Ijtihad (bahasa Arab: اجتهاد) adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang. Namun, pada perkembangan selanjutnya diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya hanya dilakukan para ahli agama Islam.[1]

Tujuan

Tujuan ijtihad adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu. Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid.[2]

Fungsi Ijtihad

Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detail oleh Al Quran maupun Al Hadis. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan modern. Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan turunan dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari.

Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadis. Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau Al Hadis itu. Namun jika persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadis, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al Quran dan Al Hadis.[3]

Jenis-jenis ijtihad

Qiyâs

Qiyas adalah menggabungkan atau menyamakan artinya menetapkan suatu hukum atau suatu perkara yang baru yang belum ada pada masa sebelumnya namun memiliki kesamaan dalam sebab, manfaat, bahaya dan berbagai aspek dengan perkara terdahulu sehingga dihukumi sama. Dalam Islam, Ijma dan Qiyas sifatnya darurat, bila memang terdapat hal-hal yang ternyata belum ditetapkan pada masa-masa sebelumnya. Beberapa definisi qiyâs (analogi):

  1. Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya, berdasarkan titik persamaan di antara keduanya.
  2. Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui suatu persamaan di antaranya.
  3. Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan di dalam [Al-Qur'an] atau [Hadis] dengan kasus baru yang memiliki persamaan sebab (iladh).
  4. Menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu hal yg belum di terangkan oleh al-qur'an dan hadits.

Beberapa definisi Istihsân:

  1. Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang fâqih (ahli fikih), hanya karena dia merasa hal itu adalah benar.
  2. Argumentasi dalam pikiran seorang fâqih tanpa bisa diekspresikan secara lisan olehnya
  3. Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima, untuk maslahat orang banyak.
  4. Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan.
  5. Tindakan menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap perkara yang ada sebelumnya..

Maslahah Murshalah

Adalah tindakan memutuskan masalah yang tidak ada naskahnya dengan pertimbangan kepentingan hidup manusia berdasarkan prinsip menarik manfaat dan menghindari kemudharatan.

Sududz Dzariah

Adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentingan umat.

Istishab

Adalah tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan yang bisa mengubahnya, contohnya apabila ada pertanyaan bolehkah seorang perempuan menikah lagi apabila yang bersangkutan ditinggal suaminya bekerja di perantauan dan tidak jelas kabarnya? maka dalam hal ini yang berlaku adalah keadaan semula bahwa perempuan tersebut statusnya adalah istri orang sehingga tidak boleh menikah(lagi) kecuali sudah jelas kematian suaminya atau jelas perceraian keduanya.

Adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat-istiadat dan kebiasaan masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan aturan-aturan prinsipal dalam Alquran dan Hadis.

Tingkatan-tingkatan

Ijtihad Muthlaq

Ijtihad Muthlaq adalah kegiatan seorang mujtahid[4] yang bersifat mandiri dalam berijtihad dan menemukan sebab-sebab hukum dan ketentuan hukumnya dari teks Al-Qur'an dan sunnah, dengan menggunakan rumusan kaidah-kaidah dan tujuan-tujuan syara', serta setelah lebih dahulu mendalami persoalan hukum, dengan bantuan disiplin-disiplin ilmu.

Ijtihad fi al-Madzhab, (al-madzhab:adalah pendapat imam tentang hukum agama).

Seorang ulama berijtihad mengenai hukum syara', dengan menggunakan metode istinbath hukum yang telah dirumuskan oleh imam mazhab, baik yang berkaitan dengan masalah-masalah hukum syara' yang tidak terdapat dalam kitab imam mazhabnya, meneliti pendapat paling kuat yang terdapat di dalam mazhab tersebut, maupun untuk memberikan fatwa hukum yang disesuaikan kepada masyarakatnya.[4] Secara lebih sempit, ijtihad tingkat ini dikelompokkan menjadi 3 tingkatan.

  1. Ijtihad at-Takhrij, yaitu kegiatan ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid dalam mazhab tertentu untuk melahirkan hukum syara' yang tidak terdapat dalam kumpulan hasil ijtihad imam mazhabnya, dengan berpegang kepada kaidah-kaidah atau rumusan-rumusan hukum imam mazhabnya. Pada tingkatan ini kegiatan ijtihad terbatas hanya pada masalah-masalah yang belum pernah difatwakan imam mazhabnya, ataupun yang belum pernah difatwakan oleh murid-murid imam mazhabnya.[4]
  2. Ijtihad at-Tarjih, yaitu kegiatan ijtihad yang dilakukan untuk memilah pendapat yang dipandang lebih kuat di antara pendapat-pendapat imam mazhabnya, atau antara pendapat imam dan pendapat murid-murid imam mazhab, atau antara pendapat imam mazhabnya dan pendapat imam mazhab lainnya. Kegiatan ulama pada tingkatan ini hanya melakukan pemilahan pendapat, dan tidak melakukan istinbath hukum syara'.[4]
  3. Ijtihad al-Futya, yaitu kegiatan ijtihad dalam bentuk menguasai seluk-beluk pendapat-pendapat hukum imam mazhab dan ulama mazhab yang dianutnya, dan memfatwakan pendapat-pendapat terebut kepada masyarakat. Kegiatan yang dilakukan ulama pada tingkatan ini terbatas hanya pada memfatwakan pendapat-pendapat hukum mazhab yang dianutnya, dan sama sekali tidak melakukan istinbath hukum dan tidak pula memilah pendapat yang ada di dalamnya.[4]

Lihat pula

Daftar topik agama Islam

Referensi

  1. ^ A M Saefuddin (1 January 1996). Ijtihad Politik Cendekiawan Muslim. Gema Insani Press. ISBN 978-979-561-396-1. Diakses tanggal 29 May 2020. 
  2. ^ Rusdaya Basri. Ushul fikih 1. IAIN Parepare Nusantara Press. ISBN 9786239216184. Diakses tanggal 29 May 2020. 
  3. ^ Amir Mu'allim (1997). Ijtihad suatu contoversi: antara teori dan fungsi. TIP. ISBN 978-979-9019-20-2. Diakses tanggal 29 May 2020. 
  4. ^ a b c d e Dr. M. Mufid, Lulusan Cairo., M.H.I (7 January 2018). Ushul Fiqh Ekonomi dan Keuangan Kontemporer: Dari Teori ke Aplikasi. Kencana. ISBN 978-602-422-307-6. Diakses tanggal 29 May 2020. 

Daftar pustaka

Dahlan, H Abd. Rahman Dahlan (2010). Ushul Fiqh (edisi ke-1). Bab VIII, hlmn. 354-356.