Ahmad Rasyid

Perintis Kemerdekaan Indonesia

Buya Haji Ahmad Rasyid Sutan Mansyur (15 Desember 1895 – 25 Maret 1985), atau lebih dikenal dengan nama A. R. Sutan Mansyur adalah seorang dai dan penulis berkebangsaan Indonesia yang juga merupakan tokoh dan pemimpin Muhammadiyah.[2] Pasca kemerdekaan Indonesia, ia ditunjuk untuk menduduki kursi Konstituante dari Partai Masyumi.[3] Di partai, ia diberi mandat menjadi wakil ketua majelis syura dari 1949 sampai 1952. Ahmad Rasyid juga seorang akademisi sekaligus yang meresmikan Fakultas Falsafah dan Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat di Padang Panjang.[4]

Ahmad Rasyid
أحمد رشيد
Potret sebagai anggota Konstituante, 1956
Ketua Umum Pengurus Besar Muhammadiyah ke-6
Masa jabatan
4 November 1953 – 25 Maret 1959
WakilFakih Usman (1953–59)
Faried Ma'ruf (1953–59)
Ahmad Badawi (1953–56)
Muljadi Djojomartono (1956–59)
Anggota Konstituante Republik Indonesia
Masa jabatan
9 November 1956 – 5 Juli 1959
KetuaWilopo
Daerah pemilihanSumatera Tengah
Anggota Dewan Pertimbangan Pusat di Sumatera
Masa jabatan
25 Maret 1945 – 2 Juli 1945
KetuaMohammad Sjafei
PerwakilanPesisir Barat Sumatera
Informasi pribadi
Lahir
Ahmad Rasjid

15 Desember 1895
Maninjau, Hindia Belanda
Meninggal25 Maret 1985(1985-03-25) (umur 89)[1]
Jakarta, Indonesia
MakamTaman Pemakaman Umum Tanah Kusir
KebangsaanHindia Belanda, 1895–1945
Indonesia, 1945–1985
Partai politikMasyumi
Suami/istri
Fathimah Karim Amrullah
(m. 1917⁠–⁠1985)

Fathimah Abdullah
(m. 1928; meninggal 1984)
Hubungan
AnakFathimah Karim Amrullah: 16 anak
Fathimah Abdullah: 11 anak
Orang tua
  • Abdul Samad Al Kusai (ayah)
  • Siti Abbasiyah (ibu)
ProfesiUlama
JulukanBuya Tuo
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Kehidupan awal dan pendidikan

Ahmad Rasyid lahir di Kampung Air Hangat (bahasa Minangkabau: Kampuang Aie Angek), Maninjau, Afdeling Agam, Dataran Tinggi Padang, Pesisir Barat Sumatera pada 15 Desember 1895 (dalam penanggalan Hijriah: Ahad, 27 Jumadil Akhir 1313) di malam hari. Ia merupakan anak ketiga dari delapan bersaudara dari pasangan Abdul Samad Al Kusai dan Siti Abbasyiyah atau lebih dikenal dengan Uncu Lumpur. Ayahnya adalah ulama terkenal di Maninjau, sedangkan ibunya bekerja sebagai guru agama.[5] Nama "Ahmad Rasyid" sebenarnya diberikan oleh ayahnya, Abdul Samad Al Kusai. Selama masa kecilnya, ia dibesarkan oleh andungnya, Bayang dengan penuh kasih sayang, dibedungnya dengan kain panjang dan dihangatkannya dengan air panas di dalam botol.

Ahmad Rasyid mengenyam pendidikan formal pertama di bangku Sekolah Kelas Dua III, Maninjau—setara dengan Sekolah Rakyat—pada tahun 1902 sampai tahun 1909. Pemerintah Nagari Maninjau memberikan beasiswa kepadanya untuk menjadi guru apabila ia meneruskan pendidikan di Kweekschool atau dalam bahasa Indonesia: Sekolah Guru, Fort de Kock. Namun, tawaran itu ia abaikan karena ingin mendalami ilmu agama Islam dan sikapnya yang antikolonialisme.[5] Ia juga memiliki cita-cita untuk melanjutkan studinya di Universitas Al-Azhar, Mesir. Gurunya, Abu Hanifah—dikenal sebagai Tuan Ismail—menyarankan agar Ahmad Rasyid mempelajari ilmu agama terlebih dahulu kepada Abdul Karim Amrullah alias Haji Rasul, ayahanda Hamka di Surau Jembatan Besi. Pada 1910, ia menimba ilmu kepada Haji Rasul selama tujuh tahun.

Keluarga

 
Hanif Rasyid, putra Ahmad Rasyid dari pernikahannya dengan Fathimah Karim Amrullah.

Pada tahun 1917 oleh gurunya, Abdul Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan nama Haji Rasul memperkenalkan putri sulungnya, yaitu Fathimah binti Abdul Karim Amrullah.[6] Di usia yang masih remaja, Fathimah dinikahkan dengan Ahmad Rasyid di Sungai Batang. Sejak saat itulah Ahmad Rasyid memperoleh gelar Sutan Mansyur, sesuai dengan adat Minangkabau bahwa setiap laki-laki yang menikah akan mendapatkan gelar.[7] Dari pernikahan mereka dikaruniai enam belas anak, salah satunya Hanif Rasyid, seorang mantan Ketua Umum Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Agam dari 2000 sampai 2005 dan Dewan Penasihat Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Agam.[8] Salah satu cucunya dari anaknya yang bernama Chalid Rasyid, Arief Rahman memiliki kiprah elektoral sebagai calon legislatif DPRD DKI Jakarta untuk Jakarta Timur dari Partai Matahari Bangsa.[9]

Ia sebenarnya memiliki dua istri dengan nama yang hampir sama, yaitu Fathimah binti Abdul Karim Amrullah—dijuluki sebagai Umi Tuo—dan Fathimah binti Abdullah—dijuluki sebagai Umi Etek—yang menikah pada tahun 1928 dengan dikaruniai 11 orang anak,[10] termasuk Inin Salma yang merupakan akademisi pendiri sekolah keperawatan Muhammadiyah di Kalimantan Barat bersama dengan suaminya, Barry Barasilla.[11] Fathimah binti Abdullah tidak tinggal satu atap dengan Ahmad Rasyid, ia berkediaman di Rawamangun, Jakarta Timur dan meninggal dunia pada 28 April 1984.[12]

Kiprah awal

Rasyid yang sudah menempuh pembelajaran agama dari Haji Rasul ditugaskan untuk bekerja sebagai guru agama Islam di pondok pesantrennya pada 1915. Saat Sumatera Thawalib didirikan, ia dipercayai menjadi guru agama. Ketika baru dibentuk, Sumatera Thawalib menugaskan Rasyid untuk mengajar di Kuala Simpang, Aceh, selama dua tahun, yakni 1917 sampai 1919 setelahnya kembali ke Minangkabau.[13]

Hijrah ke Jawa dan mengenal Muhammadiyah

Rasyid merantau ke Pekalongan dengan meninggalkan istri pertamanya, Fathimah Karim Amrullah yang saat itu sedang hamil dititipkan kepada ayahnya, Haji Rasul. Di sana ia berdagang kain batik dan bekerja sebagai guru agama Islam untuk kaum perantauan dari Sumatera dan lainnya pada tahun 1921.[5] Rasyid memiliki majelisnya sendiri yang dinamai Perkumpulan Nurul Islam (sekarang bernama Muhammadiyah Cabang Pekalongan).[a] Ketika ia mengikuti suatu pengajian agama di Pekajangan, ia mulai mengenal Muhammadiyah yang diperkenalkan oleh Ahmad Dahlan yang menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Muhammadiyahbahasa Belanda: President Hoofdbestuur Moehammadijah—pada tahun 1922. Kedatangannya untuk meresmikan perkumpulan "Ambudi Agama"—kini bernama Muhammadiyah Cabang Pekajangan—pimpinan Kyai Haji Abdurrahman sekaligus tablig Muhammadiyah. Sejak saat itulah, Rasyid mulai mengenal Ahmad Dahlan dan bergabung dengan Muhammadiyah. Akibatnya, muncul kekaguman kepada sosok Dahlan yang ahli dalam fiqih sehingga Rasyid mulai belajar agama dari sudut pandang Muhammadiyah kepada Ahmad Dahlan. Tidak hanya Dahlan, Rasyid pada 1922 juga mengenal tokoh-tokoh Muhammadiyah lainnya: Abdul Rozak Fachruddin dan Mas Mansur. Akibat pengaruh Muhammadiyah, ia semakin mengenal Islam tidak hanya dari aspek hukumnya, melainkan juga aspek sosial kemasyarakatan dan sosioekonomi dari dua tokoh tersebut.

Rasyid mulai menjadi dai Muhammadiyah pada 1923.[b] Muridnya terdiri dari berbagai kalangan, bahkan bangsawan Jawa, seperti Raden Ranuwihardjo, Raden Tjitrosuwarno, dan Raden Usman Pudjutomo. Tidak hanya itu, dari kalangan Arab dan perantau Minangkabau juga menjadi muridnya di Pekalongan. Di tahun yang sama, ia didapuk oleh Ahmad Dahlan sebagai Ketua Muhammadiyah cabang Pekalongan menggantikan pendahulu yang mundur karena tekanan dari pihak-pihak antimuhammadiyah. Rasyid merangkap Ketua Muhammadiyah cabang Pekajangan dan Kedungwuni.

Pada 1924, datang adik iparnya, Hamka dari Minangkabau ke Pekalongan untuk belajar agama Islam kepada Ahmad Rasyid. Saat itu, Hamka berusia remaja merantau ke Yogyakarta pada 1921 sebelum akhirnya mendatangi Pekalongan.[15] Di Pekalongan, Hamka diperkenalkan dengan tokoh-tokoh religius yang juga perintis kemerdekaan, salah satunya Mohammad Rum. Hamka kembali ke Padang Panjang pada tahun 1925.[16] Setahun setelahnya, Hamka menulis novel pertamanya dengan tajuk Si Sabariah.[17]

Kiprah di Muhammadiyah

Selain memimpin Muhammadiyah di Pekalongan, Ahmad Rasyid juga aktif mengajar sebagai guru agama Islam di Madrasah Muhammadiyah dalam kurun waktu dua tahun, antara 1923 sampai 1925. Ia juga terlibat aktif dalam Kongres Islam Hindia Belanda yang dilaksanakan di Cirebon dan Surabaya bersama Tjokroaminoto dan Agus Salim untuk memimpin umat sesuai Al-Quran dan masalah amaliah Islam. Ketika tahun 1926, Ahmad Rasyid ditugaskan memimpin Muhammadiyah di Minangkabau dan setahun setelahnya ditugaskan ke Aceh dengan tugas yang sama. Ahmad Rasyid diutus oleh Hoofdbestuur Moehammadijah (bahasa Indonesia: Pengurus Besar Muhammadiyah) semasa pemberontakan antara kelompok komunis dengan Muhammadiyah pada akhir 1925 untuk memimpin dan menata organisasi Islam tersebut yang mulai tumbuh di Minangkabau. Salah satu kalimat populernya semasa memimpin Muhammadiyah di Minangkabau: "Muhammadiyah dinagarikan, nagari di Muhammadiyahkan."

Ahmad Rasyid juga diberi tugas sebagai mubalig Muhammadiyah untuk menjadi guru kuliatul mubaligin atau kuliatul mualimin Muhammadiyah di Padang, antara tahun 1932 hingga 1942. Seringkali Ahmad Rasyid diminta untuk menjadi penasihat dalam perihal agama, baik secara pribadi maupun institusi.

Pada saat Soekarno diasingkan oleh koloni Hindia Belanda ke Bengkulu pada 1938, ia bertemu dengan Ahmad Rasyid.[18] Ia diamanatkan untuk menjadi penasihat bagi Soekarno. Lalu, ia berguru kepada Ahmad Rasyid mengenai ajaran agama Islam. Pada saat itulah ia bertemu dengan Fatmawati yang kemudiannya menikah dan dinikahkan oleh Ahmad Rasyid sebagai penghulu dari pernikahan mereka.

Kiprah perjuangan

Ahmad Rasyid bersama Haji Rasul turut menentang koloni Belanda dalam kebijakan ordonansi guru.[19] Menurutnya, hal ini akan membatasi kebebasan ulama dalam menyebarkan agama Islam dan akan dimanfaatkan secara semena-mena oleh pemerintah kolonial. Bahkan, teman seperjuangan Haji Rasul, seperti Abdullah Ahmad justru menyetujui aturan tersebut setelah dibujuk oleh utusan Belanda, Dr. de Vries.[20] Kebijakan ini sebenarnya telah dijalankan di Jawa sejak 1905 dan akan dijalankan di Minangkabau pada 1928. Selain itu, ia pun menolak Undang-Undang Pancang Hutan (bahasa Belanda: Boswesen) pada tahun 1920.

Ahmad Rasyid juga berhasil berunding dengan Van der Plas, Vise Vooreitte Kood van Indie, mengenai pembatalan peraturan-peraturan Belanda bagi kaum bumiputra, dan lain-lain, dalam menghadapi Perang Dunia kedua pada tahun 1942. Ketika masa pendudukan Jepang, mereka berusaha agar para muridnya tidak melakukan kegiatan ibadah seperti puasa dan menghalangi pelaksanaan salat dengan mengadakan pertemuan di waktu menjelang Magrib. Bahkan, sehari setelah Jepang menduduki Indonesia, Ahmad Rasyid berunding dengan Syu Co Kung—otoritas Jepang di Padang—untuk meminta agar kegiatan agama tidak diganggu.[butuh rujukan]

Pada masa pemerintahan militer Jepang, ia ditunjuk untuk menjadi anggota Tsuo Sangi-in (bahasa Indonesia: Dewan Pertimbangan Pusat)[21] dan juga sebagai anggota Tsuo Sangi-kai untuk daerah Minangkabau.

Pascakemerdekaan Indonesia

Rasyid menerima kabar kemerdekaan Indonesia dan diumumkannya di tanah Minangkabau ketika sedang berceramah pascasubuh tepat dua hari setelah proklamasi.[22] Ia menyadari bahwa proklamasi merupakan langkah awal bagi bangsa dalam meraih kemerdekaan seutuhnya. Oleh karenanya, ia menggelorakan resolusi jihad kepada umat Islam di Minangkabau demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Setelah kemerdekaan Indonesia, oleh Mohammad Hatta, Ahmad Rasyid diangkat menjadi Imam (pemuka agama Islam) bagi TNI Komandemen Sumatra yang berkedudukan di Kota Bukittinggi, antara tahun 1947 hingga 1949. Ahmad Rasyid lagi-lagi diminta menjadi Penasihat TNI Angkatan Darat dan berkantor di Markas Besar TNI Angkatan Darat usai pengakuan kedaulatan RI pada tahun 1950. Namun, permintaan tersebut ditolak, karena ia harus berkeliling semua daerah di Sumatra untuk bertablig selaku pemuka Muhammadiyah. Pada tahun 1952, Soekarno pernah memintanya lagi menjadi penasihatnya dengan syarat harus memindahkan dan memboyong keluarganya dari Kota Bukittinggi ke Jakarta. Justru permintaan tersebut lagi-lagi ditolaknya dengan alasan hanya ingin menjadi penasihat secara tidak resmi.

Mengembangkan Muhammadiyah

Sejatinya, sebelum Ahmad Rasyid, pikiran-pikiran dari Muhammadiyah sudah lebih dahulu disebarluaskan oleh Haji Rasul, bahkan beberapa cabang Muhammadiyah sudah berdiri di Maninjau dan Kota Padang Panjang.[c] Dengan kata lain, Haji Rasul telah membuka jalan bagi Ahmad Rasyid untuk dapat mengembangkan Muhammadiyah di Minangkabau. Perkembangan organisasi Islam ini justru semakin pesat, setelah dia mendapat dukungan dari tokoh-tokoh masyarakat setempat dan sejumlah alim ulama "kaum mudo", yakni kelompok reformasi Islam di ranah Minangkabau. Penyebaran Muhammadiyah dilakukan Ahmad Rasyid melalui pengajian-pengajian yang sesuai dengan metode dakwah.

Melalui pengajian yang disampaikan oleh Ahmad Dahlan di Pekajangan membuat Ahmad Rasyid mengenal Muhammadiyah, seusai salah satu jemaah bertanya mengenai pembahasan tentang tafsir Surah Al-Ma’un dilakukan secara berulang-ulang.[24] Pada saat itulah, Ahmad Dahlan menyampaikan Surah Ali Imran ayat 104, bahwa untuk menjelaskan maksud tafsir Surah Al-Ma’un dibutuhkan gerakan yang bersifat sistematis dan terencana, yaitu melalui Persyarikatan Muhammadiyah. Konon, penjelasan rasional inilah yang telah menarik hati Ahmad Rasyid untuk bergabung dalam Muhammadiyah.[25]

Ahmad Rasyid juga aktif di organisasi Islam lainnya, seperti Kongres Al-Islam dan Sarekat Islam. Pada "Zaman Bergerak", antara tahun 1912 hingga 1926, ketika dunia perpolitikan di Indonesia mengalami pengaruh besar terhadap ideologi Sosialisme-Marxis melalui kelompok Sarekat Islam Semarang.[26] Gerakan Muhammadiyah dan Kongres Al-Islam tidak lepas dari infiltrasi ideologi kiri. Ia termasuk tokoh yang membela Muhammadiyah dan menentang pergerakan spektrum politik kiri. Di Minangkabau, tokoh penggerak komunisme dipimpin oleh Datuk Batuah dengan usahanya mempengaruhi para santri dan pemuda Minangkabau untuk bergabung dalam Sarikat Rakyat (SR).

Selaku mubalig tingkat pusat Muhammadiyah, Ahmad Rasyid ditugaskan mengadakan tablig keliling ke beberapa bagian Sumatra Tengah dan Sumatera Selatan. Aktivitasnya juga melatih pemuda-pemudi dalam Lembaga Kulliyatul Muballighin yang didirikannya untuk menjadi kader Muhammadiyah. Adapun metode yang digunakan untuk latihan itu adalah mujadalah atau kelompok diskusi. Murid-muridnya antara lain Duski Samad (adik kandungnya sendiri), Abdul Malik Ahmad (penulis tafsir Al-Quran), Zein Jambek, Marzuki Yatim (mantan Ketua Komite Nasional Indonesia Daerah Sumatera Barat), Hamka, Fatimah Latif, Khadijah Idrus, Fatimah Jalil, dan Jawanis.

Ketika berdirinya Muhammadiyah Cabang Padang Panjang yang didirikan oleh Saalah Yusuf Sutan Mangkuto, Ahmad Rasyid, selaku perwakilan Hoofdbestuur (bahasa Indonesia: Pengurus Besar) Muhammadiyah Hindia Timur, untuk memimpin sidang peresmian pada tanggal 2 Juni 1926, meskipun saat itu, Padang Panjang sedang dipengaruhi oleh ideologi komunis yang berbasis "Groep Sarekat Rakjat" Padang Panjang. Pada awalnya, Muhammadiyah Cabang Padang Panjang ini dinamakan sebagai "Perkoempoelan Tani".[27] Setelah diresmikannya, organisasi Naqsyabandiyah ramai berbondong-bondong menjadi anggota Muhammadiyah.

Pada tahun 1930, diselenggarakan Kongres ke-19 Muhammadiyah di Minangkabau. Salah satu keputusannya adalah perlunya jabatan Konsul Besar Muhammadiyah di setiap keresidenan. Maka berdasarkan Konferensi Daerah di Kota Payakumbuh tahun 1931, dipilihlah Ahmad Rasyid sebagai Konsul Besar Muhammadiyah untuk wilayah Minangkabau hingga 1943. Kemudian atas usul Konsul Aceh dan konsul-konsul seluruh Sumatra setuju untuk mengangkat Ahmad Rasyid sebagai Imam Muhammadiyah Sumatra. Selain itu, ia mendirikan sekaligus memimpin Kulliyah Al-Muballighin Muhammadiyah di Padang Panjang sebagai tempat membina mubalig tingkat atas. Disinilah tempat para kader muda Muhammadiyah diberikan pengetahuan agama dengan bertugas memperkenalkan Muhammadiyah dan ajaran agama Islam di Minangkabau dan daerah-daerah sekitarnya. Kelak, para mubalig tersebut akan memainkan peran penting untuk memimpin dan menggerakkan roda Persyarikatan Muhammadiyah di Yogyakarta.

Perkembangan dan kemajuan Muhammadiyah di Minangkabau mendapat perhatian khusus dari Pengurus Besar Muhammadiyah Yogyakarta. Maka pada akhir tahun 1926, Muhammadiyah mengutus Ahmad Rasyid untuk mengawal perkembangan persyarikatan itu agar tidak melenceng ke arah yang tidak dikehendaki.

Ia juga mendirikan "Djihad" untuk mengembalikan dan meluruskan umat Islam kembali kepada agamanya dalam rentang tahun 1949 sampai 1952. Kemudian pada tahun 1943, Ahmad Rasyid selaku Konsul Besar Muhammadiyah melebarkan sayap wilayahnya untuk seluruh Indonesia saat itu, hingga 1953. Ia berperan dalam membentuk Muhammadiyah Cabang Lubuk Jambi, ketika Dasin Jamal dan Sulaiman Khatib meminta mandatnya pada awal September 1933.[28]

Lika-liku pengalamannya dalam mengembangkan Muhammadiyah sampai kepada titik yang teratas. Ketika berlangsung Kongres Muhammadiyah ke-32 di Purwokerto, Banyumas pada tahun 1953, hampir seluruh peserta kongres memilih Ahmad Rasyid sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Muhammadiyah, sehingga terpilihlah dia untuk periode 1953–1956.[29] Maka dengan demikian, ia menjadi tokoh luar Jawa pertama yang menduduki kursi eksekutif di Muhammadiyah. Menyelesaikan periode pertama kepemimpinannya, kemudian ia terpilih kembali dalam Kongres Muhammadiyah ke-33 di Yogyakarta selama tiga tahun menjabat untuk periode 1956 sampai 1959. Pada Kongres Muhammadiyah ke-35 tahun 1962 dan kongres setelahnya, ia diangkat sebagai Penasehat Pimpinan Pusat Muhammadiyah hingga tahun 1980. Secara rutin pada hari minggu pascasubuh mendakwahi agama Islam, khususnya tauhid di sebuah balai Kantor Perwakilan Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Ahmad Rasyid dalam dua periode kepemimpinan di Muhammadiyah berhasil merumuskan khittah (garis perjuangan) Muhammadiyah atau biasa disebut Khittah Palembang. Kandungan dari Khittah Muhammadiyah, yaitu hakikat Muhammadiyah, lalu Muhammadiyah dan masyarakat, Muhammadiyah dan politik, Muhammadiyah dan Ukhuwah Islamiyah, serta dasar dan program Muhammadiyah. Antara poin-poin Khittah Palembang yang dijabarkannya adalah menanamkan setiap anggota dan pimpinan Muhammadiyah dengan memperdalam tauhid, menyempurnakan ibadah dengan khusyuk dan tawadhu', meningkatkan mutu akhlak, meningkatkan wawasan dalam ilmu pengetahuan, dan memajukan Muhammadiyah dengan penuh tanggung jawab. Dirincikan pula bahwa setiap anggota harus menjalankan kemuliaan akhlak, menjaga keutuhan organisasi dan menata birokrasi, meningkatkan amal, membentuk kader dengan mempertinggi kualitas anggota, menjaga tali persaudaraan, dan menuntun penghidupan bagi seluruh anggota Muhammadiyah.[30][31]

Pasca kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, Muhammadiyah menjadi salah satu organisasi Islam yang menghadapi krisis identitas: apakah akan terlibat atau tidaknya dalam panggung politik praktis. Salah satu peran Ahmad Rasyid di Muhammadiyah di bidang politik adalah keikutsertaan Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi yang menyertai Masyumi dan berpartisipasi dalam pemilihan umum 1955.[32] Muhammadiyah tetap berada di Masyumi hingga pembubarannya pada 1960. Setelahnya, Muhammadiyah menjadi organisasi nonpolitik yang bergerak pada sosial-keagamaan.

Ahmad Rasyid dikenal mempunyai sifat toleran dalam bidang fikih, misalnya ketika adanya perbedaan pendapat terkait furu'iyyah atau hukum agama yang tidak pokok, akan tetapi ia tidak terlalu mempermasalahkan. Hasil Putusan Tarjih (HPT) Muhammadiyah dipandangnya hanya sebagai sikap organisasi Muhammadiyah terhadap suatu masalah agama, itu pun sepanjang belum ditemukan pendapat yang lebih kuat, sehingga tidak mengikat anggota-anggota Muhammadiyah.

Perjuangannya dalam mengembangkan, mengenalkan, dan menyebarluaskan Muhammadiyah di Sumatera Barat membuat dia memiliki julukan yang diberikan oleh Muhammad Yunus Anis, yaitu sebagai "Bintang Barat Muhammadiyah", setelah Mas Mansoer dipandang sebagai "Bintang Timur Muhammadiyah". Hamka menjulukinya sebagai ideolog Muhammadiyah. Ahmad Rasyid pun dipandang selaku tokoh utama Muhammadiyah dari generasi pertama, setelah Ahmad Dahlan, A. R. Fachruddin, Kyai Haji Ibrahim, Abdul Mu'thi, Mukhtar Bukhari, dan Mas Mansur.

Pandangan

Pentingnya jihad dibahas olehnya secara khusus dalam ceramahnya antara tahun 1952 sampai 1957 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Ahmad Rasyid menilai bahwa asalnya jihad adalah dari pengharapan manusia untuk dibela atau ditolong oleh Allah. Namun, Allah hanya akan menolong, apabila hambanya bersedia menolong agama Allah. Jihad terdiri dari tiga tahap yang harus ditempuh, yaitu adanya roh suci yang menghubungkan antara sang makhluk dengan sang pencipta. Roh suci yang dia maksudkan adalah beriman kepada Allah yang menjadi pokok dari jihad.[33] Selanjutnya, terdapat tenaga ilmu dan tenaga benda. Menurutnya, ketiga hal tersebut dapat menyempurnakan jihad. Akan tetapi, semua tetap berpangkal pada keimanan.

Rasul itulah yang berhadapan dengan umat yang mempunyai ciri kebangsaannya sendiri-sendiri dengan segala macam peradaban (kebudayaannya) masing-masing. Bagi tiap umat itu telah dibangkitkan seorang rasul yang membawa risalah kepada suatu peradaban dan tingkat kemajuan umat itu sendiri.

— Ahmad Rasyid Sutan Mansur, 1982

Jihad dan iman, menurutnya, bersumber dari petunjuk-Nya dan balasan atas jihad tersebut adalah anugerah-Nya, berupa baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, maksudnya adalah negara yang aman, makmur, dan Allah mengampuni para penghuninya.

Menurut Ahmad Rasyid, jihad terjadi dalam dua kondisi, yakni dalam masa perang dan masa damai. Di masa perang tidak semata-mata berada di barisan terdepan, melainkan persiapan mendukung peperangan itu sendiri, seperti halnya urusan logistik. Sedangkan jihad pada masa damai bertugas untuk membangun, menegakkan, dan menyusun. Jihad akan mengalami kekalahan apabila kebudayaan asing telah masuk.

Masa tua

Perjuangan dakwah terus dilakukan sejak masa muda hingga akhir hayat Ahmad Rasyid. Ketika memasuki umur 80-an, ia kembali ke kampung halamannya di Maninjau, Agam, Sumatera Barat dan pada akhirnya berpindah ke Jakarta sampai akhir hayatnya.[34][35] Ia beralamat di Jalan Lontar Atas, Kebon Melati, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Di masa tuanya justru banyak tetamu yang mengunjungi rumahnya untuk belajar ilmu tauhid, terutamanya Hamka selepas meletakkan jabatannya sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia.[12]

Pada 22 Maret 1985, A. R. Fachruddin bersama dengan pengurus Pimpinan Pusat Muhammadiyah datang menjenguk Ahmad Rasyid di Rumah Sakit Islam, Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Setelah sebulan mendapat perawatan medis, ia meninggal dunia pada hari Senin, 25 Maret 1985 Masehi, bertepatan tanggal 3 Rajab 1405 Hijriyah di usia 89 tahun.[1] Jenazah almarhum dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir setelah disalatkan di Masjid Kompleks Muhammadiyah. Pemakamannya dihadiri oleh Munawir Sjadzali selaku Menteri Agama, Mohammad Natsir, dan sejumlah tokoh agama lainnya.

Karya sastra

Buku

  • Pokok-Pokok Pergerakan Muhammadiyah
  • Hidup di Tengah Kawan dan Lawan
  • Ruh Islam (1965)
  • Panggilan Illahi
  • Seruan Kepada Kehidupan Baru
  • Jihad (1982)
  • Tauhid Membentuk Pribadi Muslim (1975)[34]
  • Penerangan Asas Muhammadiyah
  • Ruh Jihad

Dalam budaya populer

Catatan

  1. ^ Perkumpulan Nurul Islam adalah nama samaran dari majelis-majelis tablig Muhammadiyah. Pergerakan Muhammadiyah sebelumnya dilakukan di setiap daerah dengan nama yang berbeda-beda, seperti Nurul Islam di Pekalongan, Sidik-Amanah-Tablig-Fatanah di Surakarta, Al-Munir di Ujung Pandang, Al-Hidayah di Garut, dan lain-lain. Pemerintah Hindia Belanda baru mengeluarkan perizinan diperbolehkannya Muhammadiyah bergerak di luar Yogyakarta sendiri baru dijalankan pada tanggal 2 September 1921.[14]
  2. ^ Ahmad Rasyid kembali ke kampung halamannya sebagai mubalig Muhammadiyah untuk Sumatera pada 1925. Rasyid ditugaskan untuk kembali menjadi dai di Pekalongan pada 1928 sebelum akhirnya dipindahtugaskan ke Kalimantan setahun kemudian.
  3. ^ Kantor Cabang Muhammadiyah pertama di Minangkabau, saat ini telah diubah fungsinya sebagai Madrasah Tsanawiyah Swasta Muhammadiyah Sungai Batang.[23]

Referensi

  1. ^ a b Administrator (1985-03-30). "Meninggal dunia". Tempo.co. Diakses tanggal 2021-06-13. 
  2. ^ Al-Hamdi, Ridho (Juli 2020). Paradigma Politik Muhammadiyah. Diva Press. hlm. 185. Setelah masa kepemimpinannya di Muhammadiyah, A. R. Sutan Mansyur terpilih sebagai Penasihat PP Muhammadiyah selama lima periode berturut-turut dari 1962 sampai dengan 1977. 
  3. ^ Kumpulan peraturan-peraturan untuk pamilihan Konstituante. Kementerian Penerangan Republik Indonesia. 1956. hlm. 238. 
  4. ^ "Sejarah". Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat. 17 Maret 2022. Diakses tanggal 19 April 2024. Dalam sebuah catatan riwayat hidup oleh Konstituante, Ahmad Rasyid menjadi dosen di Fakultas Falsafah dan Hukum dalam rentang tahun 1953 sampai 1956. 
  5. ^ a b c Nursalikah, Ani (2020-06-12). "Buya AR Sutan Mansur: Imam Muhammadiyah Sumatra". Republika.co.id. Diakses tanggal 2021-10-02. 
  6. ^ Aisyah Rasyid 2009, hlm. 24.
  7. ^ Silfia Rahmah Harahap (12 November 2022). "Gelar Adat Minangkabau, Makna dan Cara Pemberiannya". iNews. Padang. Diakses tanggal 14 Mei 2023. 
  8. ^ "Agam Berduka, Buya Hanif Rasyid AR Wafat". Kaba12. 2017-03-18. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-10-01. Diakses tanggal 2021-10-01. 
  9. ^ Chalid, Arief Rahman (2009-01-02). "Pandangan Islam Tentang Kemakmuran". Wordpress. Diakses tanggal 2021-10-01. 
  10. ^ "Mengenang Buya Sutan Mansur". Okezone.com. 2008-04-25. Diakses tanggal 2021-10-03. 
  11. ^ "Inin Salma AR Sutan Mansur, Perempuan Penggerak Pendidikan Muhammadiyah Kalbar". Suara Muhammadiyah. 2022-10-07. Diakses tanggal 2023-03-22. 
  12. ^ a b Administrator (1982-02-20). "Sutan mansur, buya yang lain". Tempo.co. Diakses tanggal 2021-10-03. 
  13. ^ "Buya Haji Ahmad Rasyid Sutan Mansur (Ketua 1956–1959)". Muhammadiyah. 2021-02-17. Diakses tanggal 2021-10-03. 
  14. ^ "Sejarah:Proses Masuknya Muhammadiyah ke Jawa Barat". Muhammadiyah Jawa Barat. Diakses tanggal 2021-10-04. 
  15. ^ "Objek wisata Rumah Kelahiran Buya Hamka". Antara News. 2008-08-21. Diakses tanggal 2023-03-22. 
  16. ^ Nurfatoni, Mohammad (2020-08-28). "AR Sutan Mansur Ideolog Muhammadiyah". PWMU. Diakses tanggal 2021-10-04. 
  17. ^ "Hamka". Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. 2023-02-08. Diakses tanggal 2023-03-22. 
  18. ^ "Buya AR Sutan Mansur". 123dok. Diakses tanggal 2021-10-03. 
  19. ^ "Ordonansi (Ulama) Guru". Historia.id. 2012-09-10. Diakses tanggal 2024-04-17. 
  20. ^ Hamka (2024-04-20). Ayahku. Gema Insani. hlm. 195–197. ISBN 978-602-250-701-7. 
  21. ^ Reid 1971, hlm. 43-44.
  22. ^ Sufyan, Fikrul Hanif (2019-10-22). "Resolusi Jihad Buya Sutan Mansur". IBTimes.id. Diakses tanggal 2023-03-22. 
  23. ^ Yudistira, Rudi (2019-05-12). "Menggali Sejarah Lahirnya Muhammadiyah di Pulau Sumatra dan Ketokohan A.R Sutan Mansur". 123dok. Diakses tanggal 2021-10-04. 
  24. ^ Aisyah Rasyid 2009, hlm. 26.
  25. ^ "AR Sutan Mansur: Buya Tuo dari Maninjau". ibtimes.id. 2018-12-07. Diakses tanggal 2021-10-05. 
  26. ^ Takashi Shiraishi 2005.
  27. ^ "Tokoh Naqsyabandiyah Bergabung ke Muhammadiyah Demi Lawan Komunis". Rakyat Merdeka. 2020-09-15. Diakses tanggal 2021-10-05. 
  28. ^ "Sejarah Muhammadiyah Riau". Muhammadiyah Riau. Diakses tanggal 2021-10-04. 
  29. ^ Virgiawan, Ryan (2019-11-19). "Mengenal Semua Ketua Umum Muhammadiyah dari Masa ke Masa". MiNews. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-10-04. Diakses tanggal 2021-10-04. 
  30. ^ Aisyah, Novia (2021-09-16). "7 Butir Khittah Palembang Muhammadiyah, Siswa Madrasah Perlu Tahu". detikcom. Diakses tanggal 2021-10-04. 
  31. ^ "Buya H. Ahmad Rasyid Sutan Mansur Adalah Guru dan Ulama Besar Minangkabau". Sumbar Today. 2018-01-31. Diakses tanggal 2021-10-05. 
  32. ^ Ilham (Agustus 2021). "Kisah Partai Masyumi, Pengalaman Penting bagi Muhammadiyah". Muhammadiyah. Diakses tanggal 2024-04-20. 
  33. ^ "Jihad di Mata AR Sutan Mansur". Jejak Islam. 2017-02-09. Diakses tanggal 2021-10-05. 
  34. ^ a b "Buya AR Sutan Mansyur: Tauhid Membentuk Pribadi Muslim". TablighMu. 2015-01-02. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-10-01. Diakses tanggal 2021-10-01. 
  35. ^ "Ahmad Rasyid Sutan Mansur". Tempo.co. 2016-02-12. Diakses tanggal 2021-10-03. 
  36. ^ "Film "Buya Hamka" dirilis pada 20 April 2023 sambut Ramadhan". Antara News. Jakarta. 2023-03-14. Diakses tanggal 2023-03-21. 

Pranala luar

Jabatan organisasi Islam
Didahului oleh:
Bagus Hadikusumo
Ketua Umum PB Muhammadiyah
1953–1959
Diteruskan oleh:
Muhammad Yunus Anis