Raden Ajeng Kurnianingrat Sastrawinata (4 September 1919 – 18 Oktober 1993), atau lebih dikenal dengan nama Kurnianingrat,[a] adalah seorang pendidik dan pelopor kurikulum pengajaran bahasa Inggris sebagai bahasa kedua di Indonesia. Ia pernah menjabat sebagai Wakil Kepala Inspeksi Pengajaran Bahasa Inggris (IPBI), sebuah lembaga di bawah Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Republik Indonesia, mulai tahun 1953 hingga 1956. Kemudian, ia menjabat sebagai Kepala Program Studi Inggris di Universitas Indonesia.

Raden Ajeng
Kurnianingrat Sastrawinata
Kurnianingrat, c. 1950
LahirKoernia[1]
(1919-09-04)4 September 1919
Ciamis, Hindia Belanda
Meninggal18 Oktober 1993(1993-10-18) (umur 74)
Jakarta, Indonesia
AlmamaterCornell University (MA)
Dikenal atas
Suami/istri
(m. 1970; meninggal 1975)
Orang tua

Lahir pada sebuah keluarga aristokrat Sunda—ayahnya adalah Bupati Ciamis, Jawa Barat (saat itu masih merupakan bagian dari koloni Hindia Belanda) dan ibunya adalah seorang guru asal Garut—Kurnianingrat pun bersekolah di sekolah berbahasa Belanda dan tinggal bersama keluarga Belanda dan Indo-Eropa. Setelah lulus dari sekolah menengah, ia melanjutkan studinya di sekolah pendidikan guru, dan kemudian lulus dengan gelar diploma pendidikan, dengan spesialisasi di psikologi. Tugas mengajar pertamanya, pada tahun 1938, adalah di Batavia (sekarang Jakarta), di tempat ia pertama kali mengetahui tentang perkembangan gerakan nasionalis Indonesia. Selama dan segera setelah Jepang menduduki Hindia Belanda, ia bekerja dan tinggal di Yogyakarta, serta menjadi saksi dan berpartisipasi dalam Revolusi Nasional Indonesia. Di sana, ia bertemu dengan perdana menteri Indonesia, Ali Sastroamidjojo, yang kemudian ia nikahi pada tahun 1970. Dua orang muridnya, Daoed Joesoef dan Nugroho Notosusanto, lalu menjadi menteri pendidikan Indonesia.

Kurnianingrat juga pernah tinggal di luar Indonesia untuk melanjutkan studinya. Pertama, studi selama satu tahun di Sydney untuk mempelajari sistem pendidikan Australia, lalu studi selama dua tahun di Universitas Cornell di Amerika Serikat untuk meraih gelar magister di bidang literatur Inggris. Ia pun berteman dengan sejumlah akademisi asing, seperti Herbert Feith dan istrinya, Betty, Ailsa Thomson Zainuddin, dan George McTurnan Kahin. Karena pengalamannya bekerja bersama Feiths dan Zainuddin, yang merupakan salah satu sukarelawan asal Australia pertama yang mengerjakan tugas untuk pemerintah Indonesia, ia pun menjadi pendukung awal dari program sukarelawan internasional Australia.

Biografi

Kehidupan awal, keluarga, dan pendidikan

 
Alun-alun Ciamis, c. 1925–1933. Kurnianingrat dan ibunya tinggal di sebuah rumah sederhana di dekat masjid di sebelah kanan, di belakang barisan pohon.[2]

Kurnianingrat lahir di Ciamis, sebuah kota di dekat perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah, pada tanggal 4 September 1919.[b] Ayahnya adalah Raden Adipati Aria Sulaeman Sastrawinata, seorang priyayi Sunda yang diangkat menjadi Bupati Ciamis oleh pemerintah Hindia Belanda.[3][4][5][c] Sulaeman menikahi Suhaemi, seorang guru sekolah asal Garut dan putri dari seorang tuan tanah lokal, setelah istri pertamanya meninggal akibat disentri.[4][6] Karena istri pertamanya tidak memberinya anak, Sulaeman pun menamai anak pertama dari pernikahannya dengan Suhaemi dengan nama "Kurnia", yang berarti hadiah. Nama tersebut kemudian diikuti dengan akhiran "ningrat", yang berarti keturunan priyayi.[4]

Di sisi lain, Suhaemi bukan berasal dari keluarga priyayi, sehingga ia tidak dapat menyandang gelar Raden Ayu dan menjadi istri utama dari Sulaeman.[4] Sepuluh hari usai Kurnianingrat lahir, Sulaeman menikahi Kancananingrat, seorang janda yang merupakan anak dari Bupati Sumedang, dan Kancananingrat pun menjadi istri utama Sulaeman dengan gelar Raden Ayu.[2][6][d] Kancananingrat memperlakukan Kurnianingrat seperti anaknya sendiri dan memenuhi kebutuhannya. Sementara itu, Kurnianingrat dan ibu kandungnya tinggal di sebuah rumah yang terpisah dari kabupaten, kediaman Bupati dan Raden Ayu. Walaupun begitu, Kurnianingrat selalu disambut di kabupaten dan berkunjung setiap hari selama beberapa jam. Kurnianingrat juga kerap menemani ayahnya untuk berkeliling Ciamis.[2] Seorang adik laki-laki lalu lahir pada tahun 1924,[7] dan dua orang adik perempuan masing-masing kemudian lahir pada tahun 1932 dan 1934.[8]

Kurnianingrat mulai bersekolah pada usia tiga atau empat tahun.[2] Setahun kemudian, Kurnianingrat diantar ke Tasikmalaya untuk tinggal bersama sebuah keluarga Indo-Eropa, sehingga memungkinkannya untuk mempelajari bahasa Belanda, yang menjanjikan kesempatan untuk pendidikan dan pekerjaan yang lebih baik pada masa itu. Pada usia lima tahun, pengetahuan bahasa Belanda Kurnianingrat telah cukup baik, sehingga membuatnya dianggap layak untuk masuk ke sebuah sekolah dasar Eropa pada tingkat kedua.[9] Kurnianingrat kemudian diantar ke Bandung pada usia tujuh tahun untuk bersekolah di sebuah sekolah yang dijalankan oleh ordo Ursulin. Karena tidak dapat menemukan teman di sekolah tersebut, Kurnianingrat kerap mengunjungi bioskop, belajar bahasa Jerman, dan meningkatkan kemampuannya untuk berbicara dalam bahasa Inggris dengan menonton film-film asing.[3] Setelah lulus dari sekolah tersebut, Kurnianingrat bersekolah di Indo-Europees Verbond Kweekschool, sebuah sekolah pelatihan guru di Bandung. Pada saat itu, ayahnya telah pensiun dari jabatan bupati dan menyewa sebuah vila di Bandung, sehingga memungkinkannya untuk tinggal bersama keluarganya.[8] Kurnianingrat mengikuti kursus pelatihan selama dua tahun, sehingga memungkinkannya untuk mendapat sertifikat Hoofdacte (guru kepala). Pada saat itu, ia juga mengajar paruh waktu di sebuah sekolah keputrian.[10]

Karir awal dan kegiatan masa perang

 
Baginda Dahlan Abdullah (1895–1950), yang memperkenalkan Kurnianingrat dengan gerakan nasionalis Indonesia

Pada tahun 1938, Kurnianingrat memulai karirnya dengan mengajar kelas tiga di sebuah sekolah dasar Tionghoa-Belanda di Glodok, sebuah pecinan di ibu kota Hindia Belanda, Batavia (sekarang Jakarta).[10] Seorang kolega asal Sumatra yang mengajar kelas enam, Dahlan Abdullah, kemudian memperkenalkan Kurnianingrat dengan gerakan nasionalis Indonesia yang melawan pemerintahan kolonial. Berkat Dahlan, Kurnianingrat menjadi sadar akan ketidakadilan yang diterapkan oleh Belanda dan mendapati bahwa sebagian besar pribumi Indonesia tidak diizinkan untuk masuk ke sekolah dasar Eropa seperti dirinya.[11] Atas permintaan ayahnya, Kurnianingrat lalu dipindahkan oleh Kementerian Pendidikan ke Purwakarta untuk mengajar di sebuah sekolah dasar Eropa.[12] Karena sekolah tersebut lebih dekat dengan rumahnya, adiknya dan sejumlah keponakannya pun disekolahkan di sekolah tersebut dan diajar oleh Kurnianingrat.[13]

Perang kemudian pecah di Eropa, dan karena Jerman mulai menginvasi Belanda, kepala dari sekolah tersebut pun kembali ke Belanda untuk ikut berperang. Kurnianingrat, sebagai staf pengajar yang paling berkualifikasi, lalu menggantikannya sebagai kepala sekolah, walaupun guru-guru lain dan para petinggi kolonial lokal tidak senang dengan keputusan tersebut. Namun, dengan makin besarnya peluang invasi Jepang ke Hindia Belanda usai serangan Pearl Harbor pada tahun 1941, sekolah tersebut akhirnya ditutup ketika keluarga-keluarga Belanda mulai kabur ke Australia dan ke wilayah-wilayah lainnya.[13] Kurnianingrat juga dievakuasi ke pedesaan bersama keluarganya. Pada bulan Maret 1942, pasukan Jepang telah menduduki Purwakarta.[13] Invasi tersebut menyebabkan ayahnya tidak lagi mendapat uang pensiun dari pemerintah Hindia Belanda, sehingga Kurnianingrat berniat untuk kembali bekerja di Batavia, yang waktu itu telah diubah namanya menjadi Jakarta oleh pemerintah militer Jepang, setelah tidak bekerja selama berbulan-bulan. Di Jakarta, Kurnianingrat kembali bertemu dengan mantan koleganya, Dahlan Abdullah, yang diangkat oleh Jepang sebagai kepala pemerintah daerah sementara, karena memiliki pandangan anti-Belanda. Dahlan Abdullah pun menawarkan pekerjaan di kantor pemerintah daerah kepada Kurnianingrat, meskipun gajinya sangat kecil[14] Kemudian, Kurnianingrat melamar di Kementerian Pendidikan Jepang untuk mengisi lowongan guru psikologi di Sekolah Guru Perempuan di Yogyakarta.[14] Kurnianingrat pertama kali tertarik dengan psikologi pada saat masih menjadi murid di Indo-Europees Verbond Kweekschool di Bandung.[8]

Di Yogyakarta, Kurnianingrat mengamati bahwa para penduduk terbiasa berbicara dalam bahasa Indonesia alih-alih bahasa asing.[15] Sebagai pemakai bahasa Belanda yang handal, ia sangat sedikit mengetahui bahasa Indonesia, karena bahasa tersebut menjadi bahasa pengantar utama di sekolah tempat ia mengajar. Seorang kolga telah menerjemahkan pelajaran-pelajarannya ke dalam bahasa Indonesia, dan ia akan mengajarkannya di kelas-kelas.[16] Ketika ekonomi memburuk pada masa pendudukan Jepang, Kurnianingrat membarter pakaian batik dan menjual perhiasannya untuk mendukung pendidikan para anggota keluarganya.[16] Ia berlibur dengan keluarganya di Purwakarta saat kabar menyerahnya Jepang kepada Sekutu barat pada 1945 mencapai Hindia Belanda. Berharohari kemudian, kabar pemimpin kemerdekaan Sukarno dan Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia mencapai Yogyakarta melalui siaran radio Australia.[17] Pasukan Sekutu datang pada September untuk mengembalikan kekuasaan Belanda, membuat pemerintahan republik yang baru dibentuk untuk berpindah ke Yogyakarta, beserta dengan para pejabat pemerintah, panglima militer, pejabat asing dan wartawan.[18][19] Pada 1946, Kurnianingrat mulai mengahar bahasa Inggris di SMA dan juga membaca siaran-siaran berbahasa Inggris untuk stasiun radio Voice of Free Indonesia.[20] Ia dan guru sejawatnya, Utami Soerjadarma, ditugaskan untuk ikut serta dalam banyak kegiatan makan malam kenegaraan di Gedung Agung karena tak banyak orang indonesia yang dapat berbahasa Inggris dengan tetamu asing pada masa itu.[19] Ia berharap agar, dengan menghadiri makan malam tersebut, "Aku dapat membantu membuat citra rakyat indonesia tak dipandang sebelah mata."[21]

 
Para penduduk Yogyakarta sedang menunggu pengiriman beras saat penipisan makanan usai Belanda menyerang kota tersebut pada tahun 1948.

Pada 1947, Kurnianingrat terpilih menjadi jurutulis untuk delegasi Indonesia untuk Perjanjian Renville dengan Belanda yang dinaungi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa.[20] Setelah pasukan Belanda melanggar perjanjian gencatan senjata dan merebut Yogyakarta pada 1948, ia membantu perjuangan Indonesia dengan mengijinkan para pejuang gerilya untuk memakai rumahnya sebagai depot suplai.[20] Karena serangan tersebut menimbulkan penyusutan pangan di kota tersebut, ia dan wanita lainnya mengoperasikan "dapur nasi" untuk memberi makan para keluarga yang tak memiliki persediaan pangan.[22] Ia juga tetap mengajar para murid secara diam-diam dengan para guru perguruan tinggi lainnya dan juga melakukan pekerjaan administratif untuk Palang Merah Indonesia.[23] Meskipun para prajurit Pemerintahan Sipil Hindia Belanda memeriksa rumahnya, kegiatan rahasianya tak pernah terbongkar. Pada 1949, serangan tersebut telah membuat warga dunia menentang Belanda, yang kemudian terpaksa membebaskan para pemimpin Indonesia yang ditangkap dan mengadakan Konferensi Meja Bundar yang berujung pada pengkuan kedaulatan Indonesia pada bulan Desember.[24]

Belajar ke luar negeri dan pulang ke Indonesia

Sebagai bagian dari bantuan Australia setelah perang kepada negara-negara Asia, Jawatan Pendidikan menawarkan beasiswa kepada orang-orang Indonesia pada tahun 1949.[24] Karena terpikat akan masa depan pendidikan di Indonesia, Kurnianingrat mengajukan diri untuk belajar psikologi pendidikan dan meraih dukungan dari pemerintah Indonesia.[25] Beasiswa tersebut menawarkannya pembelajaran setahun di Sydney pada jurusan yang ia pilih, sehingga ia memutuskan untuk belajar sistem pendidikan Australia.[24] Ia berangkat ke Sydney pada bulan November dan disambut oleh chargé d'affaires Indonesia, Usman Sastroamidjojo, usai kedatangan.[26] Belajar di bawah bimbingan Profesor William O'Neill dari Universitas Sydney, ia mengunjungi sekolah-sekolah di seluruh belahan negara tersebut, menemukan sedikit perbedaan antara sekolah-sekolah Australia dan sekolah-sekolah Belanda di Indonesia. Namun ia terkejut oleh jumlah sekolah jenis kelamin tunggal dan pemisahan jenis kelamin dalam kehidupan Australia.[27] Federasi Guru New South Wales menjadikannya anggota kehormatan.[28] Ia juga melakuakn perjalanan ke Canberra, Melbourne, dan Tasmania.[29]

Ia kembali ke Indonesia pada Desember 1950 dan disambut hangat oleh para pejabat kementerian pendidikan yang tertarik untuk mendengar pengalamannya di Australia. Ia diangkat menjadi kepala Sekolah Guru Atas dan ditugaskan untuk mengubah sekolah Belanda menjadi "lembaga republik".[30] Pada 1951, bahasa Inggris menggantikan bahasa Belanda sebagai bahasa asing utama dari pemerinthan Indonesia dan Inspeksi Pengajaran Bahasa Inggeris (IPBI) didirikan pada 1953.[31] Kurnianingrat mengajukan diri untuk masuk inspektorat tersebut dan diterima sebagai wakil direkturnya. Ia bergabung dengan direkturnya, Fritz Wachendorff, dan anggota staf, Harumani Rudolph-Sudirdjo.[20][32] IPBI meminta bantuan British Council dan Ford Foundation dalam merencanakan silabus untuk untuk pengajaran bahasa Inggris pada lembaga-lembaga pendidikan dasar. Mereka juga mengadakan kursus dua tahun untuk melatih para guru bahasa Inggris.[20][33] Pada 1951, para sukarelawan Australia mulai datang di bawah naungan Volunteer Graduate Scheme (VGS), yang bekerja pada penugasan untuk pemerintahan Indonesia, termasuk di IPBI.[34] Kurnianingrat menaungi dan menjalin persahabatan dengan beberapa sukarelawan tersebut.[35]

IPBI dibubarkan pada 1956, karena anak sulung Rudolph-Sudirdjo lahir dan Wachendorff menerima jabatan dosen di Universitas Indonesia.[36] Kurnianingrat datang ke Amerika Serikat untuk belajar sastra Inggris dan linguistik di Universitas Cornell di Ithaca, New York setelah menerima beasiswa dari Ford Foundation. Ia menjalani dua tahun di universitas dan merampungkan tesis Magistrat tentang sejarah William Shakespeare di Indonesia.[20][37] Tesisnya menyoroti cikal bakal Komedi Stambul, sebuah bentuk pertunjukan rakyat dari zaman kolonial akhir, yang mementaskan adaptasi-adaptasi karya seperti Hamlet.[38] Setelah kepulangannya, ia mulai mengajar di jurusan sastra Inggris di Universitas Indonesia, kemudian menjadi kepala jurusan pada Juni 1960.[20]

Msuknya media berbahasa Inggris pada akhir 1960an menimbulkan peningkatan pemahaman dan pemakaian bahasa tersebut pada masyarakat Indonesia.[39] Sekolah-sekolah bahasa mengajarkan bahasa Inggris dan penerbitan-penerbitan meluncurkan buku-buku pelajaran bahasa Inggris berkembang.[40] Namun, Kurnianingrat menyesalkan tingkat kemahiran berbahasa Inggris yang rendah secara umum karena sedikit orang yang mampu membayar biaya les privat.[41] Ia meraih tawaran dari Longman yang berbasis di London untuk menerbitkan buku pelajaran, namun ia menolaknya karena penerbitan tersebut tak ingin mencetak nama pengarang pada sampulnya. Sebuah penerbitan domestik, Bhratara, menerbitkan buku pelajaran buatannya yang berjudul Practical Conversations pada 1973.[40] Pada 1974, Kurnianingrat pensiun dari mengajar di Universitas Indonesia.[41] Ia mengajar privat pada tahun-tahun berikutnya.[42] Pada usia 70an tahun, ia mengalami kehilangan penglihatan mata dan tak lagi menulis tanpa dibantu.[43] Untuk menghadapi kondisi tersebut, ia mempelajari Braille.[42]

Atas dorongan Rudolph-Sudirdjo, Kurnianingrat mulai menulis memoir dan memasukkan draf-draf di antara surat-surat yang ditulis kepada sejarawan Ailsa Thomson Zainuddin antara Januari 1991 dan Juni 1993.[43] memoir tersebut tak pernah rampung, dan hanya sembilan bab yang mengisahkan kisah hidupnya sepanjang usia 30an tahun yang dirampungkan sebelum ia jatuh sakit dan meninggal pada 18 Oktober 1993.[44][45] Ia tinggal di Cipinang Muara, Jatinegara, Jakarta Timur.[43]

Kehidupan pribadi

 
Mantan perdana menteri Ali Sastroamidjojo (1903–1975), yang menikahi Kurnianingrat pada 1970

Pada 1940, pada penugasan pengajaran pertama Kurnianingrat di Batavia, ia menjalin hubungan dengan Jusuf Prawira Adiningrat, seorang mahasiswa hukum. Keduanya diperkenalkan satu sama lain melalui Toos Prawira Adiningrat, saudara Jusuf dan sepupu Kurnianingrat, yang menjadi teman paling dekatnya. Pada masa itu, ia tinggal di rumah patih Weltevreden. Ketika hubungan Jusuf dengan Kurnianingrat menjadi lebih serius, Jusuf meminta ijin ayah Kurnianingrat untuk menikahinya. Keduanya bertunangan menyusul proposal resmi atas perantaraan bupati dan Raden Ayu Cianjur, para sepupu Jusuf. Ia kemudian meminta Kementerian Pendidikan untuk memindahkan penugasannya ke Purwakarta, sehingga ia dapat terdampingi dengan baik.[12] Jusuf mengunjunginya setiap akhir pekan di Purwakarta. Namun saat keluarganya dievakuasi dari invasi Jepang, Kurnianingrat terpaksa meninggalkan kota tersebut tanpa Jusuf.[13] Bahkan usai pasukan Jepang menduduki Purwakarta, ia tak lagi mendapatkan kabar dari Jusuf. Sehingga, ia kembali untuk mencarinya. Disana, ia mengetahui bahwa ia dibunuh saat perjalanan menuju Purwakarta oleh para warga desa yang menyangkanya sebagai orang Tionghoa.[46]

Kurnianingrat kemudian menikahi duda mantan perdana menteri Ali Sastroamidjojo, yang istrinya meninggal beberapa hari sebelumnya.[20] mereka mengenal satu sama lain saat mereka berada di Yogyakarta—ketika Kurnianingrat menjadi guru dan Ali menjadi pemimpin republik—dan seringkali bertemu pada acara-acara kenegaraan.[47] Dalam sebuah surat tahun 1949 kepada konjen Australia Charles Eaton, Ali, dalam penugasannya sebagai Menteri Pendidikan pada masa itu, memuji Kurnianingrat sebagai "salah satu guru paling terkualifikasi dalam pelajaran bahasa Inggris di sekolah-sekolah menengah kami", membujuk agar Kurnianingrat mengajukan diri untuk belajar di Australia.[25] Meskipun orang-orang yang mengenal Ali menganggapnya sebagai pria yang kaku, Kurnianingrat melihat sifat lucunya dan seringkali memberikan hormat pada orang-orang yang menganggapnya sebagai negarawan tua.[47] Kurnianingrat membujuk Ali untuk merampungkan sebuah memoir, yang terbit pada 1974.[48] Pada tiga bulan terakhir masa hidupnya, Ali terkena penyakit paru-paru.[47] Keduanya menikah dari 1970 sampai Ali meninggal pada 1975.[20][42]

Warisan

 
Kartini (1879–1904), pelopor hak dan pendidikan wanita, yang disandingkan oleh Zainuddin dengan Kurnianingrat

Sejarawan Ailsa Thomson Zainuddin memandang Kurnianingrat sebagai Kartini modern, aristokrat dan advokat pendidikan dan emansipasi wanita Jawa abad ke-19.[3] Kurnianingrat mengakui pada tahun-tahun terakhirnya bahwa ia "sangat memahami Kartini" lewat tulisan-tulisan Zainuddin.[49] Dalam sebuah artikel tak diterbitkan yang ditulis pada 1980, ia membandingkan pencapaiannya sendiri dengan Kartini:[3]

Saya lahir dalam sebuah lingkungan yang mirip dengan Kartini, pelopor emansipasi wanita di Indonesia, namun pada empat puluh tahun berikutnya. Pada 1920an, kabupaten tak lagi menempatkan para perempuan dalam tembok-temboknya; kabupaten menjadi pusat kaum muda untuk menuntut pendidikan mereka. Banyak sepupu saya, baik laki-laki maupun perempuan, datang untuk tinggal di kabupaten dan mereka dibesarkan bersama secara setara. Tak pernah ada para perempuan merasa bahwa para laki-laki lebih tinggi dan kaum muda tak merendahkan diri mereka sendiri di hadapan orang-orang yang lebih tua. Karena Kartini mengukir kesempatan untuk meraih pembelajaran Barat, kami terdorong untuk memahami sebanyak mungkin budaya Barat.

Ketika berada di Yogyakarta, Kurnianingrat menjadi saksi peristiwa-peristiwa Revolusi Nasional Indonesia dan sering berbincang dengan para figur utamanya,[50] termasuk Presiden Sukarno dan kelak suaminya, Ali Sastroamidjojo.[47] Sejarawan Jean Gelman Taylor mendeskripsikan kehidupannya "memiliki hubungan intim dengan pendirian Indonesia".[51] Rumahnya di Gondokusuman seringkali didatangi para pengunjung, anggota keluarga, teman dan bahkan pengungsi dari serangan militer Belanda.[52] Ia menjalin persahabatan dengan petugas Palang Merah Indonesia Paramita Abdurachman dan sejarawan Amerika Serikat George McTurnan Kahin (saat itu masih menjadi mahasiswa doktoral).[53][54] Kemudian, ia mencegah otoritas Belanda dari merampas salinan-salinan pidato buatan Sukarno, Mohammad Hatta, dan Mohammad Natsir—yang disiapkan untuk disiarkan ketika Belanda menyerang Yogyakarta—dan membantu Kahin menyeludupkan mereka keluar dari Indonesia.[55][56] Dua muridnya di Yogyakarta kemudian menjadi menteri pendidikan, Daoed Joesoef dan Nugroho Notosusanto.[47]

Cendekiawan Australia Herbert Feith, istrinya, Betty, dan Zainuddin merupakan teman seumur hidup Kurnianingrat.[57] Feith datang ke indonesia pada 1951 dan menjadi sukarelawan Australia pertama di Indonesia. Istrinya dan Zainuddin menyusul pada Juli 1954 dan bekerja di IPBI, tempat Kurnianingrat menjadi wakil direktur, selama delapan belas bulan. Pengalaman Kurnianingrat bekerja dengan tiga orang tersebut menjadikannya pendukung awal sukarelawan Australia. Meskipun sadar akan jurang pemisah gerakan sukarela internasional—paternalisme yang ditunjukkan dengan mengirim pemahaman kenegaraan dan kemiskinan dari kebutuhan lokal, ia menulis dalam potongan opini tahun 1959, "Aku hanya dapat berkata bahwa aku memiliki apresiasi mendalam untuk Volunteer Graduate Scheme dan cara ini diupayakan untuk menjalin hubungan bersahabat dengan Indonesia."[34][35]

Karya

  • Kurnianingrat (9 Juni 1950). "Education In Indonesia". Education: Journal of the New South Wales Teachers' Federation. Sydney: N.S.W. Teachers' Federation. 31 (8): 4. OCLC 220329934. 
  • Kurnianingrat (1958). An Essay Towards a History of Shakespeare in Indonesia (Tesis MA). Cornell University. OCLC 1198052. 
  • Kurnianingrat; Rudolph, Harumani (1985). Practical Conversations: A Guide to English Use. Jakarta: Bhratara Karya Aksara. 

Catatan

  1. ^ Hingga tahun 1947, Ejaan Van Ophuijsen adalah ortografi yang digunakan dalam penulisan Bahasa Indonesia. Dalam sistem ejaan tersebut, nama Kurnianingrat ditulis sebagai Raden Adjeng Koernianingrat Sastrawinata ([ra'dɛn a'dʒəŋ kʊrniaˈniŋrat sastrawi'nata]), sebagaimana yang dicantumkan di (Gunseikanbu 1943, hlm. 86). Di antara teman-temannya, (Zainu'ddin 1997, hlm. 157) mencatat bahwa ia dikenal sebagai Jo ([jo]), juga ditulis menggunakan sistem ejaan yang sama.
  2. ^ (Zainu'ddin 1994, hlm. 115) dan (Zainu'ddin 1997, hlm. 164) memberikan informasi yang berlawanan tentang tanggal lahir Kurnianingrat, dengan sumber pertama menyebut tanggal 14 September dan sumber kedua menyebut tanggal 4 September. Perbedaan tersebut tampaknya dikoreksi dalam (McCarthy & Zainuddin 2017, hlm. 188), yang mencantumkan surat, tertanggal 17 September 1991, yang ditulis oleh Kurnianingrat dengan petikan, "Dua pekan lalu, aku merayakan ulang tahunku yang ke-72 [...]"
  3. ^ Sebelum kedatangan para kolonialis asal Eropa, para penguasa tradisional Jawa selama masa Kesultanan Mataram memerintah lewat suzerenitas. (Palmier 1960, hlm. 205) mencatat bahwa Belanda mengadopsi bentuk pemerintahan tersebut setelah berhasil menguasai Pulau Jawa, dan mengijinkan para penguasa lokal beserta keluarganya untuk memimpin suatu wilayah tertentu sebagai perwakilan dari pemerintah kolonial.
  4. ^ (Sutherland 1973, hlm. 128) menyatakan bahwa garis keluarga para bupati Sumedang memegang peran utama dalam keluarga-keluarga arstokratik Jawa Barat, yang telah menjadi kepala bupati Priangan—yang meliputi Cianjur, Sumedang, dan Ciamis—pada masa Kesultanan Mataram. Pengaruhnya terlihat dari gelar pangeran mereka yang bersanding dengan bipati lainnya yang memegang gelar tumenggung atau adipati.

Referensi

Kutipan

  1. ^ Gunseikanbu 1943, hlm. 86.
  2. ^ a b c d Zainu'ddin 1997, hlm. 162.
  3. ^ a b c d Zainu'ddin 1994, hlm. 117.
  4. ^ a b c d Zainu'ddin 1997, hlm. 161.
  5. ^ Muhammad, Erik (13 October 2022). "Bupati Ciamis RAA Sastrawinata: Dihormati Belanda, Dibenci Rakyat" [Ciamis Regent RAA Sastrawinata: Respected by the Dutch, Despised by the People]. Harapan Rakyat (dalam bahasa Indonesian). Harapan Rakyat Online. Diarsipkan dari versi asli tanggal 13 October 2022. Diakses tanggal 30 November 2022. 
  6. ^ a b Snouckaert van Schauburg et al. 1937, hlm. 96.
  7. ^ Zainu'ddin 1997, hlm. 165.
  8. ^ a b c Zainu'ddin 1997, hlm. 167.
  9. ^ Zainu'ddin 1997, hlm. 163.
  10. ^ a b Zainu'ddin 1997, hlm. 168.
  11. ^ Zainu'ddin 1997, hlm. 169.
  12. ^ a b Zainu'ddin 1997, hlm. 170.
  13. ^ a b c d Zainu'ddin 1997, hlm. 171.
  14. ^ a b Zainu'ddin 1997, hlm. 174.
  15. ^ Zainu'ddin 1997, hlm. 175.
  16. ^ a b Zainu'ddin 1997, hlm. 176.
  17. ^ Zainu'ddin 1997, hlm. 177.
  18. ^ Zainu'ddin 1997, hlm. 178.
  19. ^ a b Zainu'ddin 1997, hlm. 179.
  20. ^ a b c d e f g h i Zainu'ddin 1994, hlm. 118.
  21. ^ Zainu'ddin 1997, hlm. 181.
  22. ^ Kahin 2003a, hlm. 396–397.
  23. ^ Zainu'ddin 1997, hlm. 184.
  24. ^ a b c Zainu'ddin 1997, hlm. 185.
  25. ^ a b Lee 1998, hlm. 499.
  26. ^ Zainu'ddin 1997, hlm. 186.
  27. ^ Zainu'ddin 1997, hlm. 187–188.
  28. ^ NSWTF 1950, hlm. 72.
  29. ^ Zainu'ddin 1997, hlm. 189.
  30. ^ Zainu'ddin 1997, hlm. 190.
  31. ^ Zainu'ddin 1997, hlm. 159.
  32. ^ Zainu'ddin 1997, hlm. 191.
  33. ^ Zainu'ddin 1997, hlm. 192–193.
  34. ^ a b McCarthy & Zainuddin 2017, hlm. xv.
  35. ^ a b McCarthy & Zainuddin 2017, hlm. xvi.
  36. ^ Zainu'ddin 1997, hlm. 198.
  37. ^ Stucki 1959, hlm. 107.
  38. ^ Sutherland 1967, hlm. 95–96, 101.
  39. ^ Tempo 1974, hlm. 46.
  40. ^ a b Tempo 1974, hlm. 49.
  41. ^ a b Tempo 1974, hlm. 47.
  42. ^ a b c Zainu'ddin 1994, hlm. 119.
  43. ^ a b c McCarthy & Zainuddin 2017, hlm. xviii.
  44. ^ Zainu'ddin 1994, hlm. 115.
  45. ^ McCarthy & Zainuddin 2017, hlm. 96, 102.
  46. ^ Zainu'ddin 1997, hlm. 172.
  47. ^ a b c d e Nalenan 2005, hlm. 213.
  48. ^ Sastroamidjojo 1974, hlm. 7.
  49. ^ Zainu'ddin 1997, hlm. 199.
  50. ^ McCarthy & Zainuddin 2017, hlm. 101.
  51. ^ McCarthy & Zainuddin 2017, hlm. 96.
  52. ^ McCarthy & Zainuddin 2017, hlm. 102.
  53. ^ Zainu'ddin 1997, hlm. 180.
  54. ^ Zainu'ddin 1997, hlm. 183.
  55. ^ Kahin 2003a, hlm. ix.
  56. ^ Kahin 2003b, hlm. 105.
  57. ^ McCarthy & Zainuddin 2017, hlm. xi.

Daftar pustaka