Partai Golongan Karya
Partai Golongan Karya atau secara umum disingkat dengan Partai Golkar adalah sebuah partai politik di Indonesia. Didirikan sebagai Sekretariat Bersama Golongan Karya ((Sekber Golkar) pada tahun 1964, dan berpartisipasi untuk pertama kalinya dalam pemilihan umum nasional pada 1971 sebagai Golkar (Golongan Karya). Partai Golongan Karya tidak resmi menjadi partai politik hingga tahun 1999, ketika Golkar diperlukan untuk menjadi sebuah partai untuk mengikuti pemilihan.
Partai Golongan Karya | |
---|---|
Singkatan | Partai Golkar |
Ketua umum | Arinal Junaidi |
Sekretaris Jenderal | Deddy Rindas |
Ketua Fraksi di DPR | Kahar Muzakir |
Dibentuk | 20 Oktober 1964 |
Kantor pusat | Jakarta, Indonesia |
Surat kabar | Suara Karya (1971–2016) |
Sayap pemuda | AMPG (Angkatan Muda Partai Golkar) AMPI (Angkatan Muda Pembaharu Indonesia) |
Sayap wanita | KPPG (Kesatuan Perempuan Partai Golkar) |
Sayap buruh | |
Keanggotaan | 839.187 (2022)[1] |
Ideologi | Konservatisme[2] Sekularisme[3] Konservatisme nasional[4] Liberalisme ekonomi[3] Nasionalisme Indonesia[3] Pancasila[5] Masa Orde Baru: Tenda besar[6] Otoritarianisme sayap-kanan Anti-komunisme Fraksi: Ultranasionalisme[7] |
Posisi politik | Kanan-tengah[8] ke sayap-kanan[9][10] Selama Orde Baru: Sayap-kanan ke Kanan-jauh[11] |
Kursi di DPR | 102 / 575 |
Kursi di DPRD I | 309 / 2.232 |
Kursi di DPRD II | 2.412 / 17.340 |
Partai Golkar berkuasa dari tahun 1971 hingga 1999, di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto dan B.J. Habibie. Kemudian bergabung dengan koalisi yang berkuasa di bawah presiden Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono. Ketika Presiden Joko Widodo dari PDI-P terpilih pada tahun 2014, Partai Golongan Karya awalnya memilih untuk bergabung dengan koalisi oposisi yang dipimpin oleh mantan jenderal Prabowo Subianto, yang pada akhirnya kembali mengalihkan dukungannya kepada Pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo pada tahun 2016.[12]
Dalam perkembangannya, khususnya pasca Orde Baru, Partai Golkar berhasil bertransformasi menjadi partai modern yang mengadopsi nilai-nilai demokrasi.[13] Pimpinan-pimpinan Partai Golkar juga berhasil menahkodai Golkar sebagai partai politik berpaham sentrisme yang merangkul semua golongan dengan mengedepankan semangat moderat.
Awal mula
Pada tahun 1959, Presiden Soekarno memperkenalkan konsep Demokrasi Terpimpin, yang dimana kelompok fungsional akan berperan dalam pemerintahan menggantikan partai politik. Tentara Nasional Indonesia mendukung pembentukannya karena percaya kelompok-kelompok ini akan menyeimbangkan kekuatan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang semakin besar. Pada tahun 1960, Soekarno menganugerahi kelompok sektoral seperti guru, tentara dan polisi, pekerja dan seniman kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR GR). Karena beberapa dari anggota kelompok fungsional ini terkait dengan partai politik, hal ini memberikan pengaruh politik kepada Angkatan Bersenjata Nasional. TNI kemudian membentuk serikat pekerja anti-PKI, Organisasi Pusat Tenaga Kerja Indonesia, atau Soksi (Organisasi Pusat Pekerja Mandiri Indonesia), dan menggunakan ini sebagai inti dari Sekretariat Gabungan Golongan Karya yang dipimpin oleh ABRI, atau Sekber Golkar yang resmi berdiri pada 20 Oktober 1964.[14][15] Pada tahun 1968 ada hampir 250 organisasi di bawah payung Sekretatiat Bersama Golong Karya.
Sejarah
Sekretariat Bersama Golongan Karya didirikan pada tanggal 20 Oktober 1964. Sekber Golkar ini lahir karena rongrongan dari PKI beserta ormasnya dalam kehidupan politik baik di dalam maupun di luar Front Nasional yang makin meningkat. Sekber Golkar ini merupakan wadah dari golongan fungsional/golongan karya murni yang tidak berada di bawah pengaruh politik tertentu. Jumlah anggota Sekber Golkar ini bertambah dengan pesat, karena golongan fungsional lain yang menjadi anggota Sekber Golkar dalam Front Nasional menyadari bahwa perjuangan dari organisasi fungsional Sekber Golkar adalah untuk menegakkan Pancasila dan UUD 1945. Semula anggotanya berjumlah 61 organisasi yang kemudian berkembang hingga mencapai 291 organisasi.
Dengan adanya pengakuan tentang kehadiran dan legalitas golongan fungsional di MPRS dan Front Nasional maka atas dorongan TNI dibentuklah Sekretariat Bersama Golongan Karya, disingkat Sekber Golkar, pada tanggal 20 Oktober 1964. Terpilih sebagai Ketua Pertama, Brigadir Jenderal Djuhartono sebelum digantikan Mayor Jenderal Suprapto Sukowati lewat Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) I, Desember 1965.
Pada awal pertumbuhannya, Sekber Golkar beranggotakan 61 organisasi fungsional yang kemudian berkembang menjadi 291 organisasi fungsional. Ini terjadi karena adanya kesamaan visi di antara masing-masing anggota. Organisasi-organisasi yang terhimpun ke dalam Sekber Golkar ini kemudian dikelompokkan berdasarkan kekaryaannya ke dalam 7 (tujuh) Kelompok Induk Organisasi (KINO), yaitu:
- Koperasi Serbaguna Gotong Royong (KOSGORO)
- Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI)
- Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR)
- Organisasi Profesi
- Ormas Pertahanan Keamanan (HANKAM)
- Gerakan Karya Rakyat Indonesia (GAKARI)
- Gerakan Pembangunan
Untuk menghadapi Pemilu 1971, tujuh KINO yang merupakan kekuatan inti dari Sekber Golkar tersebut, mengeluarkan keputusan bersama pada tanggal 4 Februari 1970 untuk ikut menjadi peserta Pemilu melalui satu nama dan tanda gambar yaitu Golongan Karya (Golkar). Logo dan nama ini, sejak Pemilu 1971, tetap dipertahankan sampai sekarang.
Pada Pemilu 1971 ini, Sekber Golkar ikut serta menjadi salah satu konsestan. Pihak parpol memandang remeh keikutsertaan Golkar sebagai kontestan Pemilu. Mereka meragukan kemampuan komunikasi politik Golkar kepada grassroot level. NU, PNI dan Parmusi yang mewakili kebesaran dan kejayaan masa lampau sangat yakin keluar sebagai pemenang. Mereka tidak menyadari kalau perpecahan dan kericuhan internal mereka telah membuat tokoh-tokohnya berpindah ke Golkar.
Hasilnya di luar dugaan. Golkar sukses besar dan berhasil menang dengan 34.348.673 suara atau 62,79 % dari total perolehan suara. Perolehan suaranya pun cukup merata di seluruh provinsi, berbeda dengan parpol yang berpegang kepada basis tradisional. NU hanya menang di Jawa Timur dan Kalimantan Selatan, Partai Katholik di Nusa Tenggara Timur, PNI di Jawa Tengah, Parmusi di Sumatra Barat dan Aceh. Sedangkan Murba tidak memperoleh suara signifikan sehingga tidak memperoleh kursi DPR.
Kemudian, sesuai ketentuan dalam ketetapan MPRS mengenai perlunya penataan kembali kehidupan politik Indonesia, pada tanggal 17 Juli 1971 Sekber GOLKAR mengubah dirinya menjadi Golkar/Golongan Karya.
September 1973, Golkar menyelenggarakan Musyawarah Nasional (Munas) I di Surabaya. Mayor Jenderal Amir Murtono terpilih sebagai Ketua Umum. Konsolidasi Golkar pun mulai berjalan seiring dibentuknya wadah-wadah profesi, seperti Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) dan Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI).
Setelah Peristiwa G30S maka Sekber Golkar, dengan dukungan sepenuhnya dari Jenderal Soeharto sebagai pimpinan militer, melancarkan aksi-aksinya untuk melumpuhkan mula-mula kekuatan PKI, kemudian juga kekuatan Bung Karno.
Pada dasarnya Golkar dan TNI-AD merupakan tulang punggung rezim militer Orde Baru. Semua politik Orde Baru diciptakan dan kemudian dilaksanakan oleh pimpinan militer dan Golkar. Selama puluhan tahun Orde Baru berkuasa, jabatan-jabatan dalam struktur eksekutif, legislatif dan yudikatif, hampir semuanya diduduki oleh kader-kader Golkar.
Keluarga besar Golongan Karya sebagai jaringan konstituen, dibina sejak awal Orde Baru melalui suatu pengaturan informal yaitu jalur A untuk lingkungan militer, jalur B untuk lingkungan birokrasi dan jalur G untuk lingkungan sipil di luar birokrasi. Pemuka ketiga jalur terebut melakukan fungsi pengendalian terhadap Golkar lewat Dewan Pembina yang mempunyai peran strategis.
Setelah Soeharto mengundurkan diri pada 1998, keberadaan Golongan Karya mulai ditentang oleh para aktivis dan mahasiswa.
Peraturan Monoloyalitas
Peraturan Monoloyalitas merupakan kebijakan pemerintahan Orde Baru yang mewajibkan semua pegawai negeri sipil (PNS), karyawan bersatus pegawai pada badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah, aparatur desa, pejabat pemerintahan non-PNS, dan "anggota dan purnawirawan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang dikaryakan di instansi pemerintah, ... badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah"[16] untuk menjadi anggota Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) yang pada saat itu telah menjadi salah satu KINO dalam Golkar, dan menyalurkan aspirasi politiknya kepada Golkar; pada tahun 1993, Ketua Umum Pengurus KORPRI Pusat mengatakan bahwa "KORPRI tidak akan mentolerir anggota-anggotanya untuk memilih selain Golkar."[17][18]
Setelah Jenderal Besar TNI Soeharto mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998, kebijakan ini dicabut. Sekarang pegawai negeri sipil bebas menentukan wadah aspirasi politiknya.
Perolehan suara
Partai Golongan Karya selalu menempati peringkat pertama atau kedua dalam perolehan suara.[19] Pada Pemilu pasca reformasi, tahun 1999, Golkar memperoleh 22% suara, menempati peringkat kedua. Selama era Presiden Soeharto, Golkar selalu memperoleh mayoritas suara. Dalam Pemilu 1997, Golkar memperoleh suara sebanyak 70,2%, sedangkan dalam pemilu-pemilu sebelumnya juga sekitar 60 sampai 70%. Contohnya, dalam pemilu tahun 1987 Partai Golongan Karya dapat menguasai secara mutlak 299 kursi dalam DPR. Selama Orde Baru, DPR betul-betul dikuasai Golkar, dan saat itu militer juga memiliki jatah kursi.
Pencapaian pada Pemilu Legislatif 2009
Partai Golongan Karya mendapat 107 kursi (19,2%) di DPR hasil Pemilihan Umum Anggota DPR 2009, setelah mendapat sebanyak 15.037.757 suara (14,5%). Perolehan suara dan kursi menempatkannya pada posisi kedua dalam Pemilu ini.
Pencapaian pada Pemilu Legislatif 2014
Partai Golongan Karya mendapat 91 kursi (16,3%) di DPR hasil Pemilihan Umum Anggota DPR 2014, setelah mendapat sebanyak 18.432.312 (14,75%). Perolehan suara dan kursi menempatkannya pada posisi kedua dalam Pemilu ini.
Pencapaian pada Pemilu Legislatif 2019
Partai Golongan Karya mendapat 85 kursi (14,8%) di DPR hasil Pemilihan Umum Anggota DPR 2019, setelah mendapat sebanyak 17.229.789 (12,31%). Perolehan suara menempatkannya pada posisi ketiga dan perolehan kursi menempatkannya pada posisi kedua dalam Pemilu ini.
Pemilu | No urut | Total kursi | Total pemilihan | Persentase | Perubahan kursi | Peringkat | Ketua |
---|---|---|---|---|---|---|---|
1971 | 5 | 236 / 360
|
34,348,673 | 62.80% | Partai baru | 1 | Ali Murtopo |
1977 | 2 | 232 / 360
|
39,750,096 | 62.11% | 4 kursi | 1 | Amir Murtono |
1982 | 2 | 242 / 360
|
48,334,724 | 64.34% | 10 kursi | 1 | Amir Murtono |
1987 | 2 | 299 / 400
|
62,783,680 | 73.11% | 57 kursi | 1 | Sudharmono |
1992 | 2 | 282 / 400
|
66,599,331 | 68.10% | 17 kursi | 1 | Wahono |
1997 | 2 | 325 / 400
|
84,187,907 | 74.51% | 43 kursi | 1 | Harmoko |
1999 | 33 | 120 / 500
|
23,741,749 | 22.46% | 205 kursi | 2 | Akbar Tanjung |
2004 | 20 | 129 / 550
|
24,480,757 | 21.58% | 8 kursi | 1 | Akbar Tanjung |
2009 | 23 | 106 / 560
|
15,037,757 | 14.45% | 22 kursi | 2 | Jusuf Kalla |
2014 | 5 | 91 / 560
|
18,432,312 | 14.75% | 15 kursi | 2 | Aburizal Bakrie |
2019 | 4 | 85 / 575
|
17,229,789 | 12.31% | 6 kursi | 3 | Airlangga Hartarto |
- Status Koalisi
Periode | Status koalisi | Partai koalisi |
---|---|---|
2004–2009 | Oposisi (sampai Des 2004) |
PDI-P–Golkar–PBR–PDS |
Pemerintah (sejak Des 2004) |
Golkar–PKB–PPP–Demokrat–PKS–PAN–PBB–PKPI | |
2009–2014 | Oposisi (sampai Okt 2009) |
Golkar–Hanura |
Pemerintah (sejak Okt 2009) |
Demokrat–Golkar–PKS–PAN–PPP–PKB | |
2014–2019 | Oposisi (sampai 2016) |
Golkar–Gerindra–PAN–PKS–PPP–PBB |
Pemerintah (2016–2018) |
PDI-P–Golkar–PAN–PKB–PPP–NasDem–Hanura–PKPI | |
Pemerintah (2018–2019) |
PDI-P–Golkar–PKB–PPP–NasDem–Hanura–PKPI–PSI–Perindo | |
2019–2024 | Pemerintah (2019–2024) |
PDI-P–Gerindra–Golkar–PKB–NasDem–PAN–PPP–Perindo–PSI–Hanura–PBB–PKPI |
2024–2029 | Menuju Pemilu 2024 | [KOALISI INDONESIA MAJU]GOLKAR–PAN–PKB-GERINDRA |
Kontroversi
Politisasi Sepak bola
Partai Golongan Karya mengklaim penurunan harga tiket pertandingan final Piala AFF 2010 berkat jasa Partai Golongan Karya.[20] Selain itu, pada deklarasi calon gubernur Sulawesi Selatan dari Partai Golongan Karya, Nurdin Halid—ketua umum PSSI sekaligus kader Partai Golongan Karya—mengklaim 'sukses' Tim Nasional di kancah Piala AFF adalah karya Partai Golongan Karya.[21]
Dualisme kepemimpinan
Pada akhir tahun 2014 terjadi dualisme kepengurusan dalam tubuh Partai Golongan Karya, yang dipimpin oleh Aburizal Bakrie hasil munas Bali dan Agung Laksono hasil munas Jakarta. Pada awal Maret 2015, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia mengeluarkan surat keputusan yang mengesahkan Golkar yang dipimpin oleh Agung Laksono. Pada bulan April 2015, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta mengeluarkan putusan sela menunda pelaksanaan surat keputusan yang dikeluarkan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly yang mengesahkan kepengurusan Partai Golongan Karya kubu Agung Laksono. Pada tanggal 10 Juli 2015, empat hakim yang mengadili kasus tersebut, yaitu Arif Nurdu'a, Didik Andy Prastowo, Nurnaeni Manurung dan Diah Yulidar memutuskan untuk menolak gugatan yang diajukan oleh Ketua Umum Partai Golongan Karya hasil Munas Bali Aburizal Bakrie terkait dualisme kepengurusan partai. Putusan itu diambil dalam rapat permusyawaratan majelis hakim PTTUN Jakarta. Dengan dibacakannya putusan PTUN itu, kepengurusan Partai Golongan Karya yang kemudian diakui oleh pengadilan adalah hasil Munas Bali yang dipimpin oleh Agung Laksono sebagai ketua umum dan Zainudin Amali sebagai sekjen.[22][23] Namun, pada Oktober 2015, Mahkamah Agung mengabulkan kasasi yang diajukan oleh Partai Golongan Karya hasil Munas Bali pimpinan Aburizal Bakrie. Dualisme kepemimpinan ini mulai berakhir sejak tercapainya kesepakatan untuk rekonsiliasi yang dipimpin oleh mantan Ketua Umum Partai Golongan Karya juga Wakil Presiden Jusuf Kalla pada awal tahun 2016. Kedua kubu juga sepakat untuk menyelenggarakan musyawarah nasional luar biasa (Munaslub) pada pertengahan tahun 2016. Dualisme kepemimpinan ini resmi berakhir pada 17 Mei 2016 dimana Setya Novanto terpilih sebagai Ketua Umum DPP Partai Golongan Karya[24] yang baru dalam penyelenggaraan Munaslub Golkar di Nusa Dua, Bali.
Ketua Umum
- Brigadir Jenderal TNI Djuhartono (1964–1969)
- Suprapto Sukowati (1969–1973)
- Amir Moertono (1973–1983)
- Sudharmono (1983–1988)
- Wahono (1988–1993)
- Harmoko (1993–1998)
- Akbar Tandjung (1998–2004)
- Jusuf Kalla (2004–2009)
- Aburizal Bakrie (2009–2014 & Januari-Mei 2016)[25]
- Aburizal Bakrie & Agung Laksono (dualisme kepemimpinan) (2014–2016)
- Setya Novanto[26] (2016–2017)
- Airlangga Hartarto (2017–2019) (2019–)
Bacaan
- David Reeve, Robyn Fallick (Editor), Iskandar P. Nugraha (Editor), Lubabun Ni’am (Editor), Gatot Triwira (Translator) (July 2013). Golkar – Sejarah yang Hilang: Akar Pemikiran dan Dinamika. Depok, Jawa Barat: Komunitas Bambu. ISBN 9786029402308.
- Ridwan Saidi. Golkar Pascapemilu 1992 Golkar Pascapemilu 1992
- Akbar Tandjung. The Golkar Way: Survival Partai Golkar di Tengah Turbulensi Politik Era Transisi
- Nanang Dwi Prasidi. Golkar Retak? Golkar Retak?
- Dasman Djamaluddin. Golkar as Alternative Party Golkar as Alternative Party
- Masashi Nishihara. Golkar and the Indonesian Elections of 1971
- Rully Chairul Azwar. Politik Komunikasi Partai Golkar di Tiga Era
- Leo Suryadinata. Golkar dan Militer: Studi tentang Budaya Politik
- Dirk Tomsa. Party Politics and Democratization in Indonesia: Golkar in the Post-Suharto Era
- Yohanes Krisnawan. Pers Memihak Golkar?: Suara Merdeka Dalam Pemilu 1992
- Bambang Cipto. Duel Segitiga PPP, Golkar, Pdi Dalam Pemilu 1997
- Uziar Fauzan, Hairus H. Salim, Umar Ibnu Sholeh. Tujuh Mesin Pendulang Suara: Perkenalan, Prediksi, Harapan Pemilu 1999: PAN, PBB, PDIP, Golkar, PK, PKB, PPP.
- Source Wikipedia. Golkar Politicians: Suharto, Aburizal Bakrie, Bacharuddin Jusuf Habibie, Try Sutrisno, Jusuf Kalla, Sudharmono, Adam Malik.
- Umar Ibnu Alkhatab. Dari Beringin Ke Beringin: Sejarah, Kemelut, Resistensi, Dan Daya Tahan Partai Golkar.
- Hendri F. Isnaeni. Partai Demokrat Antek Pendjajah: Golkar Perubahan Dari Gerindra, Palu Arit ALA Pki Dan Prd, ADA Jepang Di Balik Pks, Jepang Juga Bikin Pkb
- Leo Suryadinata. Military Ascendancy and Political Culture: A Study of Indonesia's Golkar
Referensi
- ^ "Info Pemilu - Partai GOLKAR". Komisi Pemilihan Umum RI. 22 Desember 2022. Diakses tanggal 4 Januari 2023.
- ^ "Indonesia's election". The Economist. 24 March 2009.
- ^ a b c Bulkin, Nadia. "Indonesia's Political Parties". Carnegie Endowment for International Peace.
- ^ Hitchcock, Michael (1997). Images of Malay-Indonesian Identity. OUP. hlm. 101.
- ^ Nurjaman, Asep (2009). "Peta Baru Ideologi Partai Politik Indonesia". www.neliti.com. Diakses tanggal 3 Desember 2022.
- ^ Editorial of Suara Karya, 1 May 1971
- ^ "Comparing Indonesia's Party Systems of the 1950s and the Post-Suharto Era: From Centrifugal to Centripetal Inter-Party Competition".
- ^ The Report: Indonesia 2008. Oxford Business Group. 2008. hlm. 13.
- ^ Derbyshire, J. Denis (1990). Political Systems Of The World. Allied Publishers. hlm. 116.
- ^ Thomas Bohlken, Anjali (2016). Democratization from Above. Cambridge University Press. hlm. 221.
- ^ "Contesting Victimhood in the Indonesian Anti-Communist Violence and Its Implications for Justice for the Victims of the 1968 South Blitar Trisula Operation in East Java".
- ^ "Golkar menyatakan dukungan untuk Jokowi". The Jakarta Post. 28 Juli 2016 – via PressReader. com.
- ^ Roni, Heriyandi (2006). "Demokratisasi internal partai golkar pasca orde baru (1998-2004)". digilib.ui.ac.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-12-22. Diakses tanggal 2022-12-22.
- ^ Nishihara 1972, hlm. 17-19.
- ^ Ricklefs 2008, hlm. 243.
- ^ Keputusan Presiden Nomor 63 Tahun 1994
- ^ Suryadinata, Leo (1989). Military Ascendancy and Political Culture: A Study of Indonesia's Golkar (dalam bahasa Inggris). Ohio University, Center for International Studies. hlm. 97. ISBN 978-0-89680-154-7.
- ^ McLeod, Ross H. (1994). Indonesia Assessment 1994: Finance as a Key Sector in Indonesia's Development (dalam bahasa Inggris). Institute of Southeast Asian. hlm. 57. ISBN 978-981-3016-98-9.
- ^ Golkar Jadi Motor KIB, Airlangga: Koalisi Ini Akan Melanjutkan Warisan Jokowi, diakses tanggal 2022-07-17
- ^ "detikNews : Golkar Klaim Punya Andil Dalam Penurunan Tiket Final Piala AFF". us.detiknews.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-12-24. Diakses tanggal 2011-01-19.
- ^ "Tempointeraktif.Com – Nurdin: Sukses Timnas Karya Golkar". tempointeraktif.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-01-19. Diakses tanggal 2011-01-19.
- ^ "PTUN Sahkan Golkar Agung, Ical akan Ajukan Kasasi", diakses 2 September 2015
- ^ "Vonis PTUN Jakarta Dianulir, Agung Laksono Ketum Golkar", diakses 2 September 2015
- ^ Kesalahan pengutipan: Tag
<ref>
tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernamamonitor.co.id
- ^ Menkumham Aktifkan SK Golkar Munas Riau Selama Enam Bulan
- ^ Sah! Setya Novanto Ketua Umum Baru Partai Golkar Diarsipkan 2017-11-17 di Wayback Machine. Arah.com, tanggal 17 Mei 2016. Diakses tanggal 18 Mei 2016
Pranala luar
- (Indonesia) Situs web resmi
- (Indonesia) Media Partner Resmi
- (Indonesia) Akun Twitter official
- (Indonesia) Akun Instagram official
- (Indonesia) Akun Tiktok official
- (Indonesia) Akun Facebook official