hampir selalu bersifat mematikan. Penyakit ini telah dikendalikan sejak masa penjajahan Belanda.[33] Kasus gigitan hewan penular rabies pada manusia (GHPR) dan kasus kematian akibat rabies dicatat setiap tahun oleh Kementerian Kesehatan. Sementara itu, pencatatan kasus pada hewan dan program eliminasi penyakit ini di suatu daerah melalui vaksinasi dilakukan oleh Kementerian Pertanian. Per tahun 2020, sejumlah daerah telah dinyatakan bebas dari rabies, di antaranya Provinsi DKI Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung, dan Papua, serta berbagai pulau seperti Pulau Tarakan, Nunukan, dan Sebatik di Provinsi Kalimantan Utara, serta sejumlah pulau di Kabupaten Kepulauan Sitaro, Sulawesi Utara.[34] Hari Rabies Sedunia, sebuah kampanye global pada tanggal 30 September setiap tahun, biasanya diselenggarakan oleh dokter hewan dan organisasi profesinya, instansi pemerintah, sekolah dan perguruan tinggi, komunitas pencinta hewan, maupun organisasi nonprofit. Pemerintah Indonesia telah menyiapkan lebih dari satu juta dosis vaksin rabies untuk memastikan Indonesia bebas dari penyakit rabies pada tahun 2030.[35]

Fasilitas kesehatan hewan

Rumah sakit hewan

Rumah Sakit Hewan (RSH) merupakan tempat pelayanan jasa medik veteriner rujukan akhir dengan tersedianya fasilitas poliklinik, apotek, unit gawat darurat, laboratorium, rawat inap, isolasi, perawatan intensif, hingga instalasi pengolahan limbah. Penyelenggaraan RSH didukung dokter hewan profesional dengan keahlian khusus dan memiliki dokter hewan penanggung jawab di setiap departemennya. RSH sebagai sebuah unit jasa medik dapat menarik biaya atas pelayanan yang ditentukan oleh manajemen. Terdapat 2 tipe RSH yakni RSH Pendidikan yang terdapat dikelola oleh kampus penyelenggara pendidikan dokter hewan, dan RSH Daerah yang dikelola oleh pemerintah daerah di tingkat provinsi.[36]

Pusat kesehatan hewan

Pusat kesehatan hewan (Puskeswan) merupakan tempat pelayanan kesehatan hewan yang memiliki dokter hewan dan fasilitas tertentu. Penyelenggaraan Puskeswan dikelola oleh pemerintah daerah biasanya dimiliki masing-masing di tingkat kecamatan atau di tempat yang padat ternak.[37] Pada awalnya Puskeswan didirikan untuk mendekatkan pelayanan pengobatan dan reproduksi terhadap hewan ternak besar seperti sapi, kerbau, kambing, dan domba, kini Puskeswan juga dapat melayani hewan kesayangan dan operasi dengan biaya yang ditentukan oleh peraturan daerah. Puskeswan merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan hewan karena menemui langsung klien dan pasien di lapangan.[38] Puskeswan juga memiliki fungsi di bidang kesehatan masyarakat veteriner, epidemiologi, serta kesiapsiagaan wabah dan darurat. [37]

Klinik Hewan

Klinik hewan merupakan unit usaha jasa medik veteriner yang dikelola untuk pelayanan kesehatan hewan tertentu. Klinik hewan juga disebut sebagai tempat praktik dokter hewan bersama dan menyediakan peralatan diagnosis lengkap seperti Rontgen, pemeriksaan darah, USG, mesin anestesi, hingga petshop. Sebagai praktik dokter hewan bersama, klinik memiliki dokter hewan penanggung jawab yang mengelola manajemen bisnis dan mediknya.[39]

Praktik dokter hewan

Praktik dokter hewan merupakan suatu jasa pelayanan medik veteriner berizin yang dikelola dan dipertanggungjawabkan oleh seorang dokter hewan. Praktik mandiri juga merupakan perespon pertama dari suatu konsultasi kesehatan hewan, dan dapat melayankan terapi. Dokter hewan mandiri dapat memberikan pelayanan vaksinasi hewan kesayangan hingga operasi minor.

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Pemerintah Indonesia (2009), Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, Lembaran Negara RI Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 5015, Jakarta: Sekretariat Negara 
  2. ^ Pemerintah Indonesia (2014), Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, Lembaran Negara RI Tahun 2014 Nomor 338, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 5619, Jakarta: Sekretariat Negara 
  3. ^ Kementerian Pertanian Republik Indonesia (2013), Keputusan Menteri Pertanian Nomor 4026/Kpts/OT.140/4/2013 tentang Penetapan Jenis Penyakit Hewan Menular Strategis, Jakarta: Kementerian Pertanian Republik Indonesia 
  4. ^ Pemerintah Indonesia (2019), Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2019 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan, Lembaran Negara RI Tahun 2019 Nomor 200, Tambahan Lembaran RI Negara Nomor 6411, Jakarta: Kementerian Sekretariat Negara 
  5. ^ Kementerian Pertanian Republik Indonesia (2009), Keputusan Menteri Pertanian Nomor 3238/Kpts/PD.630/9/2009 tentang Penggolongan Jenis-Jenis Hama Penyakit Hewan Karantina, Penggolongan dan Klasifikasi Media Pembawa (PDF), Berita Negara RI Tahun 2009 Nomor 307, Jakarta: Kementerian Pertanian Republik Indonesia 
  6. ^ Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia (2018), Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 91/KEPMEN-KP/2018 tentang Penetapan Jenis-Jenis Penyakit Ikan Karantina, Golongan, dan Media Pembawa (PDF), Jakarta: Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia 
  7. ^ Kementerian Pertanian Republik Indonesia (2019), Keputusan Menteri Pertanian Nomor 237/KPTS/PK.400/M/3/2019 tentang Penetapan Zoonosis Prioritas, Jakarta: Kementerian Pertanian Republik Indonesia 
  8. ^ Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia (2022), Keputusan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Nomor 7 Tahun 2022 tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Zoonosis dan Penyakit Infeksius Baru (PDF), Jakarta: Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia 
  9. ^ Pemerintah Indonesia (2014), Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2014 tentang Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Hewan, Lembaran Negara RI Tahun 2014 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 5543, Jakarta: Sekretariat Negara, Pasal 20 
  10. ^ Muhiddin, Siti Nurul Muslimah; Utami, Wulandari (2022). "Penyakit Hewan Lintas Batas di Indonesia: 2002–2022". Buletin Diagnosa Veteriner. 
  11. ^ "Di Paniai Lewat Babi". Tempo. 3 September 1983. Diakses tanggal 19 Januari 2023. 
  12. ^ Hardjoutomo, S.; Poerwadikarta, M.B.; Barkah, K. (2002). "Kejadian Antraks pada Burung Unta di Purwakarta, Jawa Barat, Indonesia" (PDF). Wartazoa. 12 (3): 114–120. 
  13. ^ Direktorat Kesehatan Hewan (2016). Pedoman Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit Hewan Menular (PHM) Seri Penyakit Anthrax (PDF). Jakarta: Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian Republik Indonesia. hlm. 5. 
  14. ^ Kementerian Pertanian (2003), Keputusan Menteri Pertanian Nomor 367/Kpts/PD.640/7/2003 tentang Pernyataan Provinsi Papua Bebas dari Penyakit Anthrax, Jakarta: Kementerian Pertanian Republik Indonesia 
  15. ^ Direktorat Kesehatan Hewan (2021). Peta Status dan Situasi Penyakit Hewan Indonesia 2020. Jakarta: Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian Republik Indonesia. hlm. 67–70. 
  16. ^ Sedyaningsih, Endang R.; Isfandari, Siti; Soendoro, Triono; Supari, Siti Fadilah (2008). "Towards mutual trust, transparency and equity in virus sharing mechanism: the avian influenza case of Indonesia". Annals of the Academy of Medicine, Singapore. 37 (6): 482–488. ISSN 0304-4602. PMID 18618060. 
  17. ^ "FAO Apresiasi Kinerja Kementan dalam Usaha Pengendalian Flu Burung". Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 29 Mei 2019. Diakses tanggal 13 Januari 2023. 
  18. ^ Pemerintah Republik Indonesia (31 Mei 2016). Keputusan Menteri Pertanian Nomor 362/Kpts/PK.320/5/2016 tentang Provinsi Maluku Bebas dari Penyakit Avian Influenza pada Unggas. Jakarta: Kementerian Pertanian Republik Indonesia. 
  19. ^ Pemerintah Republik Indonesia (29 Januari 2016). Keputusan Menteri Pertanian Nomor 87/Kpts/PK.320/1/2016 tentang Provinsi Maluku Utara Bebas dari Penyakit Avian Influenza pada Unggas. Jakarta: Kementerian Pertanian Republik Indonesia. 
  20. ^ Pemerintah Republik Indonesia (26 September 2017). Keputusan Menteri Pertanian Nomor 600/Kpts/PK.320/9/2017 tentang Provinsi Papua Bebas dari Penyakit Avian Influenza pada Unggas (PDF). Jakarta: Kementerian Pertanian Republik Indonesia. 
  21. ^ "Kementan Sertifikasi Kompartemen Bebas Flu Burung". Republika Online. 25 Maret 2021. Diakses tanggal 4 November 2021. 
  22. ^ Pemerintah Republik Indonesia (30 Mei 2018). Peraturan Menteri Pertanian Nomor 28/Permentan/OT.140/5/2008 tentang Pedoman Penataan Kompartemen dan Penataan Zona Usaha Perunggasan. Jakarta: Kementerian Pertanian Republik Indonesia. 
  23. ^ "Kementan Sertifikasi Kompartemen Bebas Flu Burung". Republika. 25 Maret 2021. Diakses tanggal 13 Januari 2023. 
  24. ^ Kementerian Pertanian RI (2022), Keputusan Menteri Pertanian Nomor 242/Kpts/PK.320/M/3/2022 tentang Penetapan Daerah Wabah Penyakit Kulit Berbenjol (Lumpy Skin Disease) di Provinsi Riau, Jakarta: Kementerian Pertanian Republik Indonesia 
  25. ^ "Immediate notification: Lumpy skin disease virus (Inf. with), Indonesia". OIE WAHIS. 2 Maret 2022. Diakses tanggal 9 Maret 2022. 
  26. ^ "Situasi Penyakit Hewan Nasional 2022: Lumpy Skin Disease". ISIKHNAS Validasi. Diakses tanggal 28 Januari 2022. 
  27. ^ Direktorat Kesehatan Hewan (2022), Kesiagaan Darurat Veteriner Indonesia Seri Penyakit Mulut dan Kuku (edisi ke-3.1), Jakarta: Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian Republik Indonesia., hlm. 1 
  28. ^ "Kronologi Penyebaran Wabah PMK di Jawa Timur, 1.247 Ternak Sapi Terinfeksi". Kumparan. 6 Mei 2022. Diakses tanggal 6 Mei 2022. 
  29. ^ "Sebanyak 1.881 Ekor Sapi di Aceh Tamiang Terjangkit PMK". Antara News. 10 Mei 2022. Diakses tanggal 28 Desember 2022. 
  30. ^ Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (24 Juni 2022), Keputusan Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional Nomor 2 Tahun 2022 tentang Susunan Keanggotaan dan Struktur Organisasi Satuan Tugas Penanganan Penyakit Mulut dan Kuku, Jakarta: Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional 
  31. ^ "Siaga PMK". Crisis Center PMK, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Diakses tanggal 30 Desember 2022. 
  32. ^ "Situasi Penyakit Hewan Nasional 2022: Penyakit Mulut dan Kuku". ISIKHNAS Validasi. Diakses tanggal 30 Desember 2022. 
  33. ^ Hanggoro, H.T. (11 Oktober 2018). "KTP dan Pajak Anjing". Historia. Diakses tanggal 13 Januari 2023. 
  34. ^ Direktorat Kesehatan Hewan (2021). Peta Status Situasi Penyakit Hewan Indonesia 2020. Jakarta: Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian Republik Indonesia. hlm. 31–33. 
  35. ^ "Kementan Targetkan Indonesia Bebas Rabies pada 2030". Republika. Diakses tanggal 28 September 2019. 
  36. ^ "Hewan Peliharaan Sakit? Ini Dia Rumah Sakit Hewan di Jogja Terlengkap". Tribunjogja.com. Diakses tanggal 2023-01-27. 
  37. ^ a b "KEGIATAN PUSKESWAN". Tabloid Sinar Tani (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-01-27. 
  38. ^ "UPT Puskeswan – Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian". Diakses tanggal 2023-01-27. 
  39. ^ Mukhlishi, Mukhlishi (2019-07-19). "POLEMIK PERBUP NOMOR 27 TAHUN 2019 TENTANG PELAKSANAAN PEMILIHAN KEPALA DESA TAHUN 2019 DI KABUATEN SUMENEP". Al-Ulum Jurnal Pemikiran dan Penelitian ke Islaman. 6 (2): 91–97. doi:10.31102/alulum.6.2.2019.91-97. ISSN 2355-0104.