Raden Machjar Angga Koesoemadinata

guru dan seniman musik sunda

Raden Machjar Angga Koesoemadinata (sering ditulis Kusumadinata, Kusumahdinata, kusumah dinata, Anggakusumadinata), yang lebih dikenal dengan Pak Machjar atau Pak Mahyar (Sumedang, 7 Desember, 1902 – Bandung, 9 April 1979), adalah seorang seniman dan musikolog Sunda. Beliau dikenal sebagai pengarang lagu-lagu Sunda, pendidik yang mengkhususkan diri dalam memajukan pendidikan seni-suara Sunda, penemu sistem tangga nada Sunda (da mi na ti la), dan peneliti serta ahli teori musik Sunda. Puncak penemuan selama hidupnya adalah teori model 17-tangga nada Sunda, suatu sistem tangga nada yang bersifat multi laras.


Biografi

Pak Machjar yang dimasyarakat Jawa Barat lebih dikenal sebagai seorang seniman pencipta lagu-lagu Sunda sebenarnya adalah seorang pendidik dan pakar musikologi, khususnya etnomusikologi yang berspesialisasi dalam pelog dan salendro. Pengetahuan beliau mengenai seni musik pelog dan salendro didapatkan dari sejak kecil dengan berguru pada beberapa juru tembang dan nayaga, selain belajar main rebab. Perkenalan Pak Machjar dengan metoda sains dan ilmu fisika, dan ilmu musik barat terjadi pada waktu beliau menjadi murid di sekolah guru (Kweekschool dan Hogere Kweekschool). Dengan dasar ilmu musik barat dan ilmu fisika yang cukup mendalam, beliau melakukan pengukuran dan penelitian frekwensi suara-suara dari perangkat gamelan dan lagu-lagu yang dinyanyikan maupun dimainkan pada rebab. Pada tahun 1923 (masih di bangku sekolah) beliau telah menciptakan serat kanayagan (notasi nada) ‘da mi na ti la’, serta menulis buku teori seni suara Sunda berjudul ‘Elmuning Kawih Sunda’. Setelah menamatkan HKS dan ditempatkan sebagai guru di HIS Sumedang (1924-1932), beliau melanjutkan penelitiannya mengenai teori seni raras.

Suatu titik balik penting dalam kariernya sebagai peneliti adalah pertemuannya dengan Mr. Jaap Kunst, seorang etnomusikologi Belanda, antara tahun 1927-1929, yang sedang melakukan penilitian perbagai seni suara seluruh kepulauan Nusantara. Disini terjadi pertukaran ilmu, antara ilmu musik dari Jaap Kunst dan ilmu gamelan atau pelog-salendro dari Pak Machjar. Pada perioda inilah beliau memahami lebih dalam konsep getaran suara serta cara mengukurnya dengan instrumen yang menyangkut konversi matematiknya ke sekala musik dengan menggunakan nilai logaritma, konsep interval cents dari Ellis (1884) dan Hornbostel (1920) serta “music rule” dari Reiner.

Tahun 1933, beliau dipekerjakan pemerintah kolonial untuk membentuk pendidikan seni suara pada semua sekola-sekolah pribumi di Jawa barat dengan sistim da mi na ti la, dan kemudian pada jaman pendudukan Jepang (1942-1945) mengajar di sekolah guru. Dari tahun 1945 sampai 1947 beliau bekerja sebagai guru ilmu alam, sejarah dan bahasa Inggris di (SMP/SMA) Bandung, Setelah itu beliau diangkat menjadi kepala dari kantor Pendidikan (koordinator Pendidikan Rendah) di Sumedang (1947-1950) dan selajutnya ditugaskan untuk pendidikan seni-suara pada sekolah-sekolah rendah dan menengah di Jawa Barat Bandung (1950-1952). Tahun 1952 beliau bekerja sebagai kepala seksi keuangan di jawatan kebudayaan perwakilan Jawa Barat. Selebihnya beliau adalah dosen luar biasa mengajar ilmu akustik dan gamelan di Konservatori Karawitan Surakarta (1953-1959). Beliau adalah salah seorang penggagas dan kepala Konservatori jurusan Sunda di Bandung (1958-1959).

Pak Machjar menikah degan Ibu Saminah salah seorang lulusan yang pertama sekolah guru wanita Van Deventer di Salatiga. Beliau dikarunia 10 orang anak, yang tidak ada menggeluti kesenian, tetapi kebanyakan berkecimpung dalam bidang ilmu alam; Machjeu Koesoemadinata(alm), Kama Kusumadinata (alm, ahli volkanologi pada Direktorat Vulkanologi, Departemen Pertambangan), Ny Karlina Sudarsono(alm), dr. Soetedja Koesoemadinata(alm), Prof. Dr. R. Prajatna Koesoemadinata (gurubebesar emiritus dalam ilmu geologi ITB), Dr. Santosa Koesoemadinata (pensiunan peneliti biologi di Departemen Pertanian), dr. Rarasati Djajakusumah (alm), Prof. Dr. Roekmiati Tjokronegoro, (gurubesar dalam ilmu kimia di Universitas Padjadjaran), Muhamad Sabar Koesoemadinata (ahli Geologi Kwarter pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi), dan Ir. Margana Koesoemadinata (alm, ahli akustik di LIPI dan kemudian di KLH).

Penemuan dan Hasil Karya

Sebagai seniman pengarang lagu Pak Machjar menciptakan lagu-lagu Sunda tradisional seperti ‘Lemah Cai’, ‘Dewi Sartika’, Sinom Puspasari’, maupun penggubah lagu-lagu Sunda traditional dan menuliskannya dalam notasi da-mi-na-ti-la. Sebagai seniman beliau juga adalah seorang penulis sandiwara (‘playwright’) dan memelopori Rinenggasari yang merupakan opera Sunda, suatu adaptasi opera dari kebudayaan barat. (dengan karya nya antara lain Sarkam-Sarkim, Iblis Mindo Wahyu).

Sebagai ahli teori musik, khususnya dalam bidang Pelog dan Salendro, beliau memformulasikan Sistem notasi da mi na ti la untuk lagu-lagu Sunda, meneliti dan menulis teori mengenai seni raras dan gamelan. Penumuan-penemuan beliau ditulis dalam publikasi (antara lain, Ilmu Seni Raras, Ringkesan Pangawikan Rinenggaswara) dan juga buku lagu-lagu Sunda. Bersama Mr. Jaap Kunst beliau juga banyak banyak menghasilkan tulisan (publikasi) mengenai teori musik gamelan.

Hasil penelitian and hasil penciptaan dari Pak Machyar, diantaranya beberapa gamelan eksperimental model 9-tangga nada pelog, pembuatan gambang almunium untuk raras pelog dengan 9-tangga nada dan untuk salendro dengan 10-tangga nada (1931), gamelan dengan 9-tangga nada (1937) untuk pelog dan gamelan 10-tangga nada untuk salendro (1938), dimana keduanya hilang pada jaman pendudukan Jepang (1942-45). Selain penciptaan gamelan monumental Ki Pembayun, beliau juga membuat gitar akustik berdasarkan teori sistem 17-tangga nada.

Didalam penelitiannya beliau menggunakan alat pengukur getaran suara monochord yang dibuatnya sendiri dengan pertolongan pemain/pembuat kecapi dan nayaga ulung Pak Idi. Alat ini dilengkapi dengan sekala getaran (frekuensi) yang diperoleh atas jasa baik Mr. Jaap Kunst dari laboratorium musikologi di Europa. Setiap kali monochord itu hendak digunakan beliau tidak lupa untuk mengkalibrasikannya dengan garpu suara yang sudah mempunyai getaran yang baku (660 hz). Alat itu ternyata cukup akurat sehingga juga dipergunakan oleh pakar-pakar musikologi seperti Prof. Collin McPhee dari Amerika Serikat dan C. Campagne, direktur sekolah musik di Bandung. Alat monochord in merupakan alat utamanya yang menyertainya ke mana-mana dalam melakukan penelitian mengenai Pelog Salendro sampai akhir hayatnya.

Sumbangan terbesar beliau terletak pada hasil penelitian yang benar-benar bersifat ilmiah yang menuju ke universalitas (unified theory) dari seni suara adalah teori model 17-tangga nada Sunda (1945) dimana satu oktaf terdiri dari 17 interval yang sama dari 70 10/17 cents, dimana nada dari setiap tangga nada Sunda dapat diambil. Model ini bersifat universal karena memiliki nada-nada yang sangat lengkap dan bisa dimainkan untuk mengiringi lagu-lagu dari berbagai laras (tangga nada).


Ki Pembayun

Atas prakarsa dan bantuan dari Industri Pariwisata P.D. Provinsi Jawa Barat, yang diketuai oleh R.A. Sjukur Dharma Kesuma, pada tahun 1969 pak Machjar menciptakan gamelan yang diberi nama ‘Ki Pembayun’ (artinya si sulung) yang merupakan gamelan terbesar yang pernah ada di Indonesia. Gamelan ini dibuat untuk menunjukan penemuan teori sistem 17-tangga nada dari Pak Machjar yang bersifat multi-laras, Selain Laras Salendro, madenda, degung, kobongan Mataraman, lagu-lagu yang bertangga nada musik Barat dapat dimainkan pada gamelan ini.

Walaupun gamelan Ki Pembayun secara teknik sukar dimainkannya karena juga merupakan sesuatu yang tidak umum dan membutuhkan waktu yang cukup untuk pelatihan, namun sebagai bahan kajian, keberadaannya sangat penting. Tidak sedikit para pemikir dari negara lain kagum atas munculnya gamelan tersebut. Menurut Andrew Weintraub (2001), munculnya gamelan selap yang berkembang sekarang, pada dasarnya merupakan pengaruh dari gamelan Ki Pembayun.

Gamelan ini sempat dipersiapkan untuk pentas festival internasional Ramayana di Pandaan, Jawa tengah, namun terlalu sulit untuk dimainkan dan tidak sempat pernah dipentaskan diluar latihan. Sangat disayangkan sekali gamelan ‘Ki Pembayun’ kemudian hilang raib, karena keberadaannya selain memiliki nilai karya ilmiah yang sangat tinggi, dapat menjadi sumber bagi kreatifitas seni musik. Satu-satunya jejak yang tertinggal mungkin hanya dari permainan gamelan ini yang sempat direkam oleh Margaret Kartomi, profesor musik dari Monash University, Australia.


Penghargaan

Diantara penghargaan-penghargaan yang didapatkan beliau, adalah penghargaan tertinggi dalam bidang budaya; Piagam Anugrah Seni, sebagai ahli dan penyusun teori Karawitan Sunda dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (17 Agustus 1969), penghargaan Sebagai pencipta lagu rampak sekar Ibu Dewi Sartika (4 Desember 1975), dan penghargaan dari Ikatan Seniman Sunda (9 Mei 1959).


Rujukan

Ellis, Alexander J., 1885, On the musical scales of various nations: Journal of the Soc. of Arts, p. 487

Heri Herdini, 2002, Raden Machjar Angga Koesoemadinata Pikiran Aktivitas Dan Karya, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 271 hal.

Heri Herdini, 2002, Raden Machyar Angga Koesoemadinata, Sosok Manusia Ideal. Pikiran Rakyat, kolom khasanah

Heri Herdini, 2002 Gamelan Ki Pembayun, Bukti Sejarah yang Hilang Tanpa Jejak. Pikiran Rakyat, kolom khasanah

Hood, Mantle, 1954, Patet in Javanese Music, J.B Wolters-Groningen-Djakarta, 323p.

Hornborstel, Erich M. von, 1921, Eine tafel zur Logarithmischen Darstelung von Zahlenverhaltnissen; Z. f. Physik, VI, p.29

Koesoemadinata, R.M.A, 1940, Ringkesan Elmoening Kanajagan, Tjitakan ka-1, Departement O. & E.,Weltevreden

Kunst, Jaap en R.M. A Koesoemadinata, 1930, Een en ander over Pelog en Salendro; Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde, LXIX (1929-30), p.320-352,

Kunst, Jaap, 1934, De toonkunst van Java, Deel I en Deel II, Gravenshage, Martinus Nijhoff, 519p.

Kusumadinata, R.M.A, 1950, Ringkesan Pangawikan Rinenggaswara (Ringkesan elmuning kanajagan), Pelog 9 raras, Salendro 15 raras dan Salendro 17 raras, Noordhoff Kolf NV, Djakarta

Kusumadinata (Koesoemadinata), R.M.A, 1969, Ilmu Seni Raras; Pradnja Paramita, Djakarta, 139p.

Sutardjo A. Wiramiharja, 2009, Ngadegung Ku Gitar, Kenapa Tidak?, Pikiran Rakyat (Sabtu 18 Juli 2009).

Weintraub, Andrew N., 2001, Instruments of Power: Sundanese “Multi-Laras” Gamelan in New Order Indonesia, Ethnomusicology vol. 45, No 2society for Ethnomusicology, Publish University of Illinois Press, page 197-227.

Weintraub, Andrew N., 2001, Koesoemadinata, Raden Machjar Angga, The New grove Dictinioary of Music and Musicians, 2 nd ed, edited by Stanley Sadie, Volume 13, Grove, Page 735-736.

Weintraub, Andrew, N. 2004, Power Plays: Wayang Golek Puppet Theater of West Java, (page 134), Ohio University Press,, 320 pages.


Sumber Eksternal

  1. Historical evidence for a nearly equidistant 9-tone gamelan pelog in Java
  2. Koesoemadinata Ensemble (CD)
  3. Gitar Ermak 17