Virus dalam sejarah manusia

pengaruh virus dan infeksinya dalam riwayat peradaban manusia
Revisi sejak 11 Desember 2023 18.27 oleh InternetArchiveBot (bicara | kontrib) (Add 2 books for Wikipedia:Pemastian (20231209)) #IABot (v2.0.9.5) (GreenC bot)

Virus dalam sejarah manusia mengacu kepada pengaruh virus dan infeksi virus dalam riwayat peradaban manusia. Epidemi yang disebabkan oleh virus dimulai ketika perilaku manusia berubah pada periode Neolitikum. Sekitar 12.000 tahun lalu, manusia mengembangkan pertanian dan membentuk komunitas yang penduduknya lebih padat. Hal ini memungkinkan penyebaran virus secara cepat dan menjadikannya endemik. Virus tumbuhan dan ternak juga meningkat karena manusia bergantung pada pertanian dan peternakan. Sebagai contoh, infeksi Potyvirus pada kentang dan Rinderpest morbillivirus pada sapi membawa dampak besar bagi kehidupan.

Seorang anak yang menderita polio menerima fisioterapi pada tahun 1950-an

Cacar dan campak termasuk penyakit-penyakit tertua yang menginfeksi manusia. Setelah berevolusi dari virus yang menginfeksi hewan lain, virus-virus penyebab cacar dan campak mulai menulari manusia di Eropa dan Afrika Utara ribuan tahun yang lalu. Virus-virus ini kemudian dibawa oleh orang Eropa ke Benua Amerika pada masa penjajahan Spanyol. Penduduk asli Benua Amerika tidak memiliki kekebalan alami terhadap virus-virus tersebut sehingga jutaan jiwa meninggal saat terjadinya epidemi. Pandemi influenza tercatat dalam sejarah sejak tahun 1580 dan frekuensinya terus meningkat pada abad-abad selanjutnya. Pandemi influenza pada tahun 1918–1919 menewaskan 40–50 juta orang dalam waktu kurang dari satu tahun dan merupakan salah satu pandemi yang paling mematikan dalam sejarah.

Louis Pasteur dan Edward Jenner adalah dua orang pertama yang mengembangkan vaksin yang dapat melindungi manusia dari infeksi virus. Karakter virus baru diketahui secara jelas setelah penemuan mikroskop elektron pada tahun 1930-an, era perkembangan pesat virologi. Pada abad ke-20, virus diketahui menyebabkan banyak penyakit, baik penyakit yang telah lama ada maupun penyakit yang baru muncul. Sejumlah epidemi polio terjadi dan baru dapat dikendalikan setelah vaksinnya dikembangkan pada tahun 1950-an. HIV merupakan salah satu virus baru yang paling berdampak terhadap peradaban manusia. Meskipun menjadi pusat perhatian karena menyebabkan penyakit, virus juga bermanfaat karena mendorong proses evolusi dengan mentransfer gen dari satu spesies ke spesies lain dan memainkan peranan penting dalam ekosistem.

Zaman prasejarah

Selama 50.000–100.000 tahun terakhir, ketika manusia modern jumlahnya meningkat dan menyebar ke seluruh dunia, muncul penyakit-penyakit menular yang baru, termasuk yang disebabkan oleh virus.[1] Sebelumnya, manusia hidup dalam kelompok-kelompok masyarakat yang kecil dan terpisah sehingga epidemi penyakit hampir tidak pernah terjadi.[2][3] Cacar yang disebabkan oleh Variola virus merupakan infeksi virus paling mematikan dalam sejarah, yang pertama kali muncul pada masyarakat pertanian di India sekitar 11.000 tahun yang lalu.[4] Virus variola yang hanya menginfeksi manusia mungkin berevolusi dari Poxviridae pada hewan pengerat Afrika.[5] Manusia mungkin berada di lingkungan yang sama dengan hewan pengerat tersebut lalu sejumlah orang terinfeksi oleh virus yang mereka bawa. Ketika virus berhasil menembus "batas antarspesies", dampaknya sangat besar,[6] dan sistem imun manusia tidak siap menghadapi virus baru. Manusia saat itu tinggal dalam kelompok-kelompok kecil dan mereka yang terinfeksi biasanya meninggal atau menjadi kebal. Kekebalan adaptif ini hanya diwariskan kepada anak untuk sementara waktu melalui antibodi dalam air susu ibu dan antibodi lainnya yang melintasi plasenta dari darah ibu ke janin. Oleh sebab itu, kemunculan penyakit secara sporadis mungkin terjadi pada setiap generasi. Sekitar tahun 9000 SM, ketika banyak orang mulai menetap di dataran Sungai Nil, kepadatan penduduk meningkat dan akibatnya virus dapat mempertahankan keberadaannya karena tingginya kepadatan orang yang mudah tertular.[7] Epidemi virus yang bergantung pada tingginya kepadatan penduduk, seperti gondongan, rubela, dan polio, juga mulai terjadi pada masa ini.[8]

Zaman Neolitikum, yang dimulai di Timur Tengah sekitar tahun 9500 SM, adalah masa ketika manusia beralih menjadi petani.[9] Monokultur berkembang sehingga virus tumbuhan menyebar dengan cepat.[10] Sobemovirus muncul dan menyebar pada masa ini.[11] Sementara itu, penyebaran Potyvirus pada kentang serta buah-buahan dan sayuran lainnya dimulai sekitar 6.600 tahun yang lalu.[10]

Sekitar 10.000 tahun yang lalu, manusia yang tinggal di sekitar cekungan Mediterania mulai mendomestikasi binatang liar. Babi, sapi, kambing, domba, kuda, unta, kucing, dan anjing dipelihara dan dikembangbiakkan di penangkaran.[12] Hewan-hewan ini juga membawa virus[13] yang dapat berpindah dari hewan ke manusia. Namun, infeksi zoonotik seperti itu jarang terjadi dan transmisi virus zoonotik dari manusia ke manusia bahkan lebih jarang, kecuali dalam kasus influenza. Sebagian besar virus hanya menyerang spesies yang spesifik dan tidak berbahaya bagi manusia.[14] Epidemi penyakit-penyakit akibat virus yang berasal dari hewan tidak berlangsung lama karena virus-virus tersebut belum sepenuhnya berkembang dan beradaptasi untuk menginfeksi manusia[15] dan populasi manusia masih terlalu sedikit untuk dapat mempertahankan rantai penularan virus.[16]

Virus-virus lain yang lebih tua tidaklah terlalu berbahaya. Virus-virus dalam famili Herpesviridae pertama kali menginfeksi nenek moyang manusia modern sekitar 80 juta tahun yang lalu.[17] Manusia telah mengembangkan pertahanan terhadap virus-virus tersebut dan kebanyakan manusia sudah pernah terinfeksi oleh paling tidak satu spesies virus herpes.[18] Rekam sejarah mengenai infeksi virus yang lebih ringan jarang ditemukan, tetapi kemungkinan hominid purba terserang pilek, flu, dan diare akibat virus, sama seperti manusia modern. Virus yang berevolusi belakangan menyebabkan sejumlah epidemi dan pandemi yang tercatat dalam sejarah.[17]

Zaman kuno

 
Sebuah prasasti Mesir kuno menggambarkan penderita virus polio, Dinasti ke-18 (1580–1350 SM)

Infeksi virus pertama kali tercatat dalam prasasti Mesir yang menggambarkan seorang pendeta Mesir dari Dinasti ke-18 (1580–1350 SM) dengan bentuk kaki yang menjadi ciri infeksi virus polio.[19] Mumi Siptah, penguasa yang memimpin Dinasti ke-19, menunjukkan tanda penyakit poliomielitis, sementara Ramses V serta beberapa mumi Mesir lainnya yang terkubur lebih dari 3.000 tahun yang lalu tampaknya terinfeksi cacar.[20][21] Epidemi cacar (variola) berlangsung di Athena pada tahun 430 SM yang menewaskan seperempat tentara Athena dan banyak masyarakat sipil.[22]

Walaupun merupakan penyakit lama, campak baru diidentifikasi untuk pertama kalinya pada abad ke-10 oleh seorang dokter dari Persia yang bernama Muhammad bin Zakariya ar-Razi (865–925).[23] Ia menggunakan kata Arab hasbah untuk menyebut campak. Penyakit ini memiliki banyak nama lain, termasuk rubeola dari kata dalam bahasa Latin rubeus, 'merah', dan morbilli, 'penyakit kecil'.[24] Kemiripan antara virus campak, virus distemper anjing, dan virus sampar sapi memunculkan perkiraan bahwa campak pertama kali ditularkan ke manusia dari anjing atau ternak yang didomestikasi.[25] Virus campak tampaknya berkembang dari virus sampar sapi (yang telah menyebar luas) pada abad ke-12.[26]

Setelah terinfeksi virus campak, penderitanya akan kebal seumur hidup. Oleh sebab itu, virus tersebut memerlukan kepadatan penduduk yang tinggi agar dapat menjadi endemik. Kondisi ini mungkin tidak terjadi pada periode Neolitikum.[23] Setelah kemunculannya di Timur Tengah, virus campak tiba di India pada tahun 2500 SM.[27] Campak begitu umum pada anak-anak pada waktu itu sehingga tidak dianggap sebagai penyakit. Dalam hieroglif Mesir, campak digambarkan sebagai salah satu tahap normal yang dilewati dalam perkembangan manusia.[28]

Salah satu penjelasan awal tentang tumbuhan yang terinfeksi virus dapat ditemukan dalam sebuah puisi yang ditulis oleh Permaisuri Kōken Jepang (718–770). Ia menggambarkan sebuah tumbuhan dengan daun yang menguning pada musim panas. Tumbuhan tersebut, yang kemudian diidentifikasi sebagai Eupatorium lindleyanum, sering kali terinfeksi Tomato yellow leaf curl virus.[29]

Abad Pertengahan

 
Ukiran kayu dari Abad Pertengahan yang menampilkan anjing gila.

Penduduk Eropa tumbuh semakin padat dan menjadi lahan subur bagi banyak penyakit infeksi dan menular; Maut Hitam (sebuah infeksi bakteri) kemungkinan merupakan wabah penyakit yang paling terkenal.[30] Sejarah jarang mencatat wabah penyakit infeksi yang sekarang diketahui disebabkan oleh virus, kecuali cacar dan influenza. Rabies, sebuah penyakit yang telah dikenal selama lebih dari 4.000 tahun,[31] tersebar luas di Eropa hingga akhirnya sebuah vaksin dikembangkan oleh Louis Pasteur pada 1866.[32] Harapan hidup rata-rata di Eropa pada Abad Pertengahan adalah 35 tahun; 60% anak-anak meninggal sebelum menginjak usia 16 tahun, yang kebanyakan terjadi pada enam tahun pertama kehidupan mereka. Para dokter, yang amat sedikit kala itu, mengandalkan astrologi karena keterbatasan mereka dalam ilmu medis. Infeksi ditangani, misalnya, dengan memberikan salep yang dibuat dari kucing yang telah dipanggang dalam lemak landak susu.[33] Beberapa dari sekian banyak penyakit yang menyebabkan kematian pada anak-anak adalah campak, influenza, dan cacar.[34] Perang Salib dan Penaklukan Islam mempercepat penyebaran cacar, yang merupakan penyebab seringnya terjadi epidemi di Eropa setelah virusnya mulai menyebar di benua tersebut antara abad kelima dan ketujuh.[35][36]

Campak menjadi penyakit endemik di semua negara yang padat penduduk di Eropa, Afrika Utara, dan Timur Tengah.[37] Di Inggris, penyakit ini (pada saat itu disebut "mezil") pertama kali dideskripsikan pada abad ke-13, dan mungkin merupakan satu dari 49 wabah yang terjadi pada tahun 526 hingga 1087.[27] Sampar sapi, yang disebabkan oleh virus yang berkerabat erat dengan virus campak, merupakan penyakit pada sapi yang dikenal sejak zaman Romawi.[38] Penyakit yang berasal dari Asia ini pertama kali dibawa ke Eropa lewat invasi bangsa Hun pada tahun 370. Invasi bangsa Mongol yang dipimpin oleh Genghis Khan dan tentaranya memulai pandemi sampar sapi di Eropa pada tahun 1222, 1233, dan 1238.[39] Penyakit ini kemudian mencapai Inggris setelah pengimporan sapi dari daratan Eropa. Pada saat itu, sampar sapi merupakan penyakit yang mematikan dengan tingkat kematian sebesar 80–90%. Kematian sapi dalam jumlah besar mengakibatkan bencana kelaparan.[40]

Zaman modern awal hingga akhir

Tak lama setelah kemenangan Henry Tudor dalam Pertempuran Bosworth pada 22 Agustus 1485, pasukannya tiba-tiba menderita "keringat Inggris", yang dideskripsikan oleh pengamat kontemporer sebagai penyakit baru.[41] Penyakit ini cukup aneh karena utamanya menyerang orang-orang kaya. Keringat Inggris bisa jadi berasal dari Prancis, tempat Henry VII merekrut pasukannya.[42] Epidemi penyakit ini mengguncang London pada musim panas 1508. Banyak orang tewas dalam satu hari dan kematian terjadi di seluruh London. Jalanan di kota tersebut lengang dan hanya dilewati oleh gerobak yang mengangkut mayat. Raja Henry menyatakan kota itu terlarang bagi siapa pun jua kecuali dokter dan apoteker.[43] Penyakit ini kemudian menyebar ke negara-negara lain di Eropa. Pada Juli 1529, seribu hingga dua ribu orang tewas di Hamburg dalam beberapa minggu pertama penyebaran penyakit tersebut.[44] Selama bulan-bulan berikutnya, penyakit ini menjangkau Prusia, Swiss, dan Eropa utara.[45] Wabah penyakit tersebut terakhir muncul di Inggris pada tahun 1556.[46] Penyakit yang menewaskan sepuluh ribuan orang ini mungkin merupakan influenza[47] atau infeksi virus serupa,[48] tetapi catatan dari masa ketika pengobatan tidak berdasar pada ilmu pengetahuan tidak dapat diandalkan.[49] Saat kedokteran menjadi bagian dari ilmu pengetahuan, deskripsi penyakit ini sedikit demi sedikit mulai menemukan titik terang.[50] Walaupun pada saat itu obat-obatan tidak banyak membantu untuk meringankan penderitaan para korban infeksi, langkah-langkah untuk mengendalikan penyebaran penyakit telah diterapkan. Langkah-langkah tersebut mencakup pemberlakuan pelarangan perdagangan dan perjalanan, pengasingan keluarga yang terdampak dari lingkungan mereka, fumigasi bangunan-bangunan, serta eliminasi hewan ternak.[51]

Sumber-sumber yang membahas infeksi influenza dapat ditilik hingga akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16,[52] tetapi kemungkinan besar infeksi sudah ada jauh sebelumnya.[53] Pada 1173, berlangsung epidemi yang mungkin merupakan epidemi influenza pertama di Eropa. Wabah penyakit yang sekarang diketahui sebagai flu babi melanda masyarakat Indian di Pulau Hispaniola pada 1493. Terdapat beberapa bukti yang menunjukkan bahwa infeksi tersebut berasal dari babi-babi di kapal-kapal milik Kristoforus Kolumbus.[54] Selama epidemi influenza di Inggris antara 1557 dan 1559, sekitar 150.000 orang (lima persen dari keseluruhan penduduk) tewas karena infeksi ini. Tingkat kematiannya hampir mencapai lima kali lipat dibanding pandemi pada 1918–1919.[46] Pandemi pertama yang didokumentasikan dengan baik bermula pada Juli 1580 dan melanda Eropa, Afrika, dan Asia.[55] Tingkat kematian amat tinggi, dengan jumlah 8.000 orang tewas di Roma saja.[56] Tiga pandemi selanjutnya terjadi pada abad ke-18, termasuk pandemi 1781–1782, yang mungkin merupakan pandemi paling merugikan sepanjang sejarah.[57] Pandemi ini bermula di Tiongkok pada November 1781 dan mencapai Moskwa sebulan kemudian.[56] Pandemi tersebut mencapai Sankt Peterburg pada Februari 1782 dan Denmark tiga bulan kemudian.[58] Dalam enam pekan, tiga perempat warga Inggris terinfeksi dan penyakit tersebut dengan cepat menyebar hingga Amerika.[59]

Gambar Aztek abad keenam belas dari para korban cacar (atas) dan campak (bawah)

Benua Amerika dan Australia bebas dari campak dan cacar hingga kedatangan penjajah Eropa antara abad ke-15 dan abad ke-18.[1] Campak, influenza, dan cacar disebarkan ke Amerika oleh bangsa Spanyol;[1] cacar sendiri sudah menjadi endemik di Spanyol setelah dibawa masuk oleh kaum Moor dari Afrika.[60] Pada 1519, sebuah epidemi cacar melanda ibukota Aztek, Tenochtitlan, di Meksiko, yang berasal dari seorang budak Afrika terinfeksi yang diangkut di atas kapal pasukan Pánfilo de Narváez, yang mengikuti dari Hernán Cortés dari Kuba.[60] Epidemi ini dan epidemi selanjutnya yang terjadi pada 1545–1548 serta 1576–1581 akhirnya menewaskan lebih dari setengah penduduk asli.[61] Sebagian besar orang Spanyol kebal terhadap penyakit ini. Dengan jumlah pasukan di bawah 900 orang, Cortés tidak mungkin dapat mengalahkan suku Aztek dan menaklukkan Meksiko tanpa peran penyakit cacar.[62] Banyak orang Indian kemudian tewas akibat penyakit infeksi yang tidak sengaja disebarkan oleh orang-orang Eropa.[1] Dalam kurun waktu 150 tahun setelah kedatangan Kristoforus Kolumbus pada tahun 1492, bangsa Indian di Amerika Utara berkurang 80 persen karena penyakit, termasuk campak, cacar, dan influenza.[63][64] Dampak yang ditimbulkan oleh virus-virus ini secara signifikan membantu bangsa Eropa untuk menaklukkan penduduk asli.[65][66]

Pada abad ke-18, cacar menjadi penyakit endemik di Eropa. Lima epidemi terjadi di London pada tahun 1719–1746. Cacar juga mewabah di kota-kota besar Eropa yang lain. Pada penghujung abad, 400.000 jiwa di Eropa meninggal setiap tahun akibat cacar.[67] Cacar tersebar di Afrika Selatan pada tahun 1713 setelah dibawa oleh kapal dari India dan tiba di Australia pada tahun 1789.[67] Pada abad ke-19, cacar menjadi penyebab utama kematian suku Aborigin Australia.[68]

Pada tahun 1546, Girolamo Fracastoro menulis deskripsi klasik campak. Ia berpandangan bahwa penyakit ini disebabkan oleh "biji" (seminaria) yang menyebar dari orang ke orang. Epidemi campak menyerang London pada tahun 1670 sesuai catatan Thomas Sydenham yang menganggap bahwa campak disebabkan oleh uap beracun yang muncul dari tanah.[27] Meskipun dugaannya salah, ia cukup terampil sebagai pengamat dan mencatat penyakit ini dengan teliti.[69]

Demam kuning yang disebabkan oleh Flavivirus sering kali mematikan. Virus ini ditularkan dari nyamuk (terutama Aedes aegypti) ke manusia dan pertama kali muncul lebih dari tiga ribu tahun lalu.[70] Pada tahun 1647, epidemi demam kuning pertama yang tercatat terjadi di Barbados, yang disebut "distemper Barbados" oleh John Winthrop, gubernur pulau tersebut kala itu. Ia menerbitkan aturan karantina untuk melindungi penduduk pulau, yang merupakan aturan karantina pertama di Amerika Utara.[71] Epidemi penyakit ini selanjutnya terjadi di Amerika Utara pada abad ke-17, 18, dan 19.[72] Kasus pertama demam berdarah dengue (DBD) terjadi di Indonesia dan Mesir pada tahun 1779. Kapal-kapal dagang membawa penyakit ini ke Amerika Serikat dan memicu epidemi di Philadelphia pada tahun 1780.[73]

Penyakit-penyakit infeksi baru menjadi ancaman besar bagi kesehatan manusia. Kebanyakan penyakit ini bersifat zoonotik,[74] yang disebabkan oleh peningkatan populasi manusia dan intensitas peternakan, serta perubahan lingkungan satwa liar.[75][76]

 
Tulip yang terinfeksi Tulip breaking virus

Museum-museum Eropa banyak menampilkan lukisan dengan tulip yang memiliki motif bergaris. Sebagian besar lukisan tersebut, salah satunya adalah lukisan alam benda Johannes Bosschaert, berasal dari abad ke-17. Kala itu, bunga tulip sangat populer dan banyak dicari. Pada puncak mania tulip pada tahun 1630-an, satu umbi tulip bisa sama harganya dengan satu rumah.[77] Garis-garis pada tulip disebabkan oleh virus tumbuhan, yaitu Tulip breaking virus, yang secara tidak sengaja berpindah dari melati ke tulip karena dibawa oleh manusia.[78] Tanaman tulip yang terinfeksi menjadi lemah sehingga merugikan bisnis kala itu. Hanya sejumlah umbi yang dapat menghasilkan bunga yang sama menariknya dengan induk mereka.[79]

Sebelum Wabah Kelaparan Besar Irlandia pada tahun 1845–1852 akibat serangan Phytophthora infestans, penyebab penyakit paling umum pada kentang adalah virus. Potato leafroll virus menyebabkan daun kentang menggulung karena nekrosis. Penyakit ini tersebar luas di Inggris pada tahun 1770-an dan menghancurkan tiga perempat panen kentang. Meskipun demikian, pada masa itu, kentang yang diproduksi Irlandia tidak tersentuh penyakit.[80]

Penemuan vaksin

 
Edward Jenner, dokter asal Inggris yang memelopori penggunaan vaksin

Cacar

Mary Wortley Montagu (1689–1762) adalah bangsawan, penulis, dan istri anggota parlemen Inggris. Pada tahun 1716, suaminya, Edward Wortley Montagu, ditugaskan sebagai duta Inggris di Istanbul. Mary mendampingi suaminya dan menjumpai praktik masyarakat lokal dalam membuat perlindungan terhadap cacar, yaitu variolasi, injeksi nanah penderita cacar ke kulit orang lain.[7] Sebelumnya, adik laki-laki Mary meninggal karena cacar dan Mary pun pernah menderita penyakit ini. Dengan niat agar anak laki-lakinya yang kala itu berusia 5 tahun, Edward, tidak menderita hal yang sama, Mary menyuruh ahli bedah kedutaan, Charles Maitland, melakukan variolasi untuk anaknya. Dalam perjalanan pulang ke London, Mary meminta Maitland untuk memvariolasi anak perempuannya yang berusia 4 tahun di hadapan dokter-dokter raja.[81] Kemudian, Montagu meyakinkan Pangeran dan Putri Wales agar mendukung peragaan publik prosedur variolasi. Enam tahanan penjara yang diadili hukuman mati dan berada dalam daftar tunggu eksekusi Penjara Newgate ditawari pembebasan penuh dengan syarat bersedia menjadi subjek eksperimen publik. Tahanan-tahanan tersebut menerima tawaran tersebut dan divariolasi pada tahun 1721. Semua tahanan berhasil pulih melewatinya.[82] Untuk menguji efek perlindungan variolasi, seorang perempuan berusia 19 tahun diperintahkan agar tidur bersama penderita cacar yang berusia 10 tahun selama 6 pekan. Perempuan tersebut tidak tertular cacar.[83]

Percobaan ini diulang pada 11 anak yatim piatu yang semuanya kemudian bertahan melewati variolasi ini. Pada tahun 1722, cucu-cucu Raja George I juga menerima variolasi.[84] Metode ini tetap mengandung risiko dengan kemungkinan kematian 1:50.[85] Variolasi sendiri tergolong mahal, sebagian tenaga kesehatan mematok harga £5–£10 dan sebagian lagi menjual metode ini ke tenaga kesehatan lain dengan harga £50–£100 atau mengambil separuh keuntungan dari orang yang membelinya. Variolasi menjadi komoditas yang menguntungkan di Inggris dan tetap tidak terjangkau oleh khalayak ramai hingga akhir tahun 1770-an.[86] Pada masa itu di Inggris, konsep mengenai virus atau sistem daya tahan tubuh sama sekali belum diketahui dan tidak ada yang memahami bagaimana variolasi memberikan perlindungan.[87]

 
Sebuah kartun dari tahun 1802 menampilkan Jenner sedang memvaksinasi – para penerima diperlihatkan dengan para sapi timbul dari tubuh mereka.

Edward Jenner (1749–1823), seorang dokter di perdesaan Inggris, mendapatkan variolasi saat kanak-kanak.[88] Ia sakit tetapi bertahan dan terlindungi sepenuhnya dari cacar.[89] Jenner tahu kepercayaan setempat bahwa para pekerja produk susu yang pernah terjangkit infeksi ringan cacar sapi akan menjadi kebal terhadap cacar. Jenner memutuskan untuk menguji dugaan ini, meskipun ia bukan orang pertama yang mencobanya.[90] Pada tanggal 14 Mei 1796, ia melakukan inokulasi virus cacar sapi kepada seorang anak laki-laki yang sehat berumur sekitar delapan tahun.[91] James Phipps (1788–1853), anak itu, bertahan dan hanya mengalami demam ringan. Pada tanggal 1 Juli 1796, Jenner menggunakan sejumlah "materi cacar" (mungkin nanah infeksi) untuk diinokulasikan secara berulang pada lengan Phipps. Anak itu bertahan dan kemudian diinokulasi kembali dengan cacar sebanyak lebih dari dua puluh kali. Phipps tetap tidak terkena cacar. Vaksinasi, yang berakar kata vacca yang berarti "sapi" dalam bahasa Latin, pun ditemukan.[92] Metode Jenner kemudian diketahui lebih aman daripada variolasi. Pada tahun 1801, lebih dari seratus ribu orang telah divaksinasi.[93]

Praktisi kesehatan yang masih melakukan variolasi, dan memperkirakan bahwa mereka akan kehilangan pendapatan, menentang vaksinasi gratis kepada orang miskin yang dimulai di Inggris pada tahun 1840. Karena terjadi kematian yang berhubungan dengan variolasi, metode ini dinyatakan ilegal pada tahun yang sama.[93] Vaksinasi diwajibkan di Inggris dan Wales dengan terbitnya Undang-Undang Vaksinasi pada tahun 1853. Para orang tua didenda £1 jika anak mereka tidak divaksinasi sebelum berusia tiga bulan. Aturan ini tidak ditegakkan dengan baik dan sistem penyediaan vaksinasi, yang tidak berubah sejak tahun 1840, tidak efektif. Setelah dipatuhi pada awal penerapannya, hanya sebagian kecil penduduk yang divaksinasi.[94] Vaksinasi wajib tidak diterima dengan baik dan setelah sejumlah protes, dua organisasi yaitu Liga Anti-Vaksinasi dan Liga Anti-Vaksinasi Wajib dibentuk pada tahun 1866.[95][96] Setelah kampanye antivaksinasi, cacar mewabah di Gloucester pada tahun 1895 untuk pertama kalinya setelah dua puluh tahun. Dalam peristiwa itu, 434 jiwa tewas dan 281 di antaranya adalah anak-anak.[97] Namun, Pemerintah Inggris menuruti permintaan mereka yang melakukan protes dan Undang-Undang Vaksinasi yang terbit pada tahun 1898 menggugurkan denda serta membolehkan "penolakan berdasarkan hati nurani" bagi orang tua yang tidak memercayai vaksinasi. Pada tahun berikutnya, terdapat 250.000 penolakan atas vaksinasi dan pada tahun 1912, kurang dari separuh populasi bayi yang baru lahir di Inggris divaksinasi.[98] Pada tahun 1948, vaksinasi cacar tidak lagi diwajibkan di Inggris.[99]

Rabies

 
Louis Pasteur, ilmuwan Prancis yang mengembangkan vaksin rabies

Rabies termasuk penyakit infeksi yang mematikan bagi mamalia. Penyakit ini disebabkan oleh virus rabies. Pada abad ke-21, virus ini utamanya ditemukan pada mamalia liar seperti rubah dan kelelawar. Meskipun demikian, rabies sebenarnya sudah dikenal sejak lama. Rabies adalah kata dari bahasa Sansekerta (rabhas) yang dapat dilacak hingga 3000 SM,[32] yang artinya adalah "kegilaan" atau "amukan".[100] Penyakit ini sendiri sudah ada selama lebih dari empat ribu tahun.[31] Deskripsi rabies ditemukan pada naskah peradaban Mesopotamia.[101] Penduduk Yunani Kuno menyebutnya sebagai "lyssa" atau "lytta" yang berarti "kegilaan".[31] Keterangan mengenai rabies terdapat pada Hukum Eshnuna yang ditulis pada 2300 SM. Aristoteles (384–322 SM) memberikan salah satu deskripsi yang banyak diterima tentang penyakit ini. Ia juga menerangkan bagaimana rabies menular ke manusia. Pada abad pertama Masehi, Celsus mencatat adanya gejala hidrofobia dan berpendapat bahwa air liur hewan dan manusia yang terinfeksi mengandung lendir atau racun, dan untuk menyebutnya, ia membuat istilah "virus".[31] Epidemi rabies tidak terjadi, tetapi infeksi penyakit ini sangat ditakuti karena gejalanya yang mencakup kegilaan, hidrofobia, dan kematian.[31]

Pada masa hidup Louis Pasteur (1822–1895), infeksi rabies pada manusia hanya terjadi dalam beberapa ratus kasus per tahun di Prancis, tetapi obat rabies sedang sangat dibutuhkan. Menyadari bahaya rabies, Pasteur mulai mencari "mikrob" pada anjing gila.[102] Pasteur menemukan bahwa jika bubuk sumsum tulang belakang anjing yang mati karena rabies dikeringkan dan disuntikkan pada anjing sehat, anjing tersebut tidak terinfeksi. Pasteur mengulangi percobaannya beberapa kali pada anjing yang sama. Bubuk jaringan yang digunakan dalam suntikan dikeringkan dengan waktu yang lebih sebentar daripada bubuk sebelumnya pada setiap pengulangan percobaan. Anjing tersebut masih bertahan hidup bahkan pada injeksi jaringan sumsum tulang belakang yang benar-benar segar. Pasteur mengimunisasi anjing itu terhadap rabies dan kemudian berhasil melakukan hal yang sama pada 50 anjing lainnya.[103]

 
Sebuah kartun dari tahun 1826 menggambarkan seekor anjing ganas di jalanan London

Walau Pasteur tidak paham bagaimana prosedur tersebut bisa berhasil, ia mengujinya pada seorang anak laki-laki, Joseph Meister (1876–1940), yang dibawa oleh ibunya pada tanggal 6 Juli 1885. Anak ini mendapat banyak luka akibat gigitan seekor anjing gila. Ibu Meister memohon kepada Pasteur agar menolong anaknya. Pasteur adalah peneliti, bukan dokter. Ia menyadari konsekuensi yang akan diterimanya jika tindakannya tidak berhasil. Meskipun demikian, Pasteur memutuskan untuk menolong anak itu dengan memberikan beberapa suntikan jaringan tulang belakang dari kelinci terinfeksi dalam kurun waktu 10 hari, yang setiap suntikan lebih virulen dibandingkan sebelumnya.[104] Dalam hal ini, Pasteur menulis, "karena kematian anak itu sudah tidak bisa dihindari, saya memutuskan, bukannya tanpa rasa gelisah yang dalam dan besar... untuk mencoba prosedur ini pada Joseph Meister, prosedur yang secara konsisten berhasil pada anjing".[105] Meister sembuh dan pulang bersama ibunya pada tanggal 27 Juli. Pasteur berhasil menangani anak laki-laki kedua pada bulan Oktober tahun yang sama. Jean-Baptiste Jupille (1869–1923), anak itu, merupakan penggembala berusia 15 tahun. Ia mendapat luka gigitan parah dari anjing gila ketika berusaha melindungi anak-anak lain.[106] Metode Pasteur digunakan selama lebih dari 50 tahun.[107]

Penyebab rabies tidak banyak diketahui hingga tahun 1903 ketika Adelchi Negri (1876–1912) menemukan lesi mikroskopis, yang sekarang disebut badan Negri, pada otak hewan yang gila.[108] Ia mulanya salah mengira bahwa bentukan tersebut adalah protozoa parasitik. Paul Remlinger (1871–1964) kemudian menunjukkan bahwa badan Negri memiliki ukuran lebih kecil dibandingkan protozoa melalui metode filtrasi. Badan Negri bahkan lebih kecil daripada bakteri. Tiga puluh tahun kemudian, badan Negri diketahui merupakan kumpulan partikel berukuran 100–150 nanometer, dan sekarang diketahui berukuran sama dengan partikel Rhabdoviridae, virus yang menyebabkan rabies.[31]

Abad ke-20 dan ke-21

Pada abad ke-20, keberadaan virus dibuktikan dari percobaan dengan metode penyaringan yang menggunakan pori-pori yang berukuran lebih kecil dari bakteri. Istilah "virus yang dapat disaring" pun muncul karenanya.[109] Hingga tahun 1930-an, sebagian besar peneliti memahami bahwa virus adalah bakteri kecil, tetapi pemahaman ini berubah saat mikroskop elektron yang ditemukan pada tahun 1931 menunjukkan bahwa virus dan bakteri berbeda.[110] Perubahan besar terjadi setelah penemuan materi genetik dalam bentuk DNA atau RNA di dalam virus.[111] Setelah diakui sebagai entitas biologis, virus kemudian diketahui sebagai penyebab beragam infeksi pada tumbuhan, hewan, dan bakteri.[112]

Seiring perkembangan zaman, baik manusia maupun virus mengalami perubahan perilaku. Pada zaman kuno, populasi manusia sangat kecil sehingga virus tidak dapat mempertahankan keberadaannya dalam populasi tersebut dan mengakibatkan pandemi. Pada abad ke-20 dan ke-21, kepadatan penduduk meningkat, metode pertanian dan peternakan mengalami perubahan, dan perjalanan jarak jauh dapat dilakukan dalam waktu yang singkat. Hal-hal tersebut memungkinkan virus-virus baru mudah tersebar dan virus-virus lama muncul kembali.[113][114] Dari sekian banyak penyakit yang diketahui disebabkan oleh virus, salah satunya, yaitu cacar, telah berhasil diberantas. Penyakit lain yang disebabkan oleh HIV dan virus influenza masih sulit dikendalikan.[115] Penyakit kaki, tangan, dan mulut yang disebabkan Enterovirus beberapa kali mewabah di Asia.[116][117] Sementara sejumlah penyakit lain, misalnya sindrom pernapasan akut berat (SARS) dan penyakit yang disebabkan oleh arbovirus, muncul sebagai tantangan baru.[118][119] Meskipun vaksin masih merupakan senjata paling kuat dalam melawan virus, sejumlah obat antivirus dengan target yang spesifik telah dikembangkan pada beberapa dekade terakhir abad ke-21.[120] Pandemi influenza tahun 2009 dan pandemi Covid-19 menunjukkan betapa cepatnya galur baru virus terus menyebar ke seluruh dunia meskipun sejumlah upaya untuk membatasi infeksi virus-virus tersebut telah dilakukan.[121][122]

Penemuan virus dan pengendaliannya terus berkembang. Rotavirus, yang ditemukan sejak 1943 dan menjadi penyebab diare paling umum pada bayi dan anak-anak,[123][124] baru diterapkan vaksinnya pada 1998.[125] Human metapneumovirus (HMPV), penyebab infeksi pada sistem pernapasan seperti radang paru-paru, ditemukan pada tahun 2001.[126] Vaksin virus papiloma manusia (HPV), penyebab kanker leher rahim, tersedia pada tahun 2006.[127][128] Pada tahun 2010, virus berukuran terbesar, Megavirus chilensis ditemukan menginfeksi ameba.[129] Virus-virus raksasa menjadi pemicu penelitian tentang peran virus dalam evolusi dan posisi virus pada bagan kekerabatan genetika makhluk hidup.[130]

Pemberantasan cacar

 
Rahima Banu, seorang gadis asal Bangladesh, adalah orang terakhir yang diketahui tertular cacar, pada 1975. Ia kemudian sembuh.[131]

Virus cacar termasuk penyebab kematian paling banyak pada abad ke-20. Sekitar 300 juta jiwa meninggal karenanya.[132] Virus ini mungkin adalah virus yang paling banyak membunuh manusia.[133] Pada tahun 1966, Majelis Kesehatan Dunia (badan pembentuk keputusan Organisasi Kesehatan Dunia) menyepakati mulainya "program pemberantasan cacar intensif" dan usaha pemberantasan cacar dalam waktu sepuluh tahun.[134] Pada masa itu, cacar masih endemik di 31 negara,[135] termasuk Brasil, seluruh anak benua India, Indonesia, dan Afrika Sub-Sahara.[134] Target ambisius ini dianggap mungkin dicapai karena sejumlah alasan: vaksin cacar memberikan perlindungan yang sangat baik; hanya ada satu jenis virus penyebab; tidak ada hewan pembawa virus cacar secara alami; masa inkubasi infeksi telah diketahui dan tidak banyak menyimpang dari dua belas hari; serta infeksi selalu menyebabkan gejala sehingga penderitanya diketahui dengan jelas.[136][137]

Vaksinasi massal, deteksi penyakit, dan karantina merupakan inti operasi pemberantasan. Setelah kasus terdeteksi, penderita segera diisolasi. Mereka yang mengalami kontak dengan penderita juga diisolasi dan divaksinasi.[138] Keberhasilan program ini terlihat dengan cepat. Pada tahun 1970, cacar bukan lagi penyakit endemik di Afrika Barat, begitu pula bagi Brasil pada tahun 1971.[139] Pada tahun 1973, cacar masih menjadi penyakit endemik hanya di anak benua India, Botswana, dan Etiopia.[135] Setelah surveilans penyakit dan vaksinasi di seluruh dunia selama tiga belas tahun, Organisasi Kesehatan Dunia akhirnya mengumumkan cacar berhasil diberantas pada tahun 1979.[140] Walaupun saat itu Vaccinia virus digunakan sebagai vaksin, tidak ada yang tahu secara pasti asal virus tersebut. Ia bukan galur cacar sapi yang dipakai oleh Edwad Jenner dan bukan pula bentuk virus cacar yang dilemahkan.[141]

Operasi pemberantasan cacar menyebabkan kematian Janet Parker (c. 1938–1978) dan tindakan bunuh diri oleh pakar cacar Henry Bedson setelahnya (1930–1978). Parker bekerja di Universitas Birmingham dalam gedung yang sama dengan laboratorium cacar tempat Bedson bekerja. Parker terinfeksi galur virus cacar yang sedang diteliti oleh tim Bedson. Bedson kemudian merasa malu dan bersalah sehingga membunuh dirinya sendiri.[142]

Sebelum penyerangan 11 September di Amerika Serikat pada tahun 2001, Organisasi Kesehatan Dunia mengajukan agar semua persediaan virus cacar dalam laboratorium di Amerika Serikat dan Rusia dimusnahkan.[143] Rencana pemusnahan tersebut dibatalkan karena kekhawatiran terjadinya bioterorisme menggunakan virus cacar. Pengembangan obat untuk mengatasinya memerlukan persediaan virus tersebut.[144] Karena pemusnahan tersebut tidak benar-benar dilaksanakan pada masa itu, virus cacar tidak menjadi virus pertama yang punah karena campur tangan manusia.[145]

Campak

Campak, meskipun merupakan penyakit yang sering kali mematikan, mulanya merupakan penyakit yang jarang ditemukan di Afrika Selatan pada abad ke-19, tetapi epidemi-epideminya semakin sering terjadi sejak tahun 1850-an. Saat Perang Boer Kedua (1899–1902), campak merebak luas pada tahanan di kamp konsentrasi Inggris dan menyebabkan ribuan kematian. Tingkat kematian di tempat tawanan perang ini sepuluh kali lipat lebih besar daripada korban perang Inggris.[146]

Sebelum vaksinasi diperkenalkan di Amerika Serikat pada tahun 1960-an, lebih dari 500 ribu kasus campak per tahun berujung pada 400 kematian. Anak-anak di negara-negara maju banyak terjangkit pada usia 3–5 tahun, sementara separuh kasus pada anak di negara-negara berkembang terjadi sebelum usia 2 tahun.[147] Di Amerika Serikat dan Inggris, epidemi campak terjadi secara rutin setiap tahun atau dua tahun bergantung pada jumlah anak yang lahir pada tahun itu.[148] Galur virus yang menjadi epidemi pada masa kini berevolusi pada paruh awal abad ke-20, mungkin antara tahun 1908 dan 1943.[149]

 
Laporan kasus campak di Inggris dan Wales dari 1940 sampai 2007 yang menampilkan penurunan dari 400.000 kasus tahunan menjadi kurang dari 1.000.

London mengalami epidemi campak setiap dua tahun antara 1950 dan 1968, sedangkan Liverpool, yang memiliki tingkat kelahiran lebih tinggi, mengalami epidemi setiap tahun. Pada Depresi Besar Amerika Serikat sebelum Perang Dunia Kedua, tingkat kelahiran rendah sehingga epidemi campak bersifat sporadis. Setelah perang, tingkat kelahiran meningkat dan kemudian epidemi terjadi secara rutin setiap dua tahun.[148] Campak masih menjadi masalah besar di negara padat penduduk yang belum banyak berkembang dan memiliki tingkat kelahiran tinggi tanpa kampanye vaksinasi yang efektif.[150]

Pada pertengahan tahun 1970-an, insidensi (munculnya kasus baru) campak di Amerika Serikat menurun 90% setelah program vaksinasi massal yang dikenal sebagai "jadikan campak hanya dalam ingatan".[151] Kampanye vaksinasi serupa di negara-negara lain mengurangi infeksi sebanyak 99% selama 50 tahun terakhir.[152] Individu yang rentan terinfeksi menjadi sumber penyebaran penyakit. Begitu pula individu yang berpindah dari negara dengan aturan vaksinasi yang tidak efektif atau menolak vaksin baik bagi dirinya atau anak-anaknya.[153] Manusia adalah satu-satunya inang alami virus campak.[151] Setelah terinfeksi, penderitanya akan mendapatkan kekebalan seumur hidup, sedangkan kekebalan setelah divaksinasi bersifat jangka panjang tetapi kemudian berkurang.[154]

Vaksin campak termasuk dalam topik yang kontroversial. Pada tahun 1998, Andrew Wakefield dan rekannya menerbitkan artikel penelitian yang menipu. Ia mengaku menemukan hubungan antara vaksin MMR dan autisme. Penelitian tersebut dilaporkan secara luas dan memicu kekhawatiran yang menjadi-jadi tentang keamanan vaksinasi.[155] Penelitian Wakefield dikategorikan sebagai penipuan dan izin praktik dokter Wakefield di Inggris dicabut pada tahun 2010.[156] Berkaitan dengan kontroversi tersebut, tingkat vaksinasi MMR di Inggris jatuh dari 92% pada tahun 1995 menjadi 80% pada tahun 2003.[157] Kasus campak meningkat dari 56 kasus pada tahun 1998 menjadi 1.370 kasus pada tahun 2008. Kejadian serupa terjadi di penjuru Eropa.[156] Pada bulan April 2013, epidemi campak terjadi di Wales, Inggris, mendera remaja-remaja yang tidak tervaksinasi.[157] Meskipun kontroversi menggaung, campak berhasil dimusnahkan di Finlandia, Swedia, dan Kuba.[158] Jepang menghapuskan kewajiban vaksinasi pada tahun 1992 dan 200 ribu kasus campak terjadi di sana pada tahun 1995 hingga 1997.[159] Campak masih menjadi masalah kesehatan masyarakat Jepang dan sekarang dikategorikan sebagai penyakit endemik. Rencana Pemberantasan Campak Nasional disusun pada bulan Desember 2007 oleh Jepang dengan maksud menghilangkan penyakit tersebut.[160] Kemungkinan pemusnahan campak secara global menjadi perdebatan dalam pustaka kesehatan sejak munculnya vaksin campak pada tahun 1960-an. Jika upaya pemberantasan polio berhasil, perdebatan tentang pemberantasan campak mungkin akan diperbarui.[161]

Poliomielitis

 
Staf rumah sakit menguji seorang pasien dalam tangki respirator "paru-paru besi", pada epidemi polio di Rhode Island tahun 1960

Pada musim panas abad ke-20, orang tua di Amerika Serikat dan Eropa merasa khawatir akan kemunculan tahunan poliomielitis (atau polio). Kala itu, penyakit ini dikenal sebagai "paralisis anak".[162] Penyakit ini jarang ditemui pada awal abad ke-20 dan hanya berjumlah sekian ribu kasus per tahun di seluruh dunia. Namun, pada tahun 1950-an, 60 ribu kasus tercatat setiap tahun di Amerika Serikat,[163] sementara di Inggris dan Wales terjadi kasus polio dengan rerata 2.300 kasus per tahun.[164]

Pada tahun 1916 dan 1917, epidemi besar polio terjadi di Amerika Serikat. Pada saat itu, tercatat 27 ribu kasus dan 6.000 kematian, dengan 9.000 kasus terjadi di New York City.[165] Metode penyebaran virus polio belum diketahui.[166] Banyak penduduk kota itu, termasuk peneliti, mengira bahwa pendatang (imigran) yang tinggal di daerah kumuh menjadi penyebab epidemi padahal prevalensi penyakit (total kasus yang terjadi) lebih tinggi di bagian kota yang lebih sejahtera seperti Pulau Staten. Pola yang sama terjadi di Philadelphia.[167] Banyak negara industri yang terkena dampak polio pada saat itu. Sebelum mewabahnya polio di Amerika Serikat, epidemi-epidemi besar terjadi di Swedia.[168]

Penyebab kenaikan kasus polio di negara-negara industri pada abad ke-20 masih belum diketahui secara pasti. Penyakit ini disebabkan oleh virus yang ditularkan antarmanusia melalui jalur tinja–oral.[169] Penyakit ini juga secara alami hanya menginfeksi manusia.[170] Polio muncul secara tidak terduga pada saat sanitasi membaik dan kesejahteraan meningkat.[169] Meskipun virus ini ditemukan pada awal abad ke-20, penyebarannya yang luas di mana-mana tidak diketahui sebelum tahun 1950-an. Sekarang diketahui bahwa kurang dari 2% individu yang terinfeksi virus polio akan mengalami penyakit poliomielitis; kebanyakan infeksi yang terjadi bersifat ringan.[171] Selama epidemi tersebut, virus ditemukan di mana-mana sehingga petugas kesehatan masyarakat tidak dapat mengisolasi sumbernya.[170]

Setelah vaksin polio dikembangkan pada pertengahan tahun 1950-an, kampanye vaksinasi massal diselenggarakan di banyak negara.[172] Di Amerika Serikat, setelah kampanye vaksinasi dipromosikan oleh March of Dimes, jumlah kasus tahunan polio menurun drastis. Polio terakhir kali mewabah pada tahun 1979.[173] Pada tahun 1988, Organisasi Kesehatan Dunia dan lainnya meluncurkan Inisiatif Pemberantasan Polio Global. Amerika diumumkan bebas dari polio pada tahun 1994, area Pasifik pada tahun 2000, dan Eropa pada tahun 2003.[174] Pada akhir tahun 2012, Organisasi Kesehatan Dunia hanya melaporkan 223 kasus polio. Infeksi polio terjadi, terutama poliovirus tipe 1, di Nigeria sebanyak 122 kasus, di Chad sebanyak 1 kasus, di Pakistan sebanyak 58 kasus, dan di Afganistan sebanyak 37 kasus. Tim vaksinasi sering menghadapi bahaya; tujuh pemberi vaksin dibunuh di Pakistan dan sembilan dibunuh di Nigeria pada awal tahun 2013.[175] Di Pakistan, kampanye vaksinasi kemudian terhalangi pembunuhan polisi yang menjaga keamanan acara vaksinasi pada tanggal 26 Februari 2013.[176]

AIDS

 
Kiri ke kanan: monyet hijau Afrika, sumber SIV; mangabey hitam, sumber HIV-2; dan simpanse, sumber HIV-1

Virus imunodefisiensi manusia (HIV) adalah virus penyebab AIDS (acquired immunodeficiency syndrome).[177] Sebagian besar ahli virologi beranggapan bahwa HIV muncul di Afrika Sub-Sahara pada abad ke-20.[178] Lebih dari 70 juta orang telah terinfeksi HIV. Pada tahun 2011, diperkirakan telah ada 35 juta orang meninggal karena AIDS.[179] Karenanya, penyakit ini termasuk penyebab pandemi paling merusak sepanjang sejarah.[180] HIV-1 menjadi salah satu virus paling berpengaruh yang muncul pada 25 tahun terakhir abad ke-20.[181] Pada tahun 1981, sebuah artikel ilmiah melaporkan kematian lima pemuda homoseksual, tetapi pada saat itu tidak diketahui bahwa kematian mereka disebabkan oleh AIDS. Jangkauan luas pandemi ini tidak diketahui secara pasti dan begitu pula bagaimana virus ini secara perlahan muncul dalam beberapa dekade.[182]

HIV melintasi batas spesies inang antara simpanse dan manusia di Afrika pada beberapa dekade awal abad ke-20.[183] Bertahun-tahun setelahnya, terjadi perubahan sosial dan konflik sosial besar-besaran di Afrika. Populasi bergeser dengan tidak terduga karena banyak orang berpindah dari daerah pertanian di desa-desa ke kota-kota yang sedang berkembang.[184] Virus tersebar dari daerah-daerah yang berjauhan ke konurbasi perkotaan yang padat penduduk. Masa inkubasi AIDS berlangsung selama 10 tahun sehingga pandangan bahwa pandemi mulai terjadi pada awal tahun 1980-an dapat dipercaya.[185] Pada masa ini, banyak pengkambinghitaman dan stigmatisasi.[186] Teori "berasal dari Afrika" tentang asal-usul pandemi HIV tidak diterima oleh orang-orang Afrika yang merasa bahwa "penimpaan kesalahan" tidak tepat bagi mereka. Oleh karenanya, Majelis Kesehatan Dunia memutuskan resolusi 1987 yang menyatakan bahwa HIV adalah "[virus] yang terbentuk secara alami dengan asal geografis tidak pasti".[187]

Pandemi HIV menjadi tantangan bagi masyarakat dan menyebabkan perubahan sosial di penjuru dunia.[188] Pendapat mengenai seksualitas dibahas secara terbuka. Nasihat tentang perbuatan seksual dan penggunaan obat-obatan (terlarang) yang sebelumnya tabu menjadi didukung oleh banyak pemerintah dan penyedia layanan kesehatan.[189] Debat mengenai tata susila penyediaan dan biaya obat anti-retrovirus, khususnya di negara-negara yang kurang sejahtera, menyoroti kesenjangan pelayanan kesehatan dan mendorong perubahan legislasi secara luas.[190] Di negara-negara berkembang, HIV/AIDS berdampak besar dan organisasi kunci seperti fasilitas layanan kesehatan, pertahanan, serta lembaga sipil mengalami disrupsi yang besar.[191] Angka harapan hidup menurun tajam. Di Zimbabwe, misalnya, angka harapan hidup pada tahun 1991 adalah 79 tahun dan pada tahun 2001 jatuh menjadi 39 tahun.[192]

Influenza

 
Para anggota Palang Merah Amerika Serikat mengangkut seorang penderita flu Spanyol dari sebuah rumah pada tahun 1918

Ketika virus influenza mengalami lompatan antigenik, sementara banyak manusia tidak memiliki kekebalan terhadap galur virus baru dan jika individu yang rentan terjangkit dalam populasi berjumlah banyak serta rantai infeksi dapat bertahan cukup lama, epidemi bahkan pandemi dapat terjadi. Perubahan genetik biasa terjadi saat galur virus yang berbeda menginfeksi satu jenis hewan secara bersamaan. Hewan yang sering terinfeksi antara lain burung dan babi. Tidak seperti kebanyakan virus yang menginfeksi vertebrata, virus influenza dapat menginfeksi lebih dari satu spesies.[193] Pandemi influenza terakhir pada abad ke-19 terjadi pada tahun 1899 dan mengakibatkan 250 ribu kematian di Eropa. Virus influenza berasal dari Rusia atau Asia. Ia menjadi virus pertama yang menyebar secara cepat karena pergerakan manusia dengan kereta dan kapal uap.[194]

Galur virus influenza yang baru muncul pada tahun 1918 diikuti oleh pandemi flu Spanyol yang menjadi salah satu bencana paling parah sepanjang sejarah.[194] Korban kematian sangat banyak; sekitar 50 juta orang mati karena infeksi ini di seluruh dunia.[195] Amerika Serikat melaporkan 550 ribu kematian karena penyakit ini, sepuluh kali lipat korban jiwa Amerika Serikat pada Perang Dunia Pertama.[196] Inggris melaporkan 228 ribu kematian.[197] Sebanyak 20 juta jiwa meninggal di India, sedangkan Samoa Barat kehilangan 22% populasinya.[198]

Pada tahun 1957, galur baru virus influenza muncul dan menyebabkan pandemi flu Asia. Meskipun virus ini tidak seganas galur pada tahun 1918, lebih dari satu juta orang meninggal di seluruh dunia. Pandemi berikutnya terjadi karena flu Hong Kong yang muncul pada tahun 1968 oleh galur baru yang menggantikan galur virus pada tahun 1957.[199] Pandemi tahun 1968 tidak separah yang lainnya dan hanya menyerang individu dengan usia lanjut. Namun, 33.800 jiwa meninggal karenanya di Amerika Serikat.[200] Galur baru virus influenza sering muncul di Asia Timur. Hal ini diduga karena di sana bebek, babi, dan manusia memiliki populasi yang paling padat dan hidup berdekatan.[201]

Pandemi flu yang paling baru terjadi pada tahun 2009, tetapi tidak satu pun dari tiga pandemi flu terakhir yang membawa dampak sebesar pandemi 1918. Hal-hal yang menyebabkan galur virus influenza yang muncul pada saat itu menimbulkan dampak yang demikian berat masih belum diketahui pasti.[194]

Arbovirus penyebab demam kuning, DBD, dan lainnya

 
Sekelompok virus, yang disebut sebagai arbovirus, dapat ditularkan oleh artropoda, misalnya nyamuk Aedes aegypti

Arbovirus adalah kelompok virus yang ditularkan ke manusia dan vertebrata melalui serangga pengisap darah. Virus-virus ini sangat beragam. Istilah "arbovirus" merupakan singkatan dari "arthropod-borne virus" ("virus yang dibawa oleh artropoda"). Penggolongan virus-virus ini sebagai arbovirus bukanlah penggolongan taksonomi resmi.[202] Ada lebih dari lima ratus spesies arbovirus. Namun, pada tahun 1930 didapati bahwa hanya tiga di antaranya yang menyebabkan penyakit pada manusia, yakni virus demam kuning, virus dengue, dan virus demam Pappataci.[203] Sebuah buku yang terbit pada 2009 menyatakan bahwa terdapat lebih dari 100 spesies arbovirus yang menyebabkan berbagai penyakit pada manusia, termasuk radang otak.[204]

Demam kuning adalah penyakit terkenal yang disebabkan oleh Flavivirus.[205] Epidemi besar demam kuning yang terakhir di Amerika Serikat terjadi pada tahun 1905.[206] Selama pembangunan Terusan Panama, ribuan pekerja meninggal karenanya.[207] Demam kuning berasal dari Afrika. Virus penyebabnya dibawa ke Amerika oleh kapal-kapal kargo yang menjadi penampungan nyamuk Aedes aegyti, pembawa Flavivirus. Ghana, Afrika Barat, merupakan tempat epidemi demam kuning pertama yang tercatat di Afrika, yang berlangsung pada tahun 1926.[208] Pada 1930-an, penyakit tersebut kembali muncul di Brasil. Fred Soper, seorang epidemiolog Amerika Serikat (1893–1977), menemukan pengaruh siklus silvatik dari infeksi dalam inang nonmanusia, dan bahwa infeksi pada manusia merupakan "jalan buntu" yang memutus siklus tersebut.[209] Meskipun vaksin demam kuning merupakan salah satu vaksin paling sukses yang pernah dikembangkan,[210] epidemi masih terjadi. Pada 1986 hingga 1991 di Afrika Barat, lebih dari 20.000 orang terinfeksi demam kuning dan 4.000 orang di antaranya meninggal dunia.[211]

Pada tahun 1930-an, ensefalitis St. Louis, ensefalitis kuda timur, dan ensefalitis kuda barat muncul di Amerika Serikat. Virus penyebab ensefalitis La Crosse ditemukan pada tahun 1960-an. Virus Nil Barat tersebar di New York pada tahun 1999.[212] Pada tahun 2010, virus penyebab demam berdarah dengue (DBD) menjadi arbovirus yang paling banyak menyebar. Beragam galur virus ini semakin virulen dan menyebar ke penjuru Asia dan Amerika.[213]

Virus hepatitis

Hepatitis adalah penyakit pada organ hati yang telah dikenal ada sejak masa kuno.[214] Tanda dan gejala penyakit ini mencakup jaundis, yaitu menguningnya kulit, mata, dan cairan tubuh.[215] Ada banyak sebab hepatitis, antara lain virus, khususnya virus hepatitis A, hepatitis B, dan hepatitis C.[216] Epidemi jaundis banyak terjadi sepanjang sejarah dan terutama mendera prajurit perang. "Jaundis operasi militer" umum ditemukan pada Abad Pertengahan. Gejala tersebut dijumpai pada pasukan Napoleon dan konflik-konflik besar pada abad ke-19 dan 20, termasuk pada Perang Saudara Amerika yang melaporkan 40 ribu kasus jaundis dan 150 kematian karenanya.[217] Virus penyebab jaundis ini baru ditemukan pada pertengahan abad ke-20.[218] Artikel ilmiah pada tahun 1946 menjelaskan bukti perbedaan antara hepatitis A yang menyebabkan epidemi jaundis dan hepatitis B19 yang menyebabkan jaundis yang menular lewat darah. Istilah hepatitis A dan hepatitis B mulai digunakan pada tahun 1947.[219][220] Pada tahun 1960-an, virus penyebab hepatitis mulai ditemukan. Virus hepatitis B ditemukan dan dinamai sesuai penyakit yang ia sebabkan,[221] sedangkan virus hepatitis A ditemukan pada tahun 1974.[222] Penemuan virus hepatitis A dan teknologi pengujian untuk mendeteksinya menyebabkan perubahan besar-besaran pada banyak tata laksana kesehatan dan kecantikan. Skrining darah donor yang mulai dilakukan pada awal tahun 1970-an mengurangi penularan virus secara drastis.[223] Faktor VIII dan plasma darah manusia yang didonorkan sebelum tahun 1975 banyak mengandung virus hepatitis B dengan kadar yang dapat menyebabkan infeksi.[224] Hingga akhir tahun 1960-an, jarum suntik hipodermik yang sering digunakan berulang kali oleh tenaga kesehatan dan jarum pembuat tato menjadi penyebab umum infeksi.[225] Pada akhir tahun 1990-an, program penukaran jarum diselenggarakan di Eropa dan Amerika Serikat untuk mencegah penyebaran infeksi pada pengguna obat-obatan terlarang.[226] Usaha tersebut membantu mengurangi dampak HIV dan virus hepatitis C.[227]

Virus penyebab kanker

Sejumlah kanker bisa disebabkan oleh infeksi virus. Onkovirus merupakan sebutan bagi virus-virus yang menjadi penyebab kanker. Hingga 20% dari kasus kanker pada manusia di seluruh dunia disebabkan oleh virus,[228] misalnya virus papiloma penyebab kanker serviks, virus polioma penyebab kanker mesotelium, virus Epstein-Barr penyebab penyakit limfoproliferatif sel-B dan kanker nasofaring, virus herpes manusia tipe 8 penyebab sarkoma Kaposi dan limfoma efusi primer, virus-virus hepatitis B dan hepatitis C penyebab kanker hati, dan virus limfotropik sel T manusia tipe 1 penyebab leukemia sel T.[229] Meskipun demikian, sejumlah upaya pencegahan telah ditemukan, misalnya vaksin hepatitis B yang dosis pertamanya segera diberikan setelah seorang bayi dilahirkan.[230][231] Infeksi virus papiloma manusia juga dapat dicegah oleh vaksin dan kanker serviks yang diakibatkannya dapat dideteksi secara dini dengan metode apus Pap.[232]

Virus pada hewan selain manusia

Epizootik adalah mewabahnya penyakit pada hewan selain manusia.[233] Pada abad ke-20, beragam epizootik penyakit karena virus terjadi pada hewan, terutama ternak, secara global. Penyakit-penyakit tersebut antara lain penyakit mulut dan kuku, sampar sapi, flu burung dan flu babi, demam babi, serta lidah biru domba. Penyakit karena virus pada hewan ternak mengakibatkan kerugian baik bagi peternak maupun masyarakat secara luas, seperti yang terjadi pada saat mewabahnya penyakit mulut dan kuku di Inggris pada tahun 2001.[234]

Sampar sapi pertama kali terjadi di Afrika Timur pada tahun 1891 dan secara cepat menyebar ke seluruh Afrika.[235] Pada tahun 1892, 95% hewan ternak di Afrika Timur mati. Oleh karenanya, terjadi kelaparan yang merugikan peternak dan warga nomaden. Sebagian dari mereka menggantungkan hidupnya secara penuh pada hewan ternak. Dua pertiga populasi suku Maasai tewas. Kondisi bertambah parah dengan munculnya epidemi cacar saat bencana kelaparan terjadi.[236] Pada awal abad ke-20, sampar sapi banyak terjadi di Asia dan sebagian Eropa.[237] Prevalensi penyakit ini terus menurun setelah adanya usaha pengendalian penyakit yang mencakup vaksinasi.[238] Pada tahun 1908, Eropa bebas dari sampar sapi. Penyakit ini kembali mewabah setelah Perang Dunia Kedua tetapi segera terkendali. Prevalensi sampar sapi meningkat di Asia. Thailand harus memohon bantuan pada tahun 1957 karena banyaknya kerbau yang mati menyebabkan sawah tidak dapat disiapkan untuk menanam padi.[239] Daerah Rusia di bagian barat Pegunungan Ural bebas dari sampar sapi. Lenin memutuskan sejumlah peraturan pengendalian penyakit ini. Namun, hewan ternak di bagian timur Rusia masih terus terinfeksi sampar dari Mongolia dan Tiongkok yang memiliki prevalensi penyakit tinggi.[240] India berhasil mengendalikan penyebaran penyakit sampar sapi yang sebelumnya merajalela di daerah selatan, Tamil Nadu dan Kerala, sepanjang abad ke-20.[241] India kemudian berhasil memberantas sampar sapi pada tahun 1995.[242] Afrika didera dua panzootik besar pada tahun 1920-an dan 1980-an.[243] Penyakit tersebut mewabah di Somalia pada tahun 1928 dan tersebar ke penjuru negeri hingga tahun 1953. Pada tahun 1980-an, penyebaran penyakit di Tanzania dan Kenya dikendalikan dengan penggunaan 26 juta dosis vaksin. Munculnya kembali penyakit ini pada tahun 1997 berhasil ditekan dengan operasi vaksinasi yang intensif.[244] Pada akhir abad ke-20, sampar sapi musnah dari banyak negara. Kantong daerah yang terinfeksi mencakup Etiopia dan Sudan.[245] Pada tahun 1994, Program Pemberantasan Sampar Sapi Global diresmikan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) dengan target pemusnahan global pada tahun 2010.[246] Pada tahun 2011, FAO dan Organisasi Kesehatan Hewan Dunia mengumumkan bahwa "sampar sapi, penyakit karena virus yang menyebar bebas, sudah musnah dari muka bumi".[247]

Penyakit mulut dan kuku adalah penyakit infeksi sangat menular yang disebabkan oleh Aphtovirus. Virus ini berada pada famili yang sama dengan virus polio. Aphtovirus menginfeksi hewan, terutama ungulata, di Afrika sejak zaman kuno dan mungkin terbawa ke Amerika pada abad ke-19 bersama hewan ternak impor.[248] Penyakit kuku dan mulut jarang mematikan tetapi wabah penyakit pada domba dan ternak lain dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang besar.[249] Penyakit terakhir yang tercatat di Amerika terjadi pada tahun 1929. Pada tahun 2001, sejumlah wabah terjadi di penjuru Inggris sehingga ribuan hewan dibunuh dan dibakar.[250]

Walaupun telah menginfeksi manusia sejak zaman kuno, inang alami virus influenza adalah babi dan burung.[251] Virus ini dapat menyebabkan epizootik ringan hingga parah pada hewan peliharaan dan satwa liar.[252] Migrasi banyak jenis burung liar memungkinkan influenza menyebar lintas benua sepanjang sejarah. Virus ini telah dan terus mengalami evolusi menjadi banyak galur sehingga keberadaannya terus mengancam.[253]

Pada awal abad ke-21, epizootik pada hewan ternak masih berdampak serius. Penyakit lidah biru, yang disebabkan oleh Orbivirus, menyerang domba di Prancis pada tahun 2007.[254] Sebelumnya, penyakit ini hanya ada di Amerika Utara dan Selatan, Afrika, Asia Selatan, dan Australia bagian utara. Virus ini sekarang menyebar pula di daerah Mediterania.[255]

Virus pada tumbuhan

 
Kutu kebul (Trialeurodes vaporariorum) adalah vektor virus mosaik ubi kayu.

Pada abad ke-20, virus diketahui menyebabkan banyak penyakit "lama" pada tumbuhan, antara lain maize streak dan penyakit mosaik ubi kayu.[256] Sama seperti pada manusia, jika banyak tumbuhan hidup berdekatan, virus yang memiliki inang tumbuhan juga banyak berkembang. Hal ini menyebabkan kerugian ekonomi dan tragedi kemanusiaan yang besar. Di Yordania pada tahun 1970-an, tomat dan famili Cucurbitaceae (timun, melon, dan labu-labuan) banyak ditanam. Seluruh ladang tempat mereka ditanam terinfeksi virus.[257] Kejadian serupa ditemukan di Pantai Gading, tiga puluh virus yang berbeda menginfeksi kacang-kacangan dan sayuran. Di Kenya, virus mosaik ubi kayu, maize streak virus, dan penyakit-penyakit virus kacang tanah menyebabkan kerusakan tanaman pertanian hingga 70%.[257] Ubi kayu merupakan tumbuhan yang paling banyak ditanam di Afrika Timur dan merupakan bahan makanan pokok bagi lebih dari 200 juta orang. Tanaman ini dibawa ke Afrika dari Amerika Selatan dan dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang tidak subur. Penyakit paling penting yang menginfeksi ubi kayu disebabkan oleh virus mosaik ubi kayu dari famili Geminiviridae yang ditularkan antartumbuhan oleh kutu kebul. Penyakit ini pertama kali tercatat pada tahun 1894. Wabahnya banyak terjadi di Afrika Timur sepanjang abad ke-20 dan sering kali menyebabkan bencana kelaparan.[258]

Pada tahun 1920-an, pemilik perkebunan umbi bit di Amerika Serikat bagian barat mengalami kerugian ekonomi yang besar akibat infeksi Beet curly top virus (BCTV) yang ditularkan oleh serangga Cicadellidae. Pada tahun 1956, 25–50% tanaman padi di Kuba dan Venezuela rusak karena Rice hoja blanca tenuivirus (RHBV). Pada tahun 1958, RHBV menyebabkan kerugian pada banyak daerah yang menanam padi di Kolombia. Wabahnya terjadi kembali pada tahun 1981 yang menyebabkan kerugian hingga 100%.[259] Di Ghana pada tahun 1936–1977, Cacao swollen shoot virus (CSSV) yang ditularkan oleh kutu putih menyebabkan rusaknya 162 juta pohon kakao, yang selanjutnya masih mengakibatkan kerusakan 15 juta pohon per tahun.[260] Pada tahun 1948, di Kansas, Amerika Serikat, 7% tanaman gandum rusak karena Wheat streak mosaic virus (WSMV) yang disebarkan oleh tungau Aceria tulipae.[261] Pada tahun 1950-an, virus bercak cincin pepaya, salah satu Potyvirus, menyebabkan kerugian besar pada perkebunan pepaya solo di Oahu, Hawaii. Pepaya solo dibawa ke pulau ini pada abad ke-19, tetapi penyakit bercak cincin baru muncul pada tahun 1940-an.[262]

Bencana-bencana penyakit tumbuhan berasal dari intervensi manusia yang mengakibatkan perubahan ekologis. Ketika tanaman didatangkan ke suatu wilayah dari wilayah lain, akan terjadi interaksi antara vektor dan virus baru dengan tanaman tersebut. Kakao merupakan tumbuhan asli Amerika Selatan yang kemudian dibawa ke Afrika Barat pada akhir abad ke-19. Pada tahun 1936, penyakit bengkak akar ditularkan oleh kutu putih dari tumbuhan-tumbuhan asli Afrika Barat.[263] Pemasukan suatu tumbuhan ke habitat baru dapat memicu wabah penyakit akibat infeksi virus tumbuhan. Sebelum tahun 1970, Rice yellow mottle virus (RYMV) awalnya hanya ditemukan di Kisumu, Kenya. Namun, virus ini kemudian menyebar ke penjuru Afrika Timur setelah dibuatnya sistem irigasi yang luas di Afrika Timur dan penanaman padi secara besar-besaran.[264] Aktivitas manusia mempertemukan virus tumbuhan dengan tanaman pertanian asli daerah tertentu. Citrus tristeza virus (CTV) dibawa ke Amerika Selatan dari Afrika pada tahun 1926–1930. Pada saat yang sama, kutu daun Toxoptera citricidus dibawa ke Amerika Selatan dari Asia. Kedua peristiwa ini mempercepat penularan virus. Pada tahun 1950, lebih dari enam juta pohon jeruk mati karena infeksi CTV di São Paulo, Brasil.[264] Baik CTV maupun keluarga pohon jeruk mungkin mengalami koevolusi selama berabad-abad di negara asalnya. Penyebaran CTV ke wilayah lain dan interaksinya dengan varietas jeruk-jerukan yang baru menyebabkan wabah penyakit tumbuhan.[265] Karena banyak masalah yang muncul akibat terbawanya virus tumbuhan, banyak negara memberlakukan kebijakan impor yang ketat terhadap pemasukan bahan yang dapat membawa virus tumbuhan yang berbahaya atau vektor serangga.[266]

Virus baru

Meskipun tanpa mutasi, organisme parasitik yang ada saat ini dapat berpindah dari relung ekologisnya dan bertemu dengan populasi padat khas di muka Bumi, menimbulkan kematian baru dan mungkin besar-besaran pada populasi tersebut. McNeill (1998) hlm. 293

Virus baru adalah virus yang relatif baru-baru ini mulai menginfeksi spesies inang tertentu.[267] Banyak virus baru yang menginfeksi manusia pada awalnya menginfeksi hewan lain.[268] Jika virus berpindah ke spesies lain, penyakit yang timbul pada manusia disebut sebagai infeksi zoonotik atau zoonosis.[269]

SARS

 
Ilustrasi morfologi utrastruktural sebuah virion koronavirus yang dibuat oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat.[270]

Sindrom pernapasan akut berat (SARS) yang muncul pada awal abad ke-21 disebabkan oleh koronavirus jenis baru.[271] Sebelumnya, beberapa jenis koronavirus lain telah diketahui menyebabkan infeksi ringan pada manusia.[272] Namun, galur virus baru ini memiliki tingkat virulensi dan kecepatan penyebaran yang memicu kekhawatiran tenaga kesehatan dan masyarakat umum.[267] Penyakit ini baru disadari berpotensi menjadi pandemi besar pada bulan Juli 2003, setelah terjadi 8.000 kasus dan 800 kematian.[273] Asal usul virus SARS tidak diketahui dengan pasti, tetapi sejumlah bukti menunjukkan bahwa virus ini berasal dari kelelawar.[274]

Pada bulan Juni 2012, sebuah virus mirip SARS yang kemudian disebut Sindrom pernapasan Timur Tengah (MERS) muncul di Arab Saudi.[275] Gejala infeksi MERS-CoV termasuk gagal ginjal dan pneunomia akut, yang sering kali berakibat fatal. Pasien pertama yang tercatat mengalami "demam, batuk berdahak, dan sesak napas selama 7 hari."[276]

Pada bulan November 2019, koronavirus baru muncul di Wuhan, Tiongkok dan menyebar secara cepat ke seluruh dunia. Virus ini kemudian diberi nama koronavirus sindrom pernapasan akut berat 2 (SARS-CoV-2). Infeksi virus ini menyebabkan pandemi dengan tingkat fatalitas kasus sekitar 2% pada manusia sehat di bawah usia 50 tahun dan hingga sekitar 15% pada manusia di atas 80 tahun dengan komorbiditas (penyakit lain yang telah ada).[277][278][279] Pada bulan November 2021, tingkat kematian kasus SARS-CoV-2 lebih rendah daripada SARS, tetapi infeksinya lebih menular.[277] Usaha untuk mengurangi dampak pandemi terhalangi oleh rasa takut, prasangka buruk, dan stigmatisasi terhadap individu yang terinfeksi.[280] Pembatasan pada masa damai (tanpa perang), yang belum pernah terjadi sebelumnya, diberlakukan pada perjalanan internasional.[281] Banyak pemerintah tidak siap menghadapi pandemi berskala besar ini. Di penjuru dunia, banyak pakar virologi dan epidemiologi tidak memberi keluhan yang keras terhadap efisiensi sistem pengujian dan pemantauan penyakit yang ada.[282]

Virus Nil Barat

Virus Nil Barat (WNV), salah satu spesies Flavivirus, pertama kali ditemukan pada tahun 1937 di Subwilayah Nil Barat, Uganda, dalam darah seorang perempuan yang demam. Virus yang mula-mula dibawa oleh nyamuk dan burung ini menyebabkan sejumlah wabah demam Nil Barat pada manusia di Afrika Utara dan Timur Tengah pada tahun 1950-an. Pada tahun 1960-an, banyak kuda di Eropa terserang oleh virus ini. Wabah terbesar pada manusia terjadi pada tahun 1974 di Provinsi Tanjung Harapan, Afrika Selatan. Pada saat itu, sepuluh ribu orang terjangkit.[283] Frekuensi epidemi dan epizootik (pada kuda) mulai meningkat pada tahun 1996 di sekitar basin Mediterania. Pada tahun 1999, WNV tiba di Kota New York dan setelah itu, virus ini terus menyebar ke seluruh Amerika Serikat.[283] Di negara ini, virus paling banyak dibawa oleh nyamuk pada musim panas. Jumlah kasus meningkat pada pertengahan Juli hingga awal September. Jika cuaca menjadi dingin, nyamuk akan mati dan risiko infeksi WNV menurun.[284] Di Eropa, banyak wabah demam Nil Barat terjadi. Pada tahun 2000, program surveilans penyakit di Inggris mulai memantau insidensi virus ini pada manusia, burung yang mati, nyamuk, dan kuda.[285] Nyamuk yang membawa virus ini (Culex modestus) berkembang biak di rawa daerah utara Kent. Spesies nyamuk ini sebelumnya tidak diketahui hidup di Inggris, melainkan tersebar luas di Eropa Selatan.[286]

Virus Nipah

Pada tahun 1997, penyakit pernapasan mewabah pada peternak di Malaysia dan babi yang mereka pelihara. Lebih dari 265 kasus ensefalitis tercatat dan 105 di antaranya berujung pada kematian.[287] Paramiksovirus jenis baru ditemukan di otak para penderitanya. Virus ini lantas dinamakan virus Nipah, sesuai desa tempat ditemukannya. Virus Nipah berasal dari kelelawar buah yang kawanannya berpindah tempat akibat penggundulan hutan. Setelah habitatnya tergusur, kelelawar-kelelawar ini hidup di pepohonan di dekat peternakan babi. Babi-babi tersebut kemudian terinfeksi virus dari tinja kelelawar.[288]

Demam berdarah akibat virus

 
Mikrograf virion virus Marburg

Sejumlah patogen virus yang sangat mematikan merupakan anggota Filoviridae, famili virus yang berbentuk seperti filamen. Virus Ebola dan Marburg yang termasuk dalam takson ini menyebabkan demam berdarah. Virus Marburg mengundang perhatian publik yang luas pada bulan April 2005 karena menimbulkan wabah di Angola. Pada bulan Oktober 2004 hingga tahun 2005, ditemukan 252 kasus karenanya, 227 di antaranya menyebabkan kematian.[289]

Epidemi virus Ebola di Afrika Barat mulai terjadi pada tahun 2013. Peristiwa ini termasuk epidemi paling merugikan setelah munculnya HIV.[290] Penyakit Ebola pertama kali muncul pada bulan Desember 2013 di Meliandou, desa di Guinea selatan.[291] Sejumlah korban pertama infeksi ini adalah anak laki-laki berusia dua tahun, kakak perempuannya yang berusia tiga tahun, ibu, dan nenek mereka. Pemakaman nenek mereka dihadiri oleh keluarga dan orang-orang yang merawatnya. Setelah itu, penyakit ini menyebar ke desa-desa yang dekat dengan mereka. Pada bulan Maret 2014, penyakit ini terus menyebar sehingga petugas kesehatan setempat melaporkan peristiwa ini ke Kementerian Kesehatan Guinea. Pada pertengahan tahun, epidemi menyebar ke Liberia dan Sierra Leone.[292] Pada bulan Juni 2015, Organisasi Kesehatan Dunia melaporkan lebih dari 27 ribu kasus dengan 11 ribu kematian.[293]

Virus Ebola mungkin berasal dari kelelawar.[294][295] Virus Marburg ditularkan ke manusia dari monyet,[296] sedangkan demam Lassa dari tikus Mastomys natalensis.[297] Infeksi zoonotik dapat bersifat parah karena manusia tidak memiliki kekebalan alami terhadap infeksi. Beberapa infeksi zoonotik sering kali merupakan "jalan buntu". Artinya, manusia merupakan inang terakhir dan virus tidak menyebar antarmanusia secara efisien, bukan karena berhasil diobati.[298]

Pada awal abad ke-21, terjadi peningkatan kesadaran global akan epidemi yang berdampak besar di negara-negara berkembang. Pada beberapa dekade sebelumnya, epidemi di negara berkembang tidak banyak diperhatikan oleh komunitas kesehatan internasional.[299] Namun, pasca terjadinya pandemi global, virus Covid-19, seluruh negara di dunia, menaruh perhatian besar kepada perkembangan laten virus yang setiap hari bertransformasi dan siap menjadi "musuh" bagi peradaban manusia. Sehingga, para ahli kesehatan, mulai mengkaji dan menembukan anti-virus untuk menaklukan jutaan virus yang berpotensi menghancurkan.

Manfaat virus

Sir Peter Medawar (1915–1987) menggambarkan virus sebagai "berita buruk dalam bungkusan protein".[300] Selain sebagai bakteriofag, virus hanya dikenal sebagai penyebab penyakit dan kematian. Penemuan akan keberlimpahan virus dan keberadaannya di banyak ekosistem membuat pakar virologi modern meninjau kembali peran virus dalam biosfer.[301]

Virus diperkirakan berjumlah 1031 di Bumi, yang kebanyakan merupakan bakteriofag dan berada di lautan.[302] Mikroorganisme menyusun 90% biomassa laut.[303] Virus diperkirakan membunuh kurang lebih 20% biomassa ini setiap hari dan jumlah virus lima belas kali lipat bakteri dan arkea di laut.[303] Virus adalah agen utama yang mencegah ledakan populasi alga. Ledakan tersebut merugikan karena sering kali membunuh organisme akuatik lainnya.[303] Virus juga membantu menjaga keseimbangan ekologi spesies-spesies sianobakteri di laut[304] sehingga memastikan produksi oksigen yang cukup bagi kehidupan di Bumi.[305]

Munculnya galur bakteri yang kebal terhadap sejumlah antibiotik menyebabkan masalah pada penanganan infeksi bakteri.[306] Pada 30 tahun belakangan, hanya dua kelas baru antibiotik yang berhasil dikembangkan[307] dan cara-cara baru untuk melawan infeksi bakteri sedang dicari.[306] Bakteriofag mulai digunakan untuk mengendalikan bakteri sejak tahun 1920-an.[308] Uji klinis besar diselenggarakan oleh para ilmuwan Soviet pada tahun 1963.[309] Hal ini tidak diketahui orang-orang di luar Uni Soviet hingga hasil uji diterbitkan di Barat pada tahun 1989.[310] Bakteri yang kebal terhadap antibiotik merupakan masalah baru yang semakin membesar sehingga memicu ketertarikan kembali pada penggunaan bakteriofag dan terapi fag.[311]

Proyek Genom Manusia menunjukkan keberadaan banyak urutan DNA virus pada genom manusia.[312] Urutan ini menyusun sekitar 8% DNA manusia,[313] yang tampaknya merupakan peninggalan infeksi retrovirus kuno pada nenek moyang manusia.[314] Segmen DNA ini menetap pada DNA manusia[312] dan, meskipun tidak berfungsi lagi sebagai materi genetik dalam reproduksi virus, gen-gen yang dibawanya berperan penting dalam perkembangan manusia.[315][316][317] Sementara itu, pada tumbuhan, virus juga mentransfer gen-gen yang penting. Sekitar 10% dari semua fotosintesis menggunakan produk gen yang dipindahkan oleh virus dari sianobakteri ke tumbuhan.[318]

Catatan kaki

  1. ^ a b c d McMichael, A.J. (2004). "Environmental and social influences on emerging infectious diseases: past, present and future". Philosophical Transactions of the Royal Society of London. Series B, Biological Sciences. 359 (1447): 1049–1058. doi:10.1098/rstb.2004.1480. PMC 1693387 . PMID 15306389. 
  2. ^ Clark 2010, hlm. 56.
  3. ^ Barrett & Armelagos 2013, hlm. 28.
  4. ^ Villarreal 2005, hlm. 344.
  5. ^ Hughes AL, Irausquin S, Friedman R (2010). "The evolutionary biology of poxviruses". Infection, Genetics and Evolution : Journal of Molecular Epidemiology and Evolutionary Genetics in Infectious Diseases. 10 (1): 50–59. doi:10.1016/j.meegid.2009.10.001. PMC 2818276 . PMID 19833230. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-02-05. Diakses tanggal 2013-09-12. 
  6. ^ Georges, A.J.; Matton, T; Courbot-Georges, M.C. (2004). "Le monkey-pox, un paradigme de maladie émergente puis réémergente". Médecine et Maladies Infectieuses (dalam bahasa Prancis). 34 (1): 12–19. doi:10.1016/j.medmal.2003.09.008. PMID 15617321. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-07-01. Diakses tanggal 2021-11-22. 
  7. ^ a b Tucker 2002, hlm. 6.
  8. ^ Clark 2010, hlm. 20.
  9. ^ Barker 2009, hlm. 1.
  10. ^ a b Gibbs, A.J., Ohshima, K., Phillips, M.J., dan Gibbs, M.J. (2008). Lindenbach, Brett, ed. "The prehistory of potyviruses: their initial radiation was during the dawn of agriculture". PLoS ONE. 3 (6): e2523. doi:10.1371/journal.pone.0002523. PMC 2429970 . PMID 18575612. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-03-27. Diakses tanggal 2013-09-12. 
  11. ^ Fargette D, Pinel-Galzi A, Sérémé D, Lacombe S, Hébrard E, Traoré O, Konaté G (2008). Holmes, Edward C., ed. "Diversification of rice yellow mottle virus and related viruses spans the history of agriculture from the neolithic to the present". PLOS Pathogens. 4 (8): e1000125. doi:10.1371/journal.ppat.1000125. PMC 2495034 . PMID 18704169. 
  12. ^ Zeder, M.A. (2008). "Domestication and early agriculture in the Mediterranean Basin: origins, diffusion, and impact". Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America. 105 (33): 11597–11604. doi:10.1073/pnas.0801317105. PMC 2575338 . PMID 18697943. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-03-27. Diakses tanggal 2013-09-12. 
  13. ^ McNeill 1998, hlm. 71.
  14. ^ Baker 2008, hlm. 40–50.
  15. ^ McNeill 1998, hlm. 73.
  16. ^ Clark 2010, hlm. 57–58.
  17. ^ a b Crawford 2000, hlm. 225.
  18. ^ White, Douglas W.; Suzanne Beard, R.; Barton, Erik S. (2012). "Immune modulation during latent herpesvirus infection: Immune modulation by latent herpesviruses". Immunological Reviews. 245 (1): 189–208. doi:10.1111/j.1600-065X.2011.01074.x. PMC 3243940 . PMID 22168421. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-22. Diakses tanggal 2021-11-22. 
  19. ^ Shors 2017, hlm. 13.
  20. ^ Donadoni 1997, hlm. 292.
  21. ^ Taylor 2014, hlm. 4.
  22. ^ Zimmer 2011, hlm. 82.
  23. ^ a b Levins & Wilson 1994, hlm. 297–298.
  24. ^ Dobson 2008, hlm. 140–141.
  25. ^ Karlen 1996, hlm. 57.
  26. ^ Furuse, Yuki; Suzuki, Akira; Oshitani, Hitoshi (2010). "Origin of measles virus: divergence from rinderpest virus between the 11th and 12th centuries". Virology Journal. 7 (1): 52. doi:10.1186/1743-422X-7-52. ISSN 1743-422X. PMC 2838858 . PMID 20202190. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-12-20. Diakses tanggal 2021-12-20. 
  27. ^ a b c Retief, François; Cilliers, Louise (2010). "Measles in antiquity and the Middle Ages". South African Medical Journal. 100 (4): 216–217. doi:10.7196/samj.3504. ISSN 0256-9574. PMID 20459960. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-12-19. Diakses tanggal 2021-12-20. 
  28. ^ Zuckerman 1987, hlm. 291.
  29. ^ Mahy (a) 2009, hlm. 10.
  30. ^ Gottfried, R.S. (1977). "Population, plague, and the sweating sickness: demographic movements in late fifteenth-century England". The Journal of British Studies. 17 (1): 12–37. doi:10.1086/385710. PMID 11632234. 
  31. ^ a b c d e f Mahy (b) 2009, hlm. 243.
  32. ^ a b Shors 2017, hlm. 352.
  33. ^ Mortimer 2009, hlm. 211.
  34. ^ Scott 2010, hlm. 10.
  35. ^ Riedel, S. (2005). "Edward Jenner and the history of smallpox and vaccination". Proceedings (Baylor University. Medical Center). 18 (1): 21–25. PMC 1200696 . PMID 16200144. 
  36. ^ Clark 2010, hlm. 21.
  37. ^ Gilchrist 2012, hlm. 41.
  38. ^ Barrett & Armelagos 2013, hlm. 15.
  39. ^ Salmon, Dan (Juni 2015). "Rinderpest". Flock & Herd. Diarsipkan dari versi asli tanggal 23 November 2021. Diakses tanggal 20 Desember 2021. 
  40. ^ Barrett & Armelagos 2013, hlm. 87.
  41. ^ Quinn 2008, hlm. 40–41.
  42. ^ McNeill 1998, hlm. 229.
  43. ^ Penn 2012, hlm. 325–326.
  44. ^ Kohn 1995, hlm. 100.
  45. ^ Kohn 1995, hlm. 100–101.
  46. ^ a b Mortimer 2012, hlm. 278.
  47. ^ Quinn 2008, hlm. 41.
  48. ^ Karlen 1996, hlm. 81.
  49. ^ Quinn 2008, hlm. 40.
  50. ^ Elmer 2004, hlm. 15.
  51. ^ Porter 1995, hlm. 9.
  52. ^ Quinn 2008, hlm. 9.
  53. ^ Quinn 2008, hlm. 39–57.
  54. ^ Dobson 2008, hlm. 172.
  55. ^ Quinn 2008, hlm. 59.
  56. ^ a b Potter CW (2001). "A history of influenza". Journal of Applied Microbiology. 91 (4): 572–579. doi:10.1046/j.1365-2672.2001.01492.x. PMID 11576290. 
  57. ^ Quinn 2008, hlm. 71.
  58. ^ Quinn 2008, hlm. 72.
  59. ^ Dobson 2008, hlm. 174.
  60. ^ a b Glynn 2004, hlm. 31.
  61. ^ Berdan 2005, hlm. 182–183.
  62. ^ Glynn 2004, hlm. 33.
  63. ^ Standford 2012, hlm. 108.
  64. ^ Barrett & Armelagos 2013, hlm. 42.
  65. ^ Oldstone 2009, hlm. 61–68.
  66. ^ Valdiserri 2003, hlm. 3.
  67. ^ a b Tucker, Jonathan B. (2002). Scourge: the once and future threat of smallpox. New York: Grove Press. hlm. 12–13. ISBN 978-0-8021-3939-9. 
  68. ^ Glynn 2004, hlm. 145.
  69. ^ Sloan, A.W. (1987). "Thomas Sydenham, 1624-1689". South African Medical Journal = Suid-Afrikaanse Tydskrif Vir Geneeskunde. 72 (4): 275–278. ISSN 0256-9574. PMID 3303370. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-10. Diakses tanggal 2021-08-04. 
  70. ^ Mahy (b) 2009, hlm. 514.
  71. ^ Dobson, Mary J. (2007). Disease: the extraordinary stories behind history's deadliest killers. London: Quercus. hlm. 146–147. ISBN 978-1-84724-014-9. OCLC 233526848. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-03-27. Diakses tanggal 2021-12-20. 
  72. ^ Patterson, K. David (1992). "Yellow fever epidemics and mortality in the United States, 1693–1905". Social Science & Medicine. 34 (8): 855–865. doi:10.1016/0277-9536(92)90255-O. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-02-24. Diakses tanggal 2021-08-04. 
  73. ^ Chakraborty, Tirtha (2008). Dengue fever and other hemorrhagic viruses. Hilary Babcock. New York: Chelsea House. hlm. 16–17. ISBN 978-0-7910-8506-6. OCLC 166383263. 
  74. ^ Jones, Kate E.; Patel, Nikkita G.; Levy, Marc A.; Storeygard, Adam; Balk, Deborah; Gittleman, John L.; Daszak, Peter (2008). "Global trends in emerging infectious diseases". Nature. 451 (7181): 990–993. doi:10.1038/nature06536. ISSN 0028-0836. PMC 5960580 . PMID 18288193. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-03. Diakses tanggal 2021-08-04. 
  75. ^ Jones, B.A.; Grace, D.; Kock, R.; Alonso, S.; Rushton, J.; Said, M.Y.; McKeever, D.; Mutua, F.; Young, J. (2013). "Zoonosis emergence linked to agricultural intensification and environmental change". Proceedings of the National Academy of Sciences. 110 (21): 8399–8404. doi:10.1073/pnas.1208059110. ISSN 0027-8424. PMC 3666729 . PMID 23671097. 
  76. ^ Gummow, B. (2010). "Challenges posed by new and re-emerging infectious diseases in livestock production, wildlife and humans". Livestock Science. 130 (1-3): 41–46. doi:10.1016/j.livsci.2010.02.009. PMC 7102749 . PMID 32288869. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-06-15. Diakses tanggal 2021-08-04. 
  77. ^ Crawford 2011, hlm. 121-122.
  78. ^ Mahy (a) 2009, hlm. 10-11.
  79. ^ Crawford 2011, hlm. 122.
  80. ^ Zuckerman 1999, hlm. 21.
  81. ^ Tucker 2002, hlm. 16-17.
  82. ^ Rhodes 2013, hlm. 17.
  83. ^ Tucker 2002, hlm. 17.
  84. ^ Lane 2001, hlm. 137.
  85. ^ Rhodes 2013, hlm. 21.
  86. ^ Lane 2001, hlm. 138-139.
  87. ^ Zimmer 2011, hlm. 83.
  88. ^ Booss & August 2013, hlm. 57.
  89. ^ Reid 1974, hlm. 16.
  90. ^ Greenwood 2008, hlm. 354.
  91. ^ Reid 1974, hlm. 18.
  92. ^ Reid 1974, hlm. 19.
  93. ^ a b Lane 2001, hlm. 140.
  94. ^ Brunton 2008, hlm. 39–45.
  95. ^ Glynn 2004, hlm. 153.
  96. ^ Brunton 2008, hlm. 91.
  97. ^ Glynn 2004, hlm. 161.
  98. ^ Glynn 2004, hlm. 163.
  99. ^ Glynn 2004, hlm. 164.
  100. ^ Zuckerman, Arie J.; Banatvala, J. E.; Pattison, J. R. (1987). Principles and practice of clinical virology. Internet Archive. Chichester ; New York : Wiley. ISBN 978-0-471-90341-3. 
  101. ^ Yuhong, Wu (2001). "Rabies and Rabid Dogs in Sumerian and Akkadian Literature". Journal of the American Oriental Society. 121 (1): 32–43. doi:10.2307/606727. ISSN 0003-0279. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-10-31. Diakses tanggal 2021-10-31. 
  102. ^ Reid 1974, hlm. 93–94.
  103. ^ Reid 1974, hlm. 96.
  104. ^ Reid 1974, hlm. 97-98.
  105. ^ Dobson 2008, hlm. 159.
  106. ^ Dobson 2008, hlm. 159–160.
  107. ^ Dreesen, David W. (1997). "A global review of rabies vaccines for human use". Vaccine. Rabies-Progress in Control, Treatment and Prevention. 15: S2–S6. doi:10.1016/S0264-410X(96)00314-3. ISSN 0264-410X. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-10-31. Diakses tanggal 2021-10-31. 
  108. ^ Kristensson, K.; Dasturt, D. K.; Manghanit, D. K.; Tsiangt, H.; Bentivoglio, M. (1996). "Rabies: interactions between neurons and viruses. A review of the history of Negri inclusion bodies". Neuropathology and Applied Neurobiology (dalam bahasa Inggris). 22 (3): 179–187. doi:10.1111/j.1365-2990.1996.tb00893.x. ISSN 1365-2990. 
  109. ^ Crawford 2000, hlm. 14.
  110. ^ Kruger, D.H.; Schneck, P.; Gelderblom, H.R. (2000). "Helmut Ruska and the visualisation of viruses". Lancet (London, England). 355 (9216): 1713–1717. doi:10.1016/s0140-6736(00)02250-9. ISSN 0140-6736. PMID 10905259. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-12. Diakses tanggal 2021-11-12. 
  111. ^ Crawford 2000, hlm. 15.
  112. ^ Oldstone 2009, hlm. 22–40.
  113. ^ Karlen 1996, hlm. 229.
  114. ^ Mahy (b) 2009, hlm. 585.
  115. ^ Baker 2008, hlm. 70.
  116. ^ Huang, Jiao; Liao, Qiaohong; Ooi, Mong How; Cowling, Benjamin J.; Chang, Zhaorui; Wu, Peng; Liu, Fengfeng; Li, Yu; Luo, Li (2018). "Epidemiology of Recurrent Hand, Foot and Mouth Disease, China, 2008–2015". Emerging Infectious Diseases. 24 (3). doi:10.3201/eid2403.171303. ISSN 1080-6040. PMC 5823341 . PMID 29460747. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-03-27. Diakses tanggal 2021-12-06. 
  117. ^ Nguyen, Ngoc TB; Pham, Hau V; Hoang, Cuong Q; Nguyen, Tien M; Nguyen, Long T; Phan, Hung C; Phan, Lan T; Vu, Long N; Tran Minh, Nguyen N (2014). "Epidemiological and clinical characteristics of children who died from hand, foot and mouth disease in Vietnam, 2011". BMC Infectious Diseases (dalam bahasa Inggris). 14 (1): 341. doi:10.1186/1471-2334-14-341. ISSN 1471-2334. PMC 4068316 . PMID 24942066. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-12-06. Diakses tanggal 2021-12-06. 
  118. ^ Levins & Wilson 1994, hlm. 123–125, 157–168, 195–198, 199–205.
  119. ^ Dobson 2008, hlm. 202.
  120. ^ Collier 2016, hlm. 332–333.
  121. ^ Taubenberger, Jeffery K.; Morens, David M. (2010). "Influenza: the once and future pandemic". Public Health Reports. 125 Suppl 3: 16–26. ISSN 0033-3549. PMC 2862331 . PMID 20568566. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-01-24. Diakses tanggal 2021-12-24. 
  122. ^ Cucinotta, Domenico; Vanelli, Maurizio (2020). "WHO Declares COVID-19 a Pandemic". Acta Bio Medica Atenei Parmensis. 91 (1): 157–160. doi:10.23750/abm.v91i1.9397. PMC 7569573 . PMID 32191675. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-03-09. Diakses tanggal 2021-12-24. 
  123. ^ Light, Jacob S.; Hodes, Horace L. (1943). "Studies on Epidemic Diarrhea of the New-born: Isolation of a Filtrable Agent Causing Diarrhea in Calves". American Journal of Public Health and the Nations Health. 33 (12): 1451–1454. doi:10.2105/AJPH.33.12.1451. ISSN 0002-9572. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-26. Diakses tanggal 2021-12-24. 
  124. ^ Dennehy, P.H. (2015). "Rotavirus Infection: A Disease of the Past?". Infectious Disease Clinics of North America. 29 (4): 617–35. doi:10.1016/j.idc.2015.07.002. PMID 26337738. 
  125. ^ Kapikian, Albert Z. (2008). Chadwick, Derek; Goode, Jamie A., ed. A Rotavirus Vaccine for Prevention of Severe Diarrhoea of Infants and Young Children: Development, Utilization and Withdrawal. Chichester, UK: John Wiley & Sons, Ltd. hlm. 153–179. doi:10.1002/0470846534.ch10. ISBN 978-0-471-49663-2. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-12-06. Diakses tanggal 2021-12-06. 
  126. ^ van den Hoogen, Bernadette G.; Bestebroer, Theo M.; Osterhaus, Albert D. M. E.; Fouchier, Ron A. M. (2002). "Analysis of the genomic sequence of a human metapneumovirus". Virology. 295 (1): 119–132. doi:10.1006/viro.2001.1355. ISSN 0042-6822. PMID 12033771. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-12. Diakses tanggal 2021-11-12. 
  127. ^ "Human papillomavirus vaccines: WHO position paper, May 2017". Releve Epidemiologique Hebdomadaire. 92 (19): 241–268. 2017. ISSN 0049-8114. PMID 28530369. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-01-19. Diakses tanggal 2021-12-20. 
  128. ^ Frazer, Ian H.; Lowy, Doug R.; Schiller, John T. (2007). "Prevention of cancer through immunization: Prospects and challenges for the 21st century". European Journal of Immunology. 37 Suppl 1: S148–155. doi:10.1002/eji.200737820. ISSN 0014-2980. PMID 17972339. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-12. Diakses tanggal 2021-11-12. 
  129. ^ Arslan, Defne; Legendre, Matthieu; Seltzer, Virginie; Abergel, Chantal; Claverie, Jean-Michel (2011). "Distant Mimivirus relative with a larger genome highlights the fundamental features of Megaviridae". Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America. 108 (42): 17486–17491. doi:10.1073/pnas.1110889108. ISSN 1091-6490. PMC 3198346 . PMID 21987820. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-12. Diakses tanggal 2021-11-12. 
  130. ^ Zimmer 2011, hlm. 93.
  131. ^ Glynn 2004, hlm. 218–219.
  132. ^ Oldstone 2009, hlm. 4.
  133. ^ Wolfe 2012, hlm. 113.
  134. ^ a b Glynn 2004, hlm. 200.
  135. ^ a b Crawford 2000, hlm. 220.
  136. ^ Karlen 1996, hlm. 154.
  137. ^ Shors 2017, hlm. 628.
  138. ^ Glynn 2004, hlm. 201.
  139. ^ Glynn 2004, hlm. 202-203.
  140. ^ Belongia, Edward A.; Naleway, Allison L. (2003). "Smallpox vaccine: the good, the bad, and the ugly". Clinical Medicine & Research. 1 (2): 87–92. doi:10.3121/cmr.1.2.87. ISSN 1539-4182. PMC 1069029 . PMID 15931293. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-13. Diakses tanggal 2021-11-13. 
  141. ^ Glynn 2004, hlm. 186–189.
  142. ^ Tucker 2002, hlm. 126–131.
  143. ^ Weinstein, Raymond S. (2011). "Should remaining stockpiles of smallpox virus (variola) be destroyed?". Emerging Infectious Diseases. 17 (4): 681–683. doi:10.3201/eid1704.101865. ISSN 1080-6059. PMC 3377425 . PMID 21470459. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-13. Diakses tanggal 2021-11-13. 
  144. ^ Jr, Donald G. McNeil (2013). "Wary of Attack With Smallpox, U.S. Buys Up a Costly Drug". The New York Times (dalam bahasa Inggris). ISSN 0362-4331. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-13. Diakses tanggal 2021-11-13. 
  145. ^ Oldstone 2009, hlm. 84.
  146. ^ Fetter, Bruce; Kessler, Stowell (1996). "Scars from a Childhood Disease: Measles in the Concentration Camps during the Boer War". Social Science History. 20 (4): 593. doi:10.2307/1171343. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-13. Diakses tanggal 2021-11-13. 
  147. ^ Dick 1978, hlm. 66.
  148. ^ a b Earn, D.J.; Rohani, P.; Bolker, B.M.; Grenfell, B.T. (2000). "A simple model for complex dynamical transitions in epidemics". Science (New York, N.Y.). 287 (5453): 667–670. doi:10.1126/science.287.5453.667. ISSN 0036-8075. PMID 10650003. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-13. Diakses tanggal 2021-11-13. 
  149. ^ Pomeroy, Laura W.; Bjørnstad, Ottar N.; Holmes, Edward C. (2008). "The evolutionary and epidemiological dynamics of the paramyxoviridae". Journal of Molecular Evolution. 66 (2): 98–106. doi:10.1007/s00239-007-9040-x. ISSN 0022-2844. PMC 3334863 . PMID 18217182. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-13. Diakses tanggal 2021-11-13. 
  150. ^ Conlan, Andrew J.K.; Grenfell, Bryan T. (2007). "Seasonality and the persistence and invasion of measles". Proceedings. Biological Sciences. 274 (1614): 1133–1141. doi:10.1098/rspb.2006.0030. ISSN 0962-8452. PMC 1914306 . PMID 17327206. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-13. Diakses tanggal 2021-11-13. 
  151. ^ a b Oldstone 2009, hlm. 135.
  152. ^ Dobson 2008, hlm. 145.
  153. ^ Oldstone 2009, hlm. 137–138.
  154. ^ Oldstone 2009, hlm. 136–137.
  155. ^ Oldstone 2009, hlm. 156–158.
  156. ^ a b Waterhouse 2012, hlm. 229–230.
  157. ^ a b Wise, Jacqui (2013). "Largest group of children affected by measles outbreak in Wales is 10-18 year olds". BMJ (Clinical research ed.). 346: f2545. doi:10.1136/bmj.f2545. ISSN 1756-1833. PMID 23604089. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-13. Diakses tanggal 2021-11-13. 
  158. ^ Oldstone 2009, hlm. 155.
  159. ^ Oldstone 2009, hlm. 156.
  160. ^ Centers for Disease Control and Prevention (2008). "Progress toward measles elimination--Japan, 1999-2008". MMWR. Morbidity and mortality weekly report. 57 (38): 1049–1052. ISSN 1545-861X. PMID 18818586. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-13. Diakses tanggal 2021-11-13. 
  161. ^ Moss, William J.; Griffin, Diane E. (2006). "Global measles elimination". Nature Reviews. Microbiology. 4 (12): 900–908. doi:10.1038/nrmicro1550. ISSN 1740-1534. PMC 7097605 . PMID 17088933. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-13. Diakses tanggal 2021-11-13. 
  162. ^ Karlen 1996, hlm. 149.
  163. ^ Karlen 1996, hlm. 150.
  164. ^ "Notifiable diseases: historic annual totals". GOV.UK (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-13. Diakses tanggal 2021-11-13. 
  165. ^ Dobson 2008, hlm. 163–164.
  166. ^ Karlen 1996, hlm. 151.
  167. ^ Karlen 1996, hlm. 152.
  168. ^ Mahy (b) 2009, hlm. 222.
  169. ^ a b Dobson 2008, hlm. 166.
  170. ^ a b Karlen 1996, hlm. 153.
  171. ^ Oldstone 2009, hlm. 179.
  172. ^ Greenwood 2008, hlm. 367.
  173. ^ Karlen 1996, hlm. 153–154.
  174. ^ Dobson 2008, hlm. 165.
  175. ^ "Nigeria polio vaccinators shot dead in Kano". BBC News (dalam bahasa Inggris). 8 Februari 2013. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-13. Diakses tanggal 13 November 2021. 
  176. ^ "Polio workers in Nigeria shot dead". The Guardian (dalam bahasa Inggris). 8 Februari 2013. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-13. Diakses tanggal 13 November 2021. 
  177. ^ Clark 2010, hlm. 149.
  178. ^ Gao, F.; Bailes, E.; Robertson, D. L.; Chen, Y.; Rodenburg, C. M.; Michael, S. F.; Cummins, L. B.; Arthur, L. O.; Peeters, M. (1999). "Origin of HIV-1 in the chimpanzee Pan troglodytes troglodytes". Nature. 397 (6718): 436–441. doi:10.1038/17130. ISSN 0028-0836. PMID 9989410. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-24. Diakses tanggal 2021-11-13. 
  179. ^ "Global Health Observatory (GHO) data: HIV/AIDS". WHO. Diarsipkan dari versi asli tanggal 9 November 2017. Diakses tanggal 13 November 2021. 
  180. ^ Mawar, Nita; Saha, Seema; Pandit, Apoorvaa; Mahajan, Uma (2005). "The third phase of HIV pandemic: social consequences of HIV/AIDS stigma & discrimination & future needs". The Indian Journal of Medical Research. 122 (6): 471–484. ISSN 0971-5916. PMID 16517997. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-13. Diakses tanggal 2021-11-13. 
  181. ^ Esparza, J.; Osmanov, S. (2003). "HIV vaccines: a global perspective". Current Molecular Medicine. 3 (3): 183–193. doi:10.2174/1566524033479825. ISSN 1566-5240. PMID 12699356. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-13. Diakses tanggal 2021-11-13. 
  182. ^ Weeks 2009, hlm. 15–21.
  183. ^ Crawford 2013, hlm. 122–123.
  184. ^ Crawford 2013, hlm. 173.
  185. ^ Weeks 2009, hlm. 19.
  186. ^ Levins & Wilson 1994, hlm. 279.
  187. ^ Weeks 2009, hlm. 20.
  188. ^ Valdiserri 2003, hlm. 184.
  189. ^ Valdiserri 2003, hlm. 14-17.
  190. ^ Weeks 2009, hlm. 303–316.
  191. ^ Valdiserri 2003, hlm. 181.
  192. ^ Valdiserri 2003, hlm. 181–182.
  193. ^ Barry 2005, hlm. 111.
  194. ^ a b c Karlen 1996, hlm. 144.
  195. ^ Taubenberger, Jeffery K.; Morens, David M. (2006). "1918 Influenza: the mother of all pandemics". Emerging Infectious Diseases. 12 (1): 15–22. doi:10.3201/eid1201.050979. ISSN 1080-6040. PMC 3291398 . PMID 16494711. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-16. Diakses tanggal 2021-11-14. 
  196. ^ Karlen 1996, hlm. 145.
  197. ^ Jenkins 2012, hlm. 230.
  198. ^ Barry 2005, hlm. 364–365.
  199. ^ Mahy (b) 2009, hlm. 174.
  200. ^ Shors 2017, hlm. 432.
  201. ^ Crawford 2000, hlm. 95.
  202. ^ Weaver, S. C. (2006). "Evolutionary influences in arboviral disease". Current Topics in Microbiology and Immunology. 299: 285–314. doi:10.1007/3-540-26397-7_10. ISSN 0070-217X. PMC 7120121 . PMID 16568903. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-14. Diakses tanggal 2021-11-14. 
  203. ^ Levins & Wilson 1994, hlm. 138.
  204. ^ Mahy (b) 2009, hlm. 24.
  205. ^ Chakraborty 2008, hlm. 38.
  206. ^ Patterson, K.D. (1992). "Yellow fever epidemics and mortality in the United States, 1693-1905". Social Science & Medicine (1982). 34 (8): 855–865. doi:10.1016/0277-9536(92)90255-o. ISSN 0277-9536. PMID 1604377. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-14. Diakses tanggal 2021-11-14. 
  207. ^ Ziperman, H.H. (1973). "A medical history of the Panama Canal". Surgery, Gynecology & Obstetrics. 137 (1): 104–114. ISSN 0039-6087. PMID 4576836. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-14. Diakses tanggal 2021-11-14. 
  208. ^ Dobson 2008, hlm. 148.
  209. ^ Ansari MZ, Shope RE (1994). "Epidemiology of arboviral infections". Public Health Reviews. 22 (1–2): 1–26. PMID 7809386. 
  210. ^ Barrett, Alan D.T.; Teuwen, Dirk E. (2009). "Yellow fever vaccine—how does it work and why do rare cases of serious adverse events take place?". Current Opinion in Immunology. 21 (3): 308–313. doi:10.1016/j.coi.2009.05.018. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-01-20. Diakses tanggal 2021-12-24. 
  211. ^ Cordellier R (1991). "[The epidemiology of yellow fever in Western Africa]". Bulletin of the World Health Organization (dalam bahasa Prancis). 69 (1): 73–84. PMC 2393223 . PMID 2054923. 
  212. ^ Reiter, P. (2010). "West Nile virus in Europe: understanding the present to gauge the future". Euro Surveillance: Bulletin Europeen Sur Les Maladies Transmissibles = European Communicable Disease Bulletin. 15 (10): 19508. ISSN 1560-7917. PMID 20403311. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-14. Diakses tanggal 2021-11-14. 
  213. ^ Ross, Ted M. (2010). "Dengue virus". Clinics in Laboratory Medicine. 30 (1): 149–160. doi:10.1016/j.cll.2009.10.007. ISSN 1557-9832. PMC 7115719 . PMID 20513545. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-14. Diakses tanggal 2021-11-14. 
  214. ^ Sussman 1998, hlm. 715.
  215. ^ Zuckerman 1987, hlm. 135.
  216. ^ Sharapov, Umid M.; Hu, Dale J. (2010). "Viral hepatitis A, B, and C: grown-up issues". Adolescent Medicine: State of the Art Reviews. 21 (2): 265–286, ix. ISSN 1934-4287. PMID 21047029. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-15. Diakses tanggal 2021-11-15. 
  217. ^ Howard 1979, hlm. 4.
  218. ^ Purcell, R.H. (1993). "The discovery of the hepatitis viruses". Gastroenterology. 104 (4): 955–963. doi:10.1016/0016-5085(93)90261-a. ISSN 0016-5085. PMID 8385046. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-15. Diakses tanggal 2021-11-15. 
  219. ^ Howard 1979, hlm. 13.
  220. ^ Maccallum, F.O. (1946). "Homologous Serum Hepatitis". Proceedings of the Royal Society of Medicine. 39 (10): 655–657. ISSN 0035-9157. PMC 2181938 . PMID 19993377. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-15. Diakses tanggal 2021-11-15. 
  221. ^ Blumberg, B. S.; Sutnick, A. I.; London, W. T.; Millman, I. (1970). "Australia antigen and hepatitis". The New England Journal of Medicine. 283 (7): 349–354. doi:10.1056/NEJM197008132830707. ISSN 0028-4793. PMID 4246769. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-15. Diakses tanggal 2021-11-15. 
  222. ^ Feinstone, S.M.; Kapikian, A.Z.; Gerin, J.L.; Purcell, R.H. (1974). "Buoyant density of the hepatitis A virus-like particle in cesium chloride". Journal of Virology. 13 (6): 1412–1414. doi:10.1128/JVI.13.6.1412-1414.1974. ISSN 0022-538X. PMC 355463 . PMID 4833615. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-15. Diakses tanggal 2021-11-15. 
  223. ^ Allain, Jean-Pierre; Candotti, Daniel; ISBT HBV Safety Collaborative Group (2012). "Hepatitis B virus in transfusion medicine: still a problem?". Biologicals: Journal of the International Association of Biological Standardization. 40 (3): 180–186. doi:10.1016/j.biologicals.2011.09.014. ISSN 1095-8320. PMID 22305086. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-15. Diakses tanggal 2021-11-15. 
  224. ^ Howard 1979, hlm. 191.
  225. ^ Greif, J.; Hewitt, W. (1998). "The living canvas". Advance for Nurse Practitioners. 6 (6): 26–31, 82. ISSN 1096-6293. PMID 9708051. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-15. Diakses tanggal 2021-11-15. 
  226. ^ Nacopoulos, Alkiviadis G.; Lewtas, Andrea J.; Ousterhout, Maria M. (2010). "Syringe exchange programs: Impact on injection drug users and the role of the pharmacist from a U.S. perspective". Journal of the American Pharmacists Association: JAPhA. 50 (2): 148–157. doi:10.1331/JAPhA.2010.09178. ISSN 1544-3450. PMID 20199955. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-15. Diakses tanggal 2021-11-15. 
  227. ^ Perkins, Herbert A.; Busch, Michael P. (2010). "Transfusion-associated infections: 50 years of relentless challenges and remarkable progress". Transfusion. 50 (10): 2080–2099. doi:10.1111/j.1537-2995.2010.02851.x. ISSN 1537-2995. PMID 20738828. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-15. Diakses tanggal 2021-11-15. 
  228. ^ Pagano, Joseph S.; Blaser, Martin; Buendia, Marie-Annick; Damania, Blossom; Khalili, Kamel; Raab-Traub, Nancy; Roizman, Bernard (2004). "Infectious agents and cancer: criteria for a causal relation". Seminars in Cancer Biology. 14 (6): 453–471. doi:10.1016/j.semcancer.2004.06.009. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-02-03. Diakses tanggal 2021-12-06. 
  229. ^ Pagano JS, Blaser M, Buendia MA; et al. (2004). "Infectious agents and cancer: criteria for a causal relation". Semin. Cancer Biol. 14 (6): 453–71. doi:10.1016/j.semcancer.2004.06.009. PMID 15489139. 
  230. ^ "Hepatitis B vaccines: WHO position paper – July 2017". Releve Epidemiologique Hebdomadaire. 92 (27): 369–392. 2017. ISSN 0049-8114. PMID 28685564. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-12-24. Diakses tanggal 2021-12-24. 
  231. ^ Committee on Infectious Diseases; Committee on Fetus and Newborn; Byington, Carrie L.; Maldonado, Yvonne A.; Barnett, Elizabeth D.; Campbell, James D.; Davies, H. Dele; Lynfield, Ruth; Munoz, Flor M. (2017). "Elimination of Perinatal Hepatitis B: Providing the First Vaccine Dose Within 24 Hours of Birth". Pediatrics (dalam bahasa Inggris). 140 (3): e20171870. doi:10.1542/peds.2017-1870. ISSN 0031-4005. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-12-24. Diakses tanggal 2021-12-24. 
  232. ^ Koss, Leopold G. (1993). "Cervical (pap) smear: New directions: Cervical Smear: New Directions". Cancer. 71 (S4): 1406–1412. doi:10.1002/cncr.2820710405. 
  233. ^ Dubovi 2010, hlm. 126.
  234. ^ Mansley, L. M.; Donaldson, A. I.; Thrusfield, M. V.; Honhold, N. (2011). "Destructive tension: mathematics versus experience--the progress and control of the 2001 foot and mouth disease epidemic in Great Britain". Revue Scientifique Et Technique (International Office of Epizootics). 30 (2): 483–498. doi:10.20506/rst.30.2.2054. ISSN 0253-1933. PMID 21961220. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-16. Diakses tanggal 2021-11-16. 
  235. ^ McNeill 1998, hlm. 70.
  236. ^ Norton-Griffiths 1979, hlm. 3.
  237. ^ Barrett, Pastoret & Taylor 2006, hlm. 105.
  238. ^ Barrett, Pastoret & Taylor 2006, hlm. 106.
  239. ^ Barrett, Pastoret & Taylor 2006, hlm. 109.
  240. ^ Barrett, Pastoret & Taylor 2006, hlm. 108–109.
  241. ^ Barrett, Pastoret & Taylor 2006, hlm. 112.
  242. ^ Barrett, Pastoret & Taylor 2006, hlm. 119.
  243. ^ Barrett, Pastoret & Taylor 2006, hlm. 120–121.
  244. ^ Barrett, Pastoret & Taylor 2006, hlm. 122.
  245. ^ Barrett, Pastoret & Taylor 2006, hlm. 137.
  246. ^ Barrett, Pastoret & Taylor 2006, hlm. 136–138.
  247. ^ Joint FAO/OIE Committee on Global Rinderpest Eradication (PDF) (Laporan). Food and Agriculture Organisation of the United Nations; World Organisation for Animal Health. Mei 2011. hlm. 10. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2015-09-24. Diakses tanggal 19 Desember 2014. 
  248. ^ Paton, David J.; Sumption, Keith J.; Charleston, Bryan (2009). "Options for control of foot-and-mouth disease: knowledge, capability and policy". Philosophical Transactions of the Royal Society of London. Series B, Biological Sciences. 364 (1530): 2657–2667. doi:10.1098/rstb.2009.0100. ISSN 1471-2970. PMC 2865093 . PMID 19687036. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-16. Diakses tanggal 2021-11-16. 
  249. ^ Scudamore, J. M.; Trevelyan, G. M.; Tas, M. V.; Varley, E. M.; Hickman, G. a. W. (2002). "Carcass disposal: lessons from Great Britain following the foot and mouth disease outbreaks of 2001". Revue Scientifique Et Technique (International Office of Epizootics). 21 (3): 775–787. doi:10.20506/rst.21.3.1377. ISSN 0253-1933. PMID 12523714. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-16. Diakses tanggal 2021-11-16. 
  250. ^ Mahy, B. W. J. (2005). "Introduction and history of foot-and-mouth disease virus". Current Topics in Microbiology and Immunology. 288: 1–8. doi:10.1007/3-540-27109-0_1. ISSN 0070-217X. PMID 15648172. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-16. Diakses tanggal 2021-11-16. 
  251. ^ Sussman 1998, hlm. 386.
  252. ^ Suarez, David L. (2010). "Avian influenza: our current understanding". Animal Health Research Reviews. 11 (1): 19–33. doi:10.1017/S1466252310000095. ISSN 1475-2654. PMID 20591211. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-16. Diakses tanggal 2021-11-16. 
  253. ^ Feare, Chris J. (2010). "Role of wild birds in the spread of highly pathogenic avian influenza virus H5N1 and implications for global surveillance". Avian Diseases. 54 (1 Suppl): 201–212. doi:10.1637/8766-033109-ResNote.1. ISSN 0005-2086. PMID 20521633. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-16. Diakses tanggal 2021-11-16. 
  254. ^ Durand, Benoit; Zanella, Gina; Biteau-Coroller, Fabienne; Locatelli, Caroline; Baurier, Florence; Simon, Cecile; Le Dréan, Eric; Delaval, José; Prengère, Eric (2010). "Anatomy of bluetongue virus serotype 8 epizootic wave, France, 2007-2008". Emerging Infectious Diseases. 16 (12): 1861–1868. doi:10.3201/eid1612.100412. ISSN 1080-6059. PMC 3294545 . PMID 21122214. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-16. Diakses tanggal 2021-11-16. 
  255. ^ Mellor, Philip S.; Carpenter, Simon; Harrup, Lara; Baylis, Matthew; Mertens, Peter P. C. (2008). "Bluetongue in Europe and the Mediterranean Basin: history of occurrence prior to 2006". Preventive Veterinary Medicine. 87 (1-2): 4–20. doi:10.1016/j.prevetmed.2008.06.002. ISSN 0167-5877. PMID 18619694. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-16. Diakses tanggal 2021-11-16. 
  256. ^ Carr, Mahy & Pattison 1984, hlm. 251.
  257. ^ a b Kurstak 1984, hlm. 463.
  258. ^ Legg, J.P. (1999). "Emergence, spread and strategies for controlling the pandemic of cassava mosaic virus disease in east and central Africa". Crop Protection. 18 (10): 627–637. doi:10.1016/S0261-2194(99)00062-9. ISSN 0261-2194. 
  259. ^ Levins & Wilson 1994, hlm. 181–183.
  260. ^ Levins & Wilson 1994, hlm. 183.
  261. ^ Hansing, E. D.; Johnston, C. O.; Melchers, L. E.; Fellows, H. (1949). "Kansas Phytopathological Notes: 1948". Transactions of the Kansas Academy of Science (1903-). 52 (3): 363. doi:10.2307/3625805. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-17. Diakses tanggal 2021-11-17. 
  262. ^ Hasegawa 2011, hlm. 125.
  263. ^ Levins & Wilson 1994, hlm. 184-195.
  264. ^ a b Levins & Wilson 1994, hlm. 185.
  265. ^ Moreno, Pedro; Ambrós, Silvia; Albiach-Martí, Maria R.; Guerri, José; Peña, Leandro (2008). "Citrus tristeza virus: a pathogen that changed the course of the citrus industry". Molecular Plant Pathology. 9 (2): 251–268. doi:10.1111/j.1364-3703.2007.00455.x. ISSN 1364-3703. PMC 6640355 . PMID 18705856. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-17. Diakses tanggal 2021-11-17. 
  266. ^ Thresh 2006, hlm. 217.
  267. ^ a b Crawford 2011, hlm. 34.
  268. ^ Crawford 2011, hlm. 34–50.
  269. ^ Levins & Wilson 1994, hlm. 419.
  270. ^ Sonnevend, Julia (2020). "A virus as an icon: the 2020 pandemic in images". American Journal of Cultural Sociology. 8 (3): 451–461. doi:10.1057/s41290-020-00118-7. ISSN 2049-7113. PMC 7537773 . Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-03-27. Diakses tanggal 2021-12-16. 
  271. ^ Mahy (b) 2009, hlm. 459.
  272. ^ Weiss, Susan R.; Leibowitz, Julian L. (2011). "Coronavirus pathogenesis". Advances in Virus Research. 81: 85–164. doi:10.1016/B978-0-12-385885-6.00009-2. ISSN 1557-8399. PMC 7149603 . PMID 22094080. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-17. Diakses tanggal 2021-11-17. 
  273. ^ Crawford 2011, hlm. 37.
  274. ^ Dubovi 2010, hlm. 409.
  275. ^ Doucleef, Michaeleen (26 September 2012). "Scientists Go Deep On Genes Of SARS-Like Virus". Associated Press. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-07-24. Diakses tanggal 27 September 2012. 
  276. ^ Ali Mohamed Zaki; Sander van Boheemen; Theo M. Bestebroer; Albert D.M.E. Osterhaus; Ron A.M. Fouchier (2012). "Isolation of a novel coronavirus from a man with pneumonia in Saudi Arabia" (PDF). New England Journal of Medicine. 367 (19): 1814. doi:10.1056/NEJMoa1211721. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 4 November 2013. Diakses tanggal 11 Mei 2014. 
  277. ^ a b Ashour, Hossam M.; Elkhatib, Walid F.; Rahman, Md Masudur; Elshabrawy, Hatem A. (2020). "Insights into the Recent 2019 Novel Coronavirus (SARS-CoV-2) in Light of Past Human Coronavirus Outbreaks". Pathogens (Basel, Switzerland). 9 (3): E186. doi:10.3390/pathogens9030186. ISSN 2076-0817. PMC 7157630 . PMID 32143502. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-17. Diakses tanggal 2021-11-17. 
  278. ^ Deng, Sheng-Qun; Peng, Hong-Juan (2020). "Characteristics of and Public Health Responses to the Coronavirus Disease 2019 Outbreak in China". Journal of Clinical Medicine. 9 (2): E575. doi:10.3390/jcm9020575. ISSN 2077-0383. PMC 7074453 . PMID 32093211. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-17. Diakses tanggal 2021-11-17. 
  279. ^ Han, Qingmei; Lin, Qingqing; Jin, Shenhe; You, Liangshun (2020). "Coronavirus 2019-nCoV: A brief perspective from the front line". The Journal of Infection. 80 (4): 373–377. doi:10.1016/j.jinf.2020.02.010. ISSN 1532-2742. PMC 7102581 . PMID 32109444. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-17. Diakses tanggal 2021-11-17. 
  280. ^ Ren, Shi-Yan; Gao, Rong-Ding; Chen, Ye-Lin (2020). "Fear can be more harmful than the severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 in controlling the corona virus disease 2019 epidemic". World Journal of Clinical Cases. 8 (4): 652–657. doi:10.12998/wjcc.v8.i4.652. ISSN 2307-8960. PMC 7052559 . PMID 32149049. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-17. Diakses tanggal 2021-11-17. 
  281. ^ Schnirring, Lisa (15 Maret 2020). "US takes more big pandemic response steps; Europe COVID-19 cases soar". Center for Infectious Disease Research and Policy (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-17. Diakses tanggal 17 November 2021. 
  282. ^ Honigsbaum 2020, hlm. 276–277.
  283. ^ a b Mahy (b) 2009, hlm. 504–505.
  284. ^ Petersen, Lyle R.; Brault, Aaron C.; Nasci, Roger S. (2013). "West Nile virus: review of the literature". JAMA. 310 (3): 308–315. doi:10.1001/jama.2013.8042. ISSN 1538-3598. PMC 4563989 . PMID 23860989. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-10-25. Diakses tanggal 2021-11-17. 
  285. ^ Morgan, Dilys (2006). "Control of arbovirus infections by a coordinated response: West Nile Virus in England and Wales". FEMS immunology and medical microbiology. 48 (3): 305–312. doi:10.1111/j.1574-695X.2006.00159.x. ISSN 0928-8244. PMID 17054715. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-17. Diakses tanggal 2021-11-17. 
  286. ^ Golding, Nick; Nunn, Miles A.; Medlock, Jolyon M.; Purse, Bethan V.; Vaux, Alexander G. C.; Schäfer, Stefanie M. (2012). "West Nile virus vector Culex modestus established in southern England". Parasites & Vectors. 5: 32. doi:10.1186/1756-3305-5-32. ISSN 1756-3305. PMC 3295653 . PMID 22316288. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-17. Diakses tanggal 2021-11-17. 
  287. ^ Crawford 2011, hlm. 44–45.
  288. ^ Chua, Kaw Bing; Chua, Beng Hui; Wang, Chew Wen (2002). "Anthropogenic deforestation, El Niño and the emergence of Nipah virus in Malaysia". The Malaysian Journal of Pathology. 24 (1): 15–21. ISSN 0126-8635. PMID 16329551. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-03. Diakses tanggal 2021-11-17. 
  289. ^ Towner, Jonathan S.; Khristova, Marina L.; Sealy, Tara K.; Vincent, Martin J.; Erickson, Bobbie R.; Bawiec, Darcy A.; Hartman, Amy L.; Comer, James A.; Zaki, Sherif R. (2006). "Marburgvirus genomics and association with a large hemorrhagic fever outbreak in Angola". Journal of Virology. 80 (13): 6497–6516. doi:10.1128/JVI.00069-06. ISSN 0022-538X. PMC 1488971 . PMID 16775337. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-17. Diakses tanggal 2021-11-17. 
  290. ^ Chippaux, Jean-Philippe (2014). "Outbreaks of Ebola virus disease in Africa: the beginnings of a tragic saga". The Journal of Venomous Animals and Toxins Including Tropical Diseases. 20 (1): 44. doi:10.1186/1678-9199-20-44. ISSN 1678-9199. PMC 4197285 . PMID 25320574. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-17. Diakses tanggal 2021-11-17. 
  291. ^ Quammen 2014, hlm. 106.
  292. ^ Quammen 2014, hlm. 106-107.
  293. ^ "Ebola Situation Report - 24 June 2015". World Health Organization. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-07-09. Diakses tanggal 26 Juli 2015. 
  294. ^ Han, Hui-Ju; Wen, Hong-ling; Zhou, Chuan-Min; Chen, Fang-Fang; Luo, Li-Mei; Liu, Jian-wei; Yu, Xue-Jie (2015). "Bats as reservoirs of severe emerging infectious diseases". Virus Research. 205: 1–6. doi:10.1016/j.virusres.2015.05.006. ISSN 1872-7492. PMC 7132474 . PMID 25997928. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-10-30. Diakses tanggal 2021-11-17. 
  295. ^ Quammen 2014, hlm. 97.
  296. ^ Mahy (b) 2009, hlm. 382.
  297. ^ Monath, T. P. (1975). "Lassa fever: review of epidemiology and epizootiology". Bulletin of the World Health Organization. 52 (4-6): 577–592. ISSN 0042-9686. PMC 2366662 . PMID 782738. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-17. Diakses tanggal 2021-11-17. 
  298. ^ Baum, Stephen G. (2008). "Zoonoses-with friends like this, who needs enemies?". Transactions of the American Clinical and Climatological Association. 119: 39–51; discussion 51–52. ISSN 0065-7778. PMC 2394705 . PMID 18596867. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-17. Diakses tanggal 2021-11-17. 
  299. ^ "A history of the HIV/AIDS epidemic with an emphasis on Africa" (PDF). World Health Organization. 2003. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2018-07-12. Diakses tanggal 26 Juli 2015. 
  300. ^ Ryan, Kenneth J.; Ray, C. George; Sherris, John C. (2010). Sherris Medical Microbiology (edisi ke-5). New York: McGraw Hill Medical. ISBN 978-0-07-160402-4. OCLC 501327952. 
  301. ^ Thurber, Rebecca Vega (2009). "Current insights into phage biodiversity and biogeography". Current Opinion in Microbiology. 12 (5): 582–587. doi:10.1016/j.mib.2009.08.008. ISSN 1879-0364. PMID 19811946. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-17. Diakses tanggal 2021-11-17. 
  302. ^ Breitbart, Mya; Rohwer, Forest (2005). "Here a virus, there a virus, everywhere the same virus?". Trends in Microbiology. 13 (6): 278–284. doi:10.1016/j.tim.2005.04.003. ISSN 0966-842X. PMID 15936660. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-08. Diakses tanggal 2021-11-17. 
  303. ^ a b c Suttle, Curtis A. (2005). "Viruses in the sea". Nature. 437 (7057): 356–361. doi:10.1038/nature04160. ISSN 1476-4687. PMID 16163346. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-05. Diakses tanggal 2021-11-17. 
  304. ^ Sullivan, Matthew B.; Coleman, Maureen L.; Weigele, Peter; Rohwer, Forest; Chisholm, Sallie W. (2005). "Three Prochlorococcus cyanophage genomes: signature features and ecological interpretations". PLoS biology. 3 (5): e144. doi:10.1371/journal.pbio.0030144. ISSN 1545-7885. PMC 1079782 . PMID 15828858. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-17. Diakses tanggal 2021-11-17. 
  305. ^ Piganeau 2012, hlm. 347–349.
  306. ^ a b Livermore, David M. (2003). "The threat from the pink corner". Annals of Medicine. 35 (4): 226–234. doi:10.1080/07853890310001609. ISSN 0785-3890. PMID 12846264. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-10-19. Diakses tanggal 2021-11-17. 
  307. ^ Jagusztyn-Krynicka, Elzbieta K.; Wyszyńska, Agnieszka (2008). "The decline of antibiotic era--new approaches for antibacterial drug discovery". Polish Journal of Microbiology. 57 (2): 91–98. ISSN 1733-1331. PMID 18646395. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-17. Diakses tanggal 2021-11-17. 
  308. ^ Sulakvelidze, A.; Alavidze, Z.; Morris, J. G. (2001). "Bacteriophage therapy". Antimicrobial Agents and Chemotherapy. 45 (3): 649–659. doi:10.1128/AAC.45.3.649-659.2001. ISSN 0066-4804. PMC 90351 . PMID 11181338. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-17. Diakses tanggal 2021-11-17. 
  309. ^ Zimmer 2011, hlm. 37.
  310. ^ Zimmer 2011, hlm. 37-38.
  311. ^ Górski, Andrzej; Miedzybrodzki, Ryszard; Borysowski, Jan; Weber-Dabrowska, Beata; Lobocka, Małgorzata; Fortuna, Wojciech; Letkiewicz, Sławomir; Zimecki, Michał; Filby, Grace (2009). "Bacteriophage therapy for the treatment of infections". Current Opinion in Investigational Drugs (London, England: 2000). 10 (8): 766–774. ISSN 2040-3429. PMID 19649921. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-17. Diakses tanggal 2021-11-17. 
  312. ^ a b Kurth, Reinhard; Bannert, Norbert (2010). "Beneficial and detrimental effects of human endogenous retroviruses". International Journal of Cancer. 126 (2): 306–314. doi:10.1002/ijc.24902. ISSN 1097-0215. PMID 19795446. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-17. Diakses tanggal 2021-11-17. 
  313. ^ Emerman, Michael; Malik, Harmit S. (2010). "Paleovirology--modern consequences of ancient viruses". PLoS biology. 8 (2): e1000301. doi:10.1371/journal.pbio.1000301. ISSN 1545-7885. PMC 2817711 . PMID 20161719. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-17. Diakses tanggal 2021-11-17. 
  314. ^ Blikstad, V.; Benachenhou, F.; Sperber, G.O.; Blomberg, J. (2008). "Evolution of human endogenous retroviral sequences: a conceptual account". Cellular and molecular life sciences: CMLS. 65 (21): 3348–3365. doi:10.1007/s00018-008-8495-2. ISSN 1420-9071. PMID 18818874. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-17. Diakses tanggal 2021-11-17. 
  315. ^ Varela, Mariana; Spencer, Thomas E.; Palmarini, Massimo; Arnaud, Frederick (2009). "Friendly viruses: the special relationship between endogenous retroviruses and their host". Annals of the New York Academy of Sciences. 1178: 157–172. doi:10.1111/j.1749-6632.2009.05002.x. ISSN 1749-6632. PMC 4199234 . PMID 19845636. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-17. Diakses tanggal 2021-11-17. 
  316. ^ Baker 2008, hlm. 37.
  317. ^ Zimmer, Carl (2015). "Ancient Viruses, Once Foes, May Now Serve as Friends". The New York Times. ISSN 0362-4331. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-17. Diakses tanggal 2021-11-17. 
  318. ^ Zimmer 2011, hlm. 45.

Daftar pustaka