Sunan Kalijaga

penyebar agama Islam di Indonesia

{{Infobox religious biography | honorific-prefix = | name = Sunan Kalijaga | image =Sunan Kalijaga.JPG | caption =Lukisan potret Sunan Kalijaga | religion = Islam | denomination = Sunni | known_for = Wali Sanga | birth_name = Raden Said | birth_date = 1450 | birth_place = Tuban, Majapahit | death_date = 1513 | death_place = Demak, Kesultanan Demak | father = Tumenggung Wilwatikta | mother = Dewi Nawangarum | spouse = Dewi Saroh binti Maulana Ishaq |predecessor=Syekh Subakir|successor= [1]Sunan Kalijaga (Susuhunan Kalijaga) adalah seorang tokoh Walisongo, dikenal sebagai wali yang sangat lekat dengan muslim di Pulau Jawa, karena kemampuannya memasukkan pengaruh Islam ke dalam tradisi dan budaya Jawa. Makamnya berada di Kadilangu, Demak.

Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati dan Sunan Kalijaga wafat pada tanggal 10 Muharram/Sura tahun 1513 adalah tahun saka jawa atau sekitar 17 oktober tahun 1592 masehi (haul Sunan Kalijaga diperingati setiap tanggal 10 Muharram oleh masyarakat di Kadilangu Demak) dan dilanjutkan Sunan Hadi sebagai pemimpin kadilangu, pada tahun 1601 masehi gelar berubah menjadi Panembahan Hadi, (karena gelar Sunan digunakan Sunan Hanyokrowati sebagai Raja Mataram) sampai dengan keturunan sekarang trah Panembahan widjil di kadilangu Demak. Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang "tatal" (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga ,dia orang nya sangat berbakti kpd orang tua.Konon Sunan Kalijaga bertapa di sungai selama 27 tahun lamanya.

Silsilah

Terkait asal-usulnya, ada beberapa pendapat yang berkembang. Pendapat pertama, menyatakan Sunan Kalijaga orang Jawa asli keturunan Adipati Wengker (Ponorogo) yg juga ayah dari Aria Wiraraja, Pendapat ini didasarkan pada catatan historis Babad Tuban dan data keluarga besar keturunan Sunan Kali Jaga.[2]

Di dalam babad tersebut diceritakan, Aria Teja alias 'Abdul Rahman berhasil mengislamkan Adipati Tuban, Aria Dikara, dan mengawini putrinya. Dari perkawinan tersebut Aria Teja kemudian memiliki putra bernama Aria Wilatikta. Catatan Babad Tuban ini diperkuat juga dengan catatan masyhur penulis dan bendahara Portugis Tome Pires (1468 - 1540).

Menurut catatan Tome Pires, penguasa Tuban pada tahun 1400M adalah cucu dari peguasa Islam pertama di Tuban yakni Aria Wilakita, dan Sunan Kalijaga atau Raden Mas Said adalah putra Aria Wilatikta.

Adapun pendapat yang kedua adalah menyatakan Sunan Kalijaga adalah keturunan arab. Pendapat kedua ini disebut-sebut berdasarkan keterangan penasehat khusus Pemerintah Kolonial Belanda, Van Den Berg (1845 – 1927), yang menyatakan bahwa Sunan Kalijaga adalah keturunan Arab yang silsilahnya sampai ke Rasulullah ﷺ. Sejarawan lain seperti De Graaf juga menilai bahwa Aria Teja I ('Abdul Rahman) memiliki silsilah dengan Ibnu Abbas, sepupu Rasulullah ﷺ.

Adanya tiga versi sejarah tentang Sunan Kalijaga, Tetapi yang dikembangkan hanya versi Jawa, sedang dua versi yang lain tidak pernah dijumpai secara tertulis, berarti telah terjadi distorsi tentang kisah anggota walisanga paling terkenal ini.

Sunan Kalijaga merupakan putra dari Raden Sahur atau Tumenggung Wilatikta, (beristri Dewi Nawang Arum) putra dari : Raden Ayu Arya Teja / Raden Ayu Haryo menikah dengan Syekh Subakir (Arya Teja 3)
DARI JALUR IBU :
Raden Ayu Arya Teja putri dari : Arya Teja II /Aryo Dikoro (Adipati Tuban ke 5 : 1326 - 1349). putradari : Arya Teja I / Raden Haryo Lena (Adipati Tuban ke 4 : 1306 - 1326). putra dari : Aryo Sirolawe (Adipati Tuban ke 3 : 1291 - 1306) Putra dari : Arya Adikara atau Arya Ranggalawe. (Adipati tuban ke 2 : 1282 - 1291) putra dari : Arya Wiraraja / Banyak Wide (Rakryan Demung Singasari : 1290, Raja Kerajaan Lamajang Tigang Juru bergelar Prabu Menak Koncar I : 1293) Adipati Ponorogo menikah dengan Nararya Kirana.

Menarik disini, bahwa banyak Wide adalah pertemuan antara Nararya Kirana putri dari : Wisnu Wardhana (Raja Ke 4 Singosari : 1250- 1268), putra dari : Anusapati (Raja Ke 2 Singosari : 1227 - 1248). putra dari : Tunggul Ametung (Akuwu Tumapel pada kerajaan Kadiri di masa Kertajaya : 1194-1222). Selain nasab ini, ada jalur lagi : Arya Ranggalawe adalah putra Banyak Wide (Syekh Abdurrahman) yang menikah dengan Nyai Ageng Lanang Jaya Disebutkan bahwa Banyak Wide putra dari Syaikh Abdullah, bin Syaikh Kharamis bin Abbas bin Abdullah bin Ahmad bin Jamal bin Hasanuddin binArifin bin Maruf bin Abdullah bin Mubarak bin Khormis bin Abdullah bin Mudzakir arRumni bin Wahid Arrumni bin Abdul Wahid Qormain /Abdullah al Akbar bin Ali bin Ibnu Abbas bin Sayyidina Abbas bin Abdul Muthalib Maka kita ketemulah, Syaikh Abdullah yang dimaksud adalah Adipati Ponorogo pada masa itu, Syaikh Abdullah menikah dengan Nararya Kirana binti Wisnu Wardhana.

Sedangkan, Nyai Ageng Lanang Jaya adalah putra dari Raden Dandang Wacana / Kyai Gede Papringan (Bupati Tuban 1 : 1264 – 1282). Putra dari Raden Arya Dandang Miring (Adipati Lumajang) putra dari Raden Arya Bangah (Bupati Gumenggeng; Bekas kabupaten tersebut sekarang menjadi Desa Banjaragung (Kecamatan Rengel, Tuban)) putra dari Raden Arya Randu Kuning / Kyai Ageng / Kyai Gede Lebe Lontang (Bupati Lumajang Tengah, bukan Lumajang sekarang, tapi ini perkampungan di panturan, timur Lasem dan sekarang bagian dari Tuban) putra dari Raden Arya Metahun putra dari Prabu Banjarsari (ada yang sebut dia adalah Sang Hyang Cakradewa, Raja Panjalu ke 3) putra dari Prabu Sanghyang Lembu Sampulur I putra dari Prabu Sanghyang Rangga Gumilang (Raja Panjalu 1) putra dari Batara Karimun Putih putra dari Batara Layah putra dari Batara Tesnajati (cikal bakal pendiri Panjalu, di Mataram, dia seperti Panembahan Senopati). Bathara Tresnajati ini hidpup di masa Sang Lumahing Kreta (923-1015 M) di Galuh, Dharmawangsa Teguh Anantawikramottunggadewa (991 -   1016) di Medhang Kamulan (Raja Terakhir Medhang dan Mataram Kuno).

SILSILAH DARI JALUR AYAH : Dinukil dari bebarapa kitab diantaranya kitab manhajus sawi, masyra'ur rawi, auliya syarqil bait, syamsu dzahirah dan lainya adalah :

1. Nabi Muhammad SAW

2. Fatimah dan Ali

3. Husein

4. Ali Zainal Abidin

5. Muhammad Al-Baqir

6. Ja'far Ash-Shadiq

7. Ali Al-Uraidhi

8. Muhammmad An-Naqib

9. Isa Ar-Rumi

10. Ahmad Al-Muhajir

11. Ubaidillah

12. Alwi Al-Awwal

13. Muhammad Shahibus Shaumah

14. Alwi Ats-Tsani

15. Ali Khali' Qasam

16. Muhammad Shahib Mirbath

17. Alwi Ammil Faqih

18. Abdul Malik

19. Abdullah Azmatkhan

20. Ahmad Syah Jalaluddin

21. Jamaluddin Al-Husaini

22. Barakat Zainal Alam

23. Ahmad Abdurrahman Ar-Rumi Shahib Maja'

24. Raden Sa'id atau Sunan Kalijaga


Kelahiran

Sunan Kalijaga diperkirakan lahir pada tahun 1450 dengan nama Santi Kusumo. Dia adalah putra empu Santi badra dan kakeknya bernama Badranala dan buyutnya bernama Maladresmi raja lasem yang bergelar Rajasawardana. Nama lain Sunan Kalijaga antara lain Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban, dan Raden Abdurrahman.Sunan kali jaga adalah adik dari DAN MPU AWANG (Santi Puspo/Sayid Abubakar ).dan sunan kali jaga adalah anak terkahir dari sepuluh bersaudara.

Wafat

Ketika wafat, ia dimakamkan di Desa Kadilangu, dekat kota Demak (Bintara). Makam ini hingga sekarang masih ramai diziarahi orang - orang dari seluruh indonesia




Terbit tangall 23/1/2 3

Pernikahan

Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishak, dan mempunyai 3 putra: R. Umar Said (Sunan Muria), Dewi Rakayuh dan Dewi Sofiah. Maulana Ishak memiliki anak bernama Sunan Giri dan Dewi Saroh. Mereka adalah kakak beradik.

Sunan Kalijaga juga menikah dengan puteri Aria Dikara. Dari pernikahan itu, lahirlah Raden Ayu Panengah, yang setelah dewasa menikah dengan Ki Ageng Ngerang III. Merekalah orang tua Ki Penjawi, salah satu sesepuh Mataram.

Berda'wah

Menurut cerita, Sebelum menjadi Walisongo, Raden Said adalah seorang perampok yang selalu mengambil hasil bumi di gudang penyimpanan Hasil Bumi di kerajaannya, merampok orang-orang yang kaya. Hasil curiannya, dan rampokanya itu akan ia bagikan kepada orang-orang yang miskin. Suatu hari, saat Raden Said berada di hutan, ia melihat seseorang kakek tua yang bertongkat. Orang itu adalah Sunan Bonang. Karena tongkat itu jika dilihat seperti tongkat emas, ia merampas tongkat itu. Katanya, hasil rampokan itu akan ia bagikan kepada orang yang miskin. Tetapi, Sang Sunan Bonang tidak membenarkan cara itu. Ia menasihati Raden Said bahwa Allah S.W.T tidak akan menerima amal yang buruk. Lalu, Sunan Bonang menunjukan pohon aren emas dan mengatakan bila Raden Said ingin mendapatkan harta tanpa berusaha, maka ambillah buah aren emas yang ditunjukkan oleh Sunan Bonang.

Karena itu, Raden Said ingin menjadi murid Sunan Bonang. Raden Said lalu menyusul Sunan Bonang ke sungai. Raden Said berkata bahwa ingin menjadi muridnya. Sunan Bonang lalu menyuruh Raden Said untuk bersemedi sambil menjaga tongkatnya yang ditancapkan ke tepi sungai. Raden Said tidak boleh beranjak dari tempat tersebut sebelum Sunan Bonang datang. Raden Said lalu melaksanakan perintah tersebut. Karena itu, ia menjadi tertidur dalam waktu lama. Karena lamanya ia tertidur, tanpa disadari akar dan rerumputan telah menutupi dirinya.

Tiga tahun kemudian, Sunan Bonang datang dan membangunkan Raden Said. Karena ia telah menjaga tongkatnya yang ditanjapkan ke sungai, maka Raden Said diganti namanya menjadi Kalijaga. Kalijaga lalu diberi pakaian baru dan diberi pelajaran agama oleh Sunan Bonang. Kalijaga lalu melanjutkan dakwahnya dan dikenal sebagai Sunan Kalijaga. Namun, cerita ini banyak diragukan oleh para sejarawan dan ulama berpaham salaf karena tidak masuk akal dan bertentangan dengan ilmu syariat

Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung "sufistik berbasis salaf" -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.

Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil memengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.

Ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Beberapa lagu suluk ciptaannya yang populer adalah Ilir-ilir dan Gundul-gundul Pacul. Dialah menggagas baju takwa, perayaan sekatenan, garebeg maulud, serta lakon carangan Layang Kalimasada dan Petruk Dadi Ratu ("Petruk Jadi Ratu"). Lanskap pusat kota berupa kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini pula dikonsep oleh Sunan Kalijaga.

Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga; di antaranya adalah adipati Pandanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang.

Dalam budaya populer

Referensi

Situs web

  1. ^ Sawabi., Ihsan, H. (1987/1988 [i.e. 1987]). Laporan penelitian perpustakaan dan program akademik : studi tentang relevansi koleksi bahan bacaan dengan kebutuhan mahasiswa dan dosen IAIN induk di Jawa : Perpustakaan IAIN Sunan Kali Jaga, Yogyakarta. Proyek Penelitian Keagamaan, Departemen Agama R.I., Bagian Proyek Pusat Penelitian dan Pengembangan Lektur Agama.  Teks "oclc26929299" akan diabaikan (bantuan);
  2. ^ "Tiga Versi Asal-Usul Sunan Kalijaga". Dunia Keris. 2021. 

Buku

  • Soekirno, Ade (1994). Sunan Kalijaga: asal-usul mesjid agung demak: cerita rakyat Jawa Tengah. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. ISBN 9795534629.
  • Nasuhi, Hamid (2017). "Shakhṣīyat Sunan Kalijaga fī taqālīd Mataram al-Islāmīyah". Studia Islamika. Vol. 24 no. 1. Republic of Indonesia: Syarif Hidayatullah State Islamic University of Jakarta. ISSN 2355-6145.
  • Chodjim, Achmad (2013). Sunan Kalijaga: Mistik dan Makrifat. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. ISBN 9789790242920.
  • Ricklefs, M.C. (1991). A History of Modern Indonesia since c.1300, 2nd Edition. London: MacMillan. p. 10. ISBN 0-333-57689-6.
  • Sunyoto, Agus (2014). Atlas Wali Songo: Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah. 6th edition. Depok: Pustaka IIMaN. ISBN 978-602-8648-09-7
  • Sufisme Sunan Kalijaga